BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

Penentuan Posisi dengan GPS

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB II GPS DAN ATMOSFER

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Struktur Bumi

BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

BAB Analisis Perbandingan Hasil LGO 8.1 & Bernese 5.0

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

B A B II ATMOSFER DAN GPS

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

Jaring kontrol horizontal

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB III PENENTUAN ZENITH TROPOSPHERIC DELAY

Pembuatan Program Pengolahan Data GPS Analisa Pseudorange Dan Koreksi Troposfer

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI II-1

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu alat yang dapat kita sebut canggih adalah GPS, yaitu Global

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

Evaluasi Spesifikasi Teknik pada Survei GPS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA

STUDI KINERJA PERANGKAT LUNAK LEICA GEO OFFICE 8.1 UNTUK PENGOLAHAN DATA GPS BASELINE PANJANG TUGAS AKHIR. Oleh: SIDIQ PURNAMA AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Memantau apa saja dengan GPS

PEMBUATAN TUGU GPS (Benchmark) POLITANI DENGAN PENGIKATAN PADA TITIK DASAR TEKNIK ORDE II SAMARINDA. Oleh: MUHAMAD SYAHRIZAL EFENDI NIM.

BAB 3 PEMBAHASAN DAN PENGOLAHAN DATA

Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq

Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jaring kontrol horizontal

ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 2 LANDASAN TEORI. suatu media transmisi (Forouzan, 2007). transmitter, transmission system, receiver, dan media

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

MODUL 3 GEODESI SATELIT

B A B III GPS REALTIME UNTUK PENGAMATAN TROPOSFER DAN IONOSFER

PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM KESALAHAN PENENTUAN POSISI GPS

BAB I PENDAHULUAN. Patut dicatat bahwa beberapa faktor yang juga berlaku untuk aplikasi-aplikasi GPS yang

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Jurnal Geodesi Undip April 2016

BAB 3 PEMANTAUAN PENURUNAN MUKA TANAH DENGAN METODE SURVEY GPS

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

Aplikasi Survei GPS dengan Metode Statik Singkat dalam Penentuan Koordinat Titik-Titik Kerangka Dasar Pemetaan Skala Besar

Evaluasi Spesifikasi Teknik pada Survei GPS

Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

Transkripsi:

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Global Positioning System (GPS) Pembahasan dasar teori GPS pada subbab ini merupakan intisari dari buku Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya oleh [Abidin, 2007] dan SURVEI DENGAN GPS oleh [Abidin., dkk, 2011] yang berhubungan dengan penelitian tugas akhir. Teknologi Global Positioning System atau biasa disebut GPS adalah sistem navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimesi serta informasi mengenai waktu, secara kontinu di seluruh dunia tanpa bergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada dasarnya GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa yang terutama terdiri dari satelit GPS, segmen sistem kontrol yang terdiri dari stasiunstasiun pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai yang terdiri dari pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal dan data GPS. Tetapi, yang akan dijelaskan hanya sebatas pada bagian segmen pengguna saja. Pada segmen satelit, satelit GPS dianalogikan sebagai stasiun radio di angkasa, yang diperlengkapi dengan antena-antena untuk mengirim dan menerima sinyal-sinyal gelombang. Untuk segmen kontrol GPS, berfungsi untuk mengontrol dan memantau operasional semua satelit GPS dan memastikan bahwa semua satelit berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan pada segmen pengguna terdiri dari para pengguna satelit GPS. Dimana receiver GPS diperlukan untuk menerima dan memproses sinyal dari satelit GPS untuk digunakan dalam penentuan informasi posisi, kecepatan, waktu serta parameter-parameter turunan lainnya. 2.1.1 Sinyal GPS Pada prinsipnya satelit GPS secara kontinu memancarkan sinyal untuk memberitahu pengamat sinyal tentang posisi satelit, jarak terhadap pengamat, kesehatan satelit beserta informasi pendukung lainnya. Sinyal GPS ini dibagi atas 3 komponen dasar, yaitu : - penginformasi jarak (kode) yang berupa kode-p(y) dan kode-c/a, 7

- penginformasi posisi satelit, dan - gelombang pembawa seperti L1 dan L2. Pada penginformasian jarak terdapat dua kode pseudo-random noise (PRN), yaitu kode P (P = Precise atau Private) dan kode-c/a (C/A = Coarse Acquisition atau Clear Acces). Ke-2 kode tersebut merupakan suatu rangkaian bilangan biner. Secara sepintas bilangan biner ini akan nampak seperti rangkaian kombinasi 0 dan 1 yang acak, sehingga dinamakan pseudo-random. Sebenarnya kode-kode tersebut mempunyai struktur unik dan tertentu yang dibangun menggunakan suatu algoritma matematis tertentu. Pada kode-p telah ditransformasikan menjadi kode-y oleh pihak militer AS yang merupakan sebagai pengelola GPS. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pengelabuan dari pihak musuh militer AS. Kebijakan ini disebut juga dengan antispoofing (A/S). Dengan melakukan pengamatan kode-p(y) atau kode-c/a jarak dari pengamat ke satelit dapat ditentukan. Prinsip pengukuran jarak yang digunakan adalah dengan membandingkan kode yang diterima dari satelit dengan kode replika yang diformulasikan di dalam receiver. Waktu yang dibutuhkan untuk mengimpitkan kedua kode tersebut merupakan waktu yang diperlukan oleh kode tersebut untuk menempuh jarak dari satelit ke pengamat. Dengan mengalikan data selang waktu tersebut dengan kecepatan cahaya maka jarak satelit terhadap pengamat dapat diketahui. Perlu diperhatikan bahwa ketelitian jam receiver GPS dan satelitnya berbeda. Hal ini menunjukan bahwa jarak yang didapatkan tersebut masih dipengaruhi kesalahan ketidaksinkronan waktu jam satelit dan receiver. Oleh karena itu, jarak ukuran ini dinamakan jarak semu atau pseudorange. Pada pesan navigasi yang disampaikan oleh satelit GPS berisi informasi mengenai koefisien koreksi jam satelit, parameter orbit, almanak satelit, UTC, parameter koreksi ionosfer, serta informasi status konstelasi dan kesehatan satelit. Pesan navigasi ini ditentukan oleh segmen sistem kontrol dan dikirim (broadcast) ke pengguna menggunakan satelit GPS. Salah satu pesan navigasi GPS adalah ephemeris (orbit) satelit yang disebut juga dengan broadcast ephemeris. Dalam broadcast ephemeris, informasi tentang posisi satelit tidak diberikan secara langsung. 8

Tetapi pada dasarnya berisi parameter waktu, parameter orbit satelit, dan parameter pertubasi dari orbit satelit. Umumnya satelit GPS memancarkan dua gelombang pembawa yaitu L1 dan L2. Pada gelombang L1 membawa kode-p(y) dan kode-c/a beserta pesan navigasi, sedangkan gelombang L2 membawa kode-p(y) dan pesan navigasi. Agar gelombang pembawa tersebut dapat membawa data kode dan navigasi, maka gelombang pembawa tersebut harus dimodulasi oleh kode dan pesan navigasi. Meskipun pada awalnya sinyal L1 dan L2 didesain hanya untuk membawa informasi data kode dan pesan navigasi dari satelit ke pengamat, tetapi data fase tersebut dapat juga digunakan untuk menentukan jarak dari satelit ke pengamat. Bahkan data jarak yang dihasilkan dari pengamatan fase hasilnya lebih teliti daripada data pseudorange. Tetapi dalam melakukan pengamatan data fase, muncul satu parameter tambahan yang harus ditentukan, yaitu ambiguitas fase. 2.1.2 Pengamatan Data GPS Pada pengamatan data GPS terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara hasil pengamatan pseudorange dan jarak fase seperti yang ditunjukan Tabel 2.1. Pada dasarnya jarak fase akan jauh lebih presisi dan efek multipathnya lebih kecil. Oleh karena itu, untuk keperluan survei dan pemetaan umumnya menggunakan pengamatan jarak fase. Sedangkan pseudorange umumnya digunakan untuk keperluan navigasi saja. Tabel 2.1 Perbedaan antara pseudorange dan jarak fase [Abidin, 2007] Pseudorange Jarak fase Noise P : 0.3 m L1: 1.9 mm (1% of λ) C/A : 3 m L2 : 2.4 mm Ambiguitas Tidak ada Ambigutas fase Efek Ionosfer Diperlambat Dipercepat Multipath P : 0.3 m (max) L1: 4.8 cm (max) C/A : 3 m (max) L2 : 6.1 cm (max) Perlu diketahui bahwa data pengamatan GPS dapat saling dikurangkan. Pengurangan antar data pengamatan GPS dapat dilakukan dalam berbagai macam moda. 9

Berdasarkan pada banyaknya pengurangan yang dilakukan dikenal data pengamatan one-way (OW), single-difference (SD), double-difference (DD), dan triple-difference (TD). Data OW adalah data pengamatan dasar dari satu pengamat ke satu satelit pada satu frekuensi. Selanjutnya dua data OW dapat saling dikurangkan menghasilkan sebuah data SD, jika dua data SD saling dikurangkan menghasilkan sebuah data DD, dan diferensial dari dua data DD menghasilkan satu data TD. Data GPS tersebut dapat saling dikurangkan baik antar dua pengamat, dua satelit, maupun dua epok yang berbeda seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.1 berikut. Gambar 2.1 Beberapa moda pengurangan data [Abidin, 2007] Proses pengurangan data pengamatan sinyal GPS ini mempunyai konsekuensi tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal yang paling menguntungkan dan menjadi tujuan utama dari pengurangan data GPS adalah pengeliminasian dan pereduksian efek dari sebagian kesalahan dan bias pada data pengamatan yang dihasilkan. Proses pengurangan ini juga akan mengurangi kuantitas data, sehingga akan mengurangi beban dalam proses pengolahan data. Disamping faktor-faktor yang menguntungkan tersebut, proses pengurangan ini juga akan meningkatkan level noise dari data pengamatan yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah pengurangan yang dilakukan akan semakin tinggi level noise yang dihasilkan. Secara matematis, proses pengurangan ini juga membuat data pengamatan menjadi berkorelasi. 2.1.3 Penentuan Posisi Statik Diferensial dengan GPS Pada dasarnya penentuan posisi dengan GPS menggunakan prinsip pengikatan ke belakang, karena pengukurannya dilakukan di atas titik yang dicari nilai 10

koordinatnya. Secara vektor, prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS dapat dilihat pada Gambar 2.2. Dalam hal ini, parameter yang ditentukan adalah vektor posisi geosentrik pengamat (Ȓ). Dengan diketahuinya posisi vektor GPS (ȓ), maka yang harus ditentukan adalah vektor posisi toposentris satelit terhadap pengamat (ρ). Gambar 2.2 Prinsip penentuan posisi dengan GPS (pendekatan vektor) [Abidin, 2007] Pada pengamatan GPS, yang biasa diukur hanyalah jarak antara pengamat dan satelit dan bukan vektornya seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.2, sehingga persamaan vektor tersebut tidak dapat diterapkan. Untuk mengatasi hal ini, penentuan posisi pengamat dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap beberapa satelit secara simultan seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.3. Gambar 2.3 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS [Abidin, 2007] Posisi yang ditentukan dengan GPS, ditentukan dalam datum WGS84. Datum ini adalah sebagai sistem referensi yang digunakan oleh Departemen Pertahanan 11

Amerika Serikat (Department of Defence atau DoD) sebagai pemilik dan pengelola satelit GPS. Secara keseluruhan datum WGS84 mencakup pendefinisian tentang sistem koordinat yang bersifat geometris yang memiliki besar nilai parameternya tertentu, seperti yang ditunjukan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Empat parameter utama ellipsoid referensi WGS84 [NIMA, 2000] Parameter Notasi Nilai Sumbu panjang a 6378137 m Penggepengan f 1/298.257223563 Kecepatan sudut rotasi ω 7292115 x 10-11 rad/s Konstanta Gravitasi Bumi (termasuk massa atmosfernya) GM 3986004.418 x 10 8 m 3 /s 2 Berdasarkan aplikasinya, metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi atas dua kategori utama, yaitu survei dan navigasi, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Metode dan sistem penentuan posisi dengan GPS [Langley, 1998] Tetapi, teori yang akan dijelaskan hanya metode survei GPS statik diferensial saja. Pada penentuan posisi diferensial, posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik 12

lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Prinsipnya dengan melakukan pengurangan data (diferensial) dari dua buah receiver (statik), maka beberapa kesalahan dan bias dari data akan dapat dieliminasi atau direduksi. Tentu saja proses ini akan meningkatkan akurasi dan presisi posisi yang akan dihasilkan. Selengkapnya efek pengurangan data dapat dilihat pada Tabel 2.3 : Tabel 2.3 Konsekuensi diferensial data GPS (Teknik Diferensial) [Andreas, dkk. 2008] Kesalahan dan Bias data GPS Jam Satelit Jam Receiver Orbit Ionosfer Troposfer Multipath Noise Dapat dihilangkan Dapat di reduksi Tidak dapat dihilangkan dan atau direduksi Keterangan Tergantung panjang baseline Tergantung panjang baseline Tergantung panjang baseline Pada prinsipnya, survei GPS bertumpu pada metode penentuan posisi statik secara diferensial dengan menggunakan data fase. Dalam hal ini pengamatan satelit GPS umumnya dilakukan baseline perbaseline selama selang waktu tertentu dalam suatu jaring kerangka. Pada pemrosesan datanya, untuk menentukan koordinat dari titiktitik dalam jaringan umumnya melalui tiga tahapan utama, yaitu : - Pengolahan data dari setiap baseline dalam jaringan, - Perataan jaring yang melibatkan semua baseline untuk menentukan koordinat dari titik-titik dalam jaring, dan - Transformasi koordinat titik-titik tersebut dari datum WGS84 ke dalam datum yang diinginkan. 13

Pengolahan dari setiap baseline pada dasarnya adalah bertujuan untuk menentukan nilai estimasi vektor baseline atau koordinat relatif. Secara umum diagram alir proses pengolahan suatu baseline GPS dapat dilihat pada Gambar 2.5. Proses estimasi yang digunakan untuk mengolah baseline umumnya berbasiskan pada metode perataan kuadrat terkecil. Pemrosesan Awal Penetapan/penentuan koordinat dari satu titik ujung baseline untuk berfungsi sebagai titik tetap (monitor station) Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan triple-difference fase) Solusi baseline 1 Pendeteksian dan pengkoreksian cycle slips Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan double-difference fase, ambiguity-float) Solusi baseline 2 Penentuan ambiguitas fase (searching and fixing) Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan double-difference fase, ambiguity-fixed) Solusi final dari baseline Gambar 2.5 Diagram alir pengolahan baseline GPS [Abidin, 2007] Pada penentuan vektor baseline dalam survei GPS umumnya menggunakan data fase persamaan (2.1). Persamaan pengamatan yang terbentuk dari pengamatan fase GPS secara umum [Abidin, 2007], yaitu : L i = ρ + dρ + dtrop dion i + (dt dt) + MC i λ i.n i + ϑc i...(2.1) di mana, L i = λ i.ϕ i = jarak fase pada frekuensi f i (m), (i =1,2), 14

ρ = jarak geometris antara stasiun pengamatan dengan satelit (m), λ = panjang gelombang sinyal (m), dρ = kesalahan jarak oleh kesalahan informasi orbit (m), dtrop, dion i = bias yang disebabkan oleh refraksi troposfer dan ionosfer (m), dt, dt = kesalahan dan offset dari jam receiver dan jam satelit (m), MC i = efek dari multipath dari hasil pengamatan L i (m), N i = ambiguitas fase dari sinyal L 1 dan L 2 (dalam jumlah gelombang), dan ϑc i = noise dari hasil pengamatan L i (m). Persamaan (2.1) di atas disebut sebagai data fase satu arah (OW). dari data OW tersebut dapat dilakukan diferensial data antar receiver, satelit, atau epok, sehingga menghasilkan data SD. Lalu data SD antar receiver dan satelit saling dikurangkan, maka menghasilkan data DD, seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.6 dan Persamaan (2.2). Konsekuensi dari pengurangan data pada tahap ini, yaitu : - kesalahan jam receiver dan satelit sudah tereliminasi, - kesalahan orbit dan bias ionosfer sudah tereduksi cukup signifikan, - seandainya kondisi meteorologis kedua titik relatif sama, maka efek dari bias troposfer juga akan tereduksi, dan - sifat integer dari nilai ambiguitas fasenya masih dapat dieksploitasi. Gambar 2.6 Data DD receiver-satelit [Abidin, 2007] 15

L 12 ij = L 12 j - L 12 i, = ρ ij 12 + dρ ij 12 + dtrop ij 12 - dion ij 12 + MC ij 12 λ. N ij 12 + ϑc ij 12.(2.2) Untuk keperluan survei GPS dengan baseline pendek, pengaruh kesalahan multipath umumnya diabaikan. Sedangkan pengaruh kesalahan karena kesalahan informasi orbit, ionosfer, dan troposfer umumnya diasumsikan sudah tereduksi secara signifikan, sehingga persamaan (2.2) menjadi : L 12 ij + ϑc 12 ij = ρ 12 ij λ. N 12 ij = ρ j 2 (t) ρ j 1 (t) - ρ i 2 (t) + ρ i 1 (t) λ. N ij 12 (2.3) di mana ϑc ij 12 adalah noise serta residu kesalahan dan bias pengamatan yag masih tersisa. Seandainya vektor koordinat stasiun-1 (X 1 ) sebagai titik referensi dan stasiun-2 (X 2 ) dinyatakan sebagai (X 1, Y 1, Z 1 ) dan (X 2, Y 2, Z 2 ), dan vektor-vektor koordinat satelit I dan j sebagai X i (t) dan X j (t) sebagai (X i (t), Y i (t), Z i (t)) dan (X j (t), Y j (t), Z j (t)), maka : - X 1, X i (t) dan X j (t) diketahui nilainya, dan - X 2 akan ditentukan bersama-sama dengan N ij 12. Karena itu, nilai ρ j 1 (t) dan ρ i 1 (t) pada dasarnya telah diketahui. Sedangkan ρ j 2 (t) dan ρ i 2 (t) dapat diformulasikan : ρ i 2 (t) = X i (t) X 2 = + +... (2.4) ρ 2 j (t) = X j (t) X 2 = + +... (2.5) Seandainya koordinat stasiun-2 didekati dengan suatu nilai pendekatan, yaitu X 2 0 (X 2 0, Y 2 0, Z 2 0 ), dimana : X 2 = X 2 0 + dx 2, 16

0 Y 2 = Y 2 + dy 2, 0 Z 2 = Z 2 + dz 2... (2.6) maka persamaan (2.4) dan (2.5) dapat dilinearisasikan, sehingga : ρ i 2 (t) = ρ i,0 2 (t) + cx i (t).dx 2 + cy i (t).dy 2 + cz i (t).dz 2 (2.7) ρ j 2 (t) = ρ j,0 2 (t) + cx j (t).dx 2 + cy j (t).dy 2 + cz j (t).dz 2 (2.8) dimana ρ i,0 2 (t) dan ρ j,0 2 (t) adalah jarak geometris pendekatan antara stasiun-2 dan satelit-satelit i dan j pada epok t, dan cx i (t) = [X 0 2 X i (t)] / ρ i,0 2 (t), cx j (t) = [X 0 2 X j (t)] / ρ j,0 2 (t), cy i (t) = [Y 0 2 Y i (t)] / ρ i,0 2 (t), cy j (t) = [Y 0 2 Y j (t)] / ρ j,0 2 (t), cz i (t) = [Z 0 2 Z i (t)] / ρ i,0 2 (t), dan cz j (t) = [Z 0 2 Z j (t)] / ρ j,0 2 (t) (2.9) Jika persamaan (2.7) dan (2.8) disubtitusikan ke persamaan (2.3), maka : L ij 12 (t) + ϑc ij 12 (t) = ρ12 ij,0 (t) + cx ij (t).dx2 + cy ij (t).dy2 + cz ij (t).dz2 λ. N ij 12 (2.10) di mana : ρ12 ij,0 (t) = ρ j,0 2 (t) ρ j 1 (t) - ρ i,0 2 (t) + ρ i 1 (t), cx ij (t) cy ij (t) cz ij (t) = cx j (t) cx i (t), = cy j (t) cy i (t), dan = cz j (t) cz i (t). (2.11) 17

Pada persamaan (2.10), data pengamatan adalah L ij 12 (t) dan parameter yang akan ditentukan adalah dx 2, dy 2, dz 2 dan N ij 12. Persamaan (2.10) terbentuk dari 2 satelit dan 2 receiver pada epok yang sama. Seandainya kita menggunakan formulasi umum perataan parameter pada persamaan (2.12) berikut : V =AX L...(2.12) di mana V adalah vektor koreksi pengamatan, A adalah matriks desain, X adalah vektor parameter, dan L adalah vektor pengamatan, maka : V 1x1 = [ ϑc ij 12 (t) ].(2.13) A 1x4 = [ cx ij (t) cy ij (t) cz ij (t) -λ]... (2.14) =.. (2.15) L1x1 = [ L 12 ij (t) - ρ12 ij,0 (t) ]. (2.16) Berdasarkan persamaan (2.12) di atas, maka minimal dibutuhkan 4 data persamaan (2.10) yang terbentuk dari satelit i dan j pada 4 epok dan tidak terjadi cycle slips agar parameter matriks X dapat dipecahkan. Seandainya jumlah satelit yang diamati ada 4 (i, j, k, dan l) dari 2 titik yang sama, maka akan diperoleh 3 data fase DD. Sehingga jumlah parameter yang dicari menjadi bertambah menjadi 6 yaitu : dx2, dy2, dz2, N 12 ij, N 12 ik, dan N 12 il. Pada persamaan DD, koordinat titik 2 pendekatan didapatkan dari pengolahan data TD. Dimana data TD ini merupakan pengurangan dari 2 data DD (Gambar 2.7). Secara matematis persamaan TD yaitu : δ L 12 ij (t 1,t 2 ) = L 12 ij (t 2 ) - L 12 ij (t 1 )...(2.17) di mana, L 12 ij (t 1 ) + ϑc 12 ij (t 1 ) = ρ12 ij,0 (t 1 ) + cx ij (t 1 ).dx2 + cy ij (t 1 ).dy2 + cz ij (t 1 ).dz2 λ. N 12 ij (2.18) 18

L ij 12 (t 2 ) + ϑc ij 12 (t 2 ) = ρ12 ij,0 (t 2 ) + cx ij (t 2 ).dx2 + cy ij (t 2 ).dy2 + cz ij (t 2 ).dz2 λ. N ij 12 (2.19) Jika persamaan (2.18) dan (2.19) kita substitusikan ke persamaan (2.17), maka : δ L ij 12 (t 1,t 2 ) + δ ϑc ij 12 (t 1,t 2 ) = δ ρ12 ij,0 (t1,t2) + δ cx ij (t1,t2).dx2 + δ cy ij (t1,t2).dy2 + δ cz ij (t1,t2).dz2. (2.20) dimana dengan mengacu ke persamaan (2.7) dan (2.8) sebelumnya : δ ρ12 ij,0 (t1,t2) δ cx ij (t1,t2) δ cy ij (t1,t2) δ cz ij (t1,t2) = ρ12 ij,0 (t1) ρ12 ij,0 (t1), = cx ij (t2) cx ij (t1), = cy ij (t2) cy ij (t1), dan = cz ij (t2) cz ij (t1).... (2.21) Gambar 2.7 Data Triple Difference receiver-satelit-epok untuk kasus 2 receiver, 2 satelit, dan 2 epok pengamatan [Abidin, 2007] Pada persamaan (2.20) di atas, parameter yang dicari yaitu dx 2, dy 2, dan dz 2. Dengan koordinat pendekatan untuk titik 2 didapatkan dari penentuan posisi absolut dengan data pseudorange. Jika diasumsikan receiver telah mengamati sebanyak ns satelit yang sama pada sejumlah ne epok dan tidak terjadi cycle slips, maka akan terdapat sebanyak (ne 1).(ns 1) data TD yang terbentuk. Dengan terbentuknya minimal 3 data dari persamaan (2.20) dan menerapkan perataan parameter, maka koordinat stasiun-2 dapat dipecahkan dan dianggap sebagai masukan awal pada proses DD. Setelah proses perataan parameter DD diterapkan dan dipecahkan, maka 19

akan menghasilkan ambiguitas fase. Namun, ambiguitas fase dari hasil DD ini masih berbentuk bilangan real. Untuk merubah menjadi bilangan bulat umumnya mencakup dua tahap, yaitu searching dan fixing dari suatu set ambiguitas fase. Untuk lebih jelasnya bagaimana proses pemecahan bilangan ambiguitas fase ini dapat dilihat pada [Leick, 1995; Hofmann-Wellenhof, 1997; Misra and Enge, 2001]. Lalu tahap selanjutnya dilakukan proses perataan parameter DD kembali, mengacu pada persamaan (2.10), tetapi parameter yang dicari hanyalah dx 2, dy 2, dan dz 2 saja, sedangkan N ij 12 menjadi data pengamatan. Dengan begitu didapatkan solusi final untuk koordinat stasiun-2. Persamaan (2.10) dan (2.20) di atas hanya berlaku untuk baseline yang dianggap saling berdekatan. Namun ketika baseline yang terbentuk relatif jauh, maka kesalahan dan bias karena kesalahan informasi orbit satelit, ionosfer, dan troposfer tidak dapat diabaikan. Proses pemodelan dan estimasi kesalahan dan bias yang digunakan pada setiap perangkat lunak akan berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya mengenai model dan estimasi kesalahan dan bias pada setiap perangkat lunak, umumnya dapat dibaca pada masing-masing buku manualnya. 2.1.4 Kesalahan dan Bias GPS Dalam perjalanannya dari satelit hingga mencapai antenna di permukaan bumi, sinyal GPS akan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias. Berikut ini akan dijelaskan karakteristik dari kesalahan dan bias yang umum terjadi. 2.1.4.1 Kesalahan orbit (ephemeris) Kesalahan ephemeris merupakan kesalahan dimana orbit satelit yang dilaporkan oleh ephemeris satelit tidak sama dengan orbit satelit yang sebenarnya sehingga akan mempengaruhi ketelitian koordinat titik-titik yang ditentukan. Pada dasarnya kesalahan ini dapat disebabkan oleh tiga faktor berikut secara bersama-sama, yaitu : - Kekurangtelitian pada proses perhitungan orbit satelit oleh stasiun-stasiun pengontrol satelit, dan - Kesalahan dalam prediksi orbit untuk periode waktu setelah uploading ke satelit, dan Perlu diperhatikan bahwa besarnya kesalahan orbit akan tergantung pada jenis ephemeris yang digunakan. Pada dasarnya terdapat beberapa jenis informasi 20

ephemeris, yaitu : Almanak, Broadcast Ephemeris, Ultra Rapid Ephemeris, Rapid Ephemeris dan Precise Ephemeris. Untuk kebutuhan informasi orbit yang paling teliti sebaiknya gunakan Precise Ephemeris. Sebenarnya terdapat beberapa cara untuk mereduksi efek kesalahan ini, yaitu : - Terapkan metode penentuan posisi secara diferensial, - Perpendek panjang baseline, - Perpanjang interval waktu pengamatan, - Tentukan parameter kesalahan orbit dalam proses estimasi, dan - Gunakan informasi orbit yang lebih teliti. 2.1.4.2 Bias ionosfer Lapisan ionosfer pada bagian atas atmosfer akan mempengaruhi perambatan gelombang radio. Pada lapisan ini terdapat ion-ion bebas (elektron) yang akan mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan GPS yang melaluinya. Ionosfer akan memperlambat kecepatan sinyal (ukuran jarak menjadi lebih panjang) dan mempercepat fase (ukuran jarak menjadi lebih pendek), dengan bias jarak (dalam unit panjang) yang sama besarnya. Jadi secara umum, bias ionosfer dapat mengakibatkan ukuran jarak yang dihasilkan menjadi kurang teliti. Dalam penentuan posisi dengan GPS, terdapat beberapa cara untuk mereduksi efeknya, yaitu : - Gunakan data GPS dari dua frekuensi L1 dan L2, - Lakukan diferensial data pengamatan, - Perpendek panjang baseline, - Lakukan pengamatan pada pagi atau malam hari, - Gunakan model prediksi global ionosfer, dan - Gunakan parameter koreksi yang dikirim oleh sistem Wide Area Differential GPS (WADGPS). 2.1.4.3 Bias troposfer Ketika melalui lapisan troposfer, sinyal GPS akan mengalami refraksi, yang menyebabkan perubahan kecepatan dan arah sinyal GPS. Bias troposfer ini akan memperlambat kecepatan sehingga akan menghasilkan ukuran jarak yang kurang teliti. Lapisan troposfer ini memperlambat data pseudorange dan data fase. Untuk mereduksi efeknya dapat dilakukan beberapa hal berikut : 21

- Lakukan diferensial data pengamatan, - Perpendek panjang baseline, - Usahakan kedua receiver berada pada ketinggian dan kondisi meteorologis yang relatif sama, - Gunakan model koreksi standar maupun lokal troposfer, - Gunakan pengamatan Water Vapour Radiometer (WVR) untuk mengestimasi komponen basah, - Estimasi besarnya parameter bias troposfer, biasanya dalam bentuk zenith scale factor untuk setiap lintasan satelit, - Gunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem WADGPS. 2.1.4.4 Multipath Multipath merupakan fenomena dimana sinyal dari satelit tiba di antena GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda. Dalam hal ini satu sinyal merupakan sinyal langsung dari satelit ke antena, sedangkan yang lainnya merupakan sinyal-sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh benda-benda di sekitar antena, seperti : gedung, jalan raya, mobil, pepohonan, dll. Perbedaan panjang lintasan menyebabkan sinyal-sinyal tersebut berinteferensi ketika tiba di antena yang mengakibatkan kesalahan pada hasil pengamatan. Kesalahan akibat multipath akan menghasilkan ukuran jarak yang kurang teliti. Multipath akan mempengaruhi hasil ukuran pseudorange dan carrier phase. Tetapi efeknya lebih berpengaruh pada data pseudorange. Pada permasalah multipath ini terdapat beberapa cara untuk menghadapinya, yaitu : - Hindari lingkungan pengamatan yang reflektif, - Gunakan antena receiver yang baik dan tepat, - Gunakan bidang dasar antena pengabsorbsi sinyal, - Jangan amati sinyal dari satelit yang berelevasi rendah, dan - Lakukan pengamatan yang relatif lebih panjang. 2.1.4.5 Ambiguitas fase (phase ambiguity) Ambiguitas fase dari pengamatan fase sinyal GPS merupakan jumlah gelombang penuh yang tidak terukur oleh receiver GPS. Untuk dapat merekonstruksi jarak ukuran antara satelit dengan antena maka harga ambiguitas fase tersebut harus 22

ditentukan terlebih dahulu. Hal ini diperlukan pada saat pengubahan data fase menjadi hasil ukuran jarak sehingga dihasilkan ketelitian yang sangat presisi. Nilai ambiguitas fase akan selalu tetap selama pengamatan tidak terjadi cycle slip. Penentuan ambiguitas fase ini dilakukan dengan cara pemberian koreksi terhadap nilai ambiguitas fase yang mengembang (float) sehingga diperoleh nilai ambiguitas fase yang integer. 2.1.4.6 Cycle slips Cycle slips merupakan ketidak-kontinuan dalam jumlah gelombang penuh dari fase gelombang pembawa yang diamati, karena sinyal ke receiver terputus pada saat pengamatan sinyal. Jika dilakukan plotting data pengamatan fase terhadap waktu, maka cycle slips dapat dideteksi dari terdapatnya loncatan mendadak kurva grafik, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9 berikut. Gambar 2.8 Cycle slips [Abidin, 2007] Dalam proses pengolahan data untuk perhitungan posisi, pengkoreksian cycle slips bisa dilakukan sebagai suatu proses tersendiri sebelum proses estimasi posisi, ataupun secara terpadu dengan proses pengestimasian posisi. 2.1.4.7 Selective Availability Selective Availability (SA) merupakan metode yang pernah diaplikasikan untuk memproteksi ketelitian posisi absolut secara real-time yang tinggi dari GPS hanya untuk pihak militer Amerika Serikat dan pihak-pihak yang berwenang. Tetapi sejak 2 Mei 2000, kebijakan SA sudah dinonaktifkan. 23

2.1.4.8 Anti Spoofing Anti Spoofing (AS) merupakan suatu kebijakan dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, dimana kode-p dari sinyal GPS diubah menjadi kode-y yang bersifat rahasia, yang strukturnya hanya diketahui oleh pihak militer Amerika Serikat dan pihak-pihak yang berwenang. 2.1.4.9 Kesalahan jam Kesalahan jam ini dapat berupa kesalahan jam satelit maupun kesalahan jam receiver. Bentuk kesalahannya dapat berupa bentuk offset waktu, offset frekuensi, maupun frequency drift. Kesalahan jam ini akan langsung mempengaruhi ukuran jarak, baik pseudorange maupun jarak fase. 2.1.4.10 Pergerakan dari pusat antena Pada umumnya pusat fase antena GPS akan berubah-ubah tergantung pada elevasi dan azimuth satelit, serta intensitas sinyal, dan lokasinya akan berbeda untuk sinyal L1 dan L2 [Tranquilla et al. 1987]. Hal ini disebabkan oleh sulitnya merealisasikan sumber radiasi yang ideal pada antena GPS. Karena perbedaan tersebut bersifat variatif terhadap waktu, maka besar efek kesalahan karena adanya pergerakan pusat fase antena pada ukuran jarak juga akan bervariasi secara temporal. 2.1.4.11 Imaging Imaging merupakan suatu fenomena yang melibatkan suatu benda konduktif (konduktor) yang berada dekat dengan antena GPS, seperti reflektor berukuran besar maupun groundplane dari antena itu sendiri. Efek dari imaging ini adalah akan memunculkan antena bayangan (image) atau dengan kata lain fenomena imaging ini akan mendistorsi pola fase antena yang seharusnya. Hal ini mengakibatkan perubahan titik pusat fase antena sehingga akan menyebabkan terjadinya kesalahan pada ukuran jarak. 2.2 Jaring Kerangka Dasar Nasional (JKHN) Pada Subbab JKHN ini, merupakan isi dari spesifikasi SNI 2002 tentang Jaring Kontrol Horizontal. Berdasarkan definisi yang dituliskan pada SNI 2002, jaring kontrol horizontal adalah sekumpulan titik kontrol horizontal yang satu sama lainnya 24

dikaitkan dengan data ukuran jarak dan/atau sudut, dan koordinatnya ditentukan dengan metode pengukuran/pengamatan tertentu dalam suatu sistem dan kerangka referensi koordinat horizontal tertentu. Di Indonesia jaring tersebut disebut Jaring Kerangka Horizontal Nasional (JKHN). Kualitas koordinat titik-titik dalam JKHN dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sistem peralatan yang digunakan untuk proses pengambilan data, geometri jaringan, strategi pengambilan data, serta strategi pengolahan data yang digunakan. Terkait dengan perbedaan kualitas koordinat titik-titik dalam JKHN, jaring ini pun diklasifikasikan menjadi beberapa kelas dan orde. Kasifikasi suatu jaring kontrol ini didasarkan pada tingkat presisi dan tingkat akurasi dari jaring yang bersangkutan, yang tingkat presisi diklasifikasikan berdasarkan kelas dan tingkat akurasi diklasifikasikan berdasarkan orde. 2.2.1 Penetapan Kelas Jaringan Kelas suatu jaring titik kontrol horizontal ditentukan berdasarkan panjang sumbupanjang (semi-major axis) dari setiap elips kesalahan relatif (antar titik) dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 95% yang dihitung berdasarkan statistik yang diberikan oleh hasil hitung perataan jaringan kuadrat terkecil terkendala minimal (minimal constrained). Dalam hal ini panjang maksimum dari sumbu-panjang elips kesalahan relatif 95% yang digunakan untuk menentukan kelas jaringan adalah [SNI, 2002]: r = c ( d + 0.2 ) (2.5) dimana : r = panjang maksimum dari sumbu-panjang yang diperbolehkan, dalam mm; c = faktor empirik yang menggambarkan tingkat presisi survei; d = jarak antar titik, dalam km. Berdasarkan nilai faktor c tersebut, kategorisasi kelas jaring titik kontrol horizontal yang diusulkan diberikan pada Tabel 2.4 berikut : 25

Tabel 2.4 Kelas (pengukuran) jaring titik kontrol horizontal [SNI, 2002] Kelas c (ppm) Aplikasi tipikal 3A 0.01 jaring tetap (kontinu) GPS 2A 0.1 survei geodetik berskala nasional A 1 survei geodetik berskala regional B 10 survei geodetik berskala lokal C 30 survei geodetik untuk perapatan D 50 survei pemetaan 2.2.2 Penetapan Orde Jaringan Orde suatu jaring titik kontrol horizontal ditentukan berdasarkan panjang sumbupanjang (semi-major axis) dari setiap elips kesalahan relatif (antar titik) dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 95% yang dihitung berdasarkan statistik yang diberikan oleh hasil hitung perataan jaringan kuadrat terkecil. Dalam penentuan Orde, hitung perataan jaringannya adalah hitung perataan berkendala penuh (full constrained). Dalam hal ini panjang maksimum dari sumbu-panjang elips kesalahan relatif (satu deviasi standar) yang digunakan juga dihitung berdasarkan persamaan (2.5). Berdasarkan nilai faktor c tersebut, dapat dibuat kategorisasi orde jaring titik kontrol horizontal yang diperoleh dari suatu survei geodetik, seperti yang diberikan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Orde jaring titik kontrol horizontal [SNI, 2002] orde c Jaring kontrol Jarak* Kelas 0 0.01 Jaring fidusial nasional (jaring tetap GPS) 1000 3A 0 0.1 Jaring titik kontrol geodetik nasional 500 2A 1 1 Jaring titik kontrol geodetik regional 100 A 2 10 Jaring titik kontrol geodetik lokal 10 B 3 30 Jaring titik kontrol geodetik perapatan 2 C 4 50 Jaring titik kontrol pemetaan 0.1 D * jarak tipikal antar titik yang berdampingan dalam jaringan (dalam km) 26