ANALISA MECHANICAL DAN METALLURGICAL PENGELASAN BAJA KARBON A36 DENGAN METODE SMAW

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISA MECHANICAL DAN METALLURGICAL PENGELASAN BAJA KARBON A36 DENGAN METODE SMAW

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seperti diketahui bahwa, di dalam baja karbon terdapat ferrite, pearlite, dan

Jl. Menoreh Tengah X/22, Sampangan, Semarang *

BAB IV DATA DAN ANALISA

STUDI PENGARUH VARIASI KUAT ARUS PENGELASAN PELAT AISI 444 MENGGUNAKAN ELEKTRODA AWS E316L

LAS BUSUR LISTRIK ELEKTRODE TERBUNGKUS (SHIELDED METAL ARC WELDING = SMAW)

Gambar 2.1. Proses pengelasan Plug weld (Martin, 2007)

Ir Naryono 1, Farid Rakhman 2

Analisis Perbandingan Laju Korosi Pelat ASTM A36 antara Pengelasan di Udara Terbuka dan Pengelasan Basah Bawah Air dengan Variasi Tebal Pelat

I. PENDAHULUAN. selain jenisnya bervariasi, kuat, dan dapat diolah atau dibentuk menjadi berbagai

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. memiliki andil dalam pengembangan berbagai sarana dan prasarana kebutuhan

PERLAKUAN PEMANASAN AWAL ELEKTRODA TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN FISIK PADA DAERAH HAZ HASIL PENGELASAN BAJA KARBON ST 41

Analisa Perbandingan Kualitas Hasil Pengelasan Dan Struktur Mikro Material Aluminium 5083 Dan 6082 Menggunakan Metode Pengelasan GMAW Dan GTAW

I. PENDAHULUAN. sampah. Karena suhu yang diperoleh dengan pembakaran tadi sangat rendah maka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengembangan teknologi di bidang konstruksi yang semakin maju tidak

BAB II DASAR TEORI Tinjauan Pustaka

INFO TEKNIK Volume 14 No. 2 Desember 2013 ( ) PENGARUH ARUS TERHADAP KEKERASAN HASIL PENGELASAN BAJA ST 60 MENGGUNAKAN PENGELASAN SMAW

PENGARUH PENGELASAN TUNGSTEN INERT GAS TERHADAP KEKUATAN TARIK, KEKERASAN DAN MIKRO STRUKTUR PADA PIPA HEAT EXCHANGER

Pengaruh Kondisi Elektroda Terhadap Sifat Mekanik Hasil Pengelasan Baja Karbon Rendah

PENGARUH MAGNET EXTERNAL TERHADAP SIFAT MEKANIK PADA PENGELASAN BAJA SS 41 DAN BAJA AH 36

PENGARUH VARIASI KUAT ARUS PENGELASAN TUNGSTEN INERT GAS

PENGARUH TEBAL PELAT BAJA KARBON RENDAH LAMA PENEKANAN DAN TEGANGAN LISTRIK PADA PENGELASAN TITIK TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS

BAB I PENDAHULUAN. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam teknik penyambungan logam misalnya

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyambungan batang-batang terutama pada bahan besi tuang

Pengaruh Variasi Arus dan Jenis Elektrode pada Pengelasan Smaw Terhadap Sifat Mekanik Baja Karbon

STUDI PENGARUH BESARNYA ARUS LISTRIK TERHADAP DISTRIBUSI KEKERASAN, STRUKTUR MIKRO, DAN KEKUATAN IMPAK PADA BAJA KARBON RENDAH JENIS SB 46

Oleh Wahyu Ade Saputra ( ) Dosen Pembimbing 1. Ir. Achmad Zubaydi, M.Eng., Ph.D 2. Ir. Soeweify, M.Eng

KARAKTERISTIK HASIL PENGELASAN PIPA DENGAN BEBERAPA VARIASI ARUS LAS BUSUR LISTRIK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SKRIPSI / TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. keling. Ruang lingkup penggunaan teknik pengelasan dalam konstruksi. transportasi, rel, pipa saluran dan lain sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. dimana logam menjadi satu akibat panas las, dengan atau tanpa. pengaruh tekanan, dan dengan atau tanpa logam pengisi.

Pengaruh Jenis Elektroda Pada Pengelasan Dengan SMAW Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Pada Baja Profil IWF

BAB II PENGELASAN SECARA UMUM. Ditinjau dari aspek metalurgi proses pengelasan dapat dikelompokkan

Prosiding SNATIF Ke -4 Tahun 2017 ISBN:

PENGARUH FILLER DAN ARUS LISTRIK TERHADAP SIFAT FISIK-MEKANIK SAMBUNGAN LAS GMAW LOGAM TAK SEJENIS ANTARA BAJA KARBON DAN J4

STUDI KARAKTERISTIK PENGELASAN SMAW PADA BAJA KARBON RENDAH ST 42 DENGAN ELEKTRODA E 7018

BAB I PENDAHULUAN. adalah sebagai media atau alat pemotongan (Yustinus Edward, 2005). Kelebihan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Variasi Arus terhadap Struktur Mikro, Kekerasan dan Kekuatan Sambungan pada Proses Pengelasan Alumunium dengan Metode MIG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI VARIASI PENGELASAN ULANG TERHADAP CACAT LAS DAN KEKERASAN MATERIAL ALUMINIUM 5083

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Jurnal Dinamis Vol.II,No.14, Januari 2014 ISSN

PENGARUH HASIL PENGELASAN GTAW DAN SMAW PADA PELAT BAJA SA 516 DENGAN KAMPUH V TUNGGAL TERHADAP KEKUATAN TARIK, KEKERAAN DAN STRUKTUR MIKRO

PENGARUH HASIL PENGELASAN GTAW DAN SMAW PADA PELAT BAJA SA 516 DENGAN KAMPUH V TUNGGAL

EFFECT OF POST HEAT TEMPERATURE TO HARDNESS AND MACROSTRUCTURE IN WELDED STELL ST 37

Pengaruh Variasi Temperatur Anneling Terhadap Kekerasan Sambungan Baja ST 37

MAKALAH PELATIHAN PROSES LAS BUSUR NYALA LISTRIK (SMAW)

BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh arus pengelasan

PENGARUH POSISI PENGELASAN TERHADAP KEKUATAN TAKIK DAN KEKERASAN PADA SAMBUNGAN LAS PIPA

BAB III TEKNOLOGI PENGELASAN PIPA UNTUK PROSES SMAW. SMAW ( Shielded Metal Arc Welding ) salah satu jenis proses las busur

Pengaruh variasi kampuh las dan arus listrik terhadap kekuatan tarik dan struktur mikro sambungan las TIG pada aluminium 5083

ANALISA KUAT LENTUR DAN PENGELASAN PADA PEMEGANG KURSI MOBIL

PENGARUH BESAR ARUS LISTRIK DAN PANJANG BUSUR API TERHADAP HASIL PENGELASAN.

TUGAS AKHIR. PENGARUH JENIS ELEKTRODA PADA HASIL PENGELASAN PELAT BAJA St 32 DENGAN KAMPUH V TUNGGAL TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKUATAN TARIKNYA

16 Media SainS, Volume 4 Nomor 1, April 2012 ISSN

Kata Kunci: Pengelasan Berbeda, GMAW, Variasi Arus, Struktur Mikro

PENGARUH FILLER DAN ARUS LISTRIK TERHADAP SIFAT FISIK- MEKANIK SAMBUNGAN LAS GMAW LOGAM TAK SEJENIS ANTARA BAJA KARBON DAN J4

Analisa Kekuatan Material Carbon Steel ST41 Pengaruh Preheat dan PWHT Dengan Uji Tarik Dan Micro Etsa

ANALISIS PENGARU ARUS PENGELASAN DENGAN METODE SMAW DENGAN ELEKTRODA E7018 TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KETANGGUHAN PADA BAJA KARBON RENDAH ABSTRAK

RANCANG BANGUN SPESIMEN UNTUK KEBUTUHAN ULTRASONIC TEST BERUPA SAMBUNGAN LAS BENTUK T JOINT PIPA BAJA. *

BAB I PENDAHULUAN. Kekuatan tarik adalah sifat mekanik sebagai beban maksimum yang terusmenerus

Persentasi Tugas Akhir

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI PENGARUH TERHADAP KEKUATAN TARIK PADA LAS SMAW (SHIELDED METAL ARC WELDING) DENGAN METODE EKSPERIMEN

ANALISA PENGARUH LUASAN SCRATCH PERMUKAAN TERHADAP LAJU KOROSI PADA PELAT BAJA A36 DENGAN VARIASI SISTEM PENGELASAN

PENGARUH VARIASI AMPERE PENGELASAN PLAT BAJA ST 36 TERHADAP BEBAN TEKAN BENGKOK DAN KERUSAKAN PERMUKAAN

Analisa Sifat Mekanik Hasil Pengelasan GMAW Baja SS400 Studi Kasus di PT INKA Madiun

PENGARUH HEAT TREATMENT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DASAR TEKNOLOGI PENGELASAN

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai peranan yang sangat penting dalam rekayasa serta reparasi

PENGARUH SUHU NORMALIZING TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PENGELASAN BAJA PLAT KAPAL. Sutrisna*)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Data

PENGARUH POLA GERAKAN ELEKTRODE DAN POSISI PENGELASAN TERHADAP KEKERASAN HASIL LAS PADA BAJA ST60

BAB IV PERUBAHAN BENTUK DALAM PENGELASAN. tambahan untuk cairan logam las diberikan oleh cairan flux atau slag yang terbentuk.

BAB II LANDASAN TEORI

Kata Kunci : Pengelasan SMAW, perlakuan panas, Kekuatan tarik, kekerasan, stuktur mikro. Jurnal Tugas Akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh pengelasan..., RR. Reni Indraswari, FT UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dimas Hardjo Subowo NRP

JOB SHEET DAN LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PRAKTIKUM METALURGI LAS

PENGARUH VARIASI SUHU POST WELD HEAT TREATMENT ANNEALING

PENGARUH VARIASI ARUS PENGELASAN TERHADAP SIFAT MEKANIK PADA PROSES PENGELASAN SMAW

Gambar 4.1. Hasil pengamatan struktur mikro.

PENGARUH VARIASI SUHU PREHEAT TERHADAP SIFAT MEKANIK MATERIAL SA 516 GRADE 70 YANG DISAMBUNG DENGAN METODE PENGELASAN SMAW

PENGARUH KELEMBABAN FLUKS ELEKTRODA E 6013 LAS SMAW PADA KEKUATAN SAMBUNGAN TUMPUL BAJA PADUAN BERKEKUATAN TARIK TINGGI AISI 4340

I. PENDAHULUAN. Dalam dunia konstruksi, pengelasan sering digunakan untuk perbaikan dan

STUDI PENGARUH NORMALISING TERHADAP KARAKTERISTIK DAN SIFAT MEKANIK SAMBUNGAN LAS SMAW PADA PLAT JIS SM 41B MENGGUNAKAN ELEKTRODA E 7016 DAN E 6013

PENGARUH VARIASI ARUS TERHADAP STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN DAN KEKUATAN SAMBUNGAN PADA PROSES PENGELASAN ALUMINIUM DENGAN METODE MIG

ANALISA PENGARUH VARIASI ARUS PENGELASAN TERHADAP KETANGGUHAN SAMBUNGAN BAJA A36 PADA PENGELASAN SMAW

Penelitian Kekuatan Sambungan Las pada Plat untuk Dek Kapal Berbahan Plat Baja terhadap Sifat Fisis dan Mekanis dengan Metode Pengelasan MIG

PENGARUH MEDIA PENDINGIN TERHADAP HASIL PENGELASAN TIG PADA BAJA KARBON RENDAH

PENGARUH ANNEALING TERHADAP LAS MIG DENGAN GAS PELINDUNG CO2 (100%) TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO DAN MAKRO PADA BAJA STAM 390 G

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) G-100

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016

ANALISA PENGARUH VARIASI ARUS TERHADAP HASIL LAS GMAW

Alasan pengujian. Jenis Pengujian merusak (destructive test) pada las. Pengujian merusak (DT) pada las 08/01/2012

Transkripsi:

ANALISA MECHANICAL DAN METALLURGICAL PENGELASAN BAJA KARBON A36 DENGAN METODE SMAW Fajar Riyadi*, Dony Setyawan, S.T., M.Eng.** * Mahasiswa Jurusan Teknik Perkapalan ** Staf Pengajar Jurusan Teknik Perkapalan Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Sukolilo Surabaya (60111) Telp. : 085228282827 Email : joken99n@gmail.com ABSTRAK Efek dilusi adalah efek yang terbentuk pada saat proses pengelasan. Persentase dilusi lasan ini akan dipengaruhi oleh bentuk kampuh dari logam induk. Komposisi logam dilusi yang terbentuk akan berbeda dengan logam induk atau pun logam pengisinya. Hal ini jelas akan mempengaruhi kualitas dari material hasil pengelasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh luasan diluted metal tersebut terhadap kualitas hasil pengelasan. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah baja karbon rendah A36. Metode pengelasan yang digunakan adalah SMAW dengan elektroda E6013. Terdapat tiga model spesimen uji, model I (pengelasan dengan bentuk kampuh single vee), model II (pengelasan dengan bentuk kampuh double vee), sedangkan model III (pengelasan dengan bentuk kampuh square). Pengujian yang dilakukan adalah radiography test, metallography test, vickers microhardness dan compact tension tpecimen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kampuh mempengaruhi luasan diluted metal yang terbentuk. Persentase luasan diluted metal yang paling besar terbentuk pada pengelasan dengan bentuk kampuh square, yaitu sebesar 28,30%. Persentase perlit pada daerah HAZ dan weld metal meningkat pada tiap-tiap variasi bentuk kampuh. Persentase kandungan perlit paling banyak terbentuk pada pengelasan dengan bentuk kampuh single vee, yaitu sebesar 29.64% dan 57.75%. Harga fracture toughness berbanding terbalik dengan persentase kandungan pearlite dan nilai kekerasan. Jika harga fracture toughness naik sebesar 0,58% maka persentase kandungan perlit akan turun sebesar 55.83% dan harga kekerasannya akan turun sebesar 6.68%. Semakin tinggi harga fracture toughness suatu material maka semakin kecil persentase kandungan perlit dan nilai kekerasannya. Kata kunci : analisa mechanical, analisa metallurgical, dilusi lasan, baja karbon A36, SMAW. 1. PENDAHULUAN Lingkup penggunaan teknik penyambungan material (pengelasan) dalam konstruksi sangat luas, meliputi bidang perkapalan, pembuatan jembatan, rangka baja, bejana tekan, pipa saluran, kendaraan rel dan sebagainya. Selain itu, proses las dapat juga dipergunakan untuk reparasi misalnya untuk mengisi lubang-lubang pada coran, mempertebal bagian-bagian yang sudah aus, replating dan macam-macam reparasi lainnya. Prosedur pengelasan kelihatannya sangat sederhana, tetapi sebenarnya di dalam proses melakukannya banyak masalah-masalah yang harus diatasi. Sifat mekanik suatu bahan adalah sifat terpenting karena berkaitan dengan kemampuan bahan untuk menerima beban tanpa menimbulkan kerusakan atau kegagalan pada bahan/struktur tertentu. Panas yang terjadi akibat proses pengelasan akan merubah struktur kristal material sehingga akan menyebabkan turunnya sifat fisis dan mekanik dari material yang dilas. Proses 1 pengelasan yang dilakukan pada akhirnya akan menentukan hasil akhir dari konstruksi tersebut, meskipun ada parameter lain yang mempengaruhi. Persyaratan kualitas dalam proses penyambungan material adalah harus sesuai dengan standar meliputi kekuatan, keuletan, ketangguhan, kekerasan dan ketahanan korosi. Diluted metal adalah salah satu komposisi dari weld metal yang terbentuk pada saat proses pengelasan. Luasan diluted metal ini akan dipengaruhi oleh welding speed (kecepatan pengelasan) dan bentuk kampuh dari logam induk. Komposisi diluted metal yang terbentuk akan berbeda dengan logam induk atau pun logam pengisinya. Hal ini jelas akan mempengaruhi kualitas dari material hasil pengelasan. Dalam penelitian tugas akhir ini, penulis mencoba untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh diluted metal yang terbentuk terhadap mechanical characteristic dan metallurgical characteristic hasil pengelasan baja karbon A36.

Metode pengelasan yang dilakukan adalah SMAW, dengan menggunakan elektroda E6013. Material hasil penyambungan akan diuji dengan serangkaian pengujian, sehingga melalui eksperimen ini kita bisa mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses pengelasan tersebut. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Baja Baja pada dasarnya adalah paduan besi-karbon. Selain terdiri dari besi dan karbon baja biasanya juga mengandung sejumlah unsur lain. Sebagian berasal dari pengotoran pada bijih besi, yang biasanya kadarnya akan ditekan serendah mungkin, sebagian lagi dari unsur yang digunakan pada proses pembuatan besi/baja. Disamping itu seringkali juga sejumlah unsur paduan sengaja ditambahkan ke dalam baja untuk memperoleh suatu sifat tertentu. Mengingat hal ini maka dapat dibayangkan bahwa jenis baja akan sangat banyak. Menurut komposisi kimianya baja dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu baja karbon dan baja paduan. Baja karbon bukan hanya mengandung besi dan carbón, tetapi juga mengandung sejumlah unsur lain dalam batas-batas tertentu yang tidak banyak berpengaruh terhadap sifatnya. 2.2 Baja Karbon Sifat baja karbon sangat tergantung pada kadar karbon. Oleh karena itu, baja jenis ini dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan kadar karbon yang terkandung di dalamnya. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel/Mild steel), kadar karbon sampai 0.30%. Strukturnya terdiri dari ferrit dan sedikit perlit, sehingga baja ini kekuatannya relatif rendah, lunak tetapi keuletannya tinggi. Baja ini tidak dapat dikeraskan, kecuali dengan pengerasan permukaan. Baja Karbon Menengah (Medium Carbon Steel), kadar karbon 0.30-0.70% masih terdiri dari ferrit dan perlit juga, dengan perlit cukup banyak, sehingga baja ini lebih kuat dan keras, serta dapat dikeraskan tetapi getas. Baja Karbon Tinggi (High carbon steel), kadar karbon lebih dari 0.70% lebih kuat dan lebih keras lagi, tetapi keuletan dan ketangguhannya rendah. Pada baja karbon apabila semakin besar kandungan karbonnya maka material akan semakin kuat tetapi ketangguhannya menurun. Kemampuan baja untuk dikerjakan dalam keadaan dingin dan kemampuan baja untuk dilas secara cepat akan menurun seiring bertambahnya kandungan karbon didalam baja. Bertambahnya kandungan karbon 2 juga secara cepat dapat menurunkan kemampuan baja untuk dipotong dengan menggunakan nyala api. Dengan kata lain, kemampuan baja untuk menjadi keras, sebagai contoh, kecenderungan baja untuk menjadi keras melalui proses perlakuan panas, akan menjadi lebih baik seiring dengan bertambahnya kadar karbon. 2.3 Baja Karbon Rendah Baja jenis ini sangat reaktif dan mudah sekali untuk berubah kembali ke bentuk besi oksida (berkarat) jika terkontaminasi air, oksigen dan ion. Baja karbon rendah mempunyai sifat mampu las yang dipengaruhi oleh kekuatan takik dan kepekaan terhadap retak las. Kekuatan takik pada baja karbon rendah dapat di pertinggi dengan menurunkan kadar karbon C dan menaikkan kadar mangan Mn. Suhu transisi dari kekuatan takik menjadi turun dengan naiknya harga perbandingan Mn/C. 2.4 Mikrostruktur Baja Karbon Rendah Sebagian dari baja karbon rendah merupakan baja yang murni (Fe=99.5%) dengan sejumlah kecil unsur-unsur logam seperti mangan, silicon dan aluminium. Sesungguhnya banyak dari baja karbon rendah terutama untuk very low dan ultra low karbon steel adalah baja yang benar-benar murni (99.99%). Di baja ini mikrostrukturnya adalah 100% ferrit. Ferrit merupakan unsur yang utama pada baja karbon rendah. Ferrit merupakan kandungan dari baja murni dan mengandung kurang dari 0.005%C pada temperatur suhu ruang, tetapi seringkali juga terdapat kandungan lain yaitu mangan dan silikon. Ferrit juga dapat muncul pada baja-baja yang mengalami pengerjaan dingin. Pada baja karbon rendah (baja murni) strukturnya dapat dilihat dalam butir ferrit yang membentuk seperti suatu jaringan rangka. Karena mengandung kandungan karbon yang rendah, ferrit yang dibentuk sangat halus atau lembut dan sangat mudah untuk berubah bentuk (deformed), ini artinya dibutukan perlakuan khusus pada baja yang memiliki kandungan baja karbon rendah untuk menghindari efek dari pengerjaan perlakuan dingin Gambar 1. Mikrostruktur dari ferrit.

Pearlite pada dasarnya berfasa ganda yaitu campuran antara cementite dan ferrit. Dimana hal ini merupakan perubahan bentuk transformasi eutectoid pendinginan bawah lambat (mendekati equilibrium). Untuk baja karbon yang mengalami pendinginan yang cepat maka pearlite yang berwarna hitam akan tampak pada batasan butir ferrit. Martensit. Ketika baja mengandung baja karbon rendah dengan logam campuran dan dengan cepat didinginkan dari suhu austenit, suatu unsur martensit terbentuk. Martensit tidak selalu ditemukan pada baja yang berkarbon rendah. Etsa khusus diperlukan untuk dapat membedakan martensit dari partikel cementite, pearlite dan austenit. Pada gambar ini struktur mikro dari martensit dinyatakan dengan warna gelap (hitam) sedangkan yang tidak berwarna adalah austenit. Gambar 2 Mikrostruktur dari Martensite Austenit. Tahap austenit adalah struktur kristal pada temperatur tinggi yang pada umumnya berada pada suhu diatas kira-kira 720 o C (1330 o F), akan tetapi tidak tertutup kemungkinan austenit dapat terbentuk pada suhu ruang apabila memiliki cukup karbon. 2.5 Pengelasan Berdasarkan definisi dari American Welding Society (AWS) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari definisi tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Pada waktu ini telah digunakan lebih dari 40 jenis pengelasan termasuk pengelasan yang dilaksanakan dengan hanya menekan dua logam yang disambung sehingga terjadi ikatan antara atom-atom atau molekul-molekul dari logam yang disambungkan. 2.5.1 Metallurgi Pengelasan Dalam lasan terdiri dari tiga bagian yaitu logam lasan, daerah pengaruh panas (Heat Affected Zone) dan logam induk yang tak terpengaruhi. Logam las adalah bagian dari logam yang pada waktu pengelasan mencair dan kemudian membeku. Daerah pengaruh panas atau HAZ adalah logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat. Logam induk tidak terpengaruhi adalah bagian logam dasar dimana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dan sifat. Disamping ketiga pembagian utama tersebut masih ada satu daerah khusus yang membatasi antara logam las dan daerah pengaruh panas, yang disebut batas las. Dalam pengelasan cair bermacam-macam cacat terbentuk dalam logam las, misalnya pemisahan atau segregasi, lubang halus dan retak. Banyaknya dan macamnya cacat yang terjadi tergantung dari pada kecepatan pembekuan. Pada proses pembekuan logam las terjadi tiga proses reaksi metalurgi, proses tersebut adalah : 1. Pemisahan Di dalam logam las terdapat tiga jenis pemisahan, yaitu pemisahan makro, pemisahan gelombang dan pemisahan mikro. Pemisahan makro adalah perubahan komponen secara perlahan-lahan yang terjadi mulai dari sekitar garis lebur menuju ke garis sumbu las, sedangkan pemisahan gelombang adalah perubahan komponen karena pembekuan yang terputus yang terjadi pada proses terbentuknya gelombang manik las. Pemisahan mikro adalah perubahan komponen yang terjadi dalam satu pilar atau dalam bagian dari satu pilar. 2. Vaporasi Lubang-lubang halus terjadi karena adanya gas yang tidak larut dalam logam padat. Lubanglubang tersebut disebabkan karena tiga macam cara pembetukan gas sebagai berikut : yang pertama adalah pelepasan gas karena perbedaan batas kelarutan antara logam cair dan logam padat pada suhu pembekuan, yang kedua adalah terbentuknya gas karena adanya reaksi kimia didalam logam las dan yang ketiga penyusupan gas ke dalam atmosfir busur. Gas yang terbentuk karena perbedaan batas kelarutan dalam baja adalah gas hidrogen dan gas nitrogen, sedangkan yang terjadi karena reaksi adalah terbentuknya gas CO dalam logam cair dan yang menyusup adalah gas-gas pelindung atau udara yang terkurung dalam akar kampuh las. 3. Oksidasi Oksidasi menghasilkan gas-gas atau oksidaoksida yang mengakibatkan mutu las menjadi rendah, misal karena mudah timbul korosi, menyebabkan adanya rongga-rongga dalam logam 3

las kegetasan bahan bertambah atau berkurangnya kekuatan logam las. Sebenarnya hanya sejumlah kecil oksigen yang larut dalam baja, tetapi karena tekanan disosiasi dari kebanyakan oksida sangat rendah, maka pada umumnya akan terbentuk oksida-oksida yang stabil. Karena pengukuran yang tepat untuk mengetahui jumlah oksigen yang larut dalam baja sangat sukar, maka untuk melepaskan oksigen dari larutan biasanya dilakukan usaha-usaha seperti melepaskan oksida. Proses menghilangkan oksida ini disebut proses deoksidasi. Ketangguhan logam las turun dengan naiknya kadar oksigen, oleh karena itu harus selalu diusahakan agar logam las mempunyai kadar oksigen yang serendah-rendahnya. Usaha penurunan oksigen ini dapat dilakukan dengan menambah unsur-unsur yang bersifat deoksidasi seperti Si, Mn, Al dan Ti atau menaikkan kebasaan dari terak lasnya. Struktur, kekerasan dan berlangsungnya transformasi dari daerah HAZ dapat dibaca dengan segera pada diagram transformasi pendinginan berlanjut atau diagram CCT. 2.5.2 Parameter Pengelasan 1. Tegangan busur las Tingginya tegangan busur tergantung pada panjang busur yang dikehendaki dari jenis dari elektroda yang digunakan. Pada elektroda yang sejenis tingginya tegangan busur yang diperlukan berbanding lurus dengan panjang busur. Panjang busur yang dianggap baik kira-kira sama dengan garis tengah elektroda. Tegangan yang diperlukan untuk mengelas dengan elektroda bergaris tengah 3 sampai 6 mm, kira-kira antara 20 sampai 30 volt untuk posisi datar. Sedangkan untuk posisi tegak atau atas kepala biasanya dikurangi lagi dengan 2 sampai 5 volt. 2. Besar ampere las Besarnya ampere las yang diperlukan tergantung dari bahan dan ukuran dari lasan, geometri sambungan, posisi pengelasan macam elektroda dan diameter inti elektroda. Dalam pengelasan logam paduan, untuk menghindari terbakarnya unsur-unsur paduan sebaiknya menggunakan ampere las yang kecil. 3. Kecepatan pengelasan Kecepatan pengelasan tergantung pada jenis elektroda, diameter inti elektroda, bahan yang dilas, geometri sambungan, ketelitian sambungan dari lain-lainnya. Dalam hal hubungannya dengan tegangan dari ampere las, dapat dikatakan bahwa kecepatan las hampir tidak ada hubungannya dengan tegangan las tetapi berbanding lurus dengan ampere las. Karena itu pengelasan yang cepat memerlukan ampere las yang tinggi. Bila tegangan dari ampere dibuat tetap, sedang kecepatan pengelasan dinaikkan maka jumlah deposit per satuan panjang las jadi menurun. Tetapi di samping itu sampai pada suatu kecepatan tertentu, kenaikan kecepatan akan memperbesar penembusan. Bila kecepatan pengelasan dinaikkan terus maka masukan panas per satuan panjang juga akan menjadi kecil, sehingga pendinginan akan berjalan terlalu cepat yang mungkin dapat memperkeras daerah HAZ. 4. Polaritas listrik Seperti telah diterangkan sebelumnya bahwa pengelasan busur listrik dengan elektroda terbungkus dapat menggunakan polaritas lurus dan polaritas balik. Pemilihan polaritas ini tergantung pada bahan pembungkus elektroda, konduksi termal dari bahan induk, kapasitas panas dari sambungan dan lain sebagainya. Sifat busur pada umumnya lebih stabil pada arus searah dari pada arus bolak balik, terutama pada pengelasan dengan arus yang rendah. Tetapi untuk pengelasan sambungan pendek lebih baik menggunakan arus bolak balik karena pada arus searah sering terjadi ledakan busur pada akhir dari pengelasan. 5. Besarnya penembusan Untuk mendapatkan kekuatan sambungan yang tinggi diperlukan penembusan atau penetrasi yang cukup. Sedangkan besarnya penembusan tergantung kepada sifat-sifat fluks, polaritas, besarnya arus, kecepatan las dari tegangan yang digunakan. Pada dasarnya makin besar arus las makin besar pula daya tembusnya. Sedangkan tegangan memberikan pengaruh yang sebaliknya yaitu makin besar tegangan makin panjang busur yang terjadi dan makin tidak terpusat, sehingga panasnya melebar dan menghasilkan penetrasi yang lebar dan dangkal kecuali beberapa elektroda khusus untuk penembusan dalam yang memang memerlukan tegangan tinggi. 6. Kondisi standar pengelasan Beberapa kondisi standar dalam pengelasan dengan syarat-syarat tertentu seperti tebal pelat, bentuk sambungan, jenis elektroda, diameter inti elektroda dan lain sebagainya, telah ada. Sudah tentu bahwa kondisi standar ini harus dilaksanakan secara seksama dari sesuai dengan bentuk dan ketelitian alur, keadaan tempat pengelasan dan lainlainnya 2.5.3 Heat Input Heat input adalah nilai dari energi yang ditransfer per unit panjang dari suatu pengelasan. 4

Heat input merupakan parameter penting karena seperti halnya pemanasan awal dan temperatur interpass, heat input juga mempengaruhi laju pendinginan yang akan berpengaruh pada mechanical properties dan struktur metalurgi dari HAZ. Rumus yang digunakan untuk menentukan besarnya heat input yaitu : Heat Input (Kj/mm) = Arus x Tegangan x 60 Travel Speed (TS) x 1000 Apabila heat input dari suatu pengelasan terlalu tinggi maka daerah HAZ akan menjadi lebar sehingga mudah terjadi cacat seperti undercut. Akan tetapi apabila heat input terlalu kecil maka juga akan menimbulkan cacat las seperti inclusion. Efek dari heat input terhadap laju pendinginan hampir sama dengan temperatur pemanasan awal. Apabila heat input atau temperatur pemanasan awal dinaikkan maka laju pendinginan akan turun yang biasanya digunakan untuk base metal yang tebal. B Heat input akan mempengaruhi material properties pada pengelasan. Pada pengelasan multiple-pass, bagian dari pengelasan pas sebelumnya akan dihaluskan oleh pas selanjutnya, sehingga ketangguhan material akan meningkat. Hal ini disebabkan karena panas dari suatu pass akan mengeraskan weld metal yang sebelumnya. Shielded Metal Arc Welding 2.6 Shielded Metal Arc Welding Las busur listrik elektrode terbungkus ialah salah satu jenis proses las busur listrik elektrode terumpan, yang menggunakan busur listrik sebagai sumber panas. Panas yang timbul pada busur listrik yang terjadi antara elektroda dengan benda kerja, mencairkan ujung elektrode (kawat) las dan benda kerja setempat, kemudian membentuk paduan, membeku menjadi lasan (weld metal). Bungkus (coating elektrode yang berfungsi sebagai fluks akan terbakar pada waktu proses berlangsung, dan gas yang terjadi akan melindungi proses terhadap pangaruh udara luar. Cairan pembungkus akan terapung dan membeku pada permukaan las yang disebut slag, yang kemudian dapat dibersihkan dengan mudah. Gambar 3 Skema peralatan pengelasan SMAW 5 2.7 Diluted Metal Dilution merupakan aspek yang sering dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam proses pemilihan filler metal. Ketika melakukan pengelasan antara base metal dengan filler metal yang berbeda komposisi kimia, kedua komposisi tersebut akan bercampur dan mengalami efek dilusi (dilution). Logam campuran antara logam induk dan logam pengisi inilah yang dinamakan diluted metal. Dilution hasil lasan didefinisikan sebagai perbadingan antara bagian logam induk yang mencair dengan seluruh bagian logam yang mencair. Dilution juga didefinisikan sebagai perubahan komposisi kimia logam yang didepositkan (logam las). Perubahan ini disebabkan oleh campuran antara logam induk (base metal) dan logam pengisi (filler metal) dalam manik las. Karena adanya proses percampuran tersebut, maka efek dilusi yang terjadi akan menyebabkan manik las (weld metal) yang terbentuk mempunyai komposisi yang berbeda dengan base metal maupun filler metalnya. Hal ini akan menyebabkan berubahnya kuat tarik dan keuletan dari material hasil pengelasan. 3. METODELOGI PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian Material yang akan dilakukan pengujian adalah material baja karbon rendah grade A type A36 dengan ukuran 300 x 150 x 8 mm sebanyak 6 buah. Baja karbon type ini mempunyai kandungan C = 0.16; Si = 0.21; Mn = 0.7; P = 0.023; S = 0.022. 3.2 Proses Pengelasan Dalam penelitian ini dilakukan proses pengelasan material dengan metode Shielded Metal Arc Welding (SMAW). Jenis sambungan yang digunakan adalah sambungan tumpul. Sedangkan elektroda yang digunakan adalah elektroda E6013. Pengelasan dilakukan pada material yang berbeda bentuk kampuh, dalam hal ini bentuk kampuh yang digunakan adalah square, double vee dan single vee. 3.3 Proses Pengujian Pengujian yang dilakukan meliputi uji radiografi, uji metalografi, uji kekerasan (Vickers), uji tarik dan uji fracture toughness dengan menggunakan compact tension specimen. Untuk uji radiografi, jumlah spesimen adalah 3 test coupon. Pada pengujian metalografi, pengujian kekerasan, uji tarik dan uji fracture toughness diambil 1 spesimen untuk tiap-tiap proses pengelasan sehingga untuk masing-masing pengujian

(metalografi, kekerasan, uji tarik dan fracture toughness) ada 3 spesimen uji. 3.3.1 Uji Radiography Uji radiografi adalah pengujian yang tak merusak. Pengujian ini dilakukan tanpa merusak bagian konstruksi yang diujikan. Pengujian ini untuk mengetahui cacat di dalam permukaan las. Prosedur pengujian radiografi yang dilakukan mengacu pada standart ASME V Non Destructive Examination. Pelaksanaan pengujian radiografi meliputi tahap penyinaran dan proses film. ujung penekan mempunyai bentuk dasar persegi dan pada ujungnya mempunyai sudut 136º pada sisi yang saling berhadapan. Indentor ditekan dengan gaya sebesar 100 Kgf, beban ini ditekankan pada periode selama sepuluh hingga 15 detik. Gambar 4 Susunan dalam pengujian radiografi 3.3.2 Uji Metallography (Foto Mikro) Metalografi merupakan pengamatan struktur logam baik secara makro maupun mikro dimana intinya adalah pengamatan struktur dan pengenalan yang meliputi tipe, ukuran, distribusi dan kuantitas. Tipe mewakili nama kelas pada logam tertentu misalnya ferrit, perlit, eutectoid dan sebagainya. Ukuran mewakili dimensi dari fase dibandingkan dengan dimensi yang lain. Misalnya ukuran butir. Distribusi mewakali daerah penyebaran masingmasing fase diantara luasan yang menjadi pengamatan dalam sample tersebut, sedangkan kuantitas mewakili jumlah masing-masing fase Penghitungan persentase struktur mikro dilakukan dengan bantauan software autocad dengan cara menginsert gambar struktur mikro ke dalam autocad dengan skala 1:1. Penghitungan besar butir mengacu pada ASTM E 562 dengan menggunakan teknik point counter. Dimana dibuat sebuah persegi yang berisi 100 titik dengan luas persegi diambil 2-5% dari luas seluruh hasil foto. Kemudian diambil sampel sebanyak 9 titik perhitungan dan hasilnya dirata-rata. 3.3.3 Uji Kekerasan (Vickers) Kekerasan didefinisikan sebagai ketahanan sebuah benda (benda kerja) terhadap penetrasi/daya tembus dari bahan lain yang lebih keras (penetrator). Nilai kekerasan dapat diketahui dengan beberapa metode diantaranya rockwell test, brinnel test dan vickers test. Metode pengujian Vickers menggunakan indentor berbentuk piramida intan. Piramida pada 6 Gambar 5 Proses uji hardness 3.3.4 Uji Fracture Toughness Proses yang dilakukan sebelum memulai penelitian fracture toughness dengan Compact Tension Specimen (CTS) adalah mempersiapkan specimen yang akan diuji. Dimensi spesimen CTS tergantung dari tebal pelat, semakin besar tebal pelat maka semakin besar pula spesimen CTS. Penentuan dimensi spesimen mengacu sesuai dengan standart ASTM E399 adalah sebagai berikut : Gambar 6 Standar CTS 3.3.5 Uji Makro Etsa Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas hasil lasan melalui potongan melintang dari lasan. Setelah didapatkan potongan melintang yang sudah dietsa maka pengamatan dapat dilakukan secara manual/visual. Beberapa cacat las yang dapat diketahui dari pengujian ini adalah adalah porosity, incomplete penetration (IP), incomplete fusion, crack dan undercut. Gambar 7 Penampang melintang hasil lasan

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Proses Pengelasan Parameter yang dipakai dalam proses pengelasan mengacu pada WPS. Sedangkan semua nilai parameter yang dipakai harus dicatat dan dicantumkan dalam WPQR. Tabel 1 WPQR pengelasan single vee. Pass No. Elektrode Size Welding Current Travel Speed (mm) Ampere Volt (mm/min) 1 2,6 80 30 50 2 3,2 80 30 55 3 3,2 115 30 65 4 3,2 115 30 60 B.Weld 3,2 115 30 70 Tabel 2 WPQR pengelasan double vee. Pass No. Elektrode Size Welding Current Travel Speed (mm) Ampere Volt (mm/min) 1 2,6 70 30 55 2 3,2 115 30 70 3 3,2 115 30 75 4 3,2 115 30 85 B.Weld 3,2 115 30 80 Tabel 3 WPQR pengelasan square. Pass No. Elektrode Size Welding Current Travel Speed (mm) Ampere Volt (mm/min) 1 2,6 60 30 50 2 2,6 115 30 75 3 3,2 115 30 85 4 3,2 105 30 75 B.Weld 3,2 105 30 85 4.2 Uji Radiografi Hasil dari pengujian ini merupakan acceptable criteria hasil pengelasan. Berikut adalah hasil tes radiografi. Tabel 4 Tabel hasil radiografi Interpretation Evaluation t Area Var. Defect Size Accepted Rejected Remarks SMAW I 8 A-B - - x - ACC V 8 A B - - x - ACC X 8 A-B - - x - ACC 4.3 Uji Makro Etsa Dari pengujian ini dapat diketahui tentang weld profile sehingga dapat diketahui dimensi leg length, size of weld, dan throat of weld (baik throat effective maupun throat actual) serta lebar HAZ (Heat Affected Zone) dari data yang ada dapat dilakukan analisis mengenai persyaratan dimensional. Tabel 5 Tabel hasil pengamatan uji makro etsa Visual Test Weld Bead Dimensions Var. Type Size (mm) W (mm) T (mm) R1 (mm) R2 (mm) HAZ (mm²) I - - 16.48 8 1.72 1.67 58.38 V - - 16.06 8 2.09 1.45 50.27 X - - 15.53 8 1.52 1.57 52.08 4.4 Uji Metallography Dari masing-masing proses pengelasan diambil 1 buah spesimen. Sebelum dilakukan pengujian foto mikro, melakukan proses makroetsa pada masing-masing spesimen. Daerah yang diamati pada proses foto mikro adalah WM (Weld Metal) dan HAZ (Heat Affected Zone) pada tiaptiap spesimen. Berikut hasil foto mikro daerah HAZ dan WM dengan perbesaran 500x : Daerah HAZ Gambar 8 Single vee groove. Gambar 9 Double vee groove. Gambar 10 Square groove. Daerah Weld Metal Gambar 11 Single vee groove. 7

P max (lbf) P 5% (lbf) P max / P 5% K Q (Ksi (Inch) 0,5 ) 5305.28 4930.65 1.076 190.521 5350.24 4909.03 1.090 189.685 5350.24 4902.46 1.091 189.432 Gambar 12 Double vee groove. Gambar 13 Square groove. 4.5 Uji Hardness Dari pengujian ini akan didapatkan data berupa nilai kekerasan pada masing-masing posisi. Dimana jumlah pengujian untuk masing-masing posisi adalah sebanyak 3 titik. Pengujian kekerasan dilakukan pada posisi atas, tengah dan bawah untuk masing-masing bagian base metal, weld metal dan HAZ. Sehingga jumlah total pengujian kekerasan untuk tiap spesimen adalah 27 titik. Tabel 6 Nilai rata-rata kekerasan Bentuk Kampuh Las Posisi I X V Base Metal 177.90 180.29 189.53 HAZ 224.42 228.44 233.32 Weld Metal 238.45 243.96 255.53 4.6 Uji Fracture Toughness Pengujian fracture toughness dilakukan dengan menggunakan compact tension spesimen sesuai ASTM E399-90 Standard Test Method for Plane Strain Fracture Toughness of Metallic Materials, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan harga fracture toughness. Tabel 7 Hasil pengujian compact tension dan nilai fracture toughness ITEM B (Inch) W (Inch) a (Inch) a / W f (a/w) I 0.3150 1.260 0.6299 0.5 1.260 X 0.3150 1.260 0.6299 0.5 1.260 V 0.3150 1.260 0.6299 0.5 1.260 5. ANALISA HASIL PENELITIAN 5.1 Heat Input Tabel 8 Besar masukan panas tiap layer Var. I X V Layer A (A) E (V) V (mm/min) HI (Joule/mm) 1 80 30 50 2592.0 2 80 30 55 2356.4 3 115 30 65 2866.2 4 115 30 60 3105.0 B.Weld 115 30 70 2661.4 1 70 30 55 2061.8 2 115 30 70 2661.4 3 115 30 75 2484.0 4 115 30 85 2191.8 5 115 30 80 2328.8 1 60 30 50 1944.0 2 115 30 75 2484.0 3 115 30 85 2191.8 4 105 30 75 2268.0 B.Weld 105 30 85 2001.2 Dari tabel 8 dapat diketahui bahwa heat input dipengaruhi oleh kecepatan pengelasan (Travel Speed). Kecepatan pengelasan square groove lebih lambat dibandingkan dengan pengelasan double vee groove dan vee groove. Hal ini dikarenakan bentuk kampuh square groove yang tidak mempunyai sudut sehingga memerlukan waktu lebih lama dalam proses pengelasannya agar tidak menimbukan cacat seperti incomplete penetration atau incomplete fusion. Kecepatan pengelasan yang rendah mengakibatkan masukan panas yang diterima oleh material pada pengelasan square groove lebih besar dari pada pengelasan dengan double vee groove dan vee groove. Semakin besar masukan panas makin besar pula perubahan bentuk atau distorsi yang terjadi dan juga banyaknya penurunan sifat-sifat yang baik. Dari analisis data diperoleh bahwa terjadi penurunan total heat input. Untuk pengelasan bentuk kampuh square groove adalah sebesar 13580.9 Joule/mm, sedangkan untuk pengelasan bentuk kampuh double vee groove adalah sebesar 11727.8 Joule/mm dan utnuk pengelasan bentuk kampuh vee groove adalah sebesar 10888.9 Joule/mm. 5.2 Uji Radiografi Hasil dari pengujian radiografi menunjukkan bahwa tidak ada cacat yang terjadi pada sambungan 8

las hasil pengelasan baja karbon rendah A36 dengan metode SMAW. Oleh karena tidak terdapat cacat pada hasil pengelasan ini maka hasil pengelasan ketiga variasi bentuk kampuh las dapat diterima dan bisa diproses menjadi spesimen pengujian berikutnya. 5.3 Makro Etsa Secara umum hasil pengujian makro etsa sudah memenuhi persyaratan yang berlaku, yaitu tidak terdapat cacat pengelasan yang berarti dan standard maksimal tinggi manik las 3 mm untuk lebar W diantara 8 sampai 25 mm (AWS D1.1). Namun dari ketiga variasi bentuk kampuh tersebut dapat dibandingkan kualitas hasil pengelasannya dari lebar HAZ yang dihasilkan. Dari hasil perhitungan yang disajikan pada tabel 4.6 diatas menunjukkan adanya perbedaan luasan HAZ, berturut-turut untuk variasi square groove, double vee groove dan single vee groove adalah sebesar 58.38 mm 2, 52.08 mm 2 dan 50.27 mm 2. Hal ini disebabkan oleh masukan panas ratarata yang dikenakan untuk urutan variasi yang sama juga berbeda. Besarnya luasan HAZ dipengaruhi oleh masukan panas yang dikenakan pada material. Semakin besar masukan panas, maka semakin besar pula luasan HAZ yang terbentuk. Hal ini dapat menurunkan sifat mekanik dari material. Penurunan sifat mekanik ini akibat dari laju pendinginan pada daerah HAZ yang relatif lebih cepat sehingga menyebabkan berubahnya struktur kristal HAZ menjadi lebih besar. Semakin besar struktur kristal maka material juga akan semakin getas karena hydrogen dapat masuk di celah-celah struktur kristal mengkibatkan mudah terjadi retak. 5.4 Perhitungan Diluted Metal Perhitungan persentase diluted metal dilakukan dengan cara menghitung luasan daerah yang merupakan campuran antara base metal dan logam pengisi serta luasan bagian weld metal dari hasil foto makro dengan menggunakan bantuan software autocad. Hasil dari perhitungan disajikan dalam tabel dan grafik berikut ini: Tabel 9 Tabel hasil perhitungan persentase dilusi lasan Var si s S s + S % dilution I V X 23.126 17.5834 9.8763 18.508 16.7545 18.9185 40.709 103.126 143.836 28.303 28.384 108.874 137.258 20.680 35.673 99.492 135.165 26.392 Persentase Perbandingan Persentase Luasan Diluted Metal 35 30 25 20 15 10 5 0 I X V Percentase 28.30268959 26.39212875 20.67950817 Gambar 14 Grafik perbandingan persentase luasan diluted metal Dari perhitungan luasan diluted metal dapat diindikasikan bahwa variasi bentuk kampuh akan mempengaruhi persentase luasan diluted metal. Jika ditinjau secara visual, dapat kita simpulkan bahwa bentuk kampuh akan menentukan bentuk dan luasan penampang dari weld metal (logam las) yang terbentuk. Selain itu, bentuk kampuh juga akan menentukan luasan penampang campuran antara base metal (logam induk) dan filler metal (logam pengisi). Besarnya persentase luasan diluted metal juga ditentukan oleh kecepatan rata-rata pengelasan (Travel Speed) dan arus yang digunakan dalam proses pengelasan. Karena tingkat kecepatan ratarata pengelasan yang rendah serta arus yang besar akan meningkatkan masukan panas sehingga menyebabkan semakin banyaknya base metal yang mencair dan bercampur dengan filler metal. Hal ini akan menyebabkan luasan campuran antara base metal dan filler metal yang terbentuk juga berbedabeda. Selain itu, semakin lama busur las berada pada suatu titik maka akan semakin lebar pula weld metal yang terbentuk pada titik tersebut. Dapat disimpulkan bahwa variasi bentuk kampuh, kecepatan rata-rata pengelasan dan besarnya arus yang digunakan akan menentukan persentase luasan diluted metal yang terbentuk. Hal ini terlihat pada hasil perhitungan, dimana besarnya persentase luasan diluted metal untuk square, double vee dan single vee groove secara berturutturut adalah 28,30%, 26,39% dan 20,68%. 5.5 Uji Metallografi Pada gambar 8, gambar 9 dan gambar 10 untuk daerah HAZ. Dilihat dari ukuran butirannya, daerah ini memiliki ukuran butir yang lebih besar dibandingkan ukuran butir pada base metal. Daerah ini juga mempunyai kandungan perlite yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kandungan perlite pada daerah base metal. Pada 9

pengelasan dengan bentuk kampuh single vee memiliki kandungan ferit lebih sedikit yaitu ferit sebesar 70,36% dan perlit sebesar 29,64% dibandingkan pada pengelasan dengan bentuk kampuh double vee mempunyai kandungan ferit sebesar 73,00% dan kandungan perlit sebesar 27,00% dan pada pengelasan dengan bentuk kampuh square mempunyai kandungan ferit sebesar 75,97% dan kandungan perlit sebesar 24,03%. Bentuk dan ukuran butir serta kandungan ferrite pada daerah HAZ ini mempunyai nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan bentuk dan ukuran butir pada daerah base metal. Hal ini dikarenakan daerah HAZ mengalami siklus termal pengelasan. Semakin besar masukan panas yang dikenakan pada material akan menyebabkan luasan HAZ menjadi lebih besar dan merubah struktur mikro dari material menjadi butir-butir yang kasar. Oleh karena panas yang diterima oleh daerah HAZ diserap oleh daerah base metal, menyebabkan daerah ini mengalami proses pendinginan cepat. Karena proses pendinginan cepat ini, maka material akan mengalami reaksi eutektoid dimana austenit tidak ada yang bertransformasi allotropik menjadi ferrit terlebih dahulu tetapi langsung berubah menjadi perlit. Meningkatnya perlit pada weld metal disebabkan karena weld metal mengalami proses pendinginan yang lebih cepat karena panas yang didapat pada weld metal diserap dengan cepat oleh daerah HAZ. Karena seperti diketahui bahwa saat logam besi mencair pada suhu tinggi maka akan terbentuk fase austenit, fase austenit ini akan berubah menjadi ferit-perlit-bainit-martensit. Perubahan berurutan tergantung cepat lambatnya waktu pendinginan. Semakin singkat waktu pendinginan, maka material akan mengalami reaksi eutektoid dimana austenit tidak ada yang bertransformasi allotropik menjadi ferrit terlebih dahulu tetapi langsung berubah menjadi perlit. Pada fase ini material akan cenderung bersifat kuat tetapi getas. Dari gambar juga dapat diketahui bahwa ukuran butir perlit pada weld metal lebih kecil dibandingkan dengan ukuran butir pada base metal. Hal ini bertentangan dengan teori yang ada, karena berdasarkan teori semakin tinggi heat input akan menyebabkan ukuran butir semakin besar. Meskipun demikian hal ini wajar karena filler metal yang digunakan untuk pengelasan memang berbeda dengan base metal. Perbandingan Kandungan Ferit dan Perlit pada Weld Metal Besar Persentase 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Perbandingan Kandungan Ferit dan Perlit pada HAZ I X V ferit 75.97 73.00 70.36 perlit 24.03 27.00 29.64 Gambar 15 Grafik perbandingan kandungan ferit dan perlit pada HAZ Pada gambar 11, gambar 12 dan gambar 13 daerah weld metal dapat dilihat bahwa struktur mikronya terdiri dari sebagian besar perlit (berwarna gelap) dan sebagian ferrite (berwarna cerah). Weld metal pada pengelasan dengan bentuk kampuh single vee memiliki kandungan ferit lebih sedikit yaitu ferit sebesar 42,25% dibandingkan pada pengelasan dengan bentuk kampuh double vee mempunyai kandungan ferit sebesar 64,78% dan pada pengelasan dengan bentuk kampuh square mempunyai kandungan ferit sebesar 74,49%. Dibandingkan dengan base metal, bagian ini mengalami kenaikan persentase perlit. Hal ini menyebabkan bagian weld metal menjadi lebih keras dibandingkan dengan base metal. 10 Besar Prosentase 100 80 60 40 20 0 I X V ferit 74.49 64.78 42.25 perlit 25.51 35.22 57.75 Gambar 16 Grafik perbandingan kandungan ferit dan perlit pada weld metal 5.6 Uji Hardness Dari tabel 6 dapat diamati bahwa variasi bentuk kampuh pada pengelasan baja A36 dengan metode SMAW dan menggunakan elektroda E6013 menyebabkan harga kekerasan dari weld metal maupun HAZ akan meningkat. Sedangkan nilai kekerasan pada base metal cenderung sama, meskipun terjadi kenaikan harga kekerasan namun kenaikan tersebut tidak signifikan. Base metal yang dilas dengan bentuk kampuh square memiliki harga kekerasan sebesar 177,90 Hv, sedangkan yang dilas dengan bentuk kampuh double vee dan single vee memiliki harga kekerasan sebesar 180,29 HV dan 189,53 HV. Untuk daerah HAZ yang dilas dengan bentuk kampuh square memiliki harga kekerasan sebesar 224,42 Hv,

sedangkan yang dilas dengan bentuk kampuh double vee dan single vee memiliki harga kekerasan sebesar 228,44 HV dan 233,32 HV. Sedangkan untuk daerah weld metal yang dilas dengan bentuk kampuh square memiliki harga kekerasan sebesar 238,45 Hv, sedangkan yang dilas dengan bentuk kampuh double vee dan single vee memiliki harga kekerasan sebesar 243,96 HV dan 255,53 HV. Hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa terjadi kenaikan harga kekerasan untuk masingmasing variasi bentuk kampuh las dan masingmasing daerah pengujian dengan tingkat prosentase yang berbeda-beda. Kenaikan harga kekerasan ini merupakan suatu yang wajar, karena hasil foto mikro menunjukkan bahwa nilai persentase fase perlit pada masing-masing variasi bentuk kampuh dan masing-masing daerah pengujian cenderung meningkat. Kenaikan persentase perlit ini disebabkan oleh masukan panas dan waktu pendinginan yang berbeda-beda di setiap daerah. Karena pearlite cenderung lebih keras dan kuat daripada ferrit maka material dengan persentase perlit tinggi akan bersifat lebih kuat dan keras tetapi lebih getas. 5.7 Uji Fracture Toughness Berdasarkan hasil analisis data hasil pengujian, didapat harga fracture toughness untuk masingmasing variasi. Pada pengelasan dengan bentuk kampuh square harga fracture toughness-nya adalah sebesar 190,52 ksi inch. Sedangkan untuk pengelasan dengan bentuk kampuh double vee dan single square harga fracture toughness-nya turun menjadi 189,69 ksi inch dan 189,43 ksi inch. Hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan harga fracture toughness untuk masing-masing variasi bentuk kampuh las dengan tingkat prosentase yang berbeda-beda. Penurunan harga fracture toughness ini disebabkan oleh peningkatan nilai persentase fase perlit pada masing-masing variasi bentuk kampuh. Fase perlit menyebabkan naiknya nilai kekerasan. Semakin tinggi nilai kekerasan suatu material menggambarkan bahwa material tersebut semakin kuat, tetapi nilai ketangguhanya akan menurun. Nilai ketangguhan (fracture toughness) merupakan gambaran seberapa besar ketahanan suatu material untuk menahan perambatan retak. Semakin besar nilai fracture toughness-nya berarti semakin baik material tersebut, karena ketahanan terhadap laju retak juga semakin tinggi. 6 KESIMPULAN Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1. Variasi bentuk kampuh pada pengelasan baja karbon A36 mempengaruhi luasan diluted metal dan luasan HAZ yang terbentuk. 2. Terjadi kenaikan persentase kandungan perlite pada daerah yang terpengaruh masukan panas dan yang mengalami pendinginan cepat. Persentase kandungan perlit pada daerah weld metal lebih banyak jika dibandingkan pada daerah HAZ dan base metal. 3. Harga fracture toughness berbanding terbalik dengan persentase kandungan pearlite dan nilai kekerasan. Jika harga fracture toughness naik sebesar 0,58% maka persentase kandungan perlit akan turun sebesar 55.83% dan harga kekerasannya akan turun sebesar 6.68%. Semakin tinggi harga fracture toughness suatu material maka semakin kecil persentase kandungan perlit dan nilai kekerasannya. 4. Semakin besar persentase diluted metal yang terbentuk pada suatu proses pengelasan maka akan menghasilkan material hasil pengelasan yang semakin tangguh tetapi nilai kekerasannya akan menurun. 5. Berdasarkan hasil analisa, pengelasan material 8 mm dengan bentuk kampuh square menghasilkan material hasil lasan yang paling baik. Namun bentuk kampuh ini tidak bisa dipakai dalam proses pengelasan konstruksi kapal karena tidak sesuai dengan standar (rules) yang berlaku. Oleh karena itu, bentuk kampuh yang direkomendasi dalam proses pengelasan di lapangan adalah bentuk kampuh single vee. Hal ini sesuai dengan standar yang berlaku. Dimana didalamnya disebutkan bahwa untuk pengelasan material pelat diatas 6 mm harus menggunakan bentuk kampuh single vee. Pengelasan dengan bentuk kampuh single vee ini lebih effektif jika dibandingkan dengan pengelasan bentuk kampus square. 7 DAFTAR PUSTAKA Anderson, J.C. 1972. Materials Science. London : The English Language Books Society and Nelson. ASTM E 399. 1994. Standard Test Method for Plane Strain Fracture Toughness of Metallic Materials. USA. AWS A5.1. 1991. Standart Specification for Standart Carbon Steel Electrodes for Shield Metal Arc Weldin., Miami Florida. AWS D 1.1. 2004. American Welding Society, Structural Welding Code Steel. Miami Florida Fourth Edition. Mills, Kathleen, ASM Vol 9 : Metallograph and Microstructure, ASM International, Material Park, USA, 1994. 11

Okumura, T. dan Harsono W. 1996. Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta : PT Pradnya Paramita. Suherman, Wahid, Ilmu Logam I, Jurusan Teknik Mesin, ITS, Surabaya, 1999. Suherman, Wahid, IImu Logam II, Jurusan Teknik Mesin, ITS, Surabaya, 2003. Suherman, Wahid, Pengetahuan Bahan, Jurusan Teknik Mesin, ITS, Surabaya, 1988. Vander vort, George. V, ASM Vol 9 : Metallograph and Microstructure, ASM International, Material Park, USA, 2004. Zakharof, B, Heat Treatment of Metal, Peace Pubisher,Moscow,1962. 12