Pemetaan Kinerja Pendapatan Asli Daerah dan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kota Jambi. Oleh:

BAB III METODE PENELITIAN. Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN dengan menggunakan data. Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

EVALUASI KINERJA KEUANGAN DAERAH SE KARESIDENAN PEKALONGAN TAHUN

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. yang bukan merupakan negara kapitalis maupun sosialis, melainkan negara

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN ANGGARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

ANALISIS PEMETAAN KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA PROPINSI JAMBI. Selamet Rahmadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. angka rasio rata-ratanya adalah 8.79 % masih berada diantara 0 %-25 %

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAN RELEVANSINYA DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali)

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V ANALISIS APBD. LP2KD Prov. Kaltara

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN TABALONG DALAM OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang. Nomor 25 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

BAB III METODE PENELITIAN. tersebut menggunakan rasio keuangan. Antara lain untuk kinerja keuangan

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Buleleng (4) Kab. Gianyar (5) Kab. Jembrana (6) Kab. Karangasem (7) Kab. Klungkung (8) Kab. Tabanan (9) Kota Denpasar.

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

Rasio Kemandirian Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian = x 100 Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB V PENUTUP. dengan rencana yang telah dibuat dan melakukan pengoptimalan potensi yang ada di

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KLATEN DILIHAT DARI PENDAPATAN DAERAH PADA APBD

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB III METODE PENELITIAN. berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang.

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil lokasi di Kabupaten Brebes dan Pemalang dengan data yang

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH DI KOTA GORONTALO (Studi Kasus DPPKAD Kota Gorontalo)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 3, Desember 2007 Hal: Daerah, Retribusi Daerah, BUMD dan Lain Pendapatan Asli daerah yang sah. Akan tet

INUNG ISMI SETYOWATI B

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA BARAT DALAM ERA OTONOMI DAERAH

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Pertumbuhan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTODA DI KABUPATEN NGANJUK

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan kesempatan untuk menyelenggarakan otonomi. daerah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

Lampiran 1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun (Juta Rupiah).

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ANGGARAN DAN REALISASI PADA APBD KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. (Otda) adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

ANALISIS KINERJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA (APBD) DITINJAU DARI RASIO KEUANGAN (Studi Kasus di Kabupaten Sragen Periode )

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten Aceh Timur

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

V. SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah :

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan untuk mengoreksi berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya. menjelaskan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Otonomi Daerah Istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa/kata latin yaitu

Transkripsi:

Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 1 No. 2, Oktober 2013 ISSN: 2338-4603 Pemetaan Kinerja Pendapatan Asli Daerah dan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Hasan Basri, Syaparuddin, Junaidi Program Magister Ilmu Ekonomi Fak. Ekonomi Universitas Jambi Abstrak. Penelitian ini bertjuan untuk menganalisis: (1) Struktur PAD dan APBD berdasarkan komposisinya, (2) Pertumbuhan PAD serta kontribusinya terhadap APBD dan (3) Kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi dalam melaksanakan otonomi daerah. Hasil penelitian antara lain menyimpulkan bahwa komposisi PAD terbesar berasal dari penerimaan lain-lain yang sah yaitu 42,32%;, komposisi tebesar dari APBD bersumber dari dana perimbangan sebesar 83,49%. Rata-rata pertumbuhan PAD kabupaten/kota di Provinsi Jambi sebesar 18,48%; rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD kabupaten/kota di Provinsi Jambi sebesar 6,33%. Kemampuan keuangan daerah, Kabupaten Batang Hari, Kota Jambi dan Kabupaten Sarolangun yang memiliki status kemampuan keuangan tinggi dibanding kabupaten/kota lain di Provinsi Jambi. Kata Kunci : Pemetaan PAD, Kinerja keuangan daerah, Growth, Share dan Elastisity. PENDAHULUAN Otonomi fiskal daerah merupakan salah satu aspek penting dari otonomi daerah secara keseluruhan, karena pengertian otonomi fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD seperti pajak, retribusi dan lain-lain. Namun harus diakui bahwa derajat otonomi fiskal daerah di Indonesia masih rendah, artinya daerah belum mampu membiayai pengeluaran rutinnya. Otonomi daerah bisa diwujudakan hanya apabila disertai keuangan yang efektif. Pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD (Radianto, 1997 ; A Halim, 2001). Realitas hubungan fiskal antara daerah dan pusat, ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini terlihat jelas dari rendahnya PAD terhadap total pendapatan dibandingkan dengan total subsidi yang didrop dari pusat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah pusat. Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya PAD yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Pada prinsipnya, semakin besar sumbangan PAD pada APBD, menunjukkan semakin kecilnya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan beberapa daerah menghadapi kesulitan menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah itu sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai pelbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Namun demikian, mobilisasi sumber dana secara berlebihan dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang tidak kondusif. 81

Keragaman potensi sumber penerimaan daerah menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam penerimaan PAD, hal ini perlu diminimalisir sehingga perlu dilakukan pemetaan PAD. Sehingga penulis memandang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam mengenai kemampuan keuangan daerah, dalam bentuk peta pendapatan asli daerah dan mengukur tingkat kemampuan keuangan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) Kinerja PAD Kabu-paten/ Kota di Provinsi Jambi; (2) Kemampuan keuangan daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi Jambi dalam melaksanakan otonomi daerah METODE ANALISIS 1. Pemetaan Kinerja PAD Kinerja PAD diukur dari pertumbuhan PAD dan kontribusinya terhadap APBD. Selanjutnya, pemetaan PAD dengan klasifikasi : Kuadran I II III IV Kondisi Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam APBD dan daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukan dengan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi. Kondisi ini belum ideal, tapi daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal sehingga PAD berpeluang memiliki peran besar dalam APBD. Sumbangan PAD terhadap APBD masih rendah namun pertumbuhan (growth) PAD tinggi. Kondisi ini belum ideal. Peran PAD yang besar dalam APBD punya peluang mengecil karena pertumbuhan PADnya kecil. Di sini sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. Kondisi ini paling buruk. PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah belum punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sumbangan PAD terhadap APBD rendah dan pertumbuhan PAD rendah. 2. Kemampuan keuangan daerah Dianalisis dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut: a. Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) merupakan rata-rata hitung dari Indeks Pertumbuhan (Growth), Indeks Elastisitas, dan Indeks Share. Untuk menyusun indeks ketiga komponen tersebut, ditetapkan nilai maksimum dan minimum dari masingmasing komponen. Menyusun indeks untuk setiap komponen IKK dilakukan dengan menggunakan persamaan umum ( Deddyk, 2003) X nilai min imum Indeks X nilai maksimum nilai min imum Selanjutnya Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) dirumuskan sebagai berikut : IKK = Keterangan: X G = Indeks Pertumbuhan (PAD) X E = Indeks Elastisitas (Belanja Pembangunan terhadap PAD) X S = Indeks Share (PAD terhadap APBD) Nilai IKK Kabupaten/Kota diurut dimulai dari yang mempunyai kemampuan keuangan terbesar, mempunyai kemampuan keuangan sedang, Dan mempunyai kemampuan keuangan rendah. b. Tingkat kemandirian daerah Tingkat kemandirian daerah diukur dengan menggunakan rumus (Usman, 2011): PAD TKD TPT Keterangan : TKD = Tingkat kemandirian daerah PAD = Pendapatan Asli Daerah TPT = Total penerimaan transfer 82

c. Pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2001) mengemukakan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu: 1). Instruktif; 2). Konsultatif; 3). Partisipatif; 4). Deligatif Bertolak dari teori tersebut, sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) diberikan sebagai berikut : 25 50 51 75 76-100 Rasio Kemandirian 25 Kemampuan Keuangan Rendah Sekali Rendah Sedang Tinggi Tingkat Kemandirian Tidak mampu. Kurang mandiri. Cukup mandiri. Sudah mandiri. Pola Hubungan Instruktif Konsultatif Partisipatif Deligatif d. Tingkat Ketergantungan daerah Tingkat ketergantungan daerah diukur dengan menggunakan rumus: PT TKtD TPD Keterangan : TKtD = Tingkat ketergantungan daerah PT = Penerimaan transfer TPD = Total penerimaan daerah Selanjutnya tingkat ketergantungan daerah ini diklasifikasi sebagai berikut: Rasio (%) 25 25 50 51 75 Kesimpulan Ketergantungan fiskal dinyatakan sangat kecil berarti kinerja anggaran sangat baik. Ketergantungan fiskal dinyatakan cukup baik, yang berarti kinerja anggaran cukup baik. Ketergantungan fiskal dinyatakan cukup besar yang berarti kinerja anggaran kurang baik. d. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Pemetaan kemampuan keuangan Daerah, menggunakan dua indikator yaitu tingkat kemandirian daerah dan tingkat ketergantungan daerah, yang diklasifikasikan sebagai berikut; Uraian TKtD i > TKtD TKtD i < TKtD TKD i > TKD TKD i < TKD Wilayah mandiri dengan tingkat Ketergantungan tinggi Wilayah belum mandiri dan tingkat ketergantungan tinggi Wilayah Mandiri dengan tingkat ketergantungan rendah Wilayah belum Mandiri dan tingkat Ketergantungan rendah. Keterangan; TKD i = Tingkat kemandirian daerah i TKtD i = Tingkat ketergantungan daerah i TKD = rata-rata tingkat kemandirian daerah TKtD = rata-rata tingkat ketergantungan daerah HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan PAD Rata-rata pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi adalah 18.48%. Dari 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi, seluruh pertumbuhan PADnya positip dalam kurun waktu tahun 2007-2011. Pertumbuhan rata-rata PAD cukup besar terjadi di Kabupaten Batang Hari (33,81%); diikuti Kabupaten Tanjung Jabung Barat (21,82%); Kota Jambi (2,51); Kabupaten Sarolangun (20,95%), Kabupaten Keinci (17,86);Kabupaten Muara Jambi (17,20%), Kabupaten Merangin (16,73%), Kabupaten Tanjung jabung timur (16,00%), Kabupaten Bungo (12,32%), dan yang terendah pada kabupaten Tebo (6,59%). 76 100 Ketergantungan fiskal dinyatakan sangat besar yang berarti kinerja anggaran sangat buruk sekali. 83

Gambar 1. Rata-rata pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota Di Provinsi Jambi Tahun 2007 s/d 2011 Kontribusi PAD terhadap APBD Kemampuan daerah membiayai belanja daerah dapat dilihat dari rasio antara PAD dengan APBD. Semua Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi belum mampu untuk membiayai seluruh kebutuhan belanja daerahnya dari PAD. Rata-rata rasio PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi periode tahun 2007-2011 adalah 6,33%. Adapun rasio PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi yang berada diatas rata-rata yang terbesar yaitu Kabupaten Sarolangun sebesar 12,65%, diikuti Kota Jambi pada posisi ke dua sebesar 10,51%, Kabupaten Bungo pada posisi ketiga sebesar 9,28%. Sementara kabupaten/kota lainnya berada dibawah ratarata adalah Kabupaten Merangin sebesar 5,47%; Kabupaten Kerinci sebesar 4,74%; Kabupaten Tanjung Jabung Barat sebesar 4,70%; Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 4,68%; Kabupaten Batang Hari sebesar 4,17%; Kabupaten Tebo sebesar 3,78%; dan yang terendah adalah Kabupaten Muaro Jambi yaitu sebesar 3,38%. Pemetaan Kinerja PAD Berdasarkan hasil perhitungan growth dan share ditampilkan Peta Kinerja PAD sebagai gambaran umum kemampuan keuangan daerah. Peta Kinerja PAD ditampilkan melalui metode Kuadran Berdasarkan hasil perhitungan growth dan share dengan menggunakan titik tengah rata-rata daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi diketahui bahwa Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi yang berada pada kuadran I adalah Kota Jambi dan Kabupaten Sarolangun, berarti hanya dua daerah ini yang sangat ideal. PAD mengambil peran besar dalam APBD dan daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukkan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi. Pada kuadran II adalah Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kondisi ini belum ideal, tapi daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal sehingga PAD berpeluang memiliki peran besar dalam APBD. Sumbangan PAD terhadap APBD (share) masih rendah namun pertumbuhan (growth) PAD tinggi. Pada kuadran III adalah Kabupaten Bungo. Kondisi ini juga belum ideal. Peran PAD yang besar dalam APBD punya peluang mengecil karena pertumbuhan PADnya kecil. Di sini sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. Selanjutnya pada kuadran IV adalah Kabupaten Kerinci, Kabupaten Tebo, Kabupaten Merangin, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kondisi ini paling buruk. PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah belum punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sumbangan PAD terhadap APBD rendah dan pertumbuhan PAD rendah (Lihat Gbr 2). 84

Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 1 No. 2, Oktober 2013 ISSN: 2338-4603 GROWTH (%) KUADRAN III Bungo KUADRAN I Sarolangun Kota Jambi S H A R E (%) S H A R E KUADRAN IV KUADRAN II (%) Merangin Kerinci Tanjab Barat Batang Hari Tanjab Timur Tebo M.Janbi GROWTH (%) Gambar 2. Peta Kinerja PAD Kabupaten Kota di Provinsi Jambi Kemampuan Keuangan Daerah Pengukuran kemampuan keuangan daerah digunakan pendekatan indeks kemampuan keuangan daerah, ukuran tingkat kemandirian daerah dan pola hubungan pemerintah pusat dan daerah Indeks Kemampuan Keuangan Daerah Metode Indek Kemampuan Keuangan (IKK) ialah suatu metode guna melihat status kemampuan keuangan berdasarkan Growth, Share dan Elastisity. Berdasarkan tabel 1. diketahui rata-rata growth yang tertinggi adalah Kabupaten Batang Hari sebesar 33,81; dan yang terendah adalah Kabupaten Tebo sebesar 6,59. Rata-rata Share yang tertinggi adalah Kabupaten Sarolangun sebesar 12,68 dan yang terendah Kabupaten Muaro Jambi sebesar 3,38. Selanjutnya rata-rata elastisity tertinggi adalah Kabupaten Batang Hari sebesar 4,50; dan terendah adalah Kabupaten Tebo sebesar 0,73: Tabel 1. Rata-rata Growth, Share dan Elastisity Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2007 s/d 2011 Growth Share Elastisity Kab/Kota (%) (%) (%) Kerinci 17,86 4,74 3,05 Bungo 12,32 9,28 1,07 Tebo 6,59 3,78 0,73 Sarolangun 19,66 12,68 2,37 Merangin 16.73 5, 47 2,57 Batang Hari 33,81 4,17 4,50 Muaro Jambi 17,20 3,38 2,73 Tanjung Jabung 21,82 4,70 2,63 Barat Tanjung Jabung 16,00 4,68 2,64 Timur Jambi 21,51 10,54 3,28 Sumber: Kabupaten/Kota dalam Angka Dengan metode IKK, akan diketahui status kemampuan keuangan dari masingmasing kabupaten/kota dan dapat melihat peringkat kemampuan keuangan Kabupaten/kota. Dalam IKK akan membagi kabupaten/kota menjadi tiga status kemampuan keuangan yaitu IKK Tinggi, IKK Sedang dan IKK Rendah. 85

Tabel 2. Status Kemampuan Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi periode tahun 2007 s/d 2011 KABUPATEN/ KOTA INDEK KEMAMPUAN KEUANGAN Batang Hari 0.695 Kota Jambi 0.664 Sarolangun 0.638 Tanjab Barat 0,402 Kerinci 0.392 Merangin 0.361 Tanjab Timur 0.441 Bungo 0.312 Muaro Jambi 0.306 Tebo 0.014 Sumber: Kabupaten/Kota dalam Angka STATUS KEMAMPUAN KEUANGAN TINGGI SEDANG RENDAH Dapat diketahui bahwa Indek Kemampuan Keuangan (IKK) tinggi yaitu Kabupaten Batang hari dengan IKK 0,695; diikuti Kabupaten Sarolangun dengan IKK 0,638; dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat 0,402; Untuk Indek Kemampuan Keuangan (IKK) sedang terdiri dari Kota Jambi dengan IKK 0,374; diikuti Kabupaten Kerinci dengan IKK 0,392; Kabupaten Merangin dengan IKK 0,361; dan Tanjung Jabung Timur dengan IKK 0,441: Dan untuk Indek Kemampuan Keuangan rendah terdiri dari Kabupaten Bungo dengan IKK 0,312; diikuti Kabupaten Muaro Jambi dengan IKK 0,306; dan Kabupaten Tebo yang memiliki IKK 0,014: Tingkat kemandirian daerah Tingkat Kemandirian daerah atau rasio kemandirian daerah memperlihatkan kesiapan daerah dalam berotonomi atau kemampuan daerah dalam membiayai pembangunanannya khususnya dari sumber penerimaan PAD dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaan PAD dibagi dengan jumlah pendapatan transfer. Semakin tinggi angka rasio ini menunjukkan pemerintah daerah semakin tinggi kemandirian keuangan daerahnya. Tingkat kemandirian daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi untuk tahun 2007-2011 seperti tabel 3. Tabel 3. Tingkat Kemandirian Daerah (TKD) Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Kab/Kota Rata-rata PAD Rata-rata TKD Kesimpulan Pola Transfer Kota Jambi 69331133,6 581268091,2 11,93 Tidak mampu Instruktif Kerinci 25683089,8 511516455,8 5,02 Tidak mampu Instruktif Merangin 29365983,6 507921037,8 5.78 Tidak mampu Instruktif Sarolangun 19061240,2 189559962,6 10,06 Tidak mampu Instruktif Batang Hari 21385237,6 481980133 4,44 Tidak mampu Instruktif Muaro Jambi 18747353,6 533767558,6 3,51 Tidak mampu Instruktif Tanjab Timur 19262012,4 444682071,6 4,33 Tidak mampu Instruktif Tanjab Barat 26926364,2 573294070,2 4,70 Tidak mampu Instruktif Tebo 17551035,6 456654999,6 3,84 Tidak mampu Instruktif Bungo 53041644,2 522940080,2 10,14 Tidak mampu Instruktif Sumber : Kab/Kota dalam angka Berdasarkan tabel 3. dapat dilihat bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi dalam berotonomi selama tahun 2007-2011. Selama periode tersebut tingkat Kemandirian keuangan daerah Kabupaten/Kota semuanya rendah sekali (tidak mampu), dengan pola hubungan 86

instruktif. Ini berarti bahwa kemampuan PAD untuk menopang pendanaan pembangunan di Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi belum mampu untuk berotonomi. Kota Jambi memiliki tingkat kemandirian keuangan yang paling tinggi, sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Muaro Jambi. Kemandirian keuangan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi dalam mencukupi kebutuhan pembiayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat masih sangat rendah. Rasio kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi untuk DOF hanya berkisar antara 3,51% sampai 11,93%, artinya pola hubungan yang instruktif, dimana peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah, hal ini disebabkan betapa dominanya transfer dari pemerintah pusat dalam APBD melalui dana perimbangannya. Tingkat Ketergantungan daerah Tingkat Ketergantungan Daerah merupakan rasio dari penerimaan transfer terhadap total penerimaan daerah, semakin besar nilai dari tingkat ketergantungan daerah menunjukkan daerah tersebut belum mampu membiayai belanja daerahnya sendiri dan masih tergantung dari pemerintah pusat, hal ini menunjukkan belum mandirinya daerah tersebut, dan semakin kecil rasio tingkat ketergantungan daerah menunjukkan semakin mandirinya suatu daerah tersebut dalam membiayai belanjanya. Adapun tingkat ketergantungan daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jambi seperti tabel 4 Tabel 4. Tingkat Ketergantungan Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jambi periode tahun 2007-2011 Kab PT TPD TKtD Kesimpulan Kota Jambi 581268091 650599224 89,34 Buruk sekali Kerinci 511516455 537199545 95,22 Buruk sekali Merangin 507921037 537287021 94,53 Buruk sekali Sarolangun 189559962 208621202 90,86 Buruk sekali Batang Hari 481980133 503365370 95,75 Buruk sekali Muaro Jambi 533767558 552514912 96,61 Buruk sekali Tanjab Timur 444682071 463944084 95,85 Buruk sekali Tanjab Barat 573294070 600220434 95,51 Buruk sekali Tebo 456654999 474206035 96,30 Buruk sekali Bungo 522940080 575981724 90,79 Buruk sekali Rata-rata 94.08 Sumber: Kabupaten/Kota dalam Angka Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa tingkat ketergantungan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi rata-rata sebesar 94,08%; dan daerah yang terbesar tingkat ketergantungan daerahnya adalah Kabupaten Muaro Jambi dengan TKtD sebesar 96,61%; diikuti Kabupaten Tebo dengan TKtD sebesar 96,309%; Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan TKtD sebesar 95,85%; diikuti Kabupaten Batang Hari dengan TKtD sebesar 95,75%; Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan TKtD sebesar 95,51; diikuti Kabupaten Kerinci dengan TKtD sebesar 95,22%; Kabupaten Merangin dengan TKtD sebesar 94,53%; diikuti Kabupaten Bungo dengan TKtD sebesar 90,80%; Kabupaten Sarolangun dengan TKtD sebesar 90,86%; dan yang terkecil Kota Jambi dengan TKtD sebesar 89,34%. Tingkat ketergantungan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi dengan nilai rata-rata sebesar 94,077; Berdasarkan kriteria rasio ketergantungan menurut ketentuan Depdagri, bahwa kemampuan keuangan daerah sangat buruk sekali. Diasumsikan bahwa pemerintah daerah belum mampu membiayai pembelanjaannya, atau dimana peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah, hal ini disebabkan 87

dominannya transfer dari pemerintah pusat dalam APBD melalui dana perimbangan. Kondisi pemerintah daerah melalui rasio ketergantungan sudah selayaknya mengupayakan penerimaan lebih besar lagi, terutama melalui PAD dan komponenkomponennya. Perlunya intensifikasi pada sisi penerimaan pajak, investor, dan efisiensi serta efektivitas pada sisi pembelanjaan pada kegiatan yang menciptakan pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Peta kemampuan keuangan daerah ialah suatu metode untuk melihat posisi keuangan daerah kabupaten/kota berdasarkan tingkat kemandirian keuangan daerah dan tingkat ketergantungan keuangan daerah, dengan metode ini akan terlihat apakah daerah berada diatas rata-rata atau dibawah rata-rata daerah kabupaten/kota. Adapun kondisi keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi seperti tabel 5. berikut Tabel 5. Rata-rata Tingkat Kemandirian dan Tingkat Ketergantungan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi periode 2007 s/d 2011 Kabupaten/Kota Tingkat Kemandirian (TKD) Tingkat Ketergantungan (TKtD) Kota Jambi 11,93 89,34 Kerinci 5,02 95,22 Merangin 5.78 94,53 Sarolangun 10,06 90,86 Batang Hari 4,44 95,75 Muaro Jambi 3,51 96,61 Tanjab Timur 4,33 95,85 Tanjab Barat 4,70 95,51 Tebo 3,84 96,30 Bungo 10,14 90,79 Rata-rata 6,38 94.08 Sumber: Kabupaten/Kota dalam Angka Berdasarkan tabel 5. dapat ditentukan kabupaten/kota yang memiliki tingkat kemandirian diatas rata-rata atau dibawah rata-rata dan tingkat ketergantungan diatas rata-rata atau dibawah rata-rata. Adapun klasifikasi kemampuan keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi dapat dilihat pada tabel 6 berikut: Tabel 6. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi 2007-2011 Uraian TKtD i > TKtD TKtD i < TKtD TKD i > TKD TKD i < TKD Kerinci, Tebo, Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur Jambi, Sarolangun Bungo Merangin Berdasarkan tabel 6, kabupaten/kota di Provinsi Jambi yang memiliki tingkat kemandirian diatas rata-rata dan tingkat ketergantungan dibawah rata-rata daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi adalah Kota Jambi, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Sarolangun. Sementara kabupaten/kota yang memiliki tingkat kemandirian dibawah rata-rata dan tingkat ketergantungan dibawah rata-rata daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi adalah kabupaten merangin, dan kabupaten/kota yang memiiki tingkat Kemandirian dibawah rata-rata dan tingkat ketergantungan diatas rata-rata daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi adalah Kabupaten Kerinci, KabupatenTebo, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Ini berarti Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi yang mandiri dengan tingkat ketergantungan rendah adalah Kota Jambi, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Bungo, sementara kabupaten selain itu memiliki tingkat kemandirian dibawah rata-rata daerah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1..Berdasarkan pertumbuhan PAD dan kontribusinya terhadap APBD, secara umum Kota Jambi dan Kabupaten Sarolangun kinerja PAD lebih baik jika dibanding Kabupaten/kota lain di Provinsi Jambi. 88

2. Kabupaten Batang Hari, Kota Jambi dan Kabupaten Sarolangun memiliki status kemampuan keuangan tinggi, sedangkan Kabupaten Bungo, Muaro Jambi dan Tebo memiliki status kemampuan keuangan rendah. 3. Dari peta kemampuan keuangan daerah, hanya Kota Jambi, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Bungo yang memiliki tingkat kemandirian diatas ratarata dan tingkat ketergantungan dibawah rata-rata daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Saran 1. Daerah yang berada di kuadran II dan III atau IKK Sedang, perlu mendapat dorongan agar PADnya tumbuh. Sementara daerah yang berada di kuadran IV atau IKK rendah, tampaknya perlu ada upaya-upaya khusus yang menyentuh penataan berbagai aspek. 2. Keberadaan PAD hendaknya dipahami sebagai hasil ikutan dari tumbuhnya investasi di daerah. Dengan demikian kebijakan peningkatan PAD tidak boleh mengorbankan kepentingan jangka panjang yang berdampak lebih luas yaitu investasi sektor swasta. DAFTAR PUSTAKA Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggunggjawaban Keuangan Daerah Deddyk, 2003 Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Dalam era Otonomi Daerah: Tinjauan atas kinerja PAD, dan upaya yang dilakukan Daerah. Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. Halim, Abdul, 2001. Analisis Deskriptif Pengaruh Fiskal Stress Pada APBD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kompak, No.2 Mei. 2001, Anggaran Daerah dan Fiscal Stress : Sebuah Studi Kasus pada Anggaran Daerah Provinsi di Indonesia, JEBI Vol. 16, No. 4, 2001. http://www.sikd.djapk.go.id Laporan Realisasi APBD Tahun 2004. http://www.jambi.bps.go.id. Statistik Keuangan Daerah Propinsi Jambi 2010. Lewis, B.D., 2003. Some Empirical Evidence on New RegionalTaxes and Charges in Indonesia. Research Triangle Institute. North Carolina. Working Paper. Sidik, Machfud. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Makalah disampaikan Acara Orasi Ilmiah. Bandung. 10 April 2002. Susilo, G..T.B., P.H.A., 2007. Analisis Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Empiris di Propinsi Jawa Tengah). Konferensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Pertama. Surabaya. Utami, A.M., Pengaruh Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pendapatan Asli Daerah ( Studi Kasus di Pemerintahan Kota Tasikmalaya ) Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi. Usman, 2011 Analisis Perkembangan Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo. 89

Yovita, F.M., D.C.U., 2011 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Empiris Pada Pemerintah Provinsi Se Indonesia Periode 2008 2010) Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro http://eprints.undip.ac.id/29478/1/a RTIKEL.pdf 90