BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pedoman Pengelolaan Ruang Kawasan Sentra Produksi Pangan Nasional dan Daerah (Agropolitan)

Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor

[Laporan Akhir] 1.1 Latar Belakang

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

BAB VISI DAN MISI Visi dan Misi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis

ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY. Oleh: RAHMI FAJARINI

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

BAB V KELAYAKAN KAWASAN DISTRIK AIMAS KABUPATEN SORONG

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG,

PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG I - 1 LAPORAN AKHIR D O K U M E N

VI KESIMPULAN DAN SARAN

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

sendiri sesuai dengan tujuan otonomi daerah.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata dan Potensi Obyek Wisata

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pedesaan saat ini menempati bagian paling dominan dalam

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2008

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN BIREUEN

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI MERAH DI KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN MAGELANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN. 6.1 Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 28 TAHUN 2008 T E N T A N G

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 608 TAHUN 2003 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PERTANIAN, KEHUTANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN JEMBRANA BUPATI JEMBRANA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Negara

dan antar pemangku kepentingan pembangunan. Keseimbangan diartikan sebagai keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial,

3 KERANGKA PEMIKIRAN

BUPATI TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG,

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG SENTRA PRODUKSI PERIKANAN UNGGULAN DI KABUPATEN CIAMIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG

BAB II TINJAUAN AGROPOLITAN DAN BALAI PELAYANAN DUSUN BUTUH

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN PESAWARAN

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR... TAHUN... TENTANG

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 05 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 76/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENETAPAN PRODUK UNGGULAN HORTIKULTURA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT. dan GUBERNUR JAWA BARAT

Kawasan Cepat Tumbuh

BUPATI TANAH LAUT PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 40 TAHUN 2014 T E N T A N G

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

BAB III TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN TEMANGGUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

PENGANTAR AGRIBISNIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.09/MEN/2002 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN BUPATI MADIUN,

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN KOMODITAS PERKEBUNAN KABUPATEN JEMBRANA

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015

WALIKOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 39 TAHUN 2007

BUPATI PAKPAK BHARAT

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011

Transkripsi:

22 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Ciri Kawasan Agropolitan 2.1.1 Pengertian Umum Kawasan Agropolitan Agropolitan terdiri dari dua kata, agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.konsep pengembangan agropolitan (mengacu pada tulisan Friedmann dan Mike Douglass Agropolitan Development: Towards a new strategy for regional planning in Asia dalam Growth Pole Strategy and Regional Development Planing in Asia UNCRD, Nagoya) pertama kali diperkenalkan oleh Mc. Douglass dan Friedmann (1974) sebagai strategi untuk mengembangkan perdesaan. Menurut (Saefulhakim, 2004) Agro bermakna: tanah yang dikelola atau budidaya tanaman, yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sedang polis bermakna a central point or principal. Agropolis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan (Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, 2003). Pengembangan konsep ini pada dasarnya berupaya untuk mengembangkan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan, atau dengan kata lain sering diistilahkan oleh Friedmann sebagai kota di ladang. Dengan konsepagropolitan, maka petani atau pelaku ekonomi di perdesaan tidak perlu haruspergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik pelayanan yang berhubungandengan produksi, pemasaran, ataupun kebutuhan sosial budaya dan kebutuhan harian. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada pasal 1 ayat 24, kawasan agropolitan adalah kawasan 11

23 12 yang teridiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirakhi keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa agropolitan merupakan suatu pendekatan pembangunan melalui gerakan masyarakat dalam membangun sistem ekonomi berbasis pertanian (agribisnis) secara terpadu dan berkelanjutan pada kawasan terpilih melalui pengembangan infrastruktur perdesaan yang mampu melayani, mendorong, dan memacu pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi kawasan yang ada. Program pengembangan kawasan agropolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada, yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Dari uraian tersebut di atas agropolitan dapat diartikan: 1) Suatu model pembangunan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara wilayah perkotaan, dengan kegiatan pengelolaan agribisnis yang berkonsentrasi di wilayah perdesaan. 2) Pendekatan agropolitan dapat mengurangi dampak negatif pembangunan yang telah dilaksanakan, yaitu terjadinya urbanisasi yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, pengurasan sumberdaya alam dan kemiskinan desa. 3) Menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur urbanisme ke dalam lingkungan perdesaan yang spesifik. 2.1.2 Ciri Kawasan Agropolitan Suatu kawasan agropolitan (Friedman and Douglass, 1974) yang sudah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Sebagian besar masyarakat dikawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis).

24 13 2. Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan. 3. Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland di kawasan agropolitan bersifat interdependensi atau timbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian. 4. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan kota. 2.1.3 Kriteria Kawasan Agropolitan Kriteriapengembangan kawasan agropolitan diantaranya harus memiliki: a. Daya dukung sumber daya alam dan potensi fisik yang memungkinkan (kesesuaian lahan, agroklimat, dan agroekologi) untuk dapat dikembangkan sistem dan usaha agribisnis berbasis komoditas unggulan; b. Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian dan atau agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan terintegrasi mulai dari: Subsistem agribisnis hulu (up stream agribusiness) yang mencakup mesin, peralatan pertanian pupuk, dll Subsistem usaha tani/pertanian primer (on farm agribusiness) yang mencakup usaha, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan Subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness) yang meliputi industri-industri pengolahan dan pemasarannya, termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor Subsistem jasa-jasa penunjang (kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis), seperti perkreditan, asuransi, transportasi, penelitian dan

25 14 pengembangan pendidikan penyuluhan, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah. c. Adanya keterkaitan antara kota dengan desa (rural urban linkages) yang bersifat interdependensif/timbal balik dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian di perdesaan mengembangkan usaha budi daya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm, sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budi daya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian (modal, teknologi, informasi, peralatan pertanian, dsb) d. Perbandingan luas kawasan dengan jumlah penduduk, ideal untuk membangun sistem dan usaha agribisnis dalam skala ekonomi dan jenis usaha tertentu; e. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan sama dengan suasana kehidupan di perkotaan, karena prasarana dan infrastruktur yang ada di kawasan agropolitan diusahakan tidak jauh berbeda dengan di kota. Tabel 2.1 Kriteria Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan No Kriteria Menurut Versi Umum Kriteria Menurut Program Departemen Pertanian 1. Kriteria Kawasan Batas wilayah tidak harus sama dengan Batas kawasan tidak ditentukan oleh batas administrasi pemerintahan batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan lain-lain) tergantung scale and scope of economic. Kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa/km 2 Kota dapat berupa kota desa atau Kota-kota tani berpenduduk 10.000-25.000 kota nagari atau kota jiwa Radius wilayah distrik agropolitan 5-10 km (± 1 km perjalanan sepeda) 2. Sarana dan prasarana kegiatan Infrastruktur Agropolitan agribisnis dan agroindustri Sistem jaringan transportasi wilayahnya harus menunjang sesuai dengan Undang- Undang Jalan (regional, arteri utama, arteri sekunder, kolektor, penghubung) Sistem transportasi (moda angkutan, jaringan jalan, interkoneksi sistem) dirancang terpadu dengan sistem kota-kota tani Sistem pergudangan tempat proses pasca panen, packaging process, penyediaan alatalat pertanian, obat hama, pupuk, dan lain- Jaringan jalan untuk meningkatkan aksesibilitas inter dan antarkawasan agropolitan (sistem koleksi barang) Sarana dan prasarana umum: permukiman, transportasi, listrik, telekomunikasi, air bersih, irigasi, dan lain-lain Prasarana irigasi, pusat informasi, terminal, gudang penyimpanan, pasar (hasil pertanian, saprotan, lelang)

26 15 No Kriteria Menurut Versi Umum lain Penyediaan sumber-sumber keuangan dengan cara: Penanaman kembali bagian terbesar dari tabungan setempat di tiap-tiap distrik Pengadaaan sistem bekerja sebagai pengganti pajak bagi semua anggota masyarakat dewasa Pengalihan dana pembangunan dari pusat-pusat kota dan kawasan industri khusus untuk pembangunan agropolitan Perbaikan nilai tukar barang-barang yang merugikan antara petani dan penduduk kota agar lebih menguntungkan petani Transfer pengetahuan, teknologi, dan skill dari para ahli pengem-bangan agropolitan terhadap masyarakat di kawasan agropolitan Pelaksanaan program kesehatan masyarakat dan lingkungan Kriteria Menurut Program Departemen Pertanian Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lembaga petani (kelompok tani, koperasi) Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis 2.1.4 Persyaratan Kawasan Agropolitan Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan agropolitan harus dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian khususnya pangan, yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya. Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya; yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian (seperti benih/bibit, pupuk, obat-obatan), kegiatan pengolahan hasil pertanian (seperti membuat produk olahan, praduk makanan ringan/kripik, dodol, dll) sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminal/sub terminal agribisnis, dll) dan juga kegiatan penunjangnya (seperti pasar hasil, agrowisata); b. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yaitu:

27 16 Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan; Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis; Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, asosiasi) yang dinamis dan terbuka pada inovasi baru, yang harus berrungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Agribisnis (SPPA). Kelembagaan Petani disamping sebagai pusat pembelajaran (pelatihan), juga diharapkan kelembagaan petani/petani maju dengan petani disekitarnya merupakan Inti-Plasma dalam usaha agribisnis; Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) yakni sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi Balai Penyuluhan Pembangunan terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti Kontak tani/petani maju, tokoh masyarakat, dan lain-lain; Percobaan/ pengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang coeok untuk daerah kawasan agropolitan; c. Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih dan lain-lain. d. Memiliki sumber daya manusia yang mau dan berpotensi untuk mengembangkan kawasan agropolitan secara mandiri e. Konservasi alam dan kelestarian lingkungan hidup bagi kelestarian sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun ekosistem secara keseluruhan. 2.1.5 Konsepsi Pengembangan Kawasan Agropolitan Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya

28 17 keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis (UU Nomor 26 Tahun 2007). Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya (Djakapermana, 2003). Sebagai sebuah konsepsi pembangunan kawasan perdesaan, agropolitan dikembangkan oleh Friedmann dan Douglas (1975). Agropolitan adalah pendekatan pembangunan kawasan perdesaan (rural development) yang menekankan pembangunan perkotaan (urban development) pada tingkat lokal perdesaan. Konsepsi pengembangan kawasan agropolitran secara singkat adalah sebagai berikut : 1. Suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, sehingga mendorong urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif) atau tumbuhnya unsur-unsur urbanisasi. 2. Menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti migrasi desa-kota yang tidak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, kekumuhan kota, kehancuran sumber daya alam secara besar-besaran, pemiskinan desa dan lain-lain. 3. Kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada disekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi kawasan yang ada. 4. Kota pertanian (agropolitan) yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya, yang berupa kegiatan budidaya pertanian, usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil -hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agrobisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan permuki man. 5. Secara sistem Kawasan Agropolitan terdiri dari : a. Kawasan lahan pertanian (hinterland; Zona On Farm) Berupa kawasan pengolahan dan kegiatan pertanian yang mencangkup kegiatan pembenihan, budidaya dan pengolahan pertanian. Penentuan hinterland berupa kecamatan/desa didasarkan

29 18 atas jarak capai/ radius keterkaitan dan ketergantungan kecamatan/ desa tersebut pada kawsan agropolitan di bidang ekonomi dan pelayanan lainnya. b. Kawasan Permukiman Merupakan kawasan tempat bermukimamnya para petani dan penduduk kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) c. Kawasan pengolahan dan industri Merupakan kawasan tempat penyeleksian dan pengolahan hasil pertanian sebelum dipasarkan dan dikirim ke terminal agribisnis atau pasar, atau diperdagangkan. Dikawasan ini bisa berdiri pergudangan atau industri yang mengolah langsung hasil pertanian menjadi p roduk jadi. d. Kawasan distribusi dan pelayanan umum Merupakan kawasan yang terdiri dari pasar, kawasan perdagangan, lembaga keuangan, terminal agribisnis dan pusat pelayanan umum lainnya. Selain konsepsi diatas, pengembangan kawasan agropolitan juga dilandasi oleh landasan hukum antara lain: 1) Kebijakan agropolitan bersumber hukum UUD 1945 khususnya pasal 33. 2) Selain itu agropolitan juga berlandasan ketentuan hukum berupa: Undang Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000 2004. Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah 3) Peraturan dan Keputusan Pemerintah yakni Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonomi. Untuk lebih jelasnya mengenai konsepsi pengembangan kawasan dapat dilihat pada gambar berikut:

30 19 Gambar 2.1: Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan Sumber: Djakapermana, 2003 2.2 Struktur Ruang Kawasan Agropolitan Pusat kawasan agropolitan merupakan daerah yang menjadi titik pertumbuhan wilayah inti bagi desa-desa disekitarnya. Wilayah yang menjadi pusat kawasan agropolitan menyediakan fasilias-fasilitas pelayanan dasar dan pasar untuk komoditas yang dihasilkan oleh wilayah pedesaan serta menyediakan infrastruktur perkotaan, seperti pasar, jalan, listrik, gudang penyimpanan dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut: Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan. Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis. Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, assosiasi) yang dinamis dan terbuka pada inovasi baru, yang harus berfungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Agribisnis (SPPA). Kelembagaan Petani disamping sebagai pusat pembelajaran (pelatihan), juga diharapkan kelembagaan petani/petani maju dengan petani di sekitarnya merupakan Inti-Plasma dalam usaha agribisnis. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) yakni sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaanmasyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi Balai Penyuluhan Pembangunan terpadu dimana BPP ini

31 20 merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluhswakarsa seperti Kontaktani/petani maju, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan. Kawasan pendukung (hinterland) berupa kawasan pengolahan dan kegiatan pertanian yang mencakup kegiatan pembenihan, budidaya dan pengelolaan pertanian. Penentuan hinterland berupa kecamatan/desa didasarkan atas jarak capai/radius keterikatan dan ketergantungan kecamatan/desa tersebut pada kawasan agropolitan di bidang ekonomi dan pelayanan lainnya. Lebih jelasnya mengenai struktur ruang kawasan agropolitan dalam pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut. Pusat kawasan agropolitan Gambar 2.2: Kedudukan Agropolitan dalam Keterkaitan Kota-Desa (atas) dan Skema Tata Ruang Kawasan Agropolitan (bawah) Sumber: Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan, Departemen Pertanian, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Hal 10, Tahun 2003

32 21 Dari gambar tersebut, dapat diketahui bahwa suatu kawasan agropolitan terdiri dari salah satu desa sebagai pusat (sentra) kegiatan berbasis pertanian dan desa-desa pendukung yang berupa penghasil produksi berbasis pertanian. Proses produksi-distribusi-konsumsi terjadi antara desa-kota (rural-urban linkages) dan terjadi timbal balik. 2.3 Perencanaan Kawasan Agropolitan Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pengembangan kawasan agropolitan, maka tahapan kegiatan dalam perencanaan tata ruang kawasan agropolitan adalah sebagai berikut: 1) Pedoman pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan derah (agropolitan) merupakan bagian dari RTRWN, berupa strategi pola pengelolaan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) itu sendiri. 2) Menetapkan kawasan di daerah kabupaten/kota di suatu propinsi sebagai kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) berdasarkan suatu studi kelayakan yang secara dengan mempertimbangkan kelayakan ekonomis, teknis sosial budaya dan lingkungan hidup, serta ditetapkan pemerintah daerah bersama masyarakat yang disetujui oleh DPRD dan mengacu pada pedoman dan surat keputusan Gubernur. 3) Kawasan wilayah dalam rangka pengembangan menuju kawasan agropolitan dapat digolongkan menjadi 3 strata yaitu: a. Pra kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) I Merupakan strategi perencanaan jangka pendek (di bawah 1 tahun), suatu tahap awal dari pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan), dimana pada tahap ini wilayah tersebut memiliki ciri-ciri seperti: sumberdaya alam yang melimpah, SDM agribisnis yang tidak terampil dan belum diberdayakan, tingkat produksi pangan masih rendah, dan pola usaha tani masih tradisional. b. Pra kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) II Strategi perencanaan jangka menengah (1 tahun hingga 5 tahun). Pada tahapan ini Kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) sudah mulai berkembang dan hal ini dicirikan oleh kondisi seperti: adanya upaya pemanfaatan sumberdaya alam lokal, pengembangan usaha pertanian terpadu, masuknya investor agribisnis hlir, dan adanya peningkatan kemampuan SDM pertanian.

33 22 c. Kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) Strategi perencanaan jangka panjang (di atas 5 tahun). Pada tahapan ini kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) sudah berkembang dan memiliki ciri-ciri seperti: optimalisasi sumberdaya alam, aplikasi sistem usaha tani modern yang terpadu dengan pengembangan sistem usaha agribisnis, masuknya investor agribisnis hulu dan hilir yang mengembangkan pola kemitraan usaha tani dan produksi, dan kemampuan SDM bidang pertanian sudah tinggi. 4) Dalam implementasi di lapangan, diperlukan suatu studi terpadu yang menyangkut analisis tata ruang, potensi pengembangan agribisnis, analisis sosial budaya dan analisis kapasitas SDM setempat. 5) Pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) dalam jangka panjang harus mempertimbangkan potensi sumberdaya lahan dan merujuk pada RTRW. Penyusunan program ini dilakukan di tingkat kabupaten/kota oleh pemerintah daerah bersama masyarakat dan instansi lintas sektoral. 6) Rencana program pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) akan tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Program jangka panjang dari setiap pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) harus dijabarkan dalam program pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) tahunan 2.4 Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Strategi pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antar kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian mengalami produktivitas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahanpermasalahan sosial (konflik, kriminal dan penyakit masyarakat lainnya) dan pencemaran lingkungan. Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat wilayah wilayah keseluruhan akan berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah.

34 23 Pengembangan kawasan agropolitan berorientasi pada kekuatan pasar, melalui pengembangan masyarakat yang tidak hanya diarahkan pada upaya pengembangan usaha budidaya, tetapi juga meliputi pengembangan agribisnis hulu (penyediaan sarana pertanian) dan agribisnis hilir (proses dan pemasaran) dan jasa-jasa pendukungnya. Memberi kemudahan melalui penyediaan sarana dan prasarana yang dapat mendukung pengembangan agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan menyeluruh, mulai dari subsistem budidaya, subsistem agribisnis hulu, hilir, dan jasa pendukung. Pengembangan suatu kawasan agropolitan harus mengikuti pengelolaan kawasan tersebut. Untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tata ruang kawasan agropolitan, arahan pengembangannya sebagai berikut: a. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis setempat b. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan agribisnis dan industri pertanian secara lokalita c. Pembangunan prasarana dan infrastruktur fisik yang menunjang kegiatan di kawasan agropolitan d. Adanya keterpaduan rencana tata ruang kawasan agropolitan dengan rencana tata ruang wilayah, khususnya aspek kawasan permukiman dan industri. 2.5 Definisi Operasional Definisi operasional tersusun berdasarkan hal-hal ppokok yang terikat dalam kegiatan penelitian ataupun pengistilahan yang digunakan dalam proses penelitian. Maka definisi operasional dari judul studi ini adalah: Strategi : Rencana atau metoda yang cermat untuk mencapai hasil atau sasaran pelaksanaan (Kamus Tata Ruang) Pengembangan : Proses, cara, perbuatan mengembangkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Kawasan : Wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya (UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang) Agropolitan : Kota pertanian yang tumbuh dan berkembang seiring berjalannya sistem dan usaha agribisnis yang mampu Kawasan : Kawasan yang teridiri dari satu atau lebih pusat kegiatan

35 24 Agropolitan Kecamatan Kabupaten Pengembangan Kawasan Agropolitan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirakhi keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. (UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang) : Pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kabuaten atau kota yang di pimpin oleh seorang Camat. Kecamatan terdiri dari desa-desa atau kelurahan-kelurahan. (Kamus Tata Ruang) (www,wikipedia.com) : Pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang di pimpin oleh seorang bupati (www.wikipedia.com) : Pembangunan berbasis pertanian dikawasan agropolitan yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah.