1) Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, FTSP-ITB, Bandung, dan Jurusan Teknik Sipil, FT-Untar, Jakarta.

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield

Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield

Analisis Nilai ACN dan PCN untuk Struktur Perkerasan Kaku dengan menggunakan Program Airfield. Djunaedi Kosasih 1)

Analisis Disain Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield

BAB IV PRESENTASI DATA DAN ANALISIS

Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku Pada Apron Dengan Metode FAA, PCA dan LCN Dari Segi Daya Dukung: Studi Kasus Bandara Juanda

Gambar III.1 Diagram Alir Program Penelitian

ANALISIS DESAIN STRUKTUR PERKERASAN KAKU LANDASAN PESAWAT UDARA BERDASARKAN METODA ICAO TESIS ARIE FIBRYANTO NIM :

Perencanaan Bandar Udara

ANALISIS DESAIN STRUKTUR PERKERASAN KAKU LANDASAN PESAWAT UDARA BERDASARKAN METODA ICAO TESIS ARIE FIBRYANTO NIM :

MODULUS RESILIENT TANAH DASAR DALAM DESAIN STRUKTUR PERKERASAN LENTUR SECARA ANALITIS

PERBANDINGAN METODE PERENCANAAN PERKERASAN KAKU PADA APRON DENGAN METODE FAA, PCA DAN LCN DARI SEGI DAYA DUKUNG: STUDI KASUS BANDARA JUANDA

PERANCANGAN STRUKTURAL PERKERASAN BANDAR UDARA

PENDAHULUAN BAB I. berpopulasi tinggi. Melihat kondisi geografisnya, transportasi menjadi salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODEL PERHITUNGAN KERUSAKAN STRUKTUR PERKERASAN LENTUR BUSWAY DENGAN PENDEKATAN ANALITIS ABSTRACT ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sandhyavitri (2005), bandar udara dibagi menjadi dua bagian

Analisa Kekuatan Perkerasan Runway, Taxiway, dan Apron (Studi Kasus Bandar Udara Soekarno Hatta dengan Pesawat Airbus A-380)

DAFTAR PUSTAKA. 1. Basuki, H Merancang, Merencana Lapangan Terbang. 2. Horonjeff, R. dan McKevey, F Perencanaan dan

Djunaedi Kosasih 1 ABSTRAK. Kata kunci: disain tebal lapisan tambahan, metoda analitis, modulus perkerasan, proses back calculation ABSTRACT

Bandar Udara. Eddi Wahyudi, ST,MM

BAB IV PENGOLAHAN DATA &ANALISIS. dengan menggunakan Program COMFAA 3.0 adalah sebagai berikut :

ANALISIS DESAIN TEBAL STRUKTUR PERKERASAN KAKU DENGAN METODE PCA DAN FAA PADA APRON BANDAR UDARA ADISUMARMO SURAKARTA TUGAS AKHIR SARJANA STRATA SATU

Studi Pengaruh Pengurangan Tebal Perkerasan Kaku Terhadap Umur Rencana Menggunakan Metode AASHTO 1993

parameter, yaitu: tebal /(bidang kontak)^ dan CBR/tekanan roda, serta memisahkan

urnal 1. Pendahuluan TEKNIK SIPIL Vol. 14 No. 3 September Djunaedi Kosasih 1) Abstrak

EVALUASI RIGID PAVEMENT APRON BANDARA KALIMARAU BERAU DENGAN METODE FEDERAL AVIATION ADMINISTRATION

DESAIN TEBAL PERKERASAN DAN PANJANG RUNWAY MENGGUNAKAN METODE FAA; STUDI KASUS BANDARA INTERNASIONAL KUALA NAMU SUMATERA UTARA

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN

Analisis Aplikasi Algoritma Genetika Dalam Proses Desain Struktur Perkerasan Djunaedi Kosasih 1)

ANALISA PERENCANAAN PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT) APRON BANDAR UDARA SULTAN THAHA SYAIFUDDIN JAMBI

Perencanaan Sisi Udara Pengembangan Bandara Internasional Juanda Surabaya

BAB 4 HASIL PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan

Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan.

MODIFIKASI METODA AASHTO 93 DALAM DISAIN TEBAL LAPISAN TAMBAHAN UNTUK MODEL STRUKTUR SISTEM 3-LAPISAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. jenis data yang diperlukan untuk menunjang proses penelitian, untuk kemudian diolah

Analisis Aplikasi Algoritma Genetika dalam Proses Desain Struktur Perkerasan. Djunaedi Kosasih 1)

KAJIAN NILAI MODULUS REAKSI SUBGRADE DAN NILAI CBR BERDASARKAN PENGUJIAN DI LABORATORIUM

PERBANDINGAN METODE PERENCANAAN PERKERASAN KAKU PADA APRON DENGAN METODE FAA, PCA DAN LCN DARI SEGI DAYA DUKUNG : STUDI KASUS BANDARA JUANDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

Analisis Desain Perkerasan Kaku Berdasarkan AASHTO Rigid Pavement ARI SURYAWAN (hal. 213)

Perkerasan kaku Beton semen

ANALISIS PERKERASAN LANDAS PACU BANDARA SOEKARNO-HATTA MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FAARFIELD

Menghitung nilai PCN dengan interpolasi linier nilai ACN pesawat sesuai dengan daya dukung perkerasan hasil perhitungan pada

TUGAS AKKHIR ANALISIS PERANCANGAN TEBAL PERKERASAN APRON BANDARA INTERNASIONAL AHMAD YANI SEMARANG DENGAN METODE FEDERATION AVIATION ADMINISTRATION

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan dalam waktu cepat, berteknologi

PENGGUNAAN ALAT MARSHALL UNTUK MENGUJI MODULUS ELASTISITAS BETON ASPAL

ANALISIS PENGARUH SUHU PERKERASAN TERHADAP UMUR PELAYANAN JALAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALITIS (STUDI KASUS JALAN TOL SEMARANG)

BAB II FAKTOR FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PERENCANAAN PERKERASAN PADA LAPANGAN TERBANG

Analisis Perbandingan Material Slab Beton Pada Perkerasan Apron dengan Menggunakan Program Bantu Elemen Hingga

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum

BAB III LANDASAN TEORI. Dimensi, berat kendaraan, dan beban yang dimuat akan menimbulkan. dalam konfigurasi beban sumbu seperti gambar 3.

BAB III METODE PERENCANAAN. Mulai. Perumusan masalah. Studi literatur. Pengumpulan data sekunder & primer. Selesai

STUDI PERBANDINGAN METODE PERENCANAAN PERKERASAN KAKU UNTUK LAPANGAN TERBANG MONICA SARI

BAB I PENDAHULUAN. Kelebihan dari konstruksi perkerasan kaku adalah sifat kekakuannya yang. sementara kelemahan dalam menahan beban

Parameter perhitungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERENCANAAN MEKANISTIK EMPIRIS OVERLAY PERKERASAN LENTUR

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 93 TAHUN 2015 TENTANG

KERUSAKAN YANG TIMBUL PADA JALAN RAYA AKIBAT BEBAN ANGKUTAN YANG MELEBIHI DARI YANG DITETAPKAN

JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2012

Outline Bahan Ajar. Prasyarat : MK Perancangan Geometri Jalan (TKS 7311/2 sks/smt V) Dosen Pengampu : Dr. Gito Sugiyanto, S.T., M.T.

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN FLEXIBLE PAVEMENT DAN RIGID PAVEMENT. Oleh : Dwi Sri Wiyanti

DESAIN TEBAL PERKERASAN DAN PANJANG RUNWAY MENGGUNAKAN METODE FAA; STUDI KASUS BANDARA INTERNASIONAL KUALA NAMU SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH

TUGAS AKHIR PERENCANAAN ULANG DAN MANAJEMEN KONSTRUKSI TAXIWAY DI BANDARA ADI SUTJIPTO YOGYAKARTA

ANALISIS TEBAL PERKERASAN APRON PADA BANDAR UDARA SENTANI BERBASIS JUMLAH DAN TIPE PESAWAT

PROSES DESAIN STRUKTUR PERKERASAN LENTUR YANG MEMPERHITUNGKAN VARIASI MODULUS PERKERASAN AKIBAT PENGARUH TEMPERATUR

Putri Nathasya Binus University, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang merupakan sebagai negara yang berkembang,sedang

ANALISA PERBANDINGAN PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN KAKU ANTARA METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE BINA MARGA 1983 TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan

Perbandingan Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2011 Dengan Metode Jabatan Kerja Raya Malaysia 2013

PENGARUH NILAI CBR TANAH DASAR DAN MUTU BETON TERHADAP TEBAL PELAT PERKERASAN KAKU METODE BINA MARGA

Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 2016 ISSN: Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara

DESKRIPSI PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE AASHTO

ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI

PERBANDINGAN PERENCANAAN PERKERASAN KAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODE

Teknik Sipil Itenas No. x Vol. xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Agustus 2015

PERENCANAAN KONSTRUKSI JALAN RAYA RIGID PAVEMENT (PERKERASAN KAKU)

2.4.5 Tanah Dasar Lapisan Pondasi Bawah Bahu Kekuatan Beton Penentuan Besaran Rencana Umur R

BAB III METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

PERBANDINGAN HASIL PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN TIPE PERKERASAN KAKU ANTARA METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE

ESTIMASI NILAI MODULUS ELASTIS LAPISAN BERASPAL MENGGUNAKAN HAMMER TEST

2.3 Dasar - Dasar Perancangan Tebal Lapis Keras Lentur Kapasitas Lalulintas Udara 20

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. dalam perencanaan jalan, perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang dapat

PERENCANAAN LANDASAN PACU BANDAR UDARA TUANKU TAMBUSAI KABUPATEN ROKAN HULU. B U D I M A N 1 ARIFAL HIDAYAT, ST, MT 2 BAMBANG EDISON, S.

ANALISIS TEBAL PERKERASAN TAMBAHAN PADA BANDAR UDARA NUSAWIRU CIJULANG KABUPATEN CIAMIS

PEMANFAATAN BAMBU UNTUK TULANGAN JALAN BETON

ANALISIS TEBAL PERKERASAN APRON PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN HASANUDDIN

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA

Gambar Distribusi Pembebanan Pada Perkerasan Kaku dan Perkerasan Lentur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku atau rigid pavement adalah jenis perkerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport)

STUDI PENGARUH PENGAMBILAN ANGKA EKIVALEN BEBAN KENDARAAN PADA PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN FLEKSIBEL DI JALAN MANADO BITUNG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Perencanaan Pengembangan Apron Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya

Studi Perencanaan Tebal Lapis Tambah Di Atas Perkerasan Kaku

Studi Penanganan Ruas Jalan Bulu Batas Kota Tuban Provinsi Jawa Timur Menggunakan Data FWD dan Data Mata Garuda

Transkripsi:

Perbandingan antara Pendekatan Desain Struktur Perkerasan Kaku berdasarkan Lalu Lintas Pesawat Udara Campuran dan Pesawat Udara Desain Kritis Djunaedi Kosasih 1) Abstrak Metode desain struktur perkerasan kaku landasan pesawat udara yang umum dikenal antara lain adalah metoda PCA dan metoda FAA (Yoder, et.al., 1975). Proses desain menurut kedua metoda desain ini relatif mudah, dimana data desain yang diperlukan hanya terdiri dari modulus reaksi tanah dasar, modulus lentur bahan beton, keberangkatan tahunan, karakteristik teknis pesawat udara dan beberapa ketentuan teknis desain. Yang menarik dari kedua metoda desain adalah mengenai pendekatan desain yang berbeda dalam memperhitungkan pengaruh dari beban lalu lintas pesawat udara campuran yang beroperasi terhadap kerusakan struktur perkerasan. Metode PCA memperhitungkan secara langsung pengaruh dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi. Di lain pihak, metoda FAA hanya memperhitungkan pengaruh dari pesawat udara desain kritis saja; dan, pengaruh dari jenis pesawat udara lainnya diperhitungkan secara tidak langsung dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban terhadap pesawat udara desain kritis. Makalah ini mendiskusikan perbedaan hasil desain struktur perkerasan yang dihasilkan dari kedua pendekatan desain dengan menggunakan contoh data desain praktis. Kata kunci: struktur perkerasan kaku, lalu lintas pesawat udara campuran, kriteria retak lelah, pesawat udara desain kritis, faktor ekivalen repetisi beban Abstract Design methods for airfield rigid pavements commonly known in practice are the PCA method and the FAA method (Yoder, et.al., 1975). The design procedure based on these design methods is relatively easy, in that the design data required consist only of subgrade reaction modulus, concrete flexural strength, annual departure, aircraft characteristics and several design constants. The most interesting thing with these two design methods concerns with different approaches to calculating the effect of mixed air traffic on pavement structure distresses. The PCA method calculates directly the effect of each aircraft existing in mixed air traffic. Meanwhile, the FAA method calculates only the effect of a pre-defined design aircraft; and, the effect of other aircrafts in mixed air traffic is calculated indirectly by using load repetition equivalency factor against the pre-defined design aircraft. This paper discusses the difference found in the resulting pavement structure design from the two design approaches by using practical design data. Keywords: rigid pavement, mixed air traffic, fatigue cracking criterion, critical design aircraft, load repetition equivalency factor 1. Pendahuluan Metode desain struktur perkerasan kaku landasan pesawat udara yang umum dikenal antara lain adalah metoda PCA dan metoda FAA (Yoder, et.al., 1975). Proses desain menurut kedua metoda desain pada dasarnya relatif mudah dan memerlukan data desain yang juga kurang lebih sama, seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Prosedur desain menurut kedua metoda desain secara umum juga terlihat serupa dengan menggunakan dua proses iterasi yang masing-masing dilakukan untuk memperoleh tebal perkerasan desain, dan jalur desain kritis untuk metoda PCA atau pesawat udara desain kritis untuk metoda FAA. Kedua metoda desain juga menggunakan kriteria retak lelah yang sama yang didasarkan pada tegangan lentur di dalam struktur perkerasan akibat beban sumbu roda pesawat udara. 1) Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, FTSP-ITB, Bandung, dan Jurusan Teknik Sipil, FT-Untar, Jakarta.

Namun, di sisi lain, kedua metoda desain memiliki pendekatan desain yang berbeda dalam memperhitungkan pengaruh dari beban lalu lintas pesawat udara campuran yang beroperasi terhadap kerusakan struktur perkerasan. Metode PCA memperhitungkan pengaruh dari setiap jenis pesawat udara secara langsung. Sedangkan, metoda FAA hanya memperhitungkan pengaruh dari pesawat udara desain kritis saja; pengaruh dari jenis pesawat udara lainnya diperhitungkan secara tidak langsung dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban terhadap pesawat udara desain kritis untuk mendapatkan keberangkatan tahunan ekivalen. Secara umum, jalur desain kritis dan pesawat udara desain kritis umumnya adalah serupa, dimana jalur desain kritis adalah jalur lintasan sumbu roda yang mengalami tingkat kerusakan terbesar di akhir masa layan rencana struktur perkerasan; sedangkan, pesawat udara desain kritis adalah jenis pesawat udara yang paling dominan dalam menyebabkan tingkat kerusakan terbesar tersebut. Meskipun demikian, dengan metoda PCA, jalur desain kritis dapat diiterasi lebih lanjut di luar jalur lintasan sumbu roda rata-rata dari pesawat udara desain kritis untuk mendapatkan tingkat kerusakan yang mungkin lebih besar lagi yang lebih menentukan masa layan rencana struktur perkerasan desain. Gambar 1: Prosedur desain struktur perkerasan kaku berdasarkan dua pendekatan desain

Berikut diuraikan secara rinci mengenai data desain yang diperlukan, dasar teori yang digunakan dan hasil desain struktur perkerasan yang diperoleh dari kedua pendekatan desain. Perbedaan antara kedua pendekatan desain dijelaskan secara teoritis dan perbedaan hasil desain struktur perkerasan yang diperoleh dari kedua pendekatan desain juga didiskusikan. Untuk makalah ini, analisis struktural untuk perhitungan tegangan lentur yang terjadi di dalam struktur perkerasan akibat beban sumbu roda pesawat udara dilakukan baik dengan menggunakan program Airfield (Kosasih, 2004) maupun kurva desain. Pemakaian kurva desain dalam hal ini hanya terbatas untuk keperluan verifikasi hasil desain saja. 2. Data Desain Struktur Perkerasan Kaku Ada 4 kelompok data yang diperlukan dalam proses desain struktur perkerasan kaku untuk landasan pesawat udara, yaitu: data karakteristik pesawat udara data pergerakan pesawat udara tahunan data struktur perkerasan ketentuan teknis desain Untuk keperluan analisis dua pendekatan desain struktur perkerasan yang dibahas pada butir 4 dalam makalah ini, digunakan contoh data desain praktis dari bandar udara Juanda, Surabaya (Kosasih, et.al., 2005). Meskipun demikian, tebal perkerasan desain yang dihasilkan di sini hanya merupakan contoh desain saja yang tidak langsung berhubungan dengan struktur perkerasan yang sekarang terbangun di bandar udara Juanda, Surabaya. Validasi terhadap data desain yang digunakan masih harus dilakukan secara lebih mendalam lagi sebelum contoh desain struktur perkerasan yang disajikan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain. 2.1. Data karakteristik pesawat udara dan data pergerakan pesawat udara tahunan Tabel 1 memperlihatkan contoh 17 jenis pesawat udara tipikal yang digunakan dalam proses desain struktur perkerasan (Fibryanto, 2005). Pesawat udara tipikal dalam hal ini merupakan pesawat udara yang mewakili sejumlah pesawat udara yang sejenis. Pengelompokkan ke dalam pesawat udara tipikal dilakukan karena keterbatasan data karakteristik pesawat udara yang tersedia. Namun demikian, untuk keperluan proses desain praktis, setiap jenis pesawat udara sebaiknya dianalisis sesuai dengan data karakteristiknya masing-masing. Sementara itu, jenis pesawat udara ringan tidak perlu diperhitungkan lebih jauh mengingat pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap kerusakan struktur perkerasan. Data konfigurasi roda pesawat udara yang sangat diperlukan untuk perhitungan tegangan lentur di dalam struktur perkerasan juga diberikan pada tabel, termasuk jarak antara roda (S W ), jarak antara sumbu roda (S G ) dan jarak antara kaki roda (S L1 dan S L2 ). Empat konfigurasi sumbu roda yang dianalisis adalah sumbu tunggal roda tunggal (S), sumbu tunggal roda ganda (D), sumbu tandem roda ganda (DT) dan sumbu tandem roda ganda dobel (DDT). Data tekanan ban, data berat total pesawat udara (MTOW) dan data %-beban pada sumbu roda utama disesuaikan dengan data spesifikasi teknis pesawat udara yang dipublikasikan oleh masing-masing pabrik pembuatnya. Volume pergerakan pesawat udara, baik keberangkatan, maupun kedatangan, juga diberikan pada tabel. Akan tetapi, hanya volume keberangkatan tahunan saja yang digunakan dalam proses penentuan tebal perkerasan desain (ICAO, 1983). Untuk makalah ini, data volume keberangkatan tahunan dianggap konstan selama masa layan rencana struktur perkerasan yang umumnya ditetapkan 20 tahun.

Tabel 1: Data pergerakan tahunan dan karakteristik pesawat udara 2.2. Data struktur perkerasan dan ketentuan teknis desain Ringkasan data struktur perkerasan dan ketentuan teknis desain disajikan pada Tabel 2. Data contoh tebal perkerasan, khususnya tebal lapisan pondasi agregat dan tebal lapisan ATB disamakan dengan data struktur perkerasan untuk apron di bandar udara Juanda, Surabaya. Lapisan pondasi agregat dan lapisan ATB tersebut diperlakukan sebagai bagian dari tanah dasar yang diperhitungkan dalam penentuan modulus reaksi tanah dasar gabungan, k gab. Modulus reaksi tanah dasar (k) pada muka tanah dasar juga disesuaikan dengan data desain untuk apron di bandar udara Juanda, Surabaya. Sedangkan, data modulus reaksi tanah dasar gabungan pada permukaan lapisan ATB, yaitu sebesar 80 MN/m 3, diperoleh dari model korelasi (ICAO, 1983). Data modulus elastisitas bahan perkerasan (beton semen) dan data konstanta Poisson yang berturut-turut adalah 27,588.483 MPa (= 4jt psi) dan 0.15 merupakan data tipikal yang umum digunakan dalam proses desain struktur perkerasan kaku. Rentang data modulus elastisitas beton menurut Huang (2004) adalah 3jt 6jt psi, dan rentang data konstanta Poisson adalah 0.15 0.20. Jika diperlukan, modulus elastisitas dan konstanta Poisson dari bahan beton yang digunakan dapat diperoleh dari hasil pengujian laboratorium sesuai dengan metoda pengujian ASTM C469-87a. Data modulus lentur beton, MR 28, juga disesuaikan dengan data desain untuk apron di bandar udara Juanda, Surabaya, yaitu sebesar 4.417 MPa (= 45 kg/cm 2 ). Sedangkan, untuk keperluan proses desain struktur perkerasan digunakan nilai MR 90 yang seharusnya diperoleh dari pengujian laboratorium atau dari model korelasi terhadap nilai MR 28 dengan menggunakan faktor pengali 110% (ICAO, 1983), sbb.: MR 90 = 1.10 * MR 28... (1)

Tabel 2: Ringkasan data struktur perkerasan dan ketentuan teknis desain Nilai MR 90 jika diuji di laboratorium sesuai dengan metoda pengujian ASTM C78-84 dapat ditetapkan pada tingkat probabilitas 85%, yaitu: (Huang, 2004) MR 90 = MR 1.036 * σ... (2) 90 dimana: MR 90 = modulus lentur rata-rata (MPa) σ = deviasi standar (MPa) Kemudian, untuk keperluan desain struktur perkerasan, nilai MR ditetapkan dengan menggunakan faktor keamanan (FK) yang biasanya berkisar antara 1.70 2.00 untuk apron (Yoder, et.al., 1975) dan antara 1.30 1.70 untuk runway (ICAO, 1983), dimana: MR = MR 90... (3) FK Rentang data distribusi lintasan sumbu roda pesawat udara (σ) untuk runway dapat diasumsikan antara 96 192 in (Yoder, et.al., 1975). Nilai σ yang pada dasarnya merupakan deviasi standar dari kurva distribusi normal sangat berkorelasi dengan tingkat kerusakan yang terjadi di dalam struktur perkerasan. Oleh karena itu, penetapan nilai σ dalam proses desain struktur perkerasan perlu dikaji secara seksama sesuai dengan pengalaman yang dimiliki dari bandar udara sejenis. Nilai σ yang tertera pada tabel adalah 243.84 cm (=96 in), yang berarti bahwa sekitar 68.26% dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi diasumsikan akan melintasi jalur lintasan sumbu roda selebar ±487.68 cm. 3. Dasar Teori 3.1. Pendekatan desain berdasarkan lalu lintas pesawat udara campuran Dengan pendekatan desain yang berdasarkan lalu lintas pesawat udara campuran (selanjutnya, disingkat lalu lintas campuran), struktur perkerasan diperhitungkan untuk memikul sejumlah repetisi beban sumbu roda dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi selama masa layan rencana. Untuk memperhitungkan pengaruh dari setiap jenis pesawat udara yang lewat pada kerusakan struktur perkerasan diperlukan teori retak lelah (Yoder, et.al., 1975), seperti yang akan diuraikan pada bagian berikut. Dengan diperkenalkannya teori retak lelah, maka pengaruh dari lintasan sumbu roda pesawat udara yang bergeser dari jalur lintasan sumbu roda rata-rata terhadap kerusakan struktur perkerasan juga dapat dianalisis (Kosasih, et.al., 2005).

(a) Teori Retak Lelah Dari hasil pengamatan di laboratorium diketahui bahwa kerusakan struktur perkerasan kaku ditentukan tidak hanya oleh beban sumbu roda pesawat udara saja atau tegangan lentur yang bekerja di dalam struktur perkerasan saja tetapi juga oleh jumlah repetisi beban sumbu roda tersebut selama masa layan rencana serta oleh kwalitas bahan beton yang digunakan. Makin besar tegangan lentur yang terjadi dan/atau makin rendah kwalitas bahan beton, maka akan makin sedikit pula jumlah repetisi beban sumbu roda yang dapat dipikul oleh struktur perkerasan. Mengingat kerusakan awal yang biasanya terjadi adalah dalam bentuk keretakan, maka mekanisme kerusakan struktur perkerasan seperti ini dikenal dengan istilah kerusakan retak lelah. Model retak lelah menurut PCA (Huang, 2004) yang digunakan untuk makalah ini dan yang juga telah digunakan sebagai kriteria desain struktur perkerasan untuk konstruksi perkerasan jalan (NAASRA, 1987) dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sbb.: σ L untuk: 0. 55 MR log ( N σ L ) = 11.737 12.077 MR σ L 0.45 < < 0.55 MR σ L MR 0.45 N N 4.2577 = σ L 0.4325 MR = 3.268... (4) Dalam aplikasinya, tebal perkerasan desain harus dicoba-coba untuk memenuhi kriteria retak lelah pada Pers (4). Tegangan lentur di dalam struktur perkerasan yang terjadi akibat setiap lintasan sumbu roda pesawat udara setelah dibagi dengan modulus lentur beton yang dikan disubstitusikan ke dalam persamaan ini untuk memperoleh jumlah repetisi beban sumbu roda yang dikan. Kemudian, tingkat kerusakan retak lelah tahunan yang diakibatkan oleh setiap jenis pesawat udara yang beroperasi dihitung dengan membandingkan volume keberangkatan tahunan terhadap jumlah repetisi beban sumbu roda yang dikan untuk setiap jenis pesawat udara tersebut. Jika jumlah total kerusakan retak lelah untuk semua jenis pesawat udara dalam kurun masa layan rencana kurang lebih sama dengan 100%, maka struktur perkerasan desain diperkirakan akan runtuh tepat di akhir masa layannya, dan proses desain selesai. Sedangkan, jika jumlah total kerusakan retak lelah tersebut masih jauh lebih kurang dari atau jauh melebihi 100%, maka tebal perkerasan desain yang sedang dicoba belum memadai, dan proses desain harus berulang lagi. Rumus perhitungan total kerusakan retak lelah dapat dituliskan sebagai berikut : total kerusakan retak lelah = ( N ) * Σ tahunan i n * 100% 100%... (5) i ( ) N i dimana: i = masing-masing jenis pesawat udara n = masa layan rencana (tahun) N tahunan = volume keberangkatan tahunan (pesawat/tahun) N = jumlah repetisi beban sumbu roda yang dikan (pesawat)

(b) Faktor Repetisi Beban (LRF) Setiap lintasan sumbu roda dari jenis pesawat udara tertentu pada perkerasan biasanya tidak selalu berada pada jalur lintasan yang tetap. Untuk keperluan perhitungan nilai LRF, pergeseran lintasan sumbu roda pesawat udara dianggap terdistribusi secara normal yang menyebar di sekitar jalur lintasan sumbu roda rata-rata yang dianggap terletak pada ½ jarak antara kaki roda dari sumbu perkerasan. Faktor repetisi beban (LRF) untuk jenis pesawat udara tertentu merupakan faktor koreksi terhadap derajat kerusakan yang ditimbulkan pada struktur perkerasan di jalur lintasan sumbu roda ratarata akibat terjadinya pergesaran lintasan sumbu roda tersebut. Konsekwensi dari pergeseran lintasan sumbu roda ini adalah bergesernya kurva tegangan lentur yang terjadi di dalam struktur perkerasan; dan tegangan lentur pada jalur lintasan sumbu roda rata-rata yang umumnya dijadikan sebagai referensi dalam perhitungan nilai LRF juga berubah, seperti diilustrasikan pada Gambar 2, yaitu dari σ Lo menjadi σ Li untuk lintasan sumbu roda yang bergeser sejauh x i dari jalur lintasan sumbu roda rata-rata. Gambar 2: Ilustrasi proses perhitungan nilai LRF untuk jenis pesawat udara tertentu Terlihat pada gambar, bahwa hanya pesawat udara sebanyak P o % saja melintas pada jalur lintasan sumbu roda rata-rata yang mengakibatkan tegangan lentur sebesar σ Lo. Sedangkan, masing-masing P i % pesawat udara sisanya yang dibentuk pada bidang di bawah kurva distribusi normal melintas pada lintasan sejauh x i dari jalur lintasan sumbu roda rata-rata yang mengakibatkan tegangan lentur sebesar σ Li. Nilai P i % dapat diatur dalam proses perhitungan sesuai dengan tingkat ketelitian yang diinginkan; dan nilai x i dapat dibaca pada tabel distribusi normal, yang bergerak dari sampai +. Juga terlihat pada gambar, bahwa nilai σ Li dapat langsung dibaca pada kurva tegangan lentur untuk beban yang bekerja pada jalur lintasan sumbu roda rata-rata. Sifat kurva tegangan lentur ini dapat mempermudah proses perhitungan nilai LRF.

Kemudian, berdasarkan nilai σ Li, derajat kerusakan struktur perkerasan pada jalur lintasan sumbu roda rata-rata dapat dihitung dengan menggunakan rumus: derajat kerusakan = P Σ i... (6) i ( N ) i dimana: i = masing-masing segmen jalur lintasan sumbu roda di bawah kurva distribusi normal N = jumlah repetisi beban sumbu roda yang dikan (pesawat) Sehingga, rumus nilai LRF dapat dituliskan sebagai berikut: LRF = i i ( N ) 1 P ( N ) 0 i... (7) Perlu kiranya dicatat di sini bahwa untuk kurva tegangan lentur yang sifatnya bi-modal seperti diperlihatkan pada Gambar 2, nilai (N ) 0 perlu dikoreksi. Nilai (N ) 0 seharusnya dihitung terhadap nilai σ L maksimum. Tanpa koreksi ini, nilai LRF yang diperoleh akan menjadi lebih besar dan bahkan kadang-kadang dapat melebihi nilai maksimum 1.00. 3.2. Pendekatan desain berdasarkan pesawat udara desain kritis Dengan pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis, struktur perkerasan diperhitungkan hanya untuk memikul sejumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis tersebut selama masa layan rencana yang ditetapkan. Pengaruh dari jenis pesawat udara lainnya yang beroperasi terhadap kerusakan struktur perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban. Untuk lalu lintas campuran, ada tiga faktor ekivalen repetisi beban yang diperlukan, yaitu: (a) Faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda (FES) Meskipun beban sumbu roda yang bekerja adalah sama, tetapi pengaruh dari berbagai konfigurasi sumbu roda pesawat udara terhadap kerusakan struktur perkerasan dapat berbeda. Oleh karena itu, konfigurasi sumbu roda yang berbeda dengan konfigurasi sumbu roda pesawat udara desain kritis perlu dikonversikan dengan menggunakan nilai FES, seperti diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3: Faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda

(b) Faktor Ekivalen Beban (FEB) Variasi beban roda pesawat udara memberikan derajat kerusakan pada struktur perkerasan yang juga bervariasi. Makin berat beban roda pesawat udara, maka akan makin besar pula derajat kerusakan yang ditimbulkan pada struktur perkerasan. Di lain pihak, derajat kerusakan struktur perkerasan berbanding lurus dengan jumlah repetisi beban sumbu roda pesawat udara. Sehingga, dalam hal ini, Pers (8) dapat digunakan untuk mengkonversikan jumlah repetisi beban sumbu roda dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi (R 2 ) ke dalam jumlah repetisi beban sumbu roda pesawat udara desain kritis (R 1 ) berdasarkan akar perbandingan antara beban roda masing-masing jenis pesawat udara yang beroperasi tersebut (W 2 ) dengan beban roda pesawat udara desain kritis (W 1 ). (ICAO, 1983) log ( W 2 R 1 ) = log ( R2 ) *... (8) W1 Kemudian, nilai FEB dapat dihitung dari persamaan: FEB log ( R2 ) * 1 10 =... (9) W 2 W 2 W Beban roda pesawat udara (nilai W 1 dan nilai W 2 ) dalam Pers (8) dan (9) harus sudah dikalikan terlebih dahulu dengan nilai FES. (c) Faktor Repetisi Beban (LRF) Konsep dasar tentang nilai LRF telah dijelaskan sebelumnya. Nilai LRF untuk berbagai konfigurasi sumbu roda pesawat udara desain kritis menurut ICAO (1983) diperlihatkan pada Tabel 4. Perhitungan jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis: Jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis kemudian dapat diperoleh dengan mengalikan data keberangkatan tahunan dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi dengan faktor ekivalen repetisi beban, sebagai berikut: R1 desain = {( R2 ) i * FESi * FEBi } * LRF i... (10) dimana: i = masing-masing jenis pesawat udara yang beroperasi dalam lalu lintas campuran (R 2 ) i = keberangkatan tahunan (pesawat/tahun) FES i = faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda FEB i = faktor ekivalen beban LRF = faktor repetisi beban dari pesawat udara desain kritis R 1 desain = jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis (pesawat/tahun) Dalam proses desain struktur perkerasan, nilai R 1 desain dipergunakan untuk menentukan tegangan lentur (σ L ) berdasarkan model retak lelah pada Pers (4) untuk pesawat udara desain kritis. Selanjutnya, nilai σ L, dengan menggunakan program komputer atau kurva desain, dapat memberikan tebal perkerasan desain yang sedang dicari.

Tabel 4: Faktor repetisi beban Dari uraian ini, jelaslah terlihat, bahwa proses desain struktur perkerasan dengan pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis pada akhirnya hanya melakukan analisis struktural akibat pesawat udara desain kritis saja. Bandingkan hal ini dengan pendekatan desain yang berdasarkan lalu lintas campuran yang telah diuraikan sebelumnya dimana analisis struktural dilakukan untuk setiap jenis pesawat udara yang beroperasi. 4. Analisis Hasil Desain Struktur Perkerasan Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa proses desain struktur perkerasan yang didasarkan pada dua pendekatan desain (butir 4.1 dan 4.2) dilakukan dengan menggunakan program Airfield (Kosasih, 2004). Dan verifikasi hasil desain struktur perkerasan secara manual (butir 4.3) dilakukan dengan menggunakan kurva desain. Kurva desain tersebut juga telah dibuat dengan menggunakan program Airfield. 4.1. Pendekatan desain berdasarkan lalu lintas pesawat udara campuran Dengan menggunakan data desain pada Tabel 2, proses desain yang telah dilakukan secara iteratif baik terhadap tebal desain perkerasan maupun terhadap jalur desain kritis menghasilkan tebal perkerasan desain sebesar 52.00 cm. Hasil desain yang lengkap disajikan pada Tabel 5a. Terlihat pada tabel, bahwa masa layan kritis ditentukan oleh pesawat udara Airbus A-330 sebesar 20.381 tahun. Dengan demikian, Airbus A-330 dapat dikatakan Tabel 5a: Hasil desain struktur perkerasan berdasarkan pendekatan lalu lintas campuran (tebal perkerasan desain, D = 52.00 cm)

sebagai pesawat udara desain kritis. Jika diperhatikan lebih teliti, maka pesawat Airbus A- 330 bukan merupakan jenis pesawat udara yang terberat (i.e. Boeing B747-300) atau yang volume pergerakannya yang terbesar (i.e. Boeing B737-200), tetapi ia memberikan tegangan lentur yang terbesar di dalam struktur perkerasan, yaitu σ L = 2.115 MPa. Analisis lebih lajut dengan menggunakan program Airfiled diperoleh jalur desain kritis pada jarak x = 1065 cm, dengan masa layan kritis sebesar 20.149 tahun. Jadi, dalam hal ini, pergeseran jalur desain kritis dari jalur lintasan sumbu roda rata-rata pesawat udara desain kritis tidak terlalu signifikan, yaitu hanya 5 cm saja. Demikian juga, perbedaan masa layan kritis tidak terlalu berarti, yaitu sebesar 0.232 tahun. Nilai N yang tercantum pada Tabel 5a dapat dihitung balik dari Pers (4) berdasarkan nilai σ L max yang diperoleh dari program Airfield, dan data MR 90, serta data FK dari Tabel 2. Nilai N ini kemudian dapat digunakan untuk menghitung balik tingkat kerusakan struktur perkerasan pada jalur desain kritis yang diakibatkan oleh setiap jenis pesawat udara yang beroperasi, seperti terlihat pada Tabel 5b. Sebagai contoh, tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh pesawat udara desain kritis Airbus A-330 dapat dihitung balik, sbb.: Tingkat Kerusakan = 272*0.110* 20.149 *100 = 96.455% 632 96.438% ( pada tabel 5b ) Tabel 5b: Hasil desain struktur perkerasan berdasarkan pendekatan lalu lintas campuran pada jalur desain kritis (lanjutan) Tingkat kerusakan struktur perkerasan pada jalur desain kritis yang diakibatkan oleh setiap jenis pesawat udara kemudian dapat juga digunakan untuk menghitung faktor ekivalen (FE) dan jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis, seperti diperlihatkan pada Tabel 5b. Hasil perhitungan keberangkatan tahunan ekivalen dari pesawat udara desain kritis (dalam hal ini Airbus A-330) yang besarnya 282 pesawat/tahun akan dianalisis lebih lanjut secara komparatif pada bagian berikut.

4.2. Pendekatan desain berdasarkan pesawat udara desain kritis Proses desain struktur perkerasan dengan pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis juga melakukan dua kali proses iterasi baik terhadap tebal perkerasan desain maupun terhadap pesawat udara desain kritis. Tabel 6a memperlihatkan hasil desain secara lengkap. Terlihat pada tabel, bahwa tebal perkerasan desain juga ditentukan oleh pesawat udara desain kritis Airbus A-330 adalah sebesar 58.95 cm. Kedua pendekatan desain ternyata memberikan perbedaan hasil desain tebal perkerasan yang cukup besar, yaitu sebesar ± 7 cm. Pendekatan desain yang didasarkan pada pesawat udara desain kritis menghasilkan tebal perkerasan desain yang lebih konservatif. Mengamati Tabel 6a dan 5b dengan lebih teliti segera terlihat, bahwa hasil perhitungan keberangkatan tahunan ekivalen yang diperoleh dari kedua pendekatan desain ternyata sangat berbeda. Keberangkatan tahunan ekivalen yang dihitung dengan pendekatan desain yang didasarkan pada pesawat udara desain kritis adalah 2718 pesawat/tahun, yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan yang dihasilkan dari pendekatan desain terdahulu, yaitu hanya sebesar 282 pesawat/tahun saja. Tabel 6a: Hasil desain perkerasan berdasarkan pendekatan pesawat udara desain kritis Rincian perhitungan keberangkatan tahunan ekivalen dari masing-masing jenis pesawat udara yang beroperasi terhadap pesawat udara desain kritis dengan pendekatan desain yang didasarkan pada pesawat udara desain kritis diperlihatkan pada Tabel 6b. Kecuali untuk pesawat udara desain kritis yang nilainya sama, keberangkatan tahunan ekivalen dari jenis pesawat udara lainnya terlihat jauh lebih besar dibandingkan dengan yang telah dihitung untuk pendekatan desain terdahulu (lihat Tabel 5b). Dengan mengacu pada Pers (10), dapat disimpulkan, bahwa perbedaan tebal perkerasan desain yang dihasilkan dari kedua pendekatan desain mungkin disebabkan karena pada pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis belum memperhitungkan posisi jalur lintasan sumbu roda rata-rata dari setiap jenis pesawat udara yang dianalisis.

Semua jenis pesawat udara dianggap melintasi jalur lintasan sumbu roda yang sama. Sehingga, secara teoritis, hasil desain struktur perkerasan yang diperoleh dengan pendekatan desain yang didasarkan pada pesawat udara desain kritis ini seharusnya cenderung akan lebih boros meskipun menjadi lebih aman. Tabel 6b: Hasil desain perkerasan berdasarkan pendekatan pesawat udara desain kritis (lanjutan) Gambar 3: Verifikasi hasil desain struktur perkerasan untuk jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis berdasarkan kedua pendekatan desain

4.3. Verifikasi hasil desain dengan menggunakan kurva desain Untuk verifikasi hasil desain struktur perkerasan seperti yang telah dipaparkan di atas, hasil perhitungan keberangkatan tahunan ekivalen dari pesawat udara desain kritis Airbus A-330 yang besarnya 282 pesawat/tahún dan 2718 pesawat/tahun, masing-masing untuk pendekatan desain yang berdasarkan lalu lintas campuran dan yang berdasarkan pesawat udara desain kritis, disubstitusikan ke dalam Pers (4) dengan nilai LRF masing-masing adalah 0.110 dan 0.272 untuk memberikan nilai σ L masing-masing sebesar 2.117 MPa dan 1.791 MPa. Kedua nilai σ L ini kemudian diplotkan pada kurva desain (lihat Gambar 3) dengan nilai k gab = 80 MN/m 3 dan nilai MTOW = 212.00 ton dan diperoleh tebal perkerasan desain yang kurang lebih sama dengan yang dihasilkan dari program Airfield, yaitu sekitar 52.0 cm dan 59.0 cm untuk masing-masing pendekatan desain tersebut. 5. Kesimpulan 1. Kedua pendekatan desain struktur perkerasan kaku landasan pesawat udara yang berdasarkan lalu lintas pesawat udara campuran dan yang berdasarkan pesawat udara desain kritis pada prinsipnya menggunakan kriteria desain yang sama, yaitu membatasi tegangan lentur di dalam struktur perkerasan. 2. Hasil desain struktur perkerasan yang diperoleh dari kedua pendekatan desain tersebut seharusnya berbeda, khususnya jika pesawat udara berbadan lebar juga terdapat dalam lalu lintas pesawat udara campuran yang beroperasi. Tebal perkerasan desain yang dihasilkan dengan pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis cenderung lebih konservatif. Untuk contoh desain yang telah disajikan, perbedaan tebal perkerasan desain yang dihasilkan adalah sekitar 7 cm. 3. Perbedaan hasil desain struktur perkerasan ini, secara teoritis, disebabkan oleh perbedaan asumsi yang digunakan. Pendekatan desain yang berdasarkan lalu lintas pesawat udara campuran mengasumsikan adanya pergeseran jalur lintasan sumbu roda rata-rata dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi sesuai dengan konfigurasi sumbu rodanya masing-masing. Sehingga, tegangan lentur maksimum di dalam struktur perkerasan yang diakibatkan oleh masing-masing jenis pesawat udara secara umum tidak selalu terjadi pada jalur desain kritis. Sedangkan, untuk pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis, asumsi yang digunakan adalah bahwa setiap jenis pesawat udara yang beroperasi dianggap melintasi jalur lintasan sumbu roda rata-rata yang sama. Daftar Pustaka 1. Fibryanto A (2005), Analisis Desain Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara Berdasarkan Metoda ICAO, Tesis S2, Departemen Teknik Sipil - FTSP, ITB, Bandung. 2. Huang YH (2004), Pavement Analysis and Design, Second Edition, Pearson Education Inc, New Jersey. 3. International Civil Aviation Organization (1983), Aerodrome Design Manual, Second Edition, Part 3-Pavements. 4. Kosasih D dan Fibryanto A (2005), Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield, Bandung. 5. Kosasih D (2004), Manual Program Airfield, Bandung. 6. NAASRA (1987), Pavement Design - A Guide to the Structural Design of Road Pavements, NSW. 7. Yoder EJ and Witczak MW (1975), Principles of Pavement Design, Second Edition, John Wiley & Sons Inc, New York.