PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2014 TENTANG

dokumen-dokumen yang mirip
2 Wewenang, Pelanggaran dan Tindak Pidana Korupsi Lingkup Kementerian Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggar

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 34/Menhut-II/2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/PERMEN-KP/2013 TENTANG

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR: PK. 11 TAHUN 2014 TENTANG

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Re

MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1408, 2013 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI. Whistleblower System. Pelaksanaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. No.1386, 2012 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Pengaduan. Laporan. Penanganan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

2015, No Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 14

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2015, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 t

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala LIPI tentang Pengelolaan Pengadu

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL,

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852); 2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 200

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-026/A/JA/10/2013 TENTANG

2 Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembar

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 126 TAHUN 2014 TENTANG

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

-2- Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik

2016, No Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

2 Pelanggaran di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih da

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lemb

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR : KEP. 13 TAHUN 2012

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL. Sistem Penanganan Pengaduan. Tindak Pidana Korupsi.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT TERPADU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN NOMOR 3 TAHUN 2014

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2014, No639 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 462/KMK.09/2004 TENTANG

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS AIRLANGGA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan

2 Korupsi di Badan Koordinasi Penanaman Modal sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Negara Repu

penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga terwujud pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme;

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2016 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);

2 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Ind

2017, No Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian N

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pe

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR : 29/M-IND/PER/6/2013 TENTANG

2015, No Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotism

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2009 TENTANG

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.13/MENHUT-II/2012 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN SECARA ONLINE

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 76 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PELAPORAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG WAJIB LAPOR HARTA KEKAYAAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 017 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PELAPORAN HARTA KEKAYAAN APARATUR SIPIL NEGARA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN SOSIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR: 76 TAHUN 2017 TENTANG

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

Transkripsi:

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN ATAS PENYALAHGUNAAN WEWENANG, PELANGGARAN DAN TINDAK PIDANA KORUPSI LINGKUP KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-II/2013 telah ditetapkan ketentuan tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Internal (Whistleblowing system) dan Eksternal (Pengaduan Masyarakat) atas Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Kementerian Kehutanan; b. bahwa dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2014, serta berdasarkan evaluasi pelaksanaan, dan kajian Kementerian Kehutanan bersama-sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), peraturan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu disempurnakan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Atas Penyalahgunaan Wewenang, Pelanggaran dan Tindak Pidana Korupsi Lingkup Kementerian Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150); 3. Undang-Undang...

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4632); 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432); 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); Memperhatikan 7. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 122); 8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut- II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut- II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 779); 9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut- II/2011 Tentang Pedoman Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 76). : Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 08/M.PAN RB/06/2012 tentang Sistem Penanganan Pengaduan Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah; MEMUTUSKAN:...

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN ATAS PENYALAHGUNAAN WEWENANG, PELANGGARAN DAN TINDAK PIDANA KORUPSI LINGKUP KEMENTERIAN KEHUTANAN. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Pegawai Negeri Sipil adalah setiap Warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan perundangan yang berlaku. 2. Pelanggaran Disiplin adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. 3. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001. 4. Whistleblowing system adalah tindakan penanganan pengaduan yang disampaikan oleh Pejabat/Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Kehutanan dan masyarakat terkait adanya dugaan atau terjadinya penyalahgunaan wewenang, pelanggaran dan tindak pidana korupsi di Kementerian Kehutanan. 5. Identifikasi khusus adalah proses kegiatan untuk mendapatkan penegasan mengenai masalah yang dilaporkan dan keberadaan terlapor baik bersifat perorangan, kelompok maupun institusional. 6. Pengumpulan bahan dan keterangan adalah proses penjernihan atau kegiatan yang berupa meminta penjelasan mengenai permasalahan yang diadukan pada proporsi yang sebenarnya kepada sumber pengaduan dan instansi terkait. 7. Tindak lanjut adalah suatu kegiatan lanjutan yang wajib dilakukan oleh pimpinan instansi/unit kerja yang berwenang atas rekomendasi atau saran aparat pengawasan berdasarkan hasil penelitian atau pemeriksaan suatu kasus tertentu yang diadukan oleh Pejabat/PNS dan masyarakat. 8. Audit Investigasi adalah serangkaian kegiatan mengenali, mengidentifikasi, dan menguji secara detail informasi dan fakta-fakta yang ada untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya dalam rangka pembuktian untuk mendukung proses hukum atas dugaan penyalahgunaan wewenang, pelanggaran dan tindak pidana korupsi yang diadukan. 9. Pelapor...

9. Pelapor adalah setiap orang yang mengetahui dan memberikan laporan serta informasi tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu penyalahgunaan wewenang, pelanggaran atau tindak pidana korupsi kepada pejabat yang berwenang dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkan. 10. Terlapor adalah PNS atau unit kerja pada Kementerian Kehutanan yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan/atau pelanggaran dan/atau tindak pidana korupsi. 11. Saksi Pelapor adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami atau terkait dengan penyalahgunaan wewenang, pelanggaran atau tindak pidana korupsi dan melaporkannya kepada pejabat yang berwenang untuk diusut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu penyalahgunaan wewenang, pelanggaran atau tindak pidana korupsi yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. 13. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman dan penghargaan kepada Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang bekerjasama, wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup Pasal 2 Peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi masing-masing eselon I di lingkungan Kementerian Kehutanan, untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pejabat/pegawai pada masing-masing unit eselon I Lingkup Kementerian Kehutanan dan masyarakat dalam upaya penanganan tindak lanjut atas pengaduan, baik terhadap penyalahgunaan wewenang, pelanggaran maupun tindak pidana korupsi. Tujuan pedoman ini untuk: Pasal 3 a. Memberikan pedoman kepada pejabat/pegawai lingkup Kementerian Kehutanan dan masyarakat dalam menyampaikan pengaduan terjadinya penyalahgunaan wewenang, pelanggaran dan tindak pidana korupsi. b. Memberikan pedoman kepada pejabat/pegawai lingkup Kementerian Kehutanan dalam menangani dan menindaklanjuti pengaduan sebagaimana dimaksud pada huruf a. Pasal 4 Ruang lingkup dari Pedoman ini, meliputi: a. jenis dan sumber pengaduan; b. penanganan pengaduan; c. kerahasiaan dan perlindungan; d. rehabilitasi; e. pembinaan. BAB II...

BAB II JENIS DAN SUMBER PENGADUAN Pasal 5 (1) Jenis pengaduan, meliputi : a. penyalahgunaan wewenang; b. pelanggaran kode etik; c. pelanggaran disiplin pejabat/pegawai; dan d. tindak pidana korupsi (2) Pengaduan bersumber dari : a. pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian Kehutanan; b. badan/lembaga/instansi pemerintah dan pemerintah daerah; c. badan hukum; d. organisasi masyarakat; e. media massa; dan f. perorangan. BAB III PENANGANAN PENGADUAN Bagian Kesatu Mekanisme Penanganan Pasal 6 (1) Setiap pejabat/pegawai Kementerian Kehutanan yang melihat dan/atau mengetahui adanya penyalahgunaan wewenang, pelanggaran atau tindak pidana korupsi terhadap pelayanan yang diberikan oleh pejabat/pegawai Kementerian Kehutanan pada masyarakat, wajib melaporkan kepada Pejabat yang berwenang dilingkungan Kementerian Kehutanan. (2) Dalam hal masyarakat melihat, mengalami, mengetahui adanya penyalahgunaan wewenang, pelanggaran, tindak pidana korupsi dan/atau merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian Kehutanan, dapat menyampaikan pengaduan kepada Pejabat yang berwenang dilingkungan Kementerian Kehutanan. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksudkan ayat (2) yaitu masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf f. Pasal 7 (1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dapat disampaikan secara: a. langsung; dan/atau b. tidak langsung. (2) Pengaduan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat disampaikan kepada: a. Menteri Kehutanan; b. masing-masing Eselon I lingkup Kementerian Kehutanan; dan/atau c. Kepala Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan. (3) Pengaduan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disampaikan kepada: a. Menteri Kehutanan, b. Eselon I lingkup Kementerian Kehutanan; dan/atau c. Kepala Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan. (4) Pengaduan...

(4) Pengaduan dan/atau pernyataan tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dapat disampaikan kepada: a. Menteri; b. Eselon I Lingkup Kementerian Kehutanan;dan/atau c. Kepala Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan. (5) Pengaduan dan/atau pernyataan tidak puas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat disampaikan melalui : a. surat; b. surat elektronik (e-mail) melalui pengaduanmasyarakat@dephut.go.id atau investigasi@dephut.go.id; c. faxsimile; dan/atau d. aplikasi pengaduan melalui (www.dephut.go.id/indx.php/pengaduan) Bagian Kedua Pelaporan Tindak Lanjut Penanganan Dan Pemantauan Pasal 8 (1) Setiap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, yang disampaikan kepada Menteri, Pejabat pada masingmasing unit Eselon I, Kepala Unit Pelaksana Teknis paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima pengaduan segera menyampaikan kepada Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Investigasi untuk ditindaklanjuti. (2) Setiap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c yang disampaikan kepada Menteri, paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima pengaduan segera menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal untuk ditindaklanjuti. (3) Setiap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, yang disampaikan kepada Pejabat pada masing-masing unit Eselon I dan Kepala Unit Pelaksana Teknis paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima pengaduan dimaksud, segera ditindaklanjuti. Pasal 9 (1) Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Investigasi, dalam waktu paling lambat 4 (empat) hari kerja setelah menerima pengaduan yang disampaikan oleh Menteri, Pejabat pada masing-masing unit Eselon I, dan Kepala Unit Pelaksana Teknis Lingkup Kementerian Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), segera menindaklanjuti. (2) Dalam menindaklanjuti pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Inspektorat Jenderal c.q Inspektorat Investigasi, wajib menjaga kerahasiaan identitas pelapor. (3) Menteri, Pejabat Eselon I lingkup Kementerian Kehutanan, Kepala Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diperbolehkan mengungkapkan identitas pelapor kepada Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat investigasi. Pasal 10 (1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), paling sedikit memuat: a. tempat kejadian; b. waktu kejadian; c. pihak yang terlibat; dan d. kronologis kejadian. (2) Pengaduan...

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilengkapi dengan dokumen atau bukti pendukung lainnya. Pasal 11 (1) Pengaduan yang disampaikan baik dengan atau tanpa identitas pelapor, wajib ditindaklanjuti oleh Menteri, Pejabat pada masing-masing unit Eselon I dan Kepala Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan. (2) Apabila pengaduan disertai identitas pelapor maka pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan jawaban secara tertulis kepada pihak pelapor paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pengaduan diterima. Pasal 12 (1) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Investigasi melakukan verifikasi atas setiap pengaduan yang diterima. (2) Berdasarkan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengaduan dikelompokan berdasarkan kriteria, yaitu : a. diarsipkan; b. dilakukan pengumpulan bahan dan keterangan; c. dilimpahkan ke instansi terkait di pusat /daerah; d. dilimpahkan ke Inspektorat I/II/III/IV; e. dilakukan identifikasi khusus; f. dilakukan audit investigasi; dan/atau g. dilimpahkan kepada aparat penegak hukum. (3) Hasil verifikasi atas pengaduan dikategorikan diarsipkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, apabila tidak cukup alasan untuk dilakukan penanganan lebih lanjut. (4) Hasil verifikasi atas pengaduan dikategorikan dilakukan pengumpulan bahan dan keterangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, apabila : a. pengecekan permasalahan yang dilakukan kepada sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan berkaitan dengan permasalahan yang diadukan; b. perumusan kondisi yang senyatanya terjadi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau c. penjelasan dilakukan melalui surat dinas, surat kabar atau media massa lainnya. (5) Hasil verifikasi atas pengaduan dikategorikan dilimpahkan ke instansi terkait pusat/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, apabila: a. informasi yang diterima masih dapat ditangani oleh instansi terkait pusat/daerah; dan/atau b. merupakan pelanggaran kode etik dan pelanggaran disiplin. (6) Hasil verifikasi atas pengaduan dikategorikan dilimpahkan kepada Inspektorat I/II/III/IV, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, apabila memenuhi syarat relevan, kompeten, cukup dan material untuk ditindaklanjuti dengan audit reguler. (7) Hasil...

(7) Hasil verifikasi atas pengaduan dikategorikan dilakukan identifikasi khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, apabila : a. termuat identifikasi terlapor; b. komunikasi kepada pimpinan instansi terlapor; c. informasi tambahan dari sumber lain atas permasalahan yang diadukan; dan/atau d. pengumpulan bukti-bukti awal sebagai bahan pendukung pengumpulan fakta. (8) Hasil verifikasi atas pengaduan dikategorikan dilakukan audit investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, apabila : a. identifikasi terlapor jelas; b. substansi pengaduan menyajikan fakta-fakta yang jelas mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang, pelanggaran dan tindak pidana korupsi; dan/atau c. substansi pengaduan mengungkapkan nilai material dan terkait dengan kepentingan masyarakat luas. (9) Hasil verifikasi atas pengaduan dikategorikan dilimpahkan ke aparat penegak hukum, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g, apabila berdasarkan hasil audit investigasi merupakan tindak pidana korupsi. Pasal 13 (1) Terhadap hasil audit investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (8), dituangkan dalam Laporan Hasil Audit Investigasi yang memuat: a. latar belakang/pokok permasalahan; b. ruang lingkup; c. tujuan audit investigasi; d. hasil pemeriksaan; e. simpulan ; dan f. rekomendasi. (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dapat berupa : a. penjatuhan hukuman disiplin; b. pengembalian kerugian negara; c. penyampaian hasil pemeriksaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. penyampaian hasil pemeriksaan kepada Kejaksaan Republik Indonesia; dan/atau e. penyampaian hasil pemeriksaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Laporan Hasil Audit Investigasi disampaikan kepada Menteri, Pejabat Eselon I yang bersangkutan dan/atau diteruskan kepada pejabat yang berwenang memberikan sanksi. (4) Putusan penjatuhan hukuman disiplin diterbitkan oleh pejabat yang berwenang menghukum paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya hasil audit investigasi dengan ditembuskan kepada Inspektur Jenderal. (5) Rekomendasi pengembalian kerugian negara disampaikan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Pasal 14 (1) Dalam hal pelapor meminta penjelasan mengenai perkembangan dan/atau tindak lanjut atas pengaduan yang disampaikan, pelapor dapat menghubungi unit kerja penerima pengaduan dan/atau Eselon I terkait sesuai prosedur yang telah ditetapkan. (2) Ketentuan...

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur permintaan penjelasan atas perkembangan dan/atau tindak lanjut atas pengaduan diatur dengan peraturan Sekretaris Jenderal. Pasal 15 Pelimpahan kepada aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (9), antara lain kepada Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 16 Terhadap pengaduan yang disampaikan kepada Pejabat pada masing-masing Eselon I, Kepala Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), yang telah ditindaklanjuti atau diverifikasi, hasilnya disampaikan kepada Inspektorat Jenderal Cq. Inspektorat Investigasi, sebagai bahan laporan kepada Menteri. BAB IV PELAPORAN DAN PEMANTAUAN TINDAK LANJUT PENGADUAN Pasal 17 (1) Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Kehutanan, membuat laporan bulanan kemajuan penanganan tindak lanjut pengaduan kepada Pimpinan Unit Eselon I masing-masing dengan tembusan kepada Inspektur Jenderal paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. (2) Dalam hal tanggal 10 jatuh pada hari libur, laporan bulanan kemajuan penanganan tindak lanjut pengaduan dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada hari kerja berikutnya. (3) Pimpinan Eselon I, membuat laporan bulanan kemajuan penanganan tindak lanjut pengaduan kepada Menteri dengan tembusan kepada Inspektur Jenderal paling lambat tanggal 15 setiap bulannya. (4) Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari libur, laporan bulanan kemajuan penanganan tindak lanjut pengaduan dimaksud pada ayat (3) disampaikan pada hari kerja berikutnya (5) Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Investigasi setiap triwulan atau sewaktu-waktu membuat laporan kemajuan penanganan tindak lanjut pengaduan kepada Menteri dengan tembusan kepada Pimpinan masingmasing unit Eselon I. (6) Laporan triwulan atas penanganan tindak lanjut pengaduan dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri dengan ketentuan : a. Laporan Triwulan I, disampaikan paling lambat tanggal 25 April; b. Laporan Triwulan II, disampaikan paling lambat tanggal 25 Juli; c. Laporan Triwulan III, disampaikan paling lambat tanggal 25 Oktober; d. Laporan Triwulan IV, disampaikan paling lambat tanggal 25 Januari. (7) Dalam hal tanggal 25 jatuh pada hari libur, laporan triwulan penanganan tindak lanjut pengaduan dimaksud pada ayat (6) disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 18 Sekretaris Jenderal melakukan pemantauan penanganan tindak lanjut pengaduan di lingkungan Kementerian Kehutanan. Pasal 19...

Pasal 19 (1) Inspektorat Jenderal bersama-sama dengan Pusat Hubungan Masyarakat mempublikasikan pelaksanaan pengelolaan pengaduan di lingkungan Kementerian Kehutanan. (2) Dalam mempublikasikan hasil tindak lanjut pengaduan, wajib menjaga kerahasiaan pelapor. BAB V KERAHASIAN DAN PERLINDUNGAN Pasal 20 (1) Menteri, Pimpinan unit pada masing-masing Eselon I, dan Pimpinan Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan wajib memberikan perlindungan kepada pelapor, saksi pelapor atau saksi pelaku yang menyampaikan pengaduan. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara: a. menjaga kerahasiaan identitas pelapor, saksi pelapor atau saksi pelaku; b. meminta perlindungan kepada instansi yang berwenang. (3) Untuk memberikan perlindungan kepada whitstleblower (pejabat/pegawai dan masyarakat), Pimpinan masing-masing Eselon I, Pimpinan Unit Pelaksana Teknis lingkup Kementerian Kehutanan, Inspektorat Jenderal dapat meminta bantuan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 21 Barang siapa yang berdasarkan hasil tindak lanjut pengaduan terbukti membuat pengaduan palsu dan/atau membuat pengaduan yang bersifat fitnah, dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI REHABILITASI Pasal 22 Dalam hal terdapat kesalahan atau kekeliruan atas suatu putusan penjatuhan hukuman disiplin oleh Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), maka Eselon I bersangkutan wajib melakukan rehabilitasi. BAB VII PEMBINAAN Pasal 23 (1) Inspektorat Jenderal bersama-sama dengan Eselon I dan Instansi terkait melaksanakan pembinaan di lingkungan Kementerian Kehutanan. (2) Biaya yang timbul dalam pelaksanaan peraturan ini dibebankan pada anggaran Kementerian Kehutanan. BAB VIII...

BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 24 (1) Penanganan pengaduan yang telah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-II/2013, tetap sah dan berlaku selanjutnya menyesuaikan Peraturan ini. (2) Penanganan pengaduan yang telah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-II/2013, namun masih dalam tahap proses penanganan, proses penanganan lebih lanjut berpedoman pada Peraturan ini. BAB IX PENUTUP Pasal 25 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-II/2013 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Internal (Whistleblowing system) dan Eksternal (Pengaduan Masyarakat) atas tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Kementerian Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 26 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 September 2014 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. ZULKIFLI HASAN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1269 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI, ttd. KRISNA RYA