Medika Respati Vol VI No 1 Januari 2011 ISSN :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN. Sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia

Vol. 10 Nomor 1 Januari 2015 Jurnal Medika Respati ISSN :

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas)

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian cross sectional yaitu mempelajari hubungan penyakit dan

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I LATAR BELAKANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis (radang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menimbulkan gejala penyakit (Gunawan, 2010). ISPA merupakan

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado **Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN SIKUMANA ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

HUBUNGAN VENTILASI, LANTAI, DINDING, DAN ATAP DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI BLANG MUKO

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitan ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya

BAB V PEMBAHASAN. kepadatan hunian tidak menunjukkan ada hubungan yang nyata.

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 26 April sampai 10 Mei 2013 di Kelurahan

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN PENGGUNAAN ANTI NYAMUK BAKAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS KOLONGAN

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Wongkaditi

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan. parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka kejadian ISPA Di Indonesia, pada balita adalah sekitar 10-20%

HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK ORANG TUA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG KABUPATEN PURBALINGGA 2012

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

BAB 1 PENDAHULUAN. kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh, hal ini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Barat). Luas wilayah Kecamatan Kabila sebesar 193,45 km 2 atau sebesar. desa Dutohe Barat dan Desa Poowo.

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia,

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. dikeluarkan oleh asap rokok orang lain (Harbi, 2013). Gerakan anti rokok

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (2005) kematian balita disebabkan oleh Infeksi Saluran

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu ruang lingkup epidemiologi ialah mempelajari faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional.

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN UKDW. trakea bahkan paru-paru. ISPA sering di derita oleh anak anak, baik di negara

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

SKRIPSI. Disusun untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S 1 Kesehatan Masyarakat. Oleh: TRI NUR IDDAYAT J

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

BAB I PENDAHULUAN. Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar

Berapa penghasilan rata-rata keluarga perbulan? a. < Rp b. Rp Rp c. > Rp

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara sekitar dari jumlah penduduk setiap tahunnya.gastritis

BAB IV METODE PENELITIAN. Berdasarkan jenisnya penelitian ini adalah penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang paling banyak diderita oleh masyarakat. Sebagian besar dari infeksi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 2,7% pada wanita atau 34,8% penduduk (sekitar 59,9 juta orang). 2 Hasil Riset

BAB III METODE PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo pada bulan 30 Mei 13 Juni Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survey analitik dengan

HUBUNGAN ANTARA HIGIENE PERORANGAN, FREKUENSI KONSUMSI DAN SUMBER MAKANAN JAJANAN DENGAN KEJADIAN DIARE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. Menurut laporan World Health Organitation tahun 2014, kasus penularan

HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT COMMON COLD PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMALATE KOTA GORONTALO TAHUN 2012

HUBUNGAN TINGKAT KESEHATAN RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI DESA LABUHAN KECAMATAN LABUHAN BADAS KABUPATEN SUMBAWA

The Effect of House Environment on Pneumonia Incidence in Tambakrejo Health Center in Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan adalah elemen terpenting dalam kehidupan manusia, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya

BAB 1 PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat. dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan.

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Terutama

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

Kata Kunci : Kelambu, Anti Nyamuk, Kebiasaan Keluar Malam, Malaria

Transkripsi:

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WAINGAPAU, KECAMATAN KOTA WAINGAPU KABUPATEN SUMBA TIMUR, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR Nur Alvira Pascawati 1 INTISARI Latar Belakang: Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Waingapu menyebutkan bahwa kasus ISPA berada diperingkat pertama dari 10 pola penyakit dengan persentase sebesar 15.37% pada tahun 2010. Variabel yang diteliti adalah tingakat pengetahuan, kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita, jenis bahan bakar yang digunakan, penggunaan kayu bakar, atap,dinding dan lantai rumah. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Metode: Penelitian analitik observasional menggunakan studi cross sectional. Analisis data menggunakan Chi Square dan Fisher s Exact Test dengan α=0.05 dengan jumlah sampel 115. Teknik pengambilan sampel yang digunakan Accidental Sampling. Sampel penelitian adalah sebagian populasi yang datang berobat dan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Waingapu serta memenuhi kriteria inklusi. Hasil: Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ISPA (RP=2.34;Sig=0.000), kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita (RP=1.71;Sig=0.000), penggunaan kayu bakar (RP=1.91;Sig=0.000), pemakaian obat nyamuk bakar (RP=1.85;Sig=0.000), dan keadaan fisik rumah (atap,dinding, dan lantai) yang tidak memenuhi syarat, hasilnya secara berturu-turut sebagai berikut (RP=1.95;Sig=0.016,RP=2.09;Sig=0,000; RP=2.25;Sig=0.001) dengan kejadian ISPA pada balita Kesimpulan: Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ISPA, kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita, penggunaan kayu bakar, pemakaian obat nyamuk bakar, dan keadaan fisik rumah (atap, dinding, dan lantai rumah) yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita. Kata Kunci: ISPA, Pengetahuan, Perilaku dan kondisi fisik rumah 1 Peneliti

PENDAHULUAN World Health Organization (WHO), memperkirakan jumlah kematian ISPA setiap tahun sekitar 2,1 juta (20% dari seluruh kematian adalah balita). Selain itu juga WHO memperkirakan insidensi pneumonia di negara berkembang dengan angka kematian bayi diatas 40/1000 kelahiran hidup adalah 15-20% per tahun pada golongan usia balita. Kematian balita 90% disebabkan oleh ISPA 1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang. ISPA menyebabkan 4% dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia dibawah 5 tahun pada setiap tahunnya, sebanyak 2/3 kematian tersebut adalah bayi 2. Penyakit saluran pernapasan berada di peringkat ke 10 yaitu dengan presentasi 5,1% sedangkan pneumonia berada di peringkat 12 dengan presentasi 3.8% 3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), merupakan penyakit infeksi yang menduduki peringkat pertama dari 10 pola penyakit terbanyak di puskesmas pada pasien rawat jalan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu sebanyak 996.946 kunjungan dengan persentase 24,47% dan jumlah penderita Pneumonia pada balita di tahun 2007 adalah 8.019 jiwa dengan persentase 2,02%. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian dari seluruh lapisan masyarakat 4. Berdasarkan data yang diperoleh, penyakit ISPA merupakan penyakit nomor 1 yang menyerang balita. Penyakit ISPA pada balita terbanyak terdapat di Puskesmas Waingapu dengan persentase sebanyak 15,37%, setelah itu diikuti oleh Puskesmas-puskesmas lainnya secara berturut-turut sebagai berikut: Kambaniru, Lewa, Kawangu, Rambangaru, Baing, Mangili, Kananggar, Melolo, Kombapari, Malahar, Nggongi, Nggoa, Kataka, Lailunggi, Tanaraing, dan Tanarara 5. Infeksi Saluran Pernapasan Akut, merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh anak-anak. Salah satu penyebab penyakit ISPA adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan. Sumber pencemaran dalam ruangan adalah pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak, keadaan rumah dan kebiasaan menggunakan obat nyamuk bakar 6. Berdasarkan penelitian sebelumnya, kejadian ISPA pada balita dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko antara lain: lantai rumah, kebiasaan merokok dan dinding 7. Berdasarkan penelitian sebelumya atap merupakan faktor risiko terjadi ISPA pada balita 8. Berdasarkan hasil Survei, rumah sehat yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Waingapu sebanyak 51% sedangkan rumah yang tidak sehat 49% yang diukur dari beberapa kategori seperti lantai masih tanah, atap tidak diberi plafon atau langit-langit dan bahkan atap rumah masih terbuat dari alang-alang serta dinding yang masih terbuat dari gedek (bambu yang dianyam). Kebiasaan merokok dalam rumah, 2

memasak menggunakan kayu bakar dan menggunakan obat nyamuk bakar pada saat tidur 9. Infeksi Saluran Pernapasan Akut, pada balita juga dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan orang tua tentang tanda dan gejala ISPA. Pengetahuan berhubungan erat dengan pendidikan. pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kematian akibat ISPA pada balita. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka akan lebih muda menerima pesan kesehatan dan cara pencegahan penyakit ISPA 10. Presentasi tinggkat pendidikan masyarakat yang berada di Kecamatan Waingapu, berturut-turut adalah sebagai berikut: SMA (47,02%), SMP (21,32%), SD (12,68), Perguruan Tinggi (10,28%) dan Buta Huruf (8,7%) 9. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional menggunakan studi cross sectional, dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Waingapu, Kecamatan Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT. Sampel dari penelitian ini adalah sebagian dari ibu yang datang mengantarkan balita untuk berobat dan ke Puskesmas Waingapu dan jaringanya (Puskesmas Keliling) serta bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Waingapu, Kecamatan Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT dan memenuhi kriteria inklusi dengan jumlah sampel 115. Teknik pengambilan sampel yang digunakan Non random sampling dengan metode Accidental Sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dan Check-list. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan orang tua, perilaku yang meliputi kebiasaan merokok, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, dan penggunaan obat nyamuk bakar serta keadaan fisik rumah yang meliputi, atap, dinding, dan lantai sedangkan variabel terikat adalah kejadian ISPA pada balita. Analisis data menggunakan Chi Square dan Fisher s Exact Test dengan α=0.05. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Univariate 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan disajikan dalam Tabel sebagai berikut: 3

Tabel 1. Karakteristik berdasarkan Tingkat Pendidikan responden dan Jenis Kelamin Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011) Variabel Sakit Persentase (%) Tidak Sakit Persentase (%) Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA/SMK Tamat Perguruan Tinggi 5 47 23 9 2 5,8 54,7 26,7 10,5 2,3 3 3 8 13 2 10,3 10,3 27,6 44,8 6,9 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 51 59,3 14 48,3 35 40,7 15 51,7 Berdasarkan tabel diatas responden yang membawa balita untuk berobat ke Puskesmas rata-rata berpendidikan SD dan yang menderita ISPA sebanyak 47 orang (54,7%) dan yang tidak menderita ISPA sebanyak 3orang (10,3%). Balita yang menderita ISPA paling banyak berjenis kelamin Laki-laki sebanyak 51 orang (59,3%) dan perempuan berjumlah 35 orang (40,7%). 2. Variabel Penelitian Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan orang tua, perilaku yang meliputi kebiasaan merokok, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, dan penggunaan obat nyamuk bakar serta keadaan fisik rumah yang meliputi, atap, dinding, dan lantai sedangkan variabel terikat adalah kejadian ISPA pada balita. 4

Tabel 2. Variabel Penelitian Variabel ISPA Ya Tidak Jumlah Orang Persentase (%) 86 29 74,8 25,2 Total 115 100,0 Pengetahuan Rendah Tinggi 79 36 68,7 31,3 Total 115 100,0 Merokok pada saat bercengkrama bersama balita Ya Tidak 90 25 78,3 21,7 Total 115 100,0 Menggunakan kayu bakar Ya Tidak 94 79 81,7 68,7 Total 115 100,0 Menggunakan obat nyamuk bakar Ya Tidak 79 36 68,7 31,3 Total 155 100,0 Atap Baik Tidak baik 10 105 8,7 91,3 Total 115 100,0 Dinding Baik Tidak baik 18 97 15,7 84,3 Total 115 100,0 Lantai Baik Tidak baik 14 101 12,2 87,8 Total 115 100,0 5

Berdasarkan hasil analisis diatas balita yang menderita ISPA sebanyak 86 orang (74,8%), responden yang pengetahuan tentang ISPA rendah sebanyak 79 orang (68,7%), kebiasaan anggota keluarga merokok pada saat bercengkrama bersama balita sebanyak 90 orang (78,3%), kebiasaan menggunakan kayu bakar sebanyak 94 orang (81,7%), menggunakan obat nyamuk bakar 79 orang (68,7%), atap rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 105 rumah (91,3%) dinding rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 97 rumah (84,3%) dan yang memiliki lantai yang tidak memenuhi syarat sebanyak 101 rumah (87,8%). B. Hasil Bivariate 1. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis Chi Square untuk melihat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur- NTT (Juni 2011) Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X 2 Ya % Tidak % Pengetaguan Rendah 72 83,7 7 24,1 2,34 1,541-3,550 0,000 35,8 Tinggi 14 16,3 22 75,9 Berdasarkan hasil analisis menggunakan Chi Square diketahui bahwa pengetahuan yang rendah menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan balita responden yang memiliki pengetahuan yang tinggi (baik). Dari 115 responden, yang pengetahuannya rendah dan balitanya terkena ISPA sebanyak 72 orang (83,7%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 7 orang (24,1%). Responden yang pengetahuannya tinggi (Baik) dan terkena ISPA sebanyak 14 orang (16,3%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 22 orang (75,9%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000) dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 2,34 kali pada responden yang pengetahuannya rendah dibandingkan dengan responden yang pengetahuan tinggi (baik). Komponen pertanyaan yang diberikan untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden adalah pengertian, gejala, penyebab, cara penularan, faktor pemberat, dampak, dan pencegahan. Dari komponen-komponen pertanyaan tersebut yang mengetahui pengertian dan cara penularan ISPA sebanyak 16,5%, faktor pemberat 6

terjadinya ISPA sebanyak 15,7%, gejala terjadinya ISPA sebanyak 27,8%, penyebab terjadinya ISPA sebanyak 32,2%, dampak dari ISPA sebanyak 32,2%, dan pencegahan ISPA 33%. Pengetahuan responden yang berada di wilayah Puskesmas Waingapu tentang ISPA rata-rata masih rendah, berdasarkan hasil analisis proporsi pengetahuan responden sebesar 31,3%, penyebabnya adalah pendidikan responden yang rendah yaitu rata-rata responden berpendidikan SD sebanyak 43,5% serta masih masih kurangya penyuluhan tentang ISPA, hal ini dapat meningkatkan angka kematian akibat penyakit ISPA pada balita. Dengan semakin tinggiya pendidikan orang tua diharapkan akan lebih muda menerima pesan kesehatan dan cara pencegahan penyakit. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumya, yang menyatakan bahwa masyarakat yang berpendidikan rendah lebih berpotensi menderita penyakit ISPA 1,34 kali dibandingkan yang tingkat pendidikan tinggi dan secara statistik bermakna (Sig=0,000) 11. Pengetahuan seseorang sangat dipengaruhi oleh pendidikan, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pengetahuannya 12. 2. Hubungan Kebiasaan Anggota Keluarga yang Merokok pada Saat Bercengkrama Bersama Balita dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis Chi Square untuk melihat hubungan antara kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 4. Hubungan Kebiasaan Merokok Pada Saat Bercengkrama Bersama Balita dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesma Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur- NTT (Juni 2011) Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X 2 Ya % Tidak % Merokok Ya 74 86,0 16 55,2 1,71 1,126-2,605 0,000 12,2 Tidak 12 14,0 13 44,8 Berdasarkan hasil analisis menggunakan Chi Square diketahui bahwa kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan 7

dengan responden yang tidak merokok pada saat bercengkrama bersama balita. Dari 115 responden, yang merokok pada saat bercengkrama bersama balita dan balitanya terkena ISPA sebanyak 74 orang (86%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 16 orang (55,2%). Responden yang tidak merokok pada saat bercengkrama bersama balita dan terkena ISPA sebanyak 12 orang (14,0%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 13 orang (44,8%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000) dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 1,71 kali pada responden yang memiliki kebiasaan merokok pada saat bercengkrama bersama balita dibandingkan dengan responden yang tidak merokok pada saat bercengkrama bersama balita. Rata-rata bapak dari balita adalah perokok, responden yang merokok sebanyak 87,8% dan mereka cenderung memiliki kebiasaan merokok dalam rumah. Proporsi responden yang merokok dalam rumah sebanyak 81,7%. Responden yang anggota keluarganya tidak merokok dapat terkena ISPA karena ketika ada orang lain yang datang bertamu dan perokok, responden segan untuk memberitahukan atau melarang tamu tersebut untuk merokok di dalam rumah sedangkan perokok didaerah penelitian masih ada yang merokok dengan bahan dasar daun lontar yang menghasilkan asap yang sangat banyak karena tidak ada filter. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan yang menyatakan bahwa, balita dalam rumahnya terdapat perokok mempunyai risiko untuk menderita ISPA sebesar 1, 095 kali dibandingkan balita yang dalam rumahnya tidak terdapat perokok dan secara statistik bermakna (Sig=0,000) 7. Di Indonesia kebiasaan merokok merupakan hal yang dianggap biasa dalan kehidupan sehari-hari. Asap pembakaran sebatang rokok mengandung bahan-bahan kimia beracun, seperti karbon monoksida, formaline, cadmium, nikel, plonium,tar dan lain sebagainya. Zat-zat kimia berbahaya ini jika terhirup oleh balita maka akan mengalami gangguan mekanisme pernapasan dan jika melebihi ambang batas maka akan menyebabkan kerusakan mekanisme kerja paru dan yang sangat membahayakan adalah kanker paruparu 13. 3. Hubungan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis Chi Square untuk melihat hubungan antara jenis bahan 8

bakar yang digunakan dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut Tabel 5. Hubungan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur- NTT (Juni 2011) Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X 2 Ya % Tidak % Kayu Bakar Ya 77 89,5 17 58,6 1,91 1,156-3,160 0,000 13,9 Tidak 9 10,5 12 41,4 Berdasarkan hasil analisis menggunakan Chi Square diketahui bahwa penggunaan kayu bakar menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan kayu bakar. Dari 115 responden, yang menggunakan kayu bakar dan balitanya terkena ISPA sebanyak 77 orang (89,5%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 17 orang (58,6%). Responden yang tidak bakar. Hal ini disebabkan karena responden pada saat memasak membawa balita ke dapur dan kamar tidur balita yang berdekatan dengan dapur bahkan masih ada yang tidur di dapur. Responden yang memiliki kebiasaan membawa balita kedapur pada saat memasak sebanyak 91 orang (79.1%), responden yang memiliki kebiasaan tersebut, rata-rata balitanya menderita ISPA yaitu sebanyak 75 orang (87,2%). Kamar tidur balita yang berdekatan dengan dapur dan masih ada yang tidur di dapur sebanyak 76 orang (66,1%), rata-rata balita yang kamar tidurnya menggunakan kayu bakar dan terkena ISPA sebanyak 9 orang (10,5%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 12 orang (41,4%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara penggunakan kayu bakar dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000) dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 1,91 kali pada responden yang memasak menggunakan kayu bakar dibandingkan dengan responden yang tidak memasak menggunakan kayu berdekatan dengan dapur menderita ISPA sebanyak 67 orang (77,9%). Kebanyakan responden menggunakan kayu bakar karena faktor ekonomi yang rendah dan kayu bakar mudah didapat tanpa harus mengeluarkan biaya. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang rumahnya menggunkan bahan bakar minyak tanah mempunyai risiko 10, 194 kali untuk menderita ISPA dari pada balita yang rumahnya menggunakan bahan bakar gas dan secara statistik bermakna (Sig=0,005) 6. Pencemaran udara dilingkungan rumah akan merusak 9

mekanisme pertahanan paru-paru, seperti bahan bakar yang digunakan untuk memasak karena mengeluarkan asap dan bau yang tidak sedap sehingga mempermudah timbulnya gangguan pada saluran pernapasan. Pemaran yang terjadi tergantung pada lamanya orang berada dalam dapur atau ruang lain yang telah terpapar oleh bahan pencemar 14. 4. Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis Chi Square untuk melihat hubungan antara penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut Tabel 6. Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar dengan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011) Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X 2 Ya % Tidak % Obat nyamuk Ya 69 80,2 10 34,5 1,85 1,296-2,639 0,000 21,1 Tidak 17 19,8 19 65,5 Berdasarkan hasil analisis menggunakan Chi Square diketahui bahwa penggunaan obat nyamuk bakar menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar. Dati 115 responden, yang menggunakan obat nyamuk bakar dan balitanya terkena ISPA sebanyak 69 orang (80,2%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 10 orang (34,5%). Responden yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar dan terkena ISPA sebanyak 17 orang (19,8%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 19 orang (65,5%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara penggunakan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000) dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 1,85 kali pada responden yang menggunakan obat nyamuk bakar dibandingkan dengan responden yang tidak memasak menggunakan kayu bakar. Obat nyamuk masih digunakan karena dalam satu kamar berpenghuni lebih dari 3 orang sedangkan kalau menggunakan kelambu tidak leluasa sehingga tidur tidak lelap. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang rumahnya menggunkan obat nyamuk bakar mempunyai risiko 19,070 kali untuk menderita ISPA dari pada balita yang rumahnya tidak menggunakan (Sig=0,005) 6. Gangguan pernapasan yang terjadi diakibatkan karena obat nyamuk 10

bakar yang mengeluarkan asap dan bau sebagai alat untuk menghindari gigitan yang tidak sedap sehingga menyebabkan nyamuk dapat merusak mekanisme adanya pencemaran udara dilingkungan pertahanan paru-paru sehingga rumah. Lingkungan rumah yang tercemar mempermudah timbulnya gangguan oleh obat nyamuk bakar yang bermanfaat pernapasan 6. 5. Hubungan Atap Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis Fisher s Exact Test untuk melihat hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 7. Hubungan Atap rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011) Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X 2 Ya % Tidak % Atap Tidak baik 82 95,3 23 79,3 1,95 0,908-4,199 0,016 7,03 Baik 4 4,7 6 20,7 Berdasarkan hasil analisi diatas diketahui bahwa, atap rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang atap rumahnya memenuhi syarat. Dari 115 responden, yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya terkena ISPA sebanyak 82 orang (95,3%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 23 orang (79,3%). Responden yang atap rumahnya memenuhi syarat dan terkena ISPA sebanyak 4 orang (4,7%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 6 orang (20,7%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,016), Significance yang digunakan adalah Fisher s Exact Test karena ada sel yang nilainya kurang dari 5 dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 1,95 kali pada responden yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan responden yang atap rumahnya memenuhi syarat. Rata-rata rumah responden masih terbuat dari Seng tanpa plafon dan bahkan masih ada yang menggunakan alang-alang. Kebiasaan masyarakat untuk menyimpan hasil panen di langit-langi rumah masih dilakukan oleh beberapa responden. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang menderita ISPA lebih banyak yang tinggal di rumah dengan jenis atap baik dibandingkan jenis atap yang kurang baik (OR=0,973) dan secara statistik tidak bermakna (Sig=0,239). Hal ini dapat terjadi karena data yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder yaitu menggunakan data hasil Riset Kesehatan Dasar 11

(Riskesdas) 2007, tidak semua daerah melaoporkan kondisi yang sebenarnya 7. Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu dalam rumah. Atap yang memenuhi syarat, sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah 8. 6. Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis Fisher s Exact Test untuk melihat hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 8. Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011) Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X 2 Ya % Tidak % Dinding Tidak baik 79 91,9 18 62,1 2,09 1,165-3,766 0,000 14,6 Baik 7 8,1 11 37,9 Berdasarkan hasil analisis diatas diketahui bahwa, dinding rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang dinding rumahnya memenuhi syarat. Responden yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya terkena ISPA sebanyak 79 orang (91,9%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 18 orang (62,1%). Responden yang dinding rumahnya memenuhi syarat dan terkena ISPA sebanyak 7 orang (8,1%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 11 orang (37,9%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,000), Significance yang digunakan adalah Fisher s Exact Test karena ada sel yang nilainya kurang dari 5 dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 2,09 kali pada responden yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan responden yang dinding rumahnya memenuhi syarat. Rata-rata responden dinding rumah masih terbuat dari ayamam bambu (gedek). Bambu jika dibiyarkan dalam jangka waktu yang panjang maka akan lapuk, debu yang dihasilkan akan dapat mengganggu saluran pernapasan. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang tinggal di rumah dengan jenis dindingnya kurang baik memilki risiko untuk menderita ISPA sebesar 1,069 kali dibanding balita yang tinggal dengan jenis dindingnya baik dan secara statistik bermakna (Sig=0,002) 7. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke dalam 12

rumah. Jenis dinding mempengaruhi perkembang biakan kuman 8. Bahan terjadinya ISPA, karena dinding yang bangunan tidak terbuat dari bahan yang sulit dibersihkan akan menyebabkan dapat melepas zat-zat yang dapat penumpukan debu. Debu akan membahayakan kesehatan antara lain mengganggu sistem pernapasan dan debu 15. merupakan media yang baik untuk 7. Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis Fisher s Exact Test untuk melihat hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 9. Hubungan lantai rumah dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waingapu Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur NTT (Juni 2011) Variabel ISPA RP CI (95%) Sig X 2 Ya % Tidak % Lantai Tidak baik 81 94,2 20 69,0 2,25 1,105-4,565 0,001 12,9 Baik 5 5,8 9 31,0 Berdasarkan hasil analisis diatas diketahui bahwa, lantai rumah yang tidak memenuhi syarat menyebabkan balita responden yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat. Responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya terkena ISPA sebanyak 81 orang (94,2%) sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 20 orang (69,0%). Responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat dan terkena ISPA sebanyak 5 orang (5,8%) sedangkan yang tidak terkena ISPA sebanyak 9 orang (31,0%). Secara statistik bermakna, yaitu ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita (Sig=0,001), Significance yang digunakan adalah Fisher s Exact Test karena ada sel yang nilainya kurang dari 5 dan prevalensi ISPA pada balita akan meningkat 2,25 kali pada responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat, hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Rata-rata lantai rumah responden masih terbuat dari tanah, semen kasar (tidak diplester) serta masih ada rumah panggung. Rata-rata responden masih kurang memperhatikan kebersihan lantai rumah, karena responden yang memiliki kebiasaan menyapu lantai rumah kurang dari 1 kali dalam sehari sebanyak 81 orang (70,4%) dan balita responden yang menderita ISPA karena kurangnya kebersihan lantai sebanyak 70 orang (81,4%). Balita responden yang dibiarkan bermain ditanah sebanyak 84 orang 13

(73,0%), dan balita yang menderita ISPA karena dibiarkan bermain di tanah sebanyak 72 orang (83,7%). Keadaan ini semakin diperparah dengan adanya kebiasaan dari masyarakat yang memiliki rumah panggung, mereka menempatkan hewan ternak pada malam hari dibawah rumah demi keamanan hewan-hewan tersebut. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa, balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai kurang baik memilki risiko untuk menderita ISPA sebesar 1,151 kali dibanding balita yang tinggal dengan jenis lantainya baik dan secara statistik bermakna (Sig=0,000) 7. Lantai rumah dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembang biakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab 8. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan. Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikro organisme patogen 15. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 2. Ada hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga pada saat bercengkrama bersama balita dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 3. Ada hubungan antara jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 4. Ada hubungan antara pemakaian obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 5. Ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 6. Ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu 7. Ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Waingapu. B. Saran 1. Bagi Puskesmas Waingapu 14

Dapat meningkatkan sistem kewaspadaan dini terhadap kejadian ISPA pada balita melalui peningkatan pengetahuan, perilaku dan sanitasi fisik rumah dengan cara pemberian penyuluhan oleh petugas kesehatan kepada setiap ibu, misalnya pada saat Posyandu. 2. Bagi Masyarakat Dapat mengurangi perilaku yang berisiko untuk terjadi ISPA pada balita, misalnya tidak merokok pada saat bercengkrama dengan balita, tidak merokok dalam rumah, tidak membawa balita pada saat memasak, tidak membiarkan balita bermain di tanah serta lebih memperhatikan kebersihan rumah. 3. Bagi Peneliti Lain Untuk peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang ISPA pada balita dapat menambah variabel penelitian selain variabel yang telah diteliti dengan menggunakan desain penelitian yang lebih tinggi derajatnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Bahar, B., St. Fatimah & Muh.Kidri A. (2007). Evaluasi Efek Terapeutik Terhadap Berat dan Lama ISPA serta Status Gizi Anak Balita. Ebers Papyrus-Vol 14. No 1, April 2008: 9-17. 2. Susi, N. [Editor]. (2002). Penanggulangan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang, Jakarta: EGC. 3. Departemen Kesehatan RI. (2011). Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2007. [Internet] Yogyakarta: http://www. depkes.go.id/. [Diakses, 16-08-2011; 23:30] 4. Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur. (2011). Profil Kesehatan Propinsi NTT 2007. [Internet] Yogyakarta: http://www. nttprov.go.id/ntt/indeks.php. [Diakses, 11-08-2011; 20:12] 5. Dinas Kesehatan Sumba Timur. (2011). Laporan Penemuan Kasus ISPA per Puskesmas 6. Nurmaini, I. (2004). Faktor-Faktor kesehatan Lingkungan perumahan yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Perumahan Nasional (Perumnas) Mandala, Kecamatan Percut, Kabupaten Deli Serdang. Majalah Kedokteran Nusantara- Vol 38. No 3, September 2005: 232-236. 7. Hapsari, D., Suraptini. & Miko, H.(2007). Faktor-Faktor Pencemaran dalam Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Indonesia. 15

Jurnal Ekologi Kesehatan-Vol. 9. No 2, Juni 2010: 1238-1247. 8. Oktaviani, V. (2009). Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Cepago, Kabupaten Boyolali. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 9. Puskesmas Waingapu. (2011). Profil Kesehatan Puskesmas Waingapu 2011. 10. Sulistyoriny, S dan Anak, A. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangan di Puskesmas. Jurnal Kesehatan Lingkungan-Vol 3. No 1, Juli 2006: 49-59 11. Mutiatikum dan Noer, E. (2007). Penyakit ISPA Hasil Riskesdas di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 2009: 50-55. 12. Soekanto, S. (2003). Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi baru. Cetakan ke-36, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 13. Triswanto, S. (2007). Stop Smoking, Yogyakarta: Progresif Books. 14. Sulistyorini, S dan Nur, A. (2004). Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan-Vol 1. No 2, Januari 2005: 110-119. 15. Mentri Kesehatan RI. (2002). Keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/Sk/VII/1990 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. 16

17