BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana penanganan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan dan tujuan dari bangsa

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB I PENDAHULUAN. di masa mendatang sangat bergantung pada kondisi anak-anak sekarang. Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lembaga pembinaan atau sering disebut LAPAS yaitu tempat untuk

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Institute for Criminal Justice Reform

BAB V KESIMPULAN. dua cara kerja. Pertama dari prosedur tahapan kerja yang dilakukan BAPAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

BAB I PENDAHULUAN. I.1. JUDUL LEMBAGA PEMASYARAKATAN Yang Berorientasi Kepada Pembentukan Suasana Pendukung Proses Rehabilitasi Narapidana

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Layanan perpustakaan..., Destiya Puji Prabowo, FIB UI, 2009

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

1. Hubungan Sistem Pemasyarakatan dengan Lembaga-Lembaga Penegak Hukum Lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu

PENDAHULUAN. dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

1 dari 8 26/09/ :15

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang kejahatan semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. bagi pembangunan. Ini berarti, bahwa pembinaan dan bimbingan yang. diberikan mencakup bidang mental dan keterampilan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 1999 TENTANG KERJASAMA PENYELENGGARAAN PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 1999 TENTANG KERJASAMA PENYELENGGARAAN PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Tahanan Negara Klas I Medan yang berlokasi di Jalan Lembaga

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Institute for Criminal Justice Reform

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

Kriminalitas Sebagai Masalah Sosial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Maksudnya adalah bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di BAPAS. kerjaannya untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam

GUILTY FEELING PADA RESIDIVIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemasyarakatan mengalami keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan

BAB V PENUTUP. dijabarkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan :

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Manusia dengan segala aspek kehidupannya itu melaksanakan aktivitas dalam

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi,

PP 57/1999, KERJA SAMA PENYELENGGARAAN PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. Pembahasan kriminalitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. harapan-harapan dari orang tua dan negara ini berada. Dapat dikatakan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS BRAWIJAYA NOMOR 536 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. landasan pendiriannya yang telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang melakukan tindak pidana dan oleh hakim dijatuhi hukuman masuk ke Lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

PROFIL NARAPIDANA BERDASARKAN HIERARKI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW. Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan prinsip pemasyarakatan : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 31 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat. untuk menjunjung tinggi norma-norma kehidupan mencapai masyarakat

MENGIMPLEMENTASIKAN UPAYA KESEHATAN JIWA YANG TERINTEGRASI, KOMPREHENSIF,

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Institute for Criminal Justice Reform

Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1989 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL. penjelasan pasal demi pasal BAB I KETENTUAN UMUM.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian peranan menurut Soejono Soekanto (2002;234) adalah sebagai berikut:

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. Problema dan solusi..., Djoni Praptomo, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB II PENGERTIAN ANAK PIDANA DAN HAK-HAKNYA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apabila kita mencermati konsep pemasyarakatan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana penanganan terhadap narapidana didasarkan pada konsep pembinaan dan bimbingan serta rehabilitasi dan reintegrasi sosial, maka pendekatan yang harus dilakukan semestinya adalah pendekatan secara individual. Namun konsep ini ternyata sampai sekarang belum dapat diterapkan sebagaimana yang diharapkan, karena Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, adalah merupakan undangundang Pokok yang harus dijabarkan lebih lanjut peraturan-peraturan pelaksanaanya. Keributan-keributan antar narapidana di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (LP), menunjukkan belum profesionalnya sistem pembinaan narapidana di Indonesia, termasuk petugas-petugasnya. Selain itu juga disebabkan adanya disparitas pidana, diskriminasi diperlakukan, dan tidak berfungsinya hakim wasmat (pengawas pengamat). Disparitas pidana merupakan pemidanaan yang dianggap tidak adil karena dibandingkan dengan orang yang sederajat tindak pidana dengan dirinya mendapatkan pidana lebih ringan tapi dia lebih berat. Secara umum, pembinaan narapidana di LP, dirusak oleh adanya perbedaan perlakuan atau perbedaan tingkat sosial para narapidana. Berhasil tidaknya urusan pembinaan di LP tidak hanya dimulai pada saat orang masuk pintu gerbang LP,

perlakuan yang diterima sebelum masuk LP juga berpengaruh. Jadi, kesadaran pembinaan itu tidak hanya pada petugas LP saja, Polisi juga harus memperlakukan tahanan dengan baik, sedang pengadilan juga harus menghindarkan terjadinya disparitas pidana. Menurut penelitian di luar negeri, salah satu penyebab timbulnya pemberontakan di penjara adalah perasaan tidak adil akibat disparitas pidana serta perlakuan tidak adil yang dirasakan narapidana. Penderitaan akibat masalah itu membuat narapidana mudah meledak. Pembinaan di LP dirasakan tidak ada artinya lagi karena dia merasa menjadi korban ketidak-adilan. Seringkali pemberontakan atau kekacauan di dalam penjara bukan sebagai akibat kondisi di penjara. Tapi justru akibat proses sistem peradilan pidana yang tidak memuaskan mereka, misalnya pemeriksaan di kepolisian, pemeriksaan di kejaksaan, dan keputusan pengadilan yang tidak memuaskan. Itu semua sudah dibawa akumulasi ketika masuk penjara, sehingga program LP seringkali gagal karena proses sebelumnya. Salah satu kelemahan LP di Indonesia, adalah kurangnya petugas profesional sebagai Pembina, misalnya ahli-ahli ilmu-ilmu sosial yang betul-betul terdidik dan sarjana. Walaupun ada perkembangan baru dengan UU Pemasyarakatan, petugas LP mendapat tunjangan fungsional, akan lebih baik kalau LP bisa merekrut sarjana ilmu sosial untuk membina narapidana, misalnya psikolog, antropolog atau psikiater dan sebagainya.

Untuk mengantisipasi masalah tersebut, perlu dipikirkan upaya meningkatkan kemampuan petugas LP agar mampu mengambil langkah preventif sebelum terjadi kerusuhan yang bisa menimbulkan jatuhnya korban. Sedang kesejahteraan petugas LP perlu dipikirkan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu lembaga yang berperan penting dalam kepribadian manusia yang sedang menjalani masa hukuman karena pelanggaran yang telah dibuatnya. Peranan Lembaga Pemasyarakatan tersebut dipandang semakin strategis, berkenaan dengan semakin merebaknya kejahatan yang sudah barang tentu menambah penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan narapidana di LP, memerlukan penanganan yang utuh dan terpadu (holistic) berdasarkan nilai-nilai pancasila. Pada diri narapidana ini diharapkan dapat mensinergikan kembali narapidana ke tengah kehidupan masyarakat guna menjalankan fungsi dan peran sosialnya setelah menjalani masa hukuman, yang pada akhirnya akan dapat menopang pembangunan nasional. Program pembinaan dan bimbingan narapidana di LP tersebut dimaksudkan agar narapidana menjadi warga Negara yang baik. Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena melakukan tindak pidana. Mereka perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga yang berfaedah di tengahtengah masyarakat.

Hasil dari beberapa penelitian seperti Marlina (1995), tentang Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II Tanjung Gusta Medan, dan Situmeang R (2008), tentang Fungsi dan Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam Pembinaan Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas II Tanjung Gusta Medan menunjukkan adanya hambatan-hambatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun permasalahan-permasalahan yang sering ditemukan yaitu : 1. Sarana gedung Lembaga Pemasyarakatan 2. Masalah sarana pembinaan narapidana. Bahwa sarana untuk pendidikan ketrampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya. Dengan demikian sifat pendidikan ketrampilan disesuaikan dengan sarana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat keadaan seperti tersebut di atas, akibatnya banyak narapiada atau anak didik setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak mempunyai bekal kependidikan atau ketrampilan. 3. Masalah Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Berkenaan dengan permasalahan petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, dalam hal ini ketiga Lembaga Pemasyarakatan yang dijadikan sebagai obyek penelitian, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan humanis yang menyentuh perasaan narapidana, dan mampu

berdaya cipta dalam melakukan pembinaan, baik berdasarkan pengalaman dalam menjalankan tugas maupun berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari sekolah (misalnya Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Ilmu Psikologi dll). Muhamad Husni Mubaroq Al-Iqbal (2008), menyatakan realitas program pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga, tak bisa dipisahkan dari kondisi sumber daya petugas yang secara umum tidak cukup kapabel. Hal ini di antaranya disebabkan oleh : 1. Sistem perekrutan yang tidak didasari oleh kebutuhan kualifikasi personil. 2. Lemahnya keterkaitan kurikulum Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) sebagai institusi yang menghasilkan lulusan untuk bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan, padahal jumlah mereka sangat signifikan dan menduduki posisiposisi penting. 3. Kurangnya pengkayaan kemampuan petugas LP dan Bapas melalui pelatihanpelatihan, dan buruknya sistem gaji dan tunjangan pegawai LP dan Bapas yang berpengaruh pada kinerja personil dan lembaga. 4. Mekanisme evaluasi kerja dan jenjang karir petugas yang tak jelas dan tranparan. 5. Friksi antar pegawai yang berasal dari AKIP dengan non AKIP, yang dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif, merendahkan petugas dari non AKIP. 6. Anggaran dana operasional untuk lembaga yang sangat minim, dan ketika bertemu dengan moralitas pejabat lembaga yang korup, maka kondisi ini menjadi sangat menekan biaya-biaya operasional yang semestinya tidak bisa dikurangi. Sudah dana terbatas, semakin terbatas karena dikorup, pengalokasiannya tidak

tepat sasaran, dan tidak efisien (adanya pemborosan-pemborosan karena melakukan tender tertutup untuk pengadaan barang, makanan untuk operasional lembaga). 7. Dan yang terutama adalah, kesenjangan konsep pemasyarakatan dengan realitas pelaksanaan di lapangan. Adapun usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala dalam pembinaan narapidana antara lain adalah: Pertama, dalam rangka mengatasi kekurangan sarana pembinaan narapidana dalam bentuk gedung, pemerintah secara berangsur-angsur telah merehabilitasi bangunan Lembaga Pemasyarakatan; Kedua, untuk mengatasi kebutuhan di bidang sarana pembinaan ketrampilan Lembaga Pemasyarakatan seringkali mendapatkan bantuan dari pihak pemerintah berupa alatalat latihan ketrampilan seperti mesin jahit, alat-alat kesenian, pertukangan, dan perbengkelan. Di samping juga mengadakan kerja sama dengan perusahaanperusahaan swasta guna melengkapi kekurangan sarana ketrampilan tersebut; Ketiga, menambah tenaga baru lulusan Akademi Ilmu Pemasyarakatan, serta memberikan kesempatan bagi tenaga yang sudah ada untuk mengikuti kursus-kursus / penataranpenataran tentang pembinaan narapidana yang diselenggarakan Departemen Kehakiman ataupun Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Di sisi lain, budaya organisasi dan lingkungan kerja di LP juga dapat mempengaruhi bagaimana kinerja petugas LP dalam berperan sebagai Petugas pembinaan. Dalam hal ini, budaya organisasi dapat dilihat dari kemampuan tehnik petugas, kerjasama tim (team work), dan potensi kepribadian yang dimiliki oleh

petugas dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawab khususnya dalam pembinaan narapidana. Dalam hal potensi kepribadian petugas ini, dimaksudkan pada tingkat pemahaman dimensi struktural dan pemahaman dimensi interaksional petugas. Pemahaman dimensi struktural adalah suatu keadaan dimana petugas pembina memiliki informasi yang cukup tentang apa yang menjadi tugas, batas-batas wewenangnya, tanggung jawabnya, hak-haknya, sifat pekerjaannya dan sebagainya. Sedangkan pemahaman dimensi interaksional adalah suatu keadaan dimana petugas pembina dalam hal penerimaan tugas memiliki kemampuan pendidikan dan pengalaman yang cukup dan mampu menghadapi hambatan dalam tugas. Dengan memadainya tingkat pemahaman dimensi struktural dan dimensi interaksinal petugas otomatis peran aktifnya sebagai petugas pembina para narapidana di lembaga pemasyarakatan dapat lebih berhasil guna dan tepat sasaran. Dengan dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, penulis ingin membahas tentang peran aktif petugas ditinjau dari pemahaman dimensi struktural dan dimensi interaksional petugas terhadap pembinaan narapidana dengan lokus penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Binjai.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana pengaruh peran aktif petugas ditinjau dari pemahaman dimensi struktural dan pemahaman dimensi interaksional petugas terhadap pembinaan narapidana di Lembaga Kemasyarakatan Klas II-A Binjai. 1.3. Tujuan Penelitian Dari rumusan permasalahan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pemahaman dimensi struktural petugas. 2. Untuk mengetahui pemahaman dimensi interaksional petugas. 3. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan narapidana. 4. Untuk mengetahui pengaruh peran aktif petugas ditinjau dari pemahaman dimensi struktural dan pemahaman dimensi interaksional terhadap pembinaan narapidana Klas II-A Binjai. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara khusus diharapkan : 1. Dengan mengetahui peran atau fungsi petugas lembaga pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Binjai, akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan pada masing-masing sektor yang terlibat dalam manajemen lembaga pemasyarakatan.

2. Dengan mengetahui hambatan-hambatan dalam pembinaan narapidana akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk membuat kebijakan-kebijakan pada masing-masing sektor yang terlibat dalam manajemen lembaga pemasyarakatan Klas II-A Binjai. Selanjutkan diharapkan agar hasil penelitian ini secara umum dapat bermanfaat bagi : 1. Pihak Pemerintah dalam hal ini Depkumham, untuk memperoleh umpan balik dalam merumuskan suatu gambaran sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Binjai. 2. Bagi pihak Akademik, sebagai pengembangan ilmu dalam bidang manajemen secara umumnya dan menambah informasi dan pengetahuan dalam operasional pembangunan di Sumatera Utara. 1.5. Kerangka Konseptual Beberapa pengertian yang terkait dengan judul penelitian ini dapat diuraikan terdiri dari (1) Peran aktif, menurut Newcom, dkk dalam Asri (2004) menggambarkan konsistensi tingkah lakunya terhadap tata hubungan yang relatif stabil dengan orangorang lain dalam kelompoknya. Berarti pengertian peran aktif di sini adalah tindakan atau tingkah laku yang berkesinambungan dalam kaitannya dengan tata hubungan dalam kelompok/organisasi; (2) Pemahaman dimensi struktural adalah suatu keadaan dimana petugas pembina memiliki informasi yang cukup tentang apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, hak-haknya, sifat pekerjaannya dan sebagainya;

(3)Pemahaman dimensi interaksional adalah suatu keadaan dimana petugas pembina dalam hal penerimaan tugas memiliki kemampuan pendidikan dan pengalaman yang cukup dan mampu menghadapi hambatan dalam tugas; (4) Pembinaan narapidana adalah keseluruhan tindakan yang dilakukan petugas Lembaga Pemasyarakat berdasarkan sejauh mana upaya yang dilakukan oleh pihak LP untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; (5) Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab; (6) Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan; (7) Warga Binaan Pemasyarakat adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan; dan (8) Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.

Selanjutnya dalam bentuk bagan kerangka konseptual penelitian dapat digambarkan sebagai berikut : PEMAHAMAN DIMENSI STRUKTURAL PERAN AKTIF PETUGAS PEMBINAAN PEMBINAAN NARAPIDANA PEMAHAMAN DIMENSI INTERAKSIONAL Gambar 1.1. Kerangka Konsep 1.6. Hipotesis Yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh peran aktif petugas ditinjau dari pemahaman dimensi struktural dan pemahaman dimensi interaksional terhadap pembinaan narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas II-A Binjai.