BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Negara Republik Indonesia. sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam

dokumen-dokumen yang mirip
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Muchamad Ali Safa at

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR. PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEITrI'SUITAIT PERATURAN DI DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI DHARMASRAYA PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 4 Tahun : 2014

BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK DALAM KOTA BENGKULU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

APA ITU DAERAH OTONOM?

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa,

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Daerah memegang peranan yang sangat penting dalam

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

BAB II LANDASAN TEORI

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI BANTAENG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG NOMOR 8 TAHUN 2012 T E N T A N G PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN BANTAENG

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG NOMOR : 12 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

TINJAUAN YURIDIS TENTANG LEGALITAS EXECUTIVE REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH (PERDA) Oleh : Deni Daryatno* ABSTRAK

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah yang dilaksanakan dalam Negara kesatuan Republik

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 14 TAHUN 2014

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

GUBERNUR JAMBI. 3. Undang...

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG JABATAN, PEMERINTAH DAERAH, ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK, KEWENANGAN SERTA ASAS-ASAS PEMBENTUKAN PRODUK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) disebukan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam proses desentralisasi, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan ke pemerintah daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah. Di Negara Kesatuan seperti NKRI, daerah tidak bersifat Negara, maka daerah tidak memiliki kekuasaan negara seperti ditingkat pusat/nasional. Yang dimiliki daerah adalah wewenang sebagai turunan dari kekuasaan negara untuk mengurus urusan pemerintahan tertentu menurut asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah. 1 Oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan urusan pemerintah pusat. 1 Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Pustaka Setia,Bandung, 2015, hlm..21.

Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. Desentralisasi kewenangan pemerintahan yang diberikan kepada daerah dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pertumbuhan aspirasi dan kreatifitas, peningkatan peran serta masyarakat lokal dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengertian otonomi daerah dimaknai sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi. Daerah provinsi itu kemudian dibagi atas daerah Kabupaten dan Kota. Tiap-tiap Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Pemerintahan Daerah (baik provinsi,kabupaten atau kota) dijalankan oleh unsur-unsur Pemerintahan Daerah yaitu pemerintah daerah yang dipimpin oleh Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah yang memiliki wewenang eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang memiliki wewenang legislatif. Di Indonesia, peran aparatur pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan sangat penting. Tugas pembangunan merupakan salah satu aspek dari penyelenggaraan tugas pemerintah untuk mewujudkan tujuan Negara sebagaimana tercantum dalam alinea ke4 Pembukaan Undang

Undang Dasar Tahun 1945 yaitu.untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai sumber hukum tertulis tertinggi di Indonesia tidak mengatur secara detail segala aspek penyelenggaraan Pemerintahan, akan tetapi hanya mengatur pokok pokoknya saja. Sehingga, perlu diatur kembali kedalam berbagai peraturan perudang-undangan yang lebih rendah tingkatannya sekaligus sebagai aturan pelaksananya. Di Daerah Kabupaten/Kota, untuk menjalankan otonomi daerahnya harus membentuk sebuah produk hukum daerah untuk mencapai tujuan otonomi daerah. Produk hukum daerah adalah produk hukum berbentuk peraturan meliputi Peraturan Daerah (Perda) atau nama lainnya Peraturan Kepala Daerah (Perkada), Peraturan Bersama (PB) Kepala Daerah, Peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputi Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD. 2 Didalam penyelenggaraan pemerintahan didaerah, Kepala Daerah sebagai pemimpin tertinggi di daerah adalah administrasi negara yang harus turut serta secara aktif dalam semua sektor kehidupan. Sebab administrasi negara mengemban tugas negara dalam lapangan penyelenggaraan service public untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan Kepala Daerah adalah dalam urusan melaksanakan sejumlah urusan pemerintahan dari Pusat yang diserahkan kepada Daerah dan menjadi 2 Pasal 1 angka (16) PERMENDAGRI No.1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

urusan rumah tangga Daerah sepenuhnya baik dari segi perencanaan, pembiayaan maupun segi implementasinya. Kepala Daerah berdasarkan kewenangannya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU No 9 Tahun 2015) dapat mengajukan rancangan Peraturan Daerah (Perda) kepada DPRD dan menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD dan membuat serta menetapkan sendiri Peraturan Kepala Daerah (Perkada). 3 Selain itu, konsekuensi logis dari tugas yang diemban Kepala Daerah ini membawa Kepala Daerah kepada suatu kebutuhan akan adanya Power Discritionnaire agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri. Hal ini terutama diperlukan untuk penyelesaian persoalan-persoalan penting dan mendadak. Kepala Daerah melakukan suatu perbuatan penetapan (beschikking handeling) yang menghasilkan ketetapan (beschikking). Salah satu ketetapan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah adalah Keputusan Kepala Daerah. Dalam pembentukan produk hukum daerah harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU No 12 Tahun 2011) yang meliputi : 3 Pasal 65 ayat (2) UU No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

a) Asas kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.; b) Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.; c) Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan.; d) Asas dapat dilaksanakan, adalah setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-Undangan tersebut, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. ; e) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.; f) Asas kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap Peraturan Perundang- Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan

Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.; g) Asas keterbukaan, adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. ; Dalam hal ini terjadi masalah dalam hal kedudukan dan kewenangan yakni meliputi lingkup Pemerintahan Daerah Kabupaten Sumedang. Hal yang terjadi adalah dimana seorang wakil kepala daerah dalam hal ini adalah Wakil Bupati Sumedang menandatangani produk hukum daerah khususnya Peraturan Daerah, Peraturan Bupati Sumedang dan Keputusan Bupati Sumedang tanpa adanya delegasi dari Bupati. Padahal berdasarkan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat yang merupakan asas formil yang harus dipatuhi dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berwenang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (selanjutnya disebut Permendagri No.1

Tahun 2014), dijelaskan bahwa Penandatangan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan oleh kepala daerah., dan yang dijelaskan pula dalam Pasal 65 ayat (1) Permendagri No. 1 tahun 2014 dijelaskan bahwa Penandatangan Produk Hukum Daerah yang bersifat penetapan dalam bentuk keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh kepala daerah. 4 Artinya, berdasarkan Pasal 60 ayat (1) dan Pasal 65 ayat (1) Permendagri No.1 Tahun 2014 bahwa suatu produk hukum daerah itu harus ditandatangani oleh Kepala Daerah bukan oleh Wakil Kepala Daerah. Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU No.23 Tahun 2014) dijelaskan bahwa seorang kepala daerah baru dapat dinon-aktifkan sementara jika sudah masuk proses pengadilan berdasarkan register perkara di pengadilan dan sudah menjadi terdakwa. Namun, jika belum, maka dia masih dapat bertugas menjalankan roda pemerintahan meskipun di lapangan dilakukan oleh wakilnya. Tetapi kebijakan-kebijakan atau keputusan masih menjadi kewenangan Kepala Daerah, meskipun Kepala Daerah sudah ditahan. Namun di Pemerintahan Kabupaten Sumedang, Wakil Kepala Daerah atau Wakil Bupati Sumedang terhitung sejak tanggal 30 Maret sampai 19 Agustus 2015 menandatangani produk-produk hukum seperti : Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, dan Surat Keputusan Bupati tanpa adanya delegasi 4 Ibid., Pasal 65 ayat (1)

dari Bupati, disaat Bupati masih aktif meskipun secara fisik berada di tahanan karena tersangkut hukum masalah Kasus Perjalanan Dinas DPRD Kota Cimahi TA 2011 yang dikembangkan Tim Kejati Jawa Barat ke TA 2010, dengan melibatkan 45 Anggota DPRD dan 37 Karyawan Sekretariat DPRD Kota Cimahi, saat yang bersangkutan sebagai Ketua DPRD Kota Cimahi Periode 2009-2013. Wakil Bupati Sumedang terhitung tanggal 30 Maret sampai 19 Agustus 2015 mengambil alih tugas dan wewenang Bupati sebelum Bupati definitif diberhentikan sementara oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tertanggal 20 Agustus 2015. Padahal meski secara fisik Bupati Sumedang berada dalam tahanan, tetapi pada kurun waktu tersebut, statusnya masih sebagai Bupati aktif. Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kewenangan wakil kepala daerah atau Wakil Bupati Kabupaten Sumedang dengan mengambil judul : Kedudukan dan Kewenangan Wakil Kepala Daerah Dalam Menandatangani Produk Hukum Daerah Ditinjau dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah j.o Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, Peneliti merumuskan atau mengindikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Kedudukan dan Kewenangan Wakil Bupati Sumedang dalam Pemerintahan Daerah Kabupaten Sumedang ditinjau dari UU No 23 Tahun 2014? 2. Bagaimana Kewenangan Wakil Bupati Sumedang dalam menandatangani produk hukum daerah pasca Penahanan Bupati Sumedang? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui Kedudukan dan Kewenangan Wakil Bupati Sumedang dalam Pemerintahan Daerah Kabupaten Sumedang ditinjau dari UU No 23 Tahun 2014. 2. Untuk mengetahui Kewenangan Wakil Bupati Sumedang dalam menandatangani produk hukum daerah pasca Penahanan Bupati Sumedang. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil Penelitian ini mengembangkan khasanah Ilmu Hukum, khususnya Ilmu Hukum Pemerintah Daerah, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan Wakil Bupati Sumedang dalam menandatangani Produk hukum daerah. Selain itu, diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir serta sarana pengembangan dan

pendalaman ilmu pengetahuan bagi peneliti terutama dalam bidang Ilmu Hukum Tata Negara. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bagi Pemerintah Daerah (Pemda) khusunya Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang dalam mengeluarkan produk-produk hukum yang dikeluarkan, agar tidak menjadi masalah dikemudian hari. b. Dapat memberikan sumbangsih bagi kepentingan keilmuan yang berkelanjutan, terarah, dan terdepan baik di Fakultas Hukum Reguler Mandiri pada khususnya, dan lingkungan keilmuan Universitas Islam Bandung pada umumnya. E. Kerangka Pemikiran Pemerintahan berasal dari bahasa Latin yaitu gubernaculum yang berarti kemudi. Istilah lain yang digunakan sama dengan pengertian pemerintahan adalah administration atau administrasi Negara atau public administration. Secara definisi, pemerintahan didefinisikan sebagai kegiatan lembaga atau badan badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan Negara. Pemerintahan adalah fungsi yang dilakukan pemerintah. Dengan demikian, istilah pemerintahan menunjukkan aktifitas pemerintah yaitu proses penyelenggaraan kekuasaan negara 5. 5 C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Aksara Baru,Jakarta 1981, hlm.21.

Dalam menjalankan kekuasaan yang melekat pada lingkungan lingkungan jabatan, maka harus ada pemangku jabatan yaitu pejabat (ambtsdrager). Pemangku jabatan menjalankan pemerintahan, karena itu disebut pemerintah. Pemerintah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 5 ayat (4) UU No 9 Tahun 2015 diatur mengenai Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dilaksanakan berdasarkan : 1. Desentralisasi, adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi atau penyerahan wewenang secara vertikal pada daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjalankan urusan pemerintahan tertentu yang ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah; 2. Dekonsentrasi, adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada Gubernur dan Bupati/Walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.; 3. Tugas Pembantuan. penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk

melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. 6 Negara Republik Indonesia yang merupakan Negara kesatuan memilih sistem penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem desentralisasi. Penerapan sistem ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain luasnya wilayah Negara, dan banyaknya kepentingan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah sebagai penerima wewenang dari pemerintah pusat untuk menjalankan urusan pemerintahan tertentu yang ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah dipimpin oleh Kepala Daerah yang dibantu oleh satu orang Wakil Kepala Daerah. Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam hukum administrasi negara wewenang pemerintahan yang bersumber dari Peraturan Perundang-Undangan diperoleh melalui cara-cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam Peraturan Perundang-Undangan. Atribusi kewenangan dalam Peraturan Perundang-Undangan adalah pemberian kewenangan membentuk Peraturan Perundang-Undangan yang diberikan oleh UUD 1945 atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara atau 6 Pasal 5 ayat (4) UU No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap diperlukan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Sedangkan dalam konsep delegasi, menegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada badan pemerintahan yang lain. Dalam delegasi, tidak ada penciptaan wewenang dari pejabat yang satu kepada yang lainnya, atau dari badan administrasi yang satu pada yang lainnya. Penyerahan wewenang harus dilakukan dengan bentuk peraturan hukum tertentu. Pihak yang menyerahkan wewenang disebut delegans, sedangkan pihak yang menerima wewenang tersebut disebut delegataris. Setelah delegans menyerahkan wewenang kepada delegataris, maka tanggung jawab intern dan tanggung jawab ekstern pelaksanaan wewenang sepenuhnya berada pada delegataris tersebut. Adapun perolehan wewenang secara mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan, dengan maksud untuk membuat keputusan atas nama pejabat tata usaha negara yang memberi mandat. Jadi dalam hal pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (Pemberi mandat). Dalam menjalankan tugasnya kepala daerah memiliki wewenang membentuk produk hukum di daerahnya sendiri seperti mengajukan

rancangan Peraturan Daerah, Menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD, Menetapkan Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah 7. Dalam pembentukan produk hukum, terdapat tiga landasan/ dasar pokok agar hukum memiliki dasar berlakunya secara annerkenung (diterima secara spontan), yaitu: 1. Landasan Filosofis (Filosofische grondslag), adalah pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus merujuk pada filsafat atau pandangan hidup bangsa yang berisi nilai nilai moral atau etika. ; 2. Landasan Sosiologis (Sociolohische groundslag), adalah landasan ini memusatkan perhatian pada pemberlakuan hukum pasca pembentukan, diharapkan dengan terpenuhinya secara baik landasan sosiologis ini, hukum akan berlaku secara alamiah, spontan, dan diterima masyarakat (anerkennungstheiore) ; 3. Landasan Yuridis (Juridische grondslag), adalah hal terpenting dari landasan yuridis adalah kewenangan pembuat Peraturan Perundang-Undangan. Jadi harus disebutkan dasar kewenangan pejabat atau badan yang berwenang membuat Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu Produk Hukum Daerah juga harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik. Asas-asas yang dimaksud meliputi : 7 Pasal 65 ayat (2) UU No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

1. Asas kejelasan tujuan; 2. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; 3. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; 4. Asas dapat dilaksanakan; 5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6. Asas kejelasan rumusan; 7. Asas keterbukaan. 8 Disamping asas yang dipakai dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik, dalam pembentukan produk hukum daerah juga harus terkandung asas-asas yang harus terkandung dalam materi muatan setiap Peraturan Perundang-Undangan. Asas yang dimaksud adalah asas: 1. Asas pengayoman; 2. Asas kemanusiaan; 3. Asas kebangsaan; 4. Asas kekeluargaan; 5. Asas kenusantaraan; 6. Asas bhinneka tunggal ika; 7. Asas keadilan; 8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 9. Asas ketertiban dan kepastian hukum ; 10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 8 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan 2, Kanisius,Jakarta, 2013, hlm.231.

F. Metode Penelitian Penulisan hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisanya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta Peraturan Perundang-Undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat Deskripstif Analitis, yaitu menggambarkan dan menerangkan secara jelas mengenai permasalahan dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah kedudukan dan kewenangan Wakil Kepala Daerah dalam menandatangani produk hukum daerah ditinjau dari Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

3. Jenis dan Sumber Data a. Data Primer Data yang diperoleh langsung dari lapangan untuk mendapatkan data yang kongkret menganai materi yang dibutuhkan dan diperoleh melalui wawancara yang di lakukan dengan : i. Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri RI ; ii. Bagian Hukum Pemda Jawa Barat/ Kabupaten Sumedang; iii. Seorang Ahli Ilmu Hukum Tata Negara. b. Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang sudah diolah dan diperoleh melalui studi kepustakaan. data sekunder terdiri dari: i. Bahan Hukum Primer Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berhubungan dengan penulisan ini, yaitu setiap Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. ii. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, yang dapat membantu menganalisis bahan hukum primer, berupa buku-buku teks, dokumen, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum dan hasil investigasi dari lembaga terkait yang berhubungan dengan topik masalah yang dikaji dalam penelitian. iii. Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu makalah, pidato, dan artikel-artikel dari internet yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. 4. Metode Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Studi Dokumen Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang dilakukan melalui dokumen yang ada serta juga data yang

tertulis. Dalam hal ini dilakukan guna memperoleh literatur-literatur yang berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan wakil kepala daerah dalam menandatangani produk hukum daerah b. Wawancara Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data dengan melakukan komunikasi antara satu orang dengan orang lainnya untuk mendapatkan suatu informasi yang jelas dan akurat. Peneliti menanyakan langsung secara lisan kepada Kepala Biro Hukum Kementrian Dalam Negeri RI, Bagian Hukum Setda Provinsi Jawa Barat / Kabupaten Sumedang, dan Ahli Hukum Tata Negara yang berpedoman pada daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ini. 5. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data kajian yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan penulis, maka digunakan analasis normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini berpangkal dari peraturanperaturan yang ada sebagai norma hukum positif dan terkait dengan masalah, sedangkan kualitatif karena semua data disusun dan disajikan secara sistematis, kemudian dianalisis dalam bentuk menggambarkan dengan kata-kata, dan tidak memakai perhitungan ataupun rumusan matematika.