ICASERD WORKING PAPER No.49

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

NILAI TUKAR USAHA TANI PALAWIJA: JAGUNG, KEDELAI, DAN UBI KAYU

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PEMALANG Bulan April Juni 2017

TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI KABUPATEN JOMBANG: PENDEKATAN NILAI TUKAR PETANI PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ICASERD WORKING PAPER No.42

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI: NILAI TUKAR PETANI

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2017 DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN SUKOHARJO

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN MEI 2009

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2009

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

NILAI TUKAR PETANI DI PROVINSI RIAU BULAN APRIL 2010 NAIK 0,27 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. pertiga penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar masih

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

ICASERD WORKING PAPER No.36

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

Bab 5 H O R T I K U L T U R A

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA DESEMBER 2015 SEBESAR 96,85 ATAU TURUN SEBESAR 0,09 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Nilai Tukar Petani Kabupaten Magelang Tahun 2013

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN NOPEMBER 2008

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA NOVEMBER 2015 SEBESAR 96,93 ATAU NAIK SEBESAR 0,52 PERSEN

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA JUNI 2016 SEBESAR 97,00 ATAU MENINGKAT SEBESAR 0,38 PERSEN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2013

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP)

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP)

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

Bab 5 Indeks Nilai Tukar Petani Kabupaten Ciamis

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. : 1. Metha Herwulan Ningrum 2. Ir. Wieta B. Komalasari, Msi 3. Ir. Rumonang Gultom 4. Rinawati, SE 5. Yani Supriyati, SE. 2.

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI SUKOHARJO BULAN MEI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI KALIMANTAN BARAT

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

Tahun Bawang

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015 SEBESAR 95,89 ATAU NAIK SEBESAR 0,82 PERSEN

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2010 INDIKATOR PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI DAN USAHATANI PADI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP)

BERITA RESMI STATISTIK

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, DAN HARGA PRODUSEN GABAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, DAN HARGA PRODUSEN GABAH

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA JULII 2015 SEBESAR 95,42 ATAU NAIK SEBESAR 0,76 PERSEN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

Transkripsi:

ICASERD WORKING PAPER No.49 ANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS PERTANIAN (Kasus Komoditas Kentang) Supriyati April 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No. 49 ANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS PERTANIAN (Kasus Komoditas Kentang) Supriyati April 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, M. Rahmat, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id No. Dok.060.49.01.04

ANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS PERTANIAN (KASUS KOMODITAS KENTANG) Supriyati Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 ABSTRAK Salah satu alat ukur untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Pertanian (NTPR), yang mencakup Nilai Tukar Komoditas Pertanian (NTKP) dan Nilai Tukar Petani (NTP). Peningkatan NTPR, NTKP dan NTP mengindikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian dan sebaliknya.tulisan ini akan mengkaji NTP dan NTKP, dengan mengambil kasus komoditas kentang di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran yang mendapat prioritas karena permintaan kentang semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk dan keadaan ekonomi masyarakat terutama di daerah perkotaan. Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan tulisan ini adalah : (1) Mengkaji perilaku NTKP komoditas kentang dan faktor-faktor yang mempengaruhi; (2) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang; dan (3) Mengkaji nilai tukar penerimaan komoditas kentang. Kegiatan pembangunan ekonomi periode tahun 1987-1998, mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan petani kentang di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun di Provinsi Sulawesi Selatan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan. Dalam periode yang sama, harga kentang dan harga yang dibayar petani untuk pupuk, tenaga kerja, makanan, non-makanan cenderung meningkat. Secara rataan, pertumbuhan harga kentang di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih tinggi dibandingkan dengan laju harga yang dibayar petani, sementara di Sulawesi Selatan, pertumbuhan harga kentang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang dibayar. Penurunan kesejahteraan petani kentang di Sulawesi Selatan disebabkan karena daya tukar kentang terhadap makanan dan pupuk menurun. Harga kentang tingkat produsen di tiga Provinsi contoh antara lain dipengaruhi oleh produksi dan IHK (Indeks Harga Konsumen) pedesaan. Peningkatan produksi menyebabkan penurunan harga, sementara IHK pedesaan berpengaruh positif terhadap harga. Dilihat dari indikator nilai tukar penerimaan, usahatani kentang di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan masih menguntungkan. Nilai tukar penerimaan terhadap biaya produksi jauh lebih kecil dari nilai tukar penerimaan terhadap biaya tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang merupakan usahatani yang padat modal. Nilai tukar penerimaan terhadap biaya bibit dan obat-obatan lebih rendah dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan biaya pupuk, fenomena ini menunjukkan bahwa dalam struktur biaya usahatani kentang, biaya bibit dan obat-obatan lebih tinggi dari biaya pupuk. Nilai tukar penerimaan komoditas kentang dipengaruhi: tingkat penerapan teknologi, harga sarana produksi (terutama bibit dan obat-obatan), tingkat produktivitas dan harga jual komoditas kentang. Kendala tingkat penerapan teknologi di tingkat petani antara lain disebabkan oleh mahalnya harga bibit dan obat-obatan impor. Kata kunci : nilai tukar komoditas, nilai tukar petani, komoditas kentang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian pada dasarnya ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama petani. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam keberhasilan pembangunan nasional, baik sumbangan langsung seperti dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan 1

masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain (Simatupang, 1992; Bunasor, 1997). Dengan orientasi pembangunan pertanian ke arah perbaikan kesejahteraan pelaku pembangunan yaitu petani, maka sangat relevan untuk mengkaji dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap perbaikan kesejahteraan petani. Salah satu alat ukur untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan tersebut adalah Nilai Tukar Pertanian (NTPR), yang mencakup Nilai Tukar Komoditas Pertanian (NTKP) dan Nilai Tukar Petani (NTP). Peningkatan NTPR, NTKP dan NTP mengindikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian dan sebaliknya. NTKP berkaitan dengan kekuatan daya tukar/daya beli dari komoditas pertanian terhadap komoditas/produksi lain yang dipertukarkan. Sedangkan NTP berkaitan dengan kemampuan daya beli petani dalam membiayai kebutuhan hidup rumah tangganya. NTKP sangat berkaitan dengan profitabilitas usaha pertanian, kegairahan petani dalam berusahatani dan tingkat kesejahteraan masyarakat pertanian / petani. Tulisan ini akan mengkaji NTP dan NTKP, dengan mengambil kasus komoditas kentang di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Hal ini didasarkan atas peranan komoditas tersebut. Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran yang mendapat prioritas karena kebutuhan akan kentang semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk dan keadaan ekonomi masyarakat terutama di daerah perkotaan. Pada tahun 1999, tingkat konsumsi kentang di Jawa mencapai 0,067 kg/kapita/bulan, sementara di Luar Jawa sebesar 0,102 kg/kapita/bulan. Apabila diperinci menurut golongan pengeluaran, nampak bahwa konsumsi kentang lebih besar pada golongan pendapatan tinggi (BPS, 1999). Di Indonesia, produksi komoditas kentang menyebar hampir diseluruh provinsi, lima provinsi yang merupakan sentra produksi kentang adalah Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jambi dan Sumatera Barat. Proporsi luas panen di Jawa Tengah mencapai 22,71 persen dan Jawa Timur (15,71 %). Sementara peranan Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi total Indonesia berturut-turut adalah 25,93 persen dan 12,09 persen. (Supriyati, 2000). Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan tulisan ini adalah : (1) Mengkaji perilaku NTKP komoditas kentang dan faktor-faktor yang mempengaruhi; (2) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang; dan (3) Mengkaji nilai tukar penerimaan komoditas kentang. 2

Kerangka Pemikiran Istilah nilai tukar sesungguhnya mempunyai arti yang luas. Secara umum nilai tukar dapat digolongkan dalam empat kelompok (Tsakok,1990; Diakosavvas dan Scandizzo, 1991; Simatupang,1992; Chacholiades,1990 dalam Rachmat, 2000 ), yaitu : (a) Nilai Tukar Barter ( Barter Terms of Trade), (b) Nilai Tukar Faktorial (Factorial Term of Trade), (c) Nilai Tukar Pendapatan (Income Terms of Trade), dan (d) Nilai Tukar Petani. Biro Pusat Statistik (BPS) merupakan lembaga resmi yang melakukan pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP). NTP didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB), dan dapat diformulasikan sebagai berikut : NTP = HT / HB ;... (1) HT merupakan harga hasil produksi ditingkat petani, sementara HB terdiri dari komponen biaya konsumsi rumahtangga (konsumsi pangan dan non pangan) dan biaya sarana produksi. NTP dinyatakan dalam bentuk indeks, indeks tersebut merupakan nilai tertimbang terhadap kuantitas pada tahun dasar tertentu. Pergerakan nilai indeks akan ditentukan oleh penentuan tahun dasar, karena perbedaan penggunaan tahun dasar akan menghasilkan keragaan perkembangan indeks yang berbeda. Petani yang dimaksud adalah individu yang berusaha di bidang usahatani lahan (land base), mencakup usahatani komoditas tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan rakyat. Petani tersebut adalah pemilik maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil) atas risiko sendiri dengan tujuan untuk dijual. HT merupakan rata-rata harga produsen atas hasil produksi petani yang merupakan rataan harga yang diterima di sawah/ladang atau farm gate. Dengan kata lain, HT merupakan harga tertimbang dari setiap komoditas (barang) yang dihasilkan. Penimbang yang digunakan adalah nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas tersebut. Harga dari setiap kelompok komoditas merupakan harga tertimbang dari harga rata- rata setiap komoditas penyusunnya. Lebih lanjut dengan memperhatikan kelompok komoditas unsur penyusun harga yang diterima petani, yaitu padi, palawija, sayuran, buah-buahan dan tanaman perkebunan, maka NTP dapat didekomposisi menjadi nilai tukar komoditas (NTKP). HB merupakan harga tertimbang dari harga biaya konsumsi makanan, konsumsi non makanan dan biaya produksi serta penambahan barang modal dari barang yang dikonsumsi atau dibeli petani. Harga yang dimaksud adalah harga eceran barang/jasa di pasar pedesaan. Dengan mengelompokkan produk penyusun harga yang dibayar petani 3

dalam kelompok barang konsumsi dan kelompok penggunaan sarana produksi, maka nilai tukar petani (NTP) dapat didekomposisikan menjadi Nilai Tukar Petani terhadap Produk Konsumsi (NTK) dan Nilai Tukar Petani terhadap Sarana Produksi (NTS). NTP = HT / HB; (2) NTP = HT / (b 1 HK + b 2 SP); Atau NTP = c 1 NTK + c 2 NTS;...... (3) Nilai tukar konsumsi (NTK) merupakan rasio antara harga produksi komoditas pertanian terhadap harga barang konsumsi (NTK = HT/HK). Dengan demikian NTK menggambarkan kekuatan daya beli ("purchasing power") komoditas pertanian yang dihasilkan terhadap barang konsumsi (manufaktur). Nilai tukar Sarana Produksi (NTS) merupakan rasio antara harga produksi komoditas pertanian dengan harga input produksi (NTS= HT/HSP), merupakan kekuatan daya beli komoditas yang dihasilkan petani terhadap input produksi yang digunakan petani. Pada tahap yang lebih rinci barang yang dikonsumsi petani dapat dikelompokkan menjadi kelompok barang konsumsi pangan dan barang konsumsi non pangan, dan input produksi dapat pula dibedakan dalam input pupuk, tenaga kerja dan input modal lainnya. Dengan demikian secara lebih rinci NTK dapat pula didekomposisi menjadi : (1) Nilai tukar terhadap konsumsi pangan (NTKP), (2) Nilai tukar terhadap konsumsi non pangan (NTKN), (3) Nilai tukar terhadap Pupuk (NTSP), (4) Nilai tukar terhadap tenaga kerja (NTST), dan (5) Nilai tukar terhadap modal (NTSM). Dengan demikian maka perhitungan dan analisa nilai tukar petani dapat didekomposisi sebagai berikut: NTPT i = e i NTKP i +e i NTKN i +e i NTSP i + e i NTSL i + e i NTSM i ;...... (4) dimana : NTPT i = nilai tukar petani komoditas i, NTKP i = nilai tukar komoditas i terhadap produk konsumsi pangan, NTKN i = nilai tukar komoditas i thd produk konsumsi non-pangan, NTSP i = nilai tukar komoditas i terhadap pupuk, NTSL I = nilai tukar komoditas i terhadap tenaga kerja, NTSM i = nilai tukar komoditas i terhadap modal, i = kelompok komoditas, e i = pangsa unsur nilai tukar terhadap nilai tukar komoditas i; NTKP merupakan rasio antara harga kentang yang diterima petani dengan harga yang dibayar petani. Dengan demikian maka faktor faktor yang mempengaruhi nilai tukar petani identik dengan faktor faktor yang mempengaruhi harga. Secara teoritis mekanisme pembentukan harga diturunkan dari fungsi penawaran dan fungsi permintaan serta dipengaruhi oleh adanya distorsi pasar berupa kebijaksanaan pemerintah dalam 4

penetapan harga dan atau adanya struktur pasar yang tidak kompetitif (Rachmat, 2000). Harga komoditas pertanian dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya masing masing, dan dengan asumsi permintaan rumahtangga harian dalam satu bulan cenderung tetap maka harga komoditas tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan produksinya. Dengan demikian harga komoditas tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : HKOM jt = f (PRKOM t, INF t ); (5) Dimana : HKOM jt = Harga komoditas j pada waktu t; PRKOM jt = Produksi komoditas j waktu t; INF t = Inflasi pada waktu t; Metoda analisis NTKP merupakan rasio antara harga komoditas kentang terhadap harga yang dibayar petani. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi NTKP, maka akan dilakukan dekomposisi terhadap pengeluaran untuk konsumsi (makanan dan non makanan), pupuk dan tenaga kerja. Secara ringkas analisis yang digunakan adalah sebagai berikut : NTKP I = HT i / HB NTKP I -MAK = HT i /HMAK NTKP I -NMAK = HT i /HNMAK NTKP I -PUPUK = HT i /PUPUK NTKP I -UPAH = HT i /UPAH dimana : NTKP i = nilai tukar petani komoditas i HT i = harga yang diterima petani kentang ( diproksi dengan harga produsen) HB = harga yang dibayar petani NTKP I -MAK = nilai tukar komoditas i terhadap produk konsumsi pangan NTKP I -NMAK = nilai tukar komoditas i terhadap produk konsumsi nonpangan NTKP I -PUPUK = nilai tukar komoditas i terhadap pupuk NTKP I -UPAH = nilai tukar komoditas i terhadap tenaga kerja i = komoditas kentang NTKP berkaitan dengan profitabilitas usaha pertanian dan kegairahan petani dalam berusahatani, pada kasus komoditas kentang dengan mengambil kasus data 5

primer di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan akan dianalisis Nilai Tukar Penerimaan Komoditas (NTPK) yang merupakan daya ukur penerimaan komoditas pertanian yang dihasilkan per unit (hektar) terhadap nilai input untuk memproduksi komoditas tersebut. NTPK = P y. Q y / P xi. Q xi Dimana : NTPK = nilai tukar komoditas kentang P y = harga produk P x = harga input Q y = tingkat produksi per hektar Q x = tingkat penggunaan input per hektar i = jenis input Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang, digunakan metoda analisis regresi seperti dikemukakan pada persamaan (5) di atas. Analisis didasarkan data harga bulanan pada periode 1987-1998. Sumber dan Cakupan Data Sesuai dengan konsep nilai tukar yang lebih mempunyai arti apabila dianalisis secara dinamik, maka data yang digunakan untuk analisis NTKP dan dekomposisinya berupa data deret waktu (time series data) dari tahun 1987-1998, yang bersumber dari BPS. Analisis mencakup Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sementara itu untuk analisis NTPK digunakan data primer yang mengambil kasus di Kabupaten Wonosobo (Provinsi Jawa Tengah ) dan Kabupaten Sinjai (Provinsi Sulawesi Selatan). PERILAKU NTKP KOMODITAS KENTANG Dengan asumsi NTKP komoditas kentang merupakan indikator kesejahteraan petani kentang, maka dalam periode tahun 1987-1998, kegiatan pembangunan ekonomi telah meningkatkan tingkat kesejahteraan petani kentang di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara itu di Provinsi Sulawesi Selatan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan, seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil penelitian Rachmat (2000) dalam periode yang sama menunjukkan bahwa dalam periode tersebut NTP Sulawesi Selatan meningkat, sementara itu di Jawa Timur dan Jawa Tengah menurun. Pada periode yang 6

sama, NTP sayuran di Jawa Tengah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa peranan komoditas kentang dalam pembentukan NTP dan NTP sayuran berbeda antar wilayah. Tabel 1. Perkembangan NTKP kentang, 1987-1998 (1987=100) Tahun Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan 1987 100,00 100,00 100,00 1988 108,09 116,55 93,68 1989 92,92 102,52 83,91 1990 95,85 93,21 75,59 1991 113,46 116,03 76,68 1992 90,17 93,73 72,07 1993 93,65 89,89 63,60 1994 142,88 129,51 68,50 1995 129,74 118,88 71,86 1996 131,51 123,90 73,59 1997 123,45 142,17 68,78 1998 122,86 143,76 104,18 Rataan 112.05 114.18 79.37 Pertumbuhan(%/th) 2,87 3,14-1,33 Sumber : BPS (diolah) Dengan menggunakan tahun 1987 sebagai tahun dasar, kesejahteraan petani kentang di Jawa Tengah pada tahun 1989, 1990, 1992 dan 1993 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1987. Di Jawa Timur, penurunan kesejahteraan petani kentang terjadi pada tahun 1990, 1992 dan 1993. Berbeda dengan kasus di Jawa, kesejahteraan petani kentang di Sulawesi Selatan dalam periode 1988-1998 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1987 (kecuali pada tahun 1998). Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi NTKP komoditas kentang, maka NTKP didekomposisi terhadap penyusunnya. Dalam tulisan ini dekomposisi dilakukan terhadap pupuk, tingkat upah, harga makanan, harga non-makanan. Rasio antara harga komoditas pertanian terhadap harga sarana produksi dan barang konsumsi dikenal juga sebagai Nilai Tukar Barter (NTB). Dengan demikian, NTB kentang menggambarkan tingkat daya tukar harga kentang terhadap harga sarana produksi dan barang konsumsi. Sebelum sampai pembahasan NTB, akan dibahas perkembangan harga kentang tingkat produsen, dan harga rata-rata makanan, non makanan, pupuk dan upah. Dalam periode tahun 1987-1998, harga kentang di tiga provinsi contoh berfluktuasi, secara rataan pada periode tersebut laju pertumbuhan harga kentang di Jawa Tengah sebesar 13,46 persen per tahun, Jawa Timur (15,21%/tahun) dan Sulawesi 7

Selatan 10,83 persen per tahun. seperti terlihat pada Tabel 2. Di samping itu, dari tabel yang sama terlihat bahwa koefisien keragaman harga kentang per tahun di ketiga provinsi cukup tinggi. Hasil kajian Supriyati (2000) menunjukkan bahwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1992, 1995 dan 2000 harga kentang menurun, sementara pada tahun-tahun lainnya meningkat. Fluktuasi dan laju pertumbuhan harga bulanan yang cukup besar terjadi pada tahun 1998, dimana pada waktu tersebut di negara kita terjadi krisis ekonomi. Sementara itu, di Sulawesi Selatan harga kentang cenderung meningkat kecuali pada tahun 1992 dan 1999. Tabel 2. Perkembangan harga kentang tingkat produsen di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, 1987-1998 Tahun Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan (Rp./ kg) KK (Rp./ kg) KK (Rp./ kg) KK 1987 250,41 51,53 245,09 52,37 313,56 51,25 1988 299,79 51,83 316,68 52,24 310,28 51,11 1989 280,89 51,22 302,57 51,22 307,23 51,12 1990 313,69 51,35 299,62 51,40 295,87 51,10 1991 419,36 52,12 416,11 52,47 329,16 51,41 1992 358,92 51,76 359,02 51,64 334,95 51,16 1993 402,23 51,50 378,43 51,52 324,74 51,15 1994 685,92 51,72 616,08 51,95 391,30 51,34 1995 713,22 51,10 647,96 51,36 480,24 51,23 1996 784,44 51,11 745,87 51,37 536,47 51,11 1997 794,59 51,17 929,94 51,53 539,60 51,30 1998 1147,58 53,00 1460,08 52,29 1120,29 53,46 r (%/th) 13,46 15,21 10,83 Sumber: Statistik Harga Produsen (BPS) Keterangan : KK : Koefisien Keragaman r : Tingkat pertumbuhan Sementara itu, harga yang dibayar petani untuk pupuk, tenaga kerja, makanan, non-makanan cenderung meningkat sepanjang tahun (Tabel 3). Namun secara rataan, pertumbuhan harga kentang di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih tinggi dibandingkan dengan laju harga yang dibayar petani. Hal ini antara lain yang menyebabkan kesejahteraan petani kentang di kedua provinsi tersebut cenderung meningkat. Di Sulawesi Selatan, pertumbuhan harga kentang lebih rendah dari pertumbuhan harga pupuk dan harga makanan namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan harga non makanan dan tingkat upah, namun secara agregat pertumbuhan harga kentang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang dibayar sehingga mengakibatkan kesejahteraan petani kentang cenderung menurun. 8

Tabel 3. Perkembangan harga rata-rata makanan, non-makanan, pupuk dan tingkat upah di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, 1987 1998 Tahun Harga Tingkat Makanan Non Makanan Pupuk Upah 1987 619,90 3.559,31 135,61 721,40 1988 701,29 3.811,85 152,86 773,26 1989 754,26 4.134,42 187,26 869,09 1990 801,75 4.517,31 219,15 961,14 1991 892,79 5.189,53 248,09 1.106,79 1992 935,59 5.665,93 269,91 1.278,07 1993 991,35 6.165,57 302,85 1.424,81 1994 1.142,58 6.541,12 320,42 1.664,52 1995 1.320,31 7.239,28 368,86 1.999,04 1996 1.392,77 7.855,89 434,88 2.316,49 1997 1.514,14 8.287,63 481,15 2.344,34 1998 2.553,63 10.863,66 526,20 3.020,67 Pertumbuhan (%/th) 11,23 9,37 11,48 12,84 Jawa Timur 1987 699,79 4.202,29 128,74 706,82 1988 795,39 4.533,56 146,33 790,21 1989 856,63 4.905,38 179,53 867,43 1990 918,08 5.386,47 208,43 962,54 1991 1.007,01 6.105,50 238,85 1.100,85 1992 1.038,16 6.653,06 260,31 1.268,49 1993 1.113,42 7.422,60 293,46 1.454,24 1994 1.305,96 7.945,97 326,23 1.699,37 1995 1.523,94 8.683,40 388,92 2.026,58 1996 1.650,88 9.357,60 512,68 2.348,74 1997 1.774,30 10.048,68 599,66 2.629,99 1998 3.260,74 14.174,06 677,33 3.216,53 Pertumbuhan (%/th) 12,25 10,01 14,45 13,60 Sulawesi Selatan 1987 812,01 2.187,23 125,00 1.208,48 1988 868,50 2.297,94 135,92 1.255,55 1989 969,56 2.500,02 157,50 1.394,97 1990 1.036,68 2.680,10 168,53 1.501,96 1991 1.119,37 3.002,16 190,14 1.625,08 1992 1.225,24 3.205,56 205,75 1.743,07 1993 1.362,88 3.548,95 224,93 1.837,59 1994 1.560,17 3.781,95 258,55 2.052,54 1995 1.880,00 4.111,99 332,60 2.323,67 1996 2.038,33 4.337,05 413,28 2.644,92 1997 2.203,98 4.530,96 492,62 2.831,91 1998 3.255,09 6.158,08 558,91 3.304,16 Pertumbuhan (%/th) 11,91 8,57 13,91 9,10 Sumber: BPS NTB kentang terhadap pupuk pada periode tahun 1987-1998 di 3 provinsi contoh berfluktuasi, sampai dengan tahun 1996 cenderung meningkat, tahun 1997 menurun dan 9

meningkat lagi pada tahun 1998 dan 1999 (Tabel 4). Penurunan nilai tukar barter pada tahun 1997 disebabkan karena terjadi peningkatan harga rata-rata pupuk, sementara peningkatan pupuk rata-rata pada tahun 1998 dapat diimbangi oleh peningkatan harga kentang sehingga tidak menyebabkan penurunan NTB. Sementara itu, NTB kentang terhadap upah di tiga provinsi contoh mempunyai pola yang berbeda. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada periode 1992-1994 meningkat, kemudian cenderung menurun sampai tahun 1998 (khusus di Jawa Tengah), tetapi di Jawa Timur mulai tahun 1997 meningkat lagi. Di Sulawesi Selatan, nilai tukar barter kentang terhadap upah pada periode tahun 1992-1997 relatif stabil, peningkatan yang cukup besar baru terjadi pada tahun 1998. Melihat besaran nilai tukar barter kentang terhadap upah, terlihat bahwa nilai tukar barter di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih besar dari Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat upah di Sulawesi Selatan lebih tinggi dari Jawa. Daya tukar harga kentang terhadap makanan di Jawa Tengah sampai dengan tahun 1996 meningkat, kemudian menurun pada tahun 1997 dan tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1996 laju pertumbuhan harga kentang lebih tinggi dibandingkan harga makanan, sementara pada tahun 1997 dan 1998 terjadi hal yang sebaliknya. Di Jawa Timur, pada periode tahun 1992-1997 meningkat, dan baru pada tahun 1998 pertumbuhan harga kentang lebih lambat dari harga makanan yang menyebabkan menurunnya daya tukar terhadap makanan. Di Sulawesi Selatan terdapat gambaran yang berbeda, sampai dengan tahun 1997, daya tukar komoditas kentang terhadap makanan berfluktuasi dalam kisaran 0,24 0,27, peningkatan baru terjadi pada tahun 1998. Lagi-lagi terlihat bahwa harga makanan di Sulawesi Selatan lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Daya tukar komoditas kentang terhadap harga non-makanan cenderung meningkat pada tahun 1994, dan pada periode 1994-1999 relatif stabil. Hanya di Sulawesi Selatan, pada tahun 1998 menunjukkan peningkatan yang cukup besar. hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan harga kentang pada tahun 1998 (yang mencapai 7,15 % per bulan) lebih tinggi dari pertumbuhan harga non-makanan yang hanya sebesar 6,23 persen. 10

Tabel 4. Perkembangan nilai tukar barter kentang di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan 1987-1998 Tahun NTB kentang terhadap Makanan Non Makanan Pupuk Tingkat Upah Jawa Tengah 1987 0,40 0,07 1,85 0,35 1988 0,43 0,08 1,96 0,39 1989 0,37 0,07 1,50 0,32 1990 0,39 0,07 1,43 0,33 1991 0,47 0,08 1,69 0,38 1992 0,38 0,06 1,33 0,28 1993 0,41 0,07 1,33 0,28 1994 0,60 0,10 2,14 0,41 1995 0,54 0,10 1,93 0,36 1996 0,56 0,10 1,80 0,34 1997 0,52 0,10 1,65 0,34 1998 0,45 0,11 2,18 0,38 Pertumbuhan (%/th) 2,94 4,13 1,39 0,29 Jawa Timur 1987 0,35 0,06 1,90 0,35 1988 0,40 0,07 2,16 0,40 1989 0,35 0,06 1,69 0,35 1990 0,33 0,06 1,44 0,31 1991 0,41 0,07 1,74 0,38 1992 0,35 0,05 1,38 0,28 1993 0,34 0,05 1,29 0,26 1994 0,47 0,08 1,89 0,36 1995 0,43 0,07 1,67 0,32 1996 0,45 0,08 1,45 0,32 1997 0,52 0,09 1,55 0,35 1998 0,45 0,10 2,16 0,45 Pertumbuhan (%/th) 3,08 4,67-0,59 0,52 Sulawesi Selatan 1987 0,39 0,14 2,51 0,26 1988 0,36 0,14 2,28 0,25 1989 0,32 0,12 1,95 0,22 1990 0,29 0,11 1,76 0,20 1991 0,29 0,11 1,73 0,20 1992 0,27 0,10 1,63 0,19 1993 0,24 0,09 1,44 0,18 1994 0,25 0,10 1,51 0,19 1995 0,26 0,12 1,44 0,21 1996 0,26 0,12 1,30 0,20 1997 0,24 0,12 1,10 0,19 1998 0,34 0,18 2,00 0,34 Pertumbuhan (%/th) -2,59 0,82-4,71 0,39 Sumber : BPS (diolah) 11

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Kentang Untuk mengembangkan komoditas hortikultura, pemerintah menetapkan berbagai kebijakan. Sutrisno (2000) dan Winarno (2000) dalam Hadi (2000) menyebutkan bahwa program pengembangan hortikultura yang ditempuh adalah: (1) Program Ketahanan Pangan yang bertujuan agar masyarakat mampu memperoleh dan mengkonsumsi produk hortikultura sepanjang tahun dengan harga yang terjangkau melalui peningkatan produksi, produktivitas, pendapatan/ kesejahteraan petani serta kesempatan kerja onfarm dan off-farm; (2) Program Pengembangan Agribisnis yang bertujuan meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan daya saing melalui peningkatan efisiensi manajemen usaha, penggunaan skala efisien dan pemilihan komoditas bernilai ekonomi tinggi yang berorientasi pada pasar, baik domestik maupun ekspor; dan (3) Program Rintisan Korporasi melalui pembinaan kerjasama ekonomi dalam kelompok tani melalui konsolidasi manajemen usahatani dalam skala efisien dan manajemen profesional untuk menciptakan nilai tambah sehingga efisiensi usaha dan daya saing komoditas dalam jangka panjang meningkat. Di bidang perdagangan internasional, semula pemerintah menetapkan tarif impor cukup tinggi dengan dua tujuan utama, yaitu: (1) Melindungi produsen dalam negeri dari persaingan komoditas impor sejenis sekaligus mendorong petani meningkatkan produksinya; dan (2) Menciptakan pendapatan pemerintah. Tarif yang berlaku umum untuk komoditas hortikultura (kentang, bawang merah, bawang putih, kubis, pisang dan jeruk) pada tahun 1995 berkisar antara 10 30 persen untuk produk segar/dingin, namun pada tahun 1999 tarif impor umum menurun menjadi 5 persen. Penurunan drastis tarif impor tersebut secara teoritis akan meningkatkan impor dan menurunkan harga komoditas hortikultura di pasar dalam negeri (Hadi, 2000). Dalam kajian ini, variabel kebijakan pembangunan pertanian didekati dengan tingkat produksi, sementara dampak yang diamati adalah tingkat harga yang diterima petani. Hal ini disebabkan karena harga mempunyai peranan penting dalam pembentukan penerimaan/pendapatan dari usahatani. Hasil analisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang tingkat produsen di tiga provinsi contoh menunjukkan bahwa peningkatan produksi komoditas yang bersangkutan yang menyebabkan penurunan harga secara nyata terjadi di Jawa Timur, sementara di dua provinsi contoh lainnya menyebabkan harga cenderung menurun (negatif tidak nyata), seperti terlihat pada Tabel 5. 12

Tabel 5. Nilai dugaan regresi dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang di tiga Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, tahun 1987-1998 Variabel Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan Intercept Produksi IHK pedesaan 5,3584 *** -0,0352 1,0651 *** 10,9870 *** -0,1575 ** 0,4114 *** 4,3929 *** -0,0136 1,2100 *** Adj. R 2 0,8825 0,4693 0,9416 Keterangan: *** = Nyata pada tingkat kepercayaan 99 %. ** = Nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. * = Nyata pada tingkat kepercayaan 90 %. Di Jawa Timur, harga kentang tingkat produsen selain dipengaruhi oleh produksi dan IHK pedesaan juga banyak diperngaruhi faktor lain, terlihat dari nilai Adj. R 2 yang relatif kecil, yaitu 0,4693. Sementara di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, sekitar 88 94 persen variasi harga tingkat produsen disebabkan karena variasi produksi dan IHK pedesaan. Pengaruh produksi terhadap harga yang tidak nyata diduga disebabkan karena permintaan per kapita belum tercukupi, sehingga peningkatan produksi masih dapat diserap oleh pasar. IHK pedesaan berpengaruh positif nyata terhadap harga komoditas kentang, fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan harga komoditas mengikuti perkembangan tingkat inflasi, sehingga harga riil yang diterima petani tidak menurun. PERILAKU NILAI TUKAR PENERIMAAN KOMODITAS KENTANG Nilai tukar penerimaan didefinisikan sebagai rasio antara penerimaan dari komoditas tersebut dengan biaya produksi yang dikeluarkan untuk memproduksi komoditas tersebut. Nilai tukar penerimaan dapat dijadikan indikator profitabilitas usahatani komoditas tersebut. Dilihat dari indikator nilai tukar penerimaan, usahatani kentang di Sulawesi Selatan masih menguntungkan baik pada lahan garapan rendah, sedang maupun tinggi (Tabel 6). Dari Tabel 6 terlihat bahwa nilai tukar penerimaan terhadap biaya produksi pada lahan garapan sempit lebih tinggi, hal ini disebabkan karena petani sempit tidak mempekerjakan tenaga kerja luar keluarga. Sementara pada garapan luas, biaya tenaga kerja dapat mencapai Rp 2,344 3,89 juta per ha. 13

Tabel 6. Analisa nilai tukar penerimaan komoditas kentang di Sulawesi Selatan, menurut luas garapan, tahun 1999/2000 Luas garapan Uraian Sempit Sedang Luas I. Biaya 27,833.33 19,815.33 39,248.98 1. Sarana produksi 1.1 Bibit 8333.33 8111.11 12100 1.2 Pupuk - pupuk kandang 2333.33 3144.44 3870 - pupuk kimia 5000 1025.56 1276.8 1.3.Obat-obatan 4833.33 1020.22 13957.88 2. Tenaga kerja 0 2344 2897.5 II. Penerimaan 50000 23922.22 39890 III. Nilai tukar penerimaan 3.1 Terhadap biaya total 1.8 1.21 1.02 3.2. Terhadap saprodi 1.8 1.37 1.1 3.3. Terhadap bibit 6.0 2.95 3.30 3.4. Terhadap pupuk 6.82 5.74 7.75 3.5. Terhadap obat 10.34 23.45 2.86 3.6. Terhadap TK 0 10.21 13.77 Sumber : Analisa data primer. Apabila nilai tukar penerimaan diperinci menurut biaya saprodi dan tenaga kerja ada kecenderungan bahwa nilai tukar penerimaan terhadap biaya produksi jauh lebih kecil dari nilai tukar penerimaan terhadap biaya tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang merupakan usahatani yang padat modal. Dari hasil dekomposisi nilai tukar penerimaan terhadap saprodi, terlihat bahwa perilaku nilai tukar penerimaan terhadap biaya bibit, pupuk dan obat-obatan bervariasi menurut luas garapan, yang berbeda adalah nilai tukar penerimaan terhadap obat-obatan. Hal ini disebabkan karena tingkat penggunaan obat-obatan tergantung pada intensitas serangan, dan keragaman serangan hama penyakit pada lahan petani sangat tinggi. 14

Tabel 7. Analisa nilai tukar penerimaan komoditas kentang di Jawa Tengah menurut luas garapan dan musim MH 98/99 MK-1 1999 MK-2 1999 MH 1999/00 MK-1 2000 MK-2 2000 sempit sedang luas sempit sedang luas sedang luas sempit luas sempit Uraian I. Biaya (000 Rp) 17,712.00 18,726.6 14,800.00 16,416.67 18,382.22 15,092.67 9,233.50 10,817.00 9,160.00 10,817.00 9,340.00 7 1. Sarana produksi 12,372.00 10,830.0 0 14,453.33 15,265.00 15,483.33 14,453.33 8,327.50 11,932.00 4,770.00 11,932.00 5,550.00 1.1 Bibit 2,400.00 2,500.00 4,000.00 4,966.67 4,166.67 4,000.00 2,450.00 4,000.00 1,800.00 4,000.00 1,800.00 1.2 Pupuk 2,640.00 2,283.33 2,300.00 3,133.33 2,697.78 2,300.00 1,740.00 2,660.00 1,260.00 2,660.00 1,590.00 - pupuk kandang 1,200.00 1,583.33 1,400.00 1,833.33 1,794.44 1,400.00 600.00 1,100.00 800.00 1,100.00 900.00 - pupuk kimia 1,440.00 700.00 900.00 1,300.00 903.33 900.00 1,140.00 1,560.00 460.00 1,560.00 690.00 1.3.Obat-obatan 4,692.00 3,763.33 5,853.33 4,031.67 5,921.11 5,853.33 2,397.50 2,612.00 450.00 2,612.00 570.00 2. Tenaga kerja 7,980.00 10,180.0 2,646.67 4,285.00 5,596.67 2,832.67 2,646.00 1,545.00 5,650.00 1,545.00 5,380.00 0 3. Lainnya 106.67 II. Penerimaan (000 Rp) 13,960.00 11,916.6 7 10,400.00 25,583.33 31,952.78 14,000.00 13,350.0 0 13,720.00 2,320.00 13,720.00 4,160.00 R/C 0.79 0.64 0.70 1.56 1.74 0.93 1.45 1.27 0.25 1.27 0.45 III. Nilai tukar penerimaan 3.1. Terhadap saprodi 1.13 1.10 0.72 1.68 2.06 0.97 1.60 1.15 0.49 1.15 0.75 3.2. Terhadap bibit 5.82 4.77 2.60 5.15 7.67 3.50 5.45 3.43 1.29 3.43 2.31 3.3. Terhadap pupuk 5.29 5.22 4.52 8.16 11.84 6.09 7.67 5.16 1.84 5.16 2.62 3.4. Terhadap obat 2.98 3.17 1.78 6.35 5.40 2.39 5.57 5.25 5.16 5.25 7.30 3.5. Terhadap TK 1.75 1.17 3.93 5.97 5.71 4.94 5.05 8.88 0.41 8.88 0.77 3.6. Terhadap harga beras Sumber : analisa data primer 15

Di Jawa Tengah, analisa nilai tukar penerimaan komoditas kentang menunjukkan bahwa secara umum nilai tukar penerimaan terhadap biaya saprodi lebih rendah dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan terhadap biaya tenaga kerja, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan. Apabila nilai tukar penerimaan terhadap biaya saprodi diperinci, terlihat bahwa nilai tukar penerimaan terhadap biaya bibit dan obatobatan lebih rendah dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan biaya pupuk (Tabel 7). Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam struktur biaya usahatani kentang, biaya bibit dan obat-obatan lebih tinggi dari biaya pupuk. Lebih lanjut terlihat bahwa semakin luas garapan ada kecenderungan semakin kecil nilai tukar penerimaan terhadap bibit dan obat-obatan. Pada petani dengan garapan luas, akan menggunakan bibit bermutu dan obat-obatan impor dengan harga yang lebih mahal. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PENERIMAAN KOMODITAS KENTANG Nilai tukar penerimaan komoditas kentang dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat penerapan teknologi, harga sarana produksi (terutama bibit dan obat-obatan), tingkat produktivitas dan harga jual komoditas kentang. Kendala tingkat penerapan teknologi di tingkat petani antara lain disebabkan oleh mahalnya harga bibit yang berasal dari penangkar, mahalnya harga obat-obatan impor sementara komoditas kentang termasuk komoditas yang memerlukan perawatan intensif sehingga kebutuhan obat-obatan relatif banyak. Tingkat produktivitas usahatani kentang dipengaruhi oleh faktor iklim, tingkat penggunaan bibit (jumlah dan mutunya), tingkat penggunaan pupuk dan serangan hama penyakit. Budidaya komoditas kentang di daerah contoh hampir diusahakan sepanjang waktu, hal ini dilakukan untuk menjaga adanya kontinuitas produksi dari daerah serta produksi, serta untuk memperoleh harga jual yang tinggi. Namun, penanaman di luar musim mempunyai resiko kegagalan yang cukup tinggi. Tingkat penggunaan bibit baik jumlah dan mutunya berkorelasi positif terhadap produksi, penggunaan bibit 10 15 kuintal per ha dan bibit berasal dari penangkar, maka produksi yang akan diperoleh berkisar antara 20 30 ton. Namun, jumlah penggunaan dan mutu bibit mengakibatkan biaya bibit yang cukup tinggi, dan bagi sebagian besar petani masih merupakan kendala. Seperti halnya tingkat penggunaan bibit, tingkat penggunaan pupuk, baik pupuk organik maupun anorganik sampai batas-batas tertentu berkorelasi positif terhadap 16

tingkat produksi. Kebijaksanaan pemerintah menaikkan harga pupuk tentu saja akan memberatkan petani, dan akan menurunkan nilai tukar penerimaan terhadap biaya pupuk. Komoditas kentang merupakan salah satu komoditas yang rentan terhadap serangan hama penyakit, pemberantasan hama penyakit dilakukan secara rutin 2 hari sekali, dan akan bertambah bila ada peningkatan intensitas serangan. Dan nampaknya, keberhasilan pemberantasan hama penyakit dipengaruhi oleh jenis obat yang digunakan, ada anggapan bahwa obat-obatan impor kualitasnya lebih baik dari produk lokal, namun harga obat-obatan impor dianggap terlalu mahal bagi petani. Harga produk komoditas sayuran sangat berfluktuasi, perubahan harga dapat terjadi hampir setiap hari, namun satu hal yang pasti harga kentang pada waktu panen raya akan turun. Kasus harga di daerah serta produksi kentang di Jawa Tengah (Wonosobo dan Banjarnegara), selain dipengaruhi oleh produksi dari daerah tersebut juga dipengaruhi oleh volume pemasaran di Pasar Induk Kramatjati. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dalam periode 1987-1998, tingkat kesejahteraan petani kentang di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur cenderung meningkat, sementara di Sulawesi Selatan menurun. Peningkatan kesejahteraan disebabkan karena pertumbuhan harga kentang lebih besar dibandingkan dengan harga yang dibayar petani untuk barang konsumsi, sarana produksi dan barang modal, dan penurunan kesejahteraan disebabkan karena laju pertumbuhan harga kentang lebih lambat dibandingkan dengan harga yang dibayar petani untuk barang konsumsi, sarana produksi dan barang modal. Dalam periode yang sama, secara rataan harga kentang dan harga yang dibayar petani untuk pupuk, tenaga kerja, makanan, non-makanan meningkat. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur pertumbuhan harga kentang lebih tinggi dibandingkan dengan laju harga yang dibayar petani. Hal ini antara lain yang menyebabkan kesejahteraan petani kentang di kedua provinsi tersebut cenderung meningkat. Di Sulawesi Selatan, pertumbuhan harga kentang lebih rendah dari pertumbuhan harga pupuk dan harga makanan namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan harga non makanan dan tingkat upah, namun secara agregat pertumbuhan harga kentang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang dibayar sehingga mengakibatkan kesejahteraan petani kentang cenderung menurun. 17

Harga kentang tingkat produsen di tiga provinsi contoh dipengaruhi oleh tingkat produksi dan IHK pedesaan, peningkatan produksi menyebabkan penurunan harga. Sementara itu, IHK pedesaan berpengaruh positif nyata terhadap harga kentang. Fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan harga komoditas mengikuti perkembangan tingkat inflasi. Nilai tukar penerimaan usahatani kentang di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan masih menguntungkan baik pada lahan garapan sempit, sedang maupun luas. Secara umum nilai tukar penerimaan terhadap biaya saprodi lebih rendah dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan terhadap biaya tenaga kerja Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang merupakan usahatani yang padat modal. Nilai tukar penerimaan terhadap biaya bibit dan obat-obatan lebih rendah dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan biaya pupuk. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam struktur biaya usahatani kentang, biaya bibit dan obat-obatan lebih tinggi dari biaya pupuk. Nilai tukar penerimaan komoditas kentang dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat penerapan teknologi, harga sarana produksi (terutama bibit dan obat-obatan), tingkat produktivitas dan harga jual komoditas kentang. Kendala tingkat penerapan teknologi di tingkat petani antara lain disebabkan oleh harga bibit dan obat-obatan impor yang relatif mahal. Saran Upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kesejahteraan petani kentang antara lain : (1) Mengurangi kendala penerapan teknologi; (2) Pengendalian harga sarana produksi; (3) Penanganan harga jual yang memberikan keuntungan bagi petani; dan (4) Kerjasama antar petani untuk meningkatkan posisi tawar petani. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 1999. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 1999. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Bunasor, S. 1997. Integrasi Perekonomian Perdesaan dan Perkotaan. Makalah Bahasan. Seminar Nasional Pengembangan Perekonomian Perdesaan dan Perkotaan. Sosek- Faperta IPB. 8-9 Juli 1997. Hadi, P.U; H. Mayrowani, Supriyati dan Sumedi. 2000. Review dan Outlook Pengembangan Komoditas Hortikultura. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Bogor, 9-10 Nopember 2000. 18

Rachmat, M., Supriyati, D. Hidayat, J. Situmorang. 2000. Perumusan Kebijakan Nilai Tukar Petani dan Komoditas Pertanian. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Jurnal Agro Ekonomi 11(1) 37-50. Supriyati, M. Rachmat, K.S. Indraningsih, T. Nurasa, Roosgandha dan R. Sayuti. 2000. Studi Nilai Tukar dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang Sosek Bogor. 19