BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha terencana dan terarah untuk

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan dengan otonomi daerah yang mulai direalisasikan

I. PENDAHULUAN. pemungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pembangunan daerah juga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan Daerah memerlukan sumber pendanaan yang tidak sedikit

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan

ABSTRAK. Oleh : ROSNI. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, tiap-tiap daerah dituntut untuk mampu

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan pada bantuan pusat harus seminimal mungkin (Bastian:2001).

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I. Pendahuluan. Pemberlakuan undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah, undang - undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. pusat mengalami perubahan. Jika sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah dalam rangka menyelenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Dalam rangka mewujudkan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. tentunya perlu mendapatkan perhatian serius baik dari pihak pemerintah pada

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

EVALUASI SISTEM DAN PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. Bab I : Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

2016 PENGARUH EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN RETRIBUSI PELAYANAN PASAR TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK:

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini berencana menganalisis kontribusi sumber-sumber

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

: Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Badung Bali. : Tyasani Taras NIM :

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN. utuh, sehingga wilayah negara Indonesia terbagi ke dalam daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Diberlakukannya undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah

EVALUASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. dampak hampir pada semua aspek atau sektor kehidupan. Dampak tersebut

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang memadai dan

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi merupakan babak baru dalam pemerintahan Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Negara Indonesia telah sejak lama mencanangkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan otonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, pemerintah daerah merupakan organisasi sektor publik yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat dalam mengatur pemerintahannya sendiri. Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kedalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada intinya, Undang-Undang tersebut memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, serta melakukan pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan sendiri. Pemerintahan daerah dapat terselenggara karena adanya dukungan berbagai faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya roda organisasi pemerintahan dalam mencapai tujuan, salah satunya adalah faktor keuangan. Kaho (2001:610) menyatakan bahwa, Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah.

2 Otonomi daerah membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah untuk mampu menggali dan mengembangkan potensi asli daerahnya secara optimal sebagai sumber keuangan daerah. Masalah kemandirian keuangan daerah merupakan masalah utama bagi banyak daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Pemerintah Kota Cimahi merupakan salah satu pemerintah daerah yang menunjukkan adanya permasalahan dalam keuangan daerahnya. Fenomena tersebut dapat terlihat rendahnya kontribusi pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah Kota Cimahi selama tahun 2004-2008. Tabel 1.1 berikut ini menyajikan data yang terkait dengan fenomena tersebut. Tahun TABEL 1.1 KONTRIBUSI SUMBER-SUMBER PENDAPATAN DAERAH KOTA CIMAHI TAHUN 2004-2008 PAD (%) Dana Perimbangan (%) Lain-Lain Pendapatan yang Sah (%) Total Pendapatan Daerah (%) 2004 15,27 79,98 4,75 100 2005 16,41 76,96 6,63 100 2006 13,34 81,87 4,79 100 2007 12,52 74,93 12,55 100 2008 12,97 76,78 10,25 100 Sumber: Dipenda Kota Cimahi (data diolah) Berdasarkan data pada tabel 1.1, dapat diketahui bahwa selama kurun waktu lima tahun dari 2004-2008, tingkat kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah Kota Cimahi relatif rendah. Pada tahun

3 2004 saja kontribusinya hanya sebesar (15,27%), tahun 2005 (16,41%), tahun 2006 (13,34%), tahun 2007 (12,52%), dan tahun 2008 (12,97%). Rendahnya kontribusi pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah yang belum memenuhi standar minimal 20.01% sebagaimana yang telah ditetapkan Departemen Dalam Negeri, menunjukan bahwa Pemerintah Kota Cimahi belum mampu secara mandiri membiayai kegiatan pemerintahannya melalui pengelolaan potensi pendapatan asli daerah. Mudrajad Kuncoro (1995:17) menyatakan bahwa, Proporsi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah (TPD) sebagian besar provinsi di Indonesia hanya 15,4%, artinya lebih banyak subsidi dari pemerintah pusat dibandingkan dengan PAD dalam pembiayaan pembangunan daerah, terkecuali DKI Jakarta yang mencatat proporsi PAD terhadap TPD nya lebih dari 60%. Abdul Halim (2004:155) kembali mengemukakan fakta empirik bahwa, Secara rata-rata nasional, PAD hanya memberi kontribusi 12-15% dari total penerimaan daerah, sedangkan ± 70% masih menggantungkan sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat. Apabila ditinjau dari kontribusi dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah dalam tabel 1.1 di atas, semakin jelas terlihat bahwa besarnya bantuan/sumbangan dari pemerintah pusat didalam struktur penerimaan daerah Kota Cimahi selama tahun 2004-2008 lebih dominan (74,93%-81,87%) dibandingkan dengan kontribusi PAD. Sedangkan kontribusi lain-lain pendapatan

4 yang sah diketahui memiliki tingkat kontribusi terkecil yaitu (4,75%-12,55%). Gambar 1.1 berikut ini akan memperlihatkan secara lebih jelas fenomena tersebut. GAMBAR 1.1 KONTRIBUSI SUMBER-SUMBER PENDAPATAN DAERAH KOTA CIMAHI TAHUN 2004-2008 % KONTRIBUSI 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 2004 2005 2006 2007 2008 Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Lain-Lain Pendapatan yang Sah Sumber: Dipenda Kota Cimahi (data diolah) Dari gambar 1.1 diatas, dapat terlihat bahwa sumber pendapatan daerah Kota Cimahi selama tahun 2004-2008 masih didominasi oleh dana perimbangan (bantuan dan sumbangan pemerintah pusat), sedangkan porsi PAD dan lain-lain pendapatan yang sah masih relatif kecil. Memen Kustiawan (67:206) menyatakan bahwa, Kemandirian fiskal daerah tidak akan menjadi kenyataan kalau pusat menguasai sebagian besar sumber dana, maka yang terjadi justru peningkatan ketergantungan anggaran daerah kepada pusat. Sebagai daerah otonom, ketergantungan pemerintah Kota Cimahi terhadap bantuan pemerintah pusat seharusnya dapat seminimal mungkin sehingga PAD menjadi bagian dari sumber keuangan yang terbesar. Abdul Halim (2007:198) mengemukakan bahwa, Porsi pendapatan asli daerah dijadikan sebagai indikator

5 tingkat kemandirian dari suatu daerah dalam menjalankan kewenangan otonominya. Abdul Halim (2008,232) menyatakan bahwa kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Sedangkan tingkat kemandirian keuangan daerah itu sendiri ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Untuk mewujudkan kemandirian keuangan daerah, maka sumber-sumber pendapatan asli daerah menurut Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan yang sah, harus digali secara optimal tanpa melanggar ketentuan yang berlaku. Abdul Halim (2004:148) mengemukakan bahwa, Maksimalisasi PAD akan berimplikasi pada peningkatan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah, karena penyumbang terbesar PAD adalah dua komponen tersebut. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa pajak daerah merupakan salah satu komponen yang memegang peranan penting dalam pendapatan asli daerah. Tabel 1.2 berikut ini, menyajikan data kontribusi pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah Kota Cimahi selama tahun 2004-2008.

6 TABEL 1.2 KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA CIMAHI TAHUN 2004-2008 Tahun Pajak Daerah Pendapatan Asli Daerah Kontribusi Pajak Daerah/PAD 2004 Rp 14.370.598.809 Rp 41.152.294.199 34,92 % 2005 Rp 13.514.946.967 Rp 48.242.903.314 28,01 % 2006 Rp 13.262.016.896 Rp 50.325.670.467 26,35 % 2007 Rp 14.172.997.801 Rp 55.813.859.454 25,39 % 2008 Rp 15.919.330.572 Rp 65.108.137.872 24,45 % Sumber : Dipenda Kota Cimahi (data diolah) Berdasarkan data diatas, diketahui bahwa kontribusi pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah selama lima tahun (2004-2008) cenderung mengalami penurunan, pada tahun 2004 (34.92%), tahun 2005 (28.01%), tahun 2006 (26.35%), tahun 2007 (25.39%), dan tahun 2008 (24.45%). Untuk lebih jelasnya dapat terlihat dari gambar 1.2 berikut ini. GAMBAR 1.2 KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA CIMAHI TAHUN 2004-2008 40 35 30 % Kontribusi 25 20 15 10 5 0 2004 2005 2006 2007 2008 Pajak Daerah terhadap PAD Sumber: Dipenda Kota Cimahi (data diolah)

7 Menurunnya kontribusi pajak daerah secara berturut-turut dari tahun 2004-2008 tentunya akan mempengaruhi jumlah pendapatan asli daerah Kota Cimahi, hal tersebut dikarenakan pajak daerah merupakan sumber andalan bagi pendapatan asli daerah. Menurut Mahi (dalam Hessel Nogi, 2007:82), dalam upaya untuk kemandirian daerah, tampaknya PAD masih belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi karena faktor-faktor berikut ini. 1. Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah 2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah 3. Kemampuan administrasi pemungutan didaerah yang masih rendah 4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah. Harun Hamrolie (1990:47) mengemukakan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi pendapatan asli daerah dari sektor pajak daerah, antara lain: 1. Potensi wajib pajak 2. Potensi besarnya pajak yang ditetapkan 3. Efektivitas pemungutan pajak 4. Tarif pajak, 5. Dasar pajak (tax base). Kewenangan dalam pengenaan pajak daerah diharapkan dapat lebih mendorong pemerintah daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya. Merujuk pada pendapat yang dikemukakan diatas, maka salah satu upaya optimalisasi PAD dapat dilakukan dengan cara meningkatkan efektivitas pemungutan pajak daerah sesuai dengan potensi riil daerahnya. Berdasarkan Laporan Realisasi Pendapatan Daerah Kota Cimahi tahun 2004-2008 yang diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Cimahi, diketahui bahwa terdapat tujuh jenis pajak daerah yang dikelola oleh Dipenda Kota Cimahi, antara lain:

8 1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Reklame 4. Pajak Hiburan dan Tontonan 5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian C 7. Pajak Parkir. Kendati cukup beragam jenis pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah Kota Cimahi, namun hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber pemungutan pajak daerah. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Ema Purnama Kasih (27 April 2009), salah satu pegawai Dipenda Kota Cimahi menyatakan bahwa: Sumber penerimaan pajak daerah terbesar diperoleh dari jenis pajak penerangan jalan, namun pajak tersebut tidak dikelola sepenuhnya oleh pihak Dipenda Kota Cimahi melainkan dikelola oleh pihak PLN, yang kemudian dipungut oleh Dipenda sesuai ketentuan yang berlaku. Berdasarkan Laporan Realisasi Penerimaan Daerah Kota Cimahi tahun 2004-2008 diketahui bahwa, pajak reklame merupakan sumber penerimaan pajak daerah yang memberikan kontribusi besar kedua setelah pajak penerangan jalan. Kota Cimahi sebenarnya mempunyai potensi yang cukup besar dari sektor pajak reklame, potensi tersebut terlihat dari banyaknya reklame yang terpasang, baik dalam bentuk poster, spanduk, baligo, hingga billboard raksasa dan lain sebagainya. Apalagi sejak resmi berubah dari Kota Administratif menjadi Pemerintah Daerah Kota, Kota Cimahi berkembang menjadi kota yang lebih maju. Kemajuan pembangunan Kota Cimahi dapat terlihat dari semakin banyaknya pusat perbelanjaan dan restoran yang didirikan di Cimahi. Hal tersebut menunjukan bahwa sebenarnya Kota Cimahi memiliki sumber-sumber potensi pendapatan asli daerah yang besar dari sektor pajak daerah, khususnya dari pajak

9 reklame. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kota Cimahi seharusnya dapat lebih meningkatkan efektivitas pemungutan pajak reklame sesuai dengan potensi daerah yang dimilikinya sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih optimal terhadap pajak daerah dan pada akhirnya menyokong bagi pendapatan asli daerah (indikator kemandirian keuangan daerah). Merujuk pada pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam menggali dan mengelola sumber daya atau potensi daerah yang dimilikinya secara efektif dan efisien sebagai sumber utama keuangan daerah yang berguna untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sedangkan tingkat kemandirian keuangan daerah merupakan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana ekstern (pemerintah pusat). Untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah Kota Cimahi, pemerintah daerah cenderung menggali potensi PAD dengan lebih mengefektifkan pemungutan pajak daerahnya, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan efektivitas pemungutan pajak reklame. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dilakukan penelitian tentang pengaruh efektivitas pemungutan pajak reklame terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah melalui penulisan skripsi yang berjudul, Pengaruh Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Cimahi Tahun 2004-2008).

10 1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari fenomena yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah diatas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah efektivitas pemungutan pajak reklame Pemerintah Kota Cimahi pada tahun 2004-2008. 2. Bagaimanakah tingkat kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kota Cimahi pada tahun 2004-2008. 3. Seberapa besar pengaruh efektivitas pemungutan pajak reklame terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kota Cimahi pada tahun 2004-2008. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh dari efektivitas pemungutan pajak reklame terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada Pemerintah Kota Cimahi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui efektivitas pemungutan pajak reklame Pemerintah Kota Cimahi pada tahun 2004-2008. 2. Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kota Cimahi pada tahun 2004-2008.

11 3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh efektivitas pemungutan pajak reklame terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kota Cimahi pada tahun 2004-2008. 1.4 Kegunaan Penelitian Dengan adanya penelitian tentang pengaruh efektivitas pemungutan pajak reklame terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 1. Kegunaan Akademis Bagi para peneliti, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau dasar pemikiran untuk melakukan penelitian selanjutnya dalam bidang Akuntansi Sektor Publik, terutama penelitian yang terkait dengan efektivitas pemungutan pajak reklame dalam rangka meningkatkan kemandirian keuangan daerah. 2. Kegunaan Empiris Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan langkahlangkah strategis bagi aparatur daerah Pemerintah Kota Cimahi, khususnya pihak Dinas Pendapatan Daerah untuk melakukan upaya-upaya konkrit di lapangan terkait dengan upaya mengefektifkan pemungutan pajak reklame sebagai salah satu sumber utama pajak daerah yang akan memberikan kontribusi terhadap PAD sehingga kemandirian keuangan daerah Kota Cimahi dan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan.