ANALISIS VEGETASI DAN ASSOSIASI JENIS PADA HABITAT Parashorea malaanonan MERR. M. Fajri dan Ngatiman Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN

dokumen-dokumen yang mirip
ASOSIASI JENIS-JENIS POHON DOMINAN UTAMA PADA HUTAN BEKAS TERBAKAR BERAT TAHUN 1997/1998 DI BUKIT SOEHARTO KALIMANTAN TIMUR

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

ASOSIASI DAN SEBARAN JENIS POHON PENGHASIL MINYAK KERUING DI PT. HUTAN SANGGAM LABANAN LESTARI, KALIMANTAN TIMUR

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

Amiril Saridan dan M. Fajri

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

MERR DI HUTAN PENELITIAN LABANAN KABUPATEN BERAU, KALIMANTAN TIMUR

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

III. METODE PENELITIAN

LAMPIRAN 2. GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan 28 Juni selesai di Taman Hutan. Raya Raden Soerjo Cangar yang terletak di Malang

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

(Association Analysis of Daun Sang by Some Kind of Palem in Sei Betung Ressort, Gunung Leuser National Park, North Sumatera)

III. METODE PENELITIAN. Desa Pesawaran Indah ini merupakan salah satu desa yang semua penduduknya

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

Analisis Vegetasi Hutan Alam

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,


BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

MAKALAH EKOLOGI TUMBUHAN

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN OLEH I GEDE SUDIRGAYASA

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

III. METODE PENELTTIAN Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu,

IV. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

Nilam Sari & Rizki Maharani

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

Oleh/By : xxxxxxxxxxxxxx ABSTRACT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januarisampai dengan Februari

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Transkripsi:

ANALISIS VEGETASI DAN ASSOSIASI JENIS PADA HABITAT Parashorea malaanonan MERR Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Studi vegetasi yang telah dilakukan di kawasan ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai kondisi Parasorea malaanonan Merr di hutan alam dan asosiasinya dengan jenis lain yang berada dalam habitat P. malanonan Merr tersebut. Prosedur penelitian adalah : 1. Pembuatan Plot dengan menggunakan rancangan purposive sampling dengan luas 1 hektar yang dibagi kedalam 25 petak ukur dengan luas 20 m x 20 m; 2. Data yang diambil berupa data : a. Jenis Pohon P. malaanonan Merr; b. Jenis pohon lainnya yang berada di dalam plot penelitian P. malaanonan Merr. Analisa data menggunakan analisis vegetasi, asosiasi jenis, dan koofisien assosiasi. Hasil penelitian dapat dilihat bahwa P. malaanonan Merr mempunyai INP yang sangat kecil sehingga keberadaannya di hutan alam sangat sedikit. Jenis ini tidak dominan dalam jumlah jenis serta hidupnya lebih ke arah individualis atau tidak mengelompok. P. malaanonan Merr juga tidak memiliki assosiasi yang tetap terhadap jenis lain sehingga keberadaan jenis ini lebih dipengaruhi kondisi ekologi habitatnya serta akses habitatnya. I. PENDAHULUAN Organisme hidup di alam tidak berdiri sendiri-sendiri atau tidak hidup sendiri-sendiri, melainkan menjadi satu kumpulan individu-individu yang menempati suatu tempat tertentu, sehingga antarorganisme akan terjadi interaksi. Interaksi-interaksi yang terjadi dapat merupakan interaksi antar individu dari spesies yang sama, dapat juga merupakan interaksi antar individu dari spesies yang berbeda (indriyanto, 2008). Interaksi yang terjadi antarspesies anggota populasi akan mempengaruhi terhadap kondisi populasi mengingat keaktifan atau tindakan individu dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan ataupun kehidupan populasi. Menurut Odum (1993), setiap anggota populasi dapat memakan 13

Info Teknis Dipterokarpa Vol. 5 No. 1, September 2012 : 13-23 anggota-anggota populasi lainnya, bersaing terhadap makanan, mengeluarkan kotoran yang merugikan lainnya, dapat saling membunuh, dan interaksi tersebut dapat searah ataupun dua arah (timbal balik). Oleh karena itu, dari segi pertumbuhan atau kehidupan populasi, interaksi antarspesies anggota populasi dapat merupakan interaksi positif, negatif atau nol. Assosiasi merupakan salah satu bentuk dari interaksi dalam suatu populasi. Assosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas, ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang di beberapa lokasi. Assosiasi dicirikan dengan adanya komposisi floristik yang mirip, memiliki fisiognomi yang seragam dan sebarannya memiliki habitat yang khas (Daubenmire, 1968; Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Barbour et al.,1999). Assosiasi terbagi menjadi assosiasi positif dan assosiasi negatif. Asosiasi positif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan hadir secara bersamaan dengan jenis tumbuhan lainnya dan tidak akan terbentuk tanpa adanya jenis tumbuhan lainnya tersebut. Assosiasi negatif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan tidak hadir secara bersamaan (McNaughton dan Wolf, 1992). Studi vegetasi yang telah dilakukan di kawasan ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai kondisi P. malaanonan Merr di hutan alam dan asosiasinya dengan jenis lain yang berada dalam habitat P. malanonan Merr tersebut. II. METODOLOGI A. Lokasi Lokasi penelitian di lakukan di KHDTK Labanan, Kabupaten Berau dan Hutan adat Desa Setulang, Kabupaten Malinau. B. Bahan dan Peralatan Bahan dan Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : 1. Buku ekspedisi, untuk mencatat data-data yang diperlukan baik dalam kegiatan inventarisasi pohon maupun kegiatan pengukuran kelerengan. 2. Label Pohon, digunakan untuk memberikan identitas pada pohon berupa nomor pohon, jenis, diameter dan tinggi. 3. Alat tulis, digunakan untuk menulis/mencatat data-data yang diperlukan. 4. Phi Band, digunakan untuk mengukur diameter pohon. 5. GPS, untuk mengetahui koordinat geografis. 14

Analisis Vegetasi dan Assosiasi Jenis Pada Habitat Parashorea... C. Prosedur Penelitian 1. Penentuan dan Pembuatan Plot Penelitian Penentuan plot menggunakan Purposive Sampling di hutan dataran rendah ekosistem Dipterokarpa, dimana plot-plot tersebut dipilih setelah diketahui adanya jenis P. malaanonan di lokasi tersebut. Plot penelitian berbentuk bujur sangkar dengan luas 1 hektar. Plot seluas 1 hektar dibagi menjadi 25 petak ukur seluas 20 m x 20 m. 2. Pengambilan data Data yang diambil berupa data : Jenis Pohon P. malaanonan dan Jenis pohon lainnya yang berada di dalam plot penelitian P. malaanonan. D. Analisa Data Analisa data yang akan dilakukan berupa : 1. Analisa Vegetasi Analisa vegetasi berupa : analisa kerapatan relatif jenis, frekuensi relatif jenis, dominansi relatif jenis dan nilai penting jenis. Dimana rumus-rumusnya sebagai berikut : 2. Assosiasi Jenis Jumlah individu suatu jenis KR = x 100 Total j umlah individu seluruh jenis Frekuensi suatu jenis FR = x 100 Total jumlah frekuensi seluruh jenis Luas bidang dasar suatu jenis DR = x 100 Total luas bidang dasar seluruh jenis Untuk menentukan apakah P. malaanonan Merr mempunyai hubungan yang erat atau tidak dengan jenis lainnya dan juga untuk mengetahui hubungan antar jenis tersebut pada petak-petak pengamatan, diukur dengan melihat kehadiran jenis lain (F) di dalam plot in-situ tersebut. 3. Korelasi antar dua jenis NPJ = K + F + D Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan tabel korelasi dua jenis (2 x 2) seperti yang dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) atau disebut juga Tabel Contingency seperti berikut: 15

Info Teknis Dipterokarpa Vol. 5 No. 1, September 2012 : 13-23 Tabel 1. Bentuk Tabel Contingency Jenis B + - Jenis A a c a + c + - B D b + d Selanjutnya dilakukan perhitungan langsung tanpa menghitung nilai observasi, yaitu dengan menggunakan rumus perhitungan Chi Square (X 2 ) hitung seperti berikut ini: X 2 2 (ad - bc) x N = (a + b) (c + d) (a + c) (b + d) Untuk menghindari nilai Chi Square (X 2 ) yang bias bila nilai a, b, c atau d dalam Tabel Contingency ada yang kurang atau sama dengan 5 (lima), maka perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus berikut: X 2 {(ad - bc) - N/ 2} x N = (a + b) (c + d) (a + c) (b + d) 2 a + b c + d N = a + b + c + d Keterangan : a = Jumlah petak yang mengandung jenis A dan jenis B b = Jumlah petak yang mengandung jenis A saja, jenis B tidak c = Jumlah petak yang mengandung jenis B saja, jenis A tidak d = Jumlah petak yang tidak mengandung jenis A dan jenis B (diluar jenis A dan B) N = Jumlah semua petak Setelah didapat besarnya nilai Chi Square hitung, kemudian dilakukan pengujian dengan membandingkan antara Chi Square hitung (X 2 hitung) dengan Chi Square tabel (X 2 tabel) pada derajat bebas (df) sama dengan 1 (satu) pada tingkat 5% (3,84) dan tingkat 1% (6,63) untuk mengetahui hubungan antar jenis. Bila X 2 hitung yang diuji lebih besar atau sama dengan X 2 tabel pada tingkat 1% berarti terjadi assosiasi sangat nyata, bila X 2 hitung yang diuji lebih besar atau sama dengan X 2 tabel pada tingkat 5% berarti terjadi assosiasi nyata dan apabila X 2 hitung yang diuji lebih kecil dari X 2 tabel pada tingkat 5% berarti tidak terjadi assosiasi atau assosiasi tidak nyata. 4. Koefisien Assosiasi (C) Untuk menghitung besarnya nilai hubungan antar dua jenis dalam satu komunitas hutan (assosiasi positif atau negatif) dilakukan perhitungan 16

Analisis Vegetasi dan Assosiasi Jenis Pada Habitat Parashorea... Koefisien Assosiasi (C) atau nilai kekerabatan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Cole (1949) dalam Bratawinata (1998), yaitu: 1. Bila ad > bc, maka 2. Bila bc > ad dan d > a, maka 3. Bila bc > ad dan a > c, maka C = ad - bc (a + b) (b + d) C = ad - bc (a + b) (b + d) C = ad - bc (a + b) (b + d) Nilai positif atau negatif dari hasil perhitungan menunjukkan assosiasi positif atau negatif antar dua jenis. Menurut Whittaker (1975), assosiasi positif berarti secara tidak langsung beberapa jenis berhubungan baik atau ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, sedangkan assosiasi negatif berarti secara tidak langsung beberapa jenis mempunyai kecenderungan untuk meniadakan atau mengeluarkan yang lainnya atau juga berarti dua jenis mempunyai pengaruh atau reaksi yang berbeda dalam lingkungannya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan Data P. malaanonan Merr di KHDTK Labanan, Berau 1. Analisa Vegetasi Pada area studi tercatat sebanyak 128 jenis yang ditemukan untuk tingkat pohon. Dari 128 jenis tingkat pohon yang ditemukan, hanya ada 4 jenis tingkat pohon yang memiliki INP diatas 10%, sedangkan untuk pohon P. malaanonan Merr hanya memiliki INP sebesar 5,92%. Berikut hasil penghitungan INP untuk keempat jenis pohon seperti Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis Anthocephalus chinensis merupakan jenis yang paling mendominasi dengan nilai INP sebesar 24,41%. Untuk jenis pohon yang memiliki INP terbesar kedua adalah jenis pohon Macaranga Tabel 2. Hasil Analisa Vegetasi No Nama Pohon KR DR FR INP 1 Anthocephalus chinensis 7,08 13,12 4,202 24,41 2 Macaranga hypoleuca 7,74 9,60 0,840 18,19 3 Macaranga sp 6,63 7,15 0,280 14,07 4 Dipterocarpus tempehes 5,08 4,19 2,521 11,80 11 Parashorea malaanonan Merr 3,31 2,31 0,280 5,92 17

Info Teknis Dipterokarpa Vol. 5 No. 1, September 2012 : 13-23 hypoleuca, dengan INP sebesar 18,19%. Untuk nilai INP yang terbesar ke-3 dan keempat adalah jenis pohon Macaranga sp dan Dipterocarpus tempehes. Sedangkan P. malaanonan Merr hanya memiliki nilai INP sebesar 5,92%. Berdasarkan keterangan data bisa dijelaskan bahwa jenis pohon yang mempunyai INP paling tinggi, mengindikasikan bahwa jenis pohon tersebut mendominasi area yang menjadi plot penelitian dibandingkan dengan spesies lainnya. Menurut Soegianto (1994), bahwa Nilai INP merupakan sebuah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi suatu spesies. Di area plot penelitian bisa dilihat bahwa Anthocephalus chinensis mendominasi area plot penelitian baik dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan luas penutupan relatifnya. Hal yang unik terjadi pada P. malaanonan Merr yang ditemukan hanya disekitar pinggir sungai, dan hidupnya tidak mengelompok, lebih kearah individualis. 2. Assosiasi Jenis dan Koefisien Assosiasi Hasil penghitungan INP diperoleh 4 jenis pohon dominan atau yang memiliki INP 10% (Tabel 3). Dari keempat jenis pohon yang dominan tersebut, akan dilihat bagaimana asosiasinya dengan P. malaanonan Merr. Dari hasil perhitungan korelasi 2 jenis yang menggunakan Tabel Contigency, maka dapat dilihat hubungan asosiasinya. Berdasarkan data pada Tabel 3, menunjukkan bahwa hasil uji korelasi 2 jenis antara P. malaanonan Merr dengan 4 jenis pohon yang dominan, dimana nilai X² hitungnya semuanya lebih kecil daripada nilai X² tabelnya, ini mengindikasikan bahwa tidak ada korelasi yang nyata antara keempat jenis tersebut dengan P. malaanonan Merr, tetapi bila melihat hasil perhitungan koefisien assosiasi (C) yang digunakan sebagai parameter seberapa besar hubungan antara keempat jenis tersebut dengan P. malaanonan, semua nilai koefisien assosiasinya bernilai positif. Ini berarti walaupun tidak ada hubungan yang nyata antara ke-4 jenis Tabel 3. Nilai Assosiasi Jenis dan Koofisien Assosiasi No Asosiasi Jenis 1 P. malaanonan Merr dengan Anthocephalus chinensis 2 P. malaanonan Merr dengan Macaranga hypoleuca 3 P. malaanonan Merr dengan Macaranga sp 4 P. malaanonan Merr dengan Dipterocarpus tempehes X²t (1%) X²t (5%) 3,84 6,35 Nilai X² Tipe Assosiasi Nilai C (+/-) 3,707 + 0,68 3,84 6,35 1,102 + 0,37 3,84 6,35 0,618 + 0,30 3,84 6,35 0,99 + 0,27 Keterangan: Nilai X² tabel pada taraf 5 % = 3,84, nilai X² tabel pada taraf 1 % = 6,35, + assosiasi positif 18

Analisis Vegetasi dan Assosiasi Jenis Pada Habitat Parashorea... pohon dominan tersebut, tetapi mereka masih bisa hidup secara bersama-sama dan tidak saling mengganggu satu sama lainnya. Ini berarti sesuai dengan pendapat Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974); Barbour et al. (1999), bahwa selain pengaruh interaksi pada suatu komunitas, tiap tumbuhan saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat yang sama. Berdasarkan kedua teknik perhitungan, indeks asosiasi lebih baik dibandingkan penghitungan Tabel Contingency. Apabila kehadiran pasangan spesies yang ingin dilihat asosiasinya rendah, maka indeks asosiasinya juga rendah. Demikian halnya dengan penghitungan Tabel Contingency. Djufri (2002), menegaskan bahwa sesungguhnya yang paling baik adalah penggabungan kedua teknik tersebut. Barbour et al. (1999), menyebutkan bahwa bila jenis berasosiasi secara positif maka akan menghasilkan hubungan spasial positif terhadap pasangannya. Jika satu pasangan didapatkan dalam sampling, maka kemungkinan besar akan ditemukan pasangan lainnya tumbuh di dekatnya. Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa penentuan asosiasi dengan Tabel Contingency sebaiknya dilanjutkan dengan pengujian nilai koefisien asosiasi, sehingga dapat diketahui apakah asosiasinya positif atau negatif seperti yang bisa dilihat pada Tabel 3. B. Hasil dan Pembahasan Data Parashorea malaanonan di Hutan Adat Desa Setulang, Kabupaten Malinau 1. Analisa Vegetasi Pada area studi tercatat sebanyak 75 jenis yang ditemukan untuk tingkat pohon. Dari 75 jenis tingkat pohon yang ditemukan, ada sekitar 9 jenis tingkat pohon yang memiliki INP diatas 10%, sedangkan untuk pohon P. malaanonan Merr hanya memiliki INP sebesar 2,8 % dan hanya berada pada urutan ke-27 dari 75 jenis tanaman yang ada. Berikut hasil penghitungan INP untuk ke-10 jenis pohon tersebut. Tabel 4. Data hasil analisa vegetasi No Nama Pohon KR DR FR INP 1 Shorea macrophylla 7,69 15,35 5,0 28,04 2 kajen ase 10,25 7,29 4,6 22,16 3 Nyera'a 7,45 4,79 5,0 17,25 4 Bala Seven 5,12 5,77 5,0 15,90 5 Ubo 5,59 3,64 4,6 13,85 6 nyatok 4,42 3,70 4,6 12,74 7 Beneva 4,66 4,32 3,4 12,44 8 jambu-jambuan 5,36 3,14 3,8 12,35 9 Meranti Merah 2,33 6,08 2,6 11,10 27 P. malaanonan Merr 1,11 0,76 0,9 2,81 19

Info Teknis Dipterokarpa Vol. 5 No. 1, September 2012 : 13-23 Berdasarkan Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa jenis Shorea macrophylla merupakan jenis yang paling mendominasi dengan nilai INP sebesar 28,04%. Untuk jenis pohon yang memiliki INP terbesar kedua adalah jenis pohon Kajen ase, dengan INP sebesar 22,16%. Untuk nilai INP yang terbesar ke-3 dan ke-4 adalah jenis pohon Nyera'a dan Bala seven yaitu 17,25% dan 15,90%. Selanjutnya, untuk jenis pohon yang memiliki INP terbesar ke-5 sampai dengan ke-9 adalah Ubo dengan INP 13,85%, Nyatok dengan INP 12,74%, Beneva dengan INP 12,44%, Jambu-jambuan dengan INP 12,35% dan Meranti Merah dengan INP 11,10%. Sedangkan P. malaanonan Merr hanya memiliki nilai INP sebesar 2,81%. Berdasarkan keterangan data diatas bisa di jelaskan bahwa jenis pohon Shorea macrophylla mendominasi area plot penelitian baik dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan luas penutupan relatifnya. Sedangkan P. malaanonan Merr hanya memiliki INP yang sangat kecil, yang berarti keberadaan P. malaanonan sangat sedikit di area penelitian khususnya dan di kawasan hutan adat Setulang. Yang menjadi persamaan tempat tumbuh antara P. malaanonan Merr di KHDTK Labanan, Berau dengan P. malaanonan Merr di hutan adat Desa Setulang, Malinau adalah mereka ditemukan hanya disekitar pinggir sungai, dan hidupnya tidak mengelompok, lebih kearah individualis. Ini membuktikan bahwa P. malanonan Merr menyukai tempat tumbuh di daerah sepanjang pinggiran sungai. Hal ini sesuai dengan pendapat Soemarwoto (1983), bahwa habitat suatu organisme itu pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi yang perlu diperhatikan lagi adalah karena habitat dari P. malanonan Merr ini berada di sepanjang sungai, maka hal ini akan sangat rawan bagi jenis ini untuk diekploitasi oleh masyarakat karena aksesnya yang lebih mudah dijangkau serta kayu ini juga bernilai ekonomi tinggi. 2. Asosiasi Jenis dan Koefisien Assosiasi Hasil penghitungan INP diperoleh 9 jenis pohon dominan atau yang memiliki INP 10% (Tabel 4). Dari ke-9 jenis pohon yang dominan tersebut, akan dilihat bagaimana asosiasinya dengan P. malaanonan Merr. Dari hasil perhitungan korelasi 2 jenis yang menggunakan Tabel Contigency, maka dapat dilihat hubungan assosiasinya. Berdasarkan data pada Tabel 5, menunjukkan bahwa hasil uji korelasi 2 jenis antara P. malaanonan Merr dengan 9 jenis pohon yang dominan, dimana nilai X hitungnya semuanya 20

Analisis Vegetasi dan Assosiasi Jenis Pada Habitat Parashorea... lebih kecil daripada nilai X tabelnya, ini mengindikasikan bahwa tidak ada korelasi yang nyata antara ke-9 jenis pohon tersebut dengan P. malaanonan Merr, tetapi bila melihat hasil perhitungan koefisien assosiasi (C) yang digunakan sebagai parameter seberapa besar hubungan antara ke-9 jenis tersebut dengan P. malaanonan Merr, ada yang koefisien assosiasinya bernilai positif dan ada nilai koefisien assosiasinya negatif. Tabel 5. Nilai Assosiasi Jenis dan Koofisien Assosiasi No Asosiasi Jenis X²t X²t Nilai Tipe (1%) (5%) X² Assosiasi C 1 P. malaanonan Merr dengan Shorea 3,84 6,35 2,01 + 1,000 macrophylla 2 P. malaanonan Merr dengan kajen ase 3,84 6,35 2,01 - -0,923 3 P. malaanonan Merr dengan Nyera'a 3,84 6,35 2,36 - -1,083 4 P. malaanonan Merr dengan Bala Seven 3,84 6,35 2,36 - -1,083 5 P. malaanonan Merr dengan Ubo 3,84 6,35 2,01 - -0,923 6 P. malaanonan Merrdengan nyatok 3,84 6,35 2,01 - -0,923 7 P. malaanonan Merr dengan Beneva 3,84 6,35 0,18 + 0,219 8 P. malaanonan Merrdengan jambujambuan 3,84 6,35 3,26 + 1,000 9 P. malaanonan Merrdengan Meranti Merah 3,84 6,35 0,85 - -0,389 Keterangan : Nilai X² tabel pada taraf 5 % : 3,84, nilai X² tabel pada taraf 1 % : 6,35, + Assosiasi positip, - Assosiasi negatif Koefisien assosiasi yang bernilai positif adalah assosiasi P. malaanonan Merr dengan jenis pohon tengkawang, beneva dan jambu-jambuan. Sedangkan koefisien assosiasi yang bernilai negatif adalah assosiasi antara P. malaanonan Merr dengan Kajen ase, Nyera'a, Ubo, Bala seven, Nyatok, Meranti merah. Adanya nilai koefisien positif, mengindikasikan bahwa walaupun tidak ada hubungan yang nyata antara ke-9 jenis pohon dominan tersebut dengan P. malaanonan Merr, tetapi mereka masih bisa hidup secara bersama-sama dan tidak saling mengganggu satu sama lainnya. Ini berarti sesuai dengan pendapat Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974); Barbour et al. (1999), bahwa selain pengaruh interaksi pada suatu komunitas, tiap tumbuhan saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat yang sama. Sedangkan yang mempunyai nilai koefisien assosiasi negatif, ini berarti antara P. malaanonan dengan jenis pohon yang mempunyai koefisien assosiasi negatif bisa saling bersaing dalam memperebutkan zat makanan di habitatnya serta bisa saling menyingkirkan dengan mengeluarkan zat allelopaty sehingga menjadi racun bagi tanaman lainnya. Ini sesuai dengan pendapat Odum (1993), bahwa setiap anggota populasi dapat memakan anggota-anggota lainnya, bersaing terhadap makanan, mengeluarkan kotoran yang merugikan tanaman lainnya, dapat 21

Info Teknis Dipterokarpa Vol. 5 No. 1, September 2012 : 13-23 saling membunuh, dan interaksi tersebut dapat searah ataupun dua arah (timbal balik). V. KESIMPULAN Parashorea malaanonan Merr merupakan jenis dari famili Dipterokarpa yang mempunyai habitat di sekitar pinggiran sungai. Jenis ini hidupnya lebih kearah individualis atau tidak mengelompok. Parashorea malaanonan juga tidak memiliki assosiasi yang tetap terhadap jenis lain sehingga keberadaan jenis ini lebih dipengaruhi kondisi ekologi habitatnya serta akses habitatnya. Keberadaan jenis ini sekarang sangat kritis karena ditemukan dalam jumlah yang sedikit baik di hutan Labanan, Berau maupun di hutan adat Desa Setulang, Malinau. Hal ini mungkin disebabkan oleh habitatnya yang berada di pinggiran sungai sehingga aksesnya lebih mudah untuk mengekploitasi jenis ini. DAFTAR PUSTAKA Barbour, B.M., J.K. Burk, and W.D. Pitts. 1999. Terrestrial Plant Ecology. New York: The Benjamin/Cummings. Bratawinata, AA. 1998. Ekologi Hutan Hujan Tropis dan Metoda analisis Hutan. Laboratorium Ekologi dan Dendrologi. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda. Djufri. 2002. Penentuan pola distribusi, asosiasi dan interaksi spesies tumbuhan khususnya Padang Rumput di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Biodiversitas 3 (1):181-188. Daubenmire, R. 1968. Plant Communities: A Text Book of Plant Synecology. New York: Harper & Row Publishers.Indriyanto, 2008. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. Kartawinata, K., S.Riswan., A.NG Gintings & T. Puspitojati. 2001. An Overview of Post-Extraction Secondary Forest in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science. Vol. 13(4):621-638. FRIM Kulala Lumpur Malaysia and CIFOR Bogor Indonesia. McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum. Edisi Kedua. Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting: Soedarsono. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press. 22

Analisis Vegetasi dan Assosiasi Jenis Pada Habitat Parashorea... Mueller-Dombois, D.; H. Ellenberg. 1974. Aimand Methods of Vegetation Ecology. John Willey and Sons. Canada Odum, E. HLM. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahyono Samingan dari buku Fundamentalis of Ecology. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif : Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Jakarta : Penerbit Usaha Nasional. Whittaker, R. H. And G. E. Likens. 1975. The Biosphere of Man, In Primary Productivity of The Biosphere. Edit by : Lieth and Whittaker. Springler-Verlag, New York. 23