Tropical Animal Husbandry Vol. 1 (1), Oktober 2012: 7-14 ISSN 2301-9921 Pengaruh Macam Akselerator Terhadap Kualitas Fisik, Kimiawi, dan Biologis Silase Rumput Kolonjono I. B. Kurnianingtyas, P. R. Pandansari, I. Astuti, S. D. Widyawati, dan W. P. S. Suprayogi Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta 57126 E-mail: istiastuti@yahoo.co.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh macam akselerator terhadap kualitas fisik, kimiawi dan biologis silase rumput kolonjono. Penelitian ini menggunakan rumput kolonjono berumur ±60 hari, akselerator (dedak padi, tepung gaplek dan molases) dan cairan rumen untuk in vitro. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan empat perlakuan dan empat kali ulangan. Perlakuan silase terdiri dari Silase TA (Silase rumput kolonjono + 0% akselerator), Silase DP (Silase rumput kolonjono + 5% dedak padi), Silase TG (Silase rumput kolonjono + 5% tepung gaplek) dan Silase ML (Silase rumput kolonjono + 5% molases). Peubah yang diamati meliputi kualitas fisik (bau, tekstur, warna, keberadaan jamur dan presentase keberhasilan silase), kualitas kimiawi (Bahan Kering, Bahan Organik, NH 3 silase, Nilai Fleigh dan ph silase) dan kualitas biologis (Koefisien Cerna Bahan Kering, Koefisien Cerna Bahan Organik, ph cairan rumen dan NH 3 cairan rumen). Hasil penelitian menunjukkan bahwa macam akselerator berpengaruh nyata (P<0,05) dalam memperbaiki bau, tekstur, bahan kering, bahan organik, nilai fleigh, koefisien cerna bahan kering dan koefisien cerna bahan organik. Macam akselerator nyata dalam menurunkan ph silase, NH 3 silase, dan ph cairan rumen. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini bahwa akselerator molases dan tepung gaplek dapat meningkatkan kualitas fisik, kimiawi dan biologis. Kata kunci: silase rumput kolonjono, akselerator, kualitas silase, in vitro The Effect of Accelerators on the Quality of Physical, Chemical, and Biological Kolonjono Grass Silage ABSTRACT This study aimed to determine the effect of accelerators on the physical, chemical and biological quality of Kolonjono grass silage. This study used Kolonjono grass ±60 days old, accelerators (rice bran, cassava flour and molasses) and rumen fluid for in vitro. Experimental design used completely randomized design with four treatments and four replications. Treatment consisted of silage TA (Kolonjono grass silase + 0% accelerator), silage DP (Kolonjono grass silase + 5% rice bran), silage TG (Kolonjono grass silase + 5% cassava flour) and silage ML (Kolonjono grass silase + 5% molasses). Observed variables were the physical quality (odor, texture, color, presence of mold and the percentage of successful silage), chemical quality (DM, OM, NH 3 silage, Fleigh value and silage ph) and biological quality (DMD, OMD, ph of rumen fluid and NH 3 of rumen fluid). The results showed that the accelerators was significant (P<0.05) on improving the physical quality (odor and texture), chemical quality (DM, OM, NF) and biological quality (DMD and OMD) and also significant lowered ph of silage, NH 3 of silage and ph of rumen fluid. It can be concluded that the accelerators can improve the physical, chemical and biological quality Kolonjono grass silage. Keywords: Kolonjono grass silage, accelerators, quality of silage, in vitro 7
PENDAHULUAN Hijauan merupakan pakan utama bagi ruminansia. Ketersediaan pakan hijauan perlu diperhatikan baik secara kualitas maupun kuantitasnya untuk meningkatkan produktivitas ternak khususnya ruminansia. Salah satu jenis hijauan yang dipergunakan sebagai pakan bagi ruminansia adalah rumput kolonjono (Brachiaria mutica). Rumput kolonjono memiliki beberapa keunggulan diantaranya produktivitasnya yang tinggi, kandungan nutrien yang cukup dan disukai ternak (palatable). Produktivitas rumput kolonjono di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perbedaan musim. Pada musim penghujan produktivitasnya melimpah sedangkan pada musim kemarau menurun. Hal ini mengakibatkan peternak kesulitan untuk mendapatkan pakan hijauan. Upaya yang dilakukan peternak untuk mengantisipasi kurangnya ketersediaan rumput pada musim kemarau adalah dengan memperpanjang masa simpan dari rumput kolonjono yang melimpah jumlahnya pada musim penghujan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan pengawetan. Pengawetan rumput kolonjono antara lain dilakukan dalam bentuk silase. Silase merupakan bahan pakan yang berupa hijauan baik rumput-rumputan maupun kacang-kacangan yang dihasilkan dari proses fermentasi pada tempat tertutup dalam kondisi anaerob (Mc.Donald, 1981). Tujuan pembuatan silase adalah untuk mengawetkan serta mengurangi kehilangan nutrien pada hijauan agar dapat dimanfaatkan untuk pakan pada masa mendatang (Susetyo et al., 1969). Prinsip dari pembuatan silase ini adalah untuk menghentikan kontak antara hijauan dengan oksigen, sehingga dengan keadaan anaerob ini bakteri asam laktat akan tumbuh dengan mengubah karbohidrat mudah larut menjadi asam laktat. Pertumbuhan bakteri asam laktat akan membuat produksi asam laktat akan meningkat dan mengakibatkan kondisi di dalam silo asam yang ditandai dengan penurunan ph. Kadar ph yang rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan (Clostridium dan Enterobacterium), ragi dan jamur yang dapat mengakibatkan kebusukan (Heinritz, 2011). Proses pembuatan silase (ensilage) akan berjalan optimal apabila pada saat proses ensilase diberi penambahan akselerator. Akselerator dapat berupa inokulum bakteri asam laktat ataupun karbohidrat mudah larut. Fungsi dari penambahan akselerator adalah untuk menambahkan bahan kering untuk mengurangi kadar air silase, membuat suasana asam pada silase, mempercepat proses ensilase, menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan jamur, merangsang produksi asam laktat dan untuk meningkatkan kandungan nutrien dari silase (Schroeder, 2004). Menurut Lubis (1992) kandungan karbohidrat mudah larut dari molasses 74,9%, dedak padi 43,8% dan tepung gaplek 78,4%. Perbedaan dari kandungan karbohidrat mudah larut dalam setiap akselerator memengaruhi kualitas silase yang dihasilkan, maka dari itu untuk mengetahui bagaimana pengaruh penambahan berbagai macam akselerator terhadap silase perlu dilakukan pengujian kualitas silase tersebut. Kualitas silase dapat dinilai secara fisik, kimiawi dan biologis. Kualitas fisik dari silase dapat diketahui dari bau, tekstur, warna, keberadaan jamur dan presentase keberhasilan silase), kualitas kimiawi (BK, BO, NH 3 silase, Nilai Fleigh dan ph silase) dan kualitas biologis (KCBK, KCBO, ph cairan rumen dan NH 3 cairan rumen). Kualitas biologis dari silase dapat diketahui dari nilai kecernaan dan fermentabilitasnya menggunakan teknik in vitro. Berdasarkan hal diatas maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh macam akselerator terhadap kualitas fisik, kimiawi dan biologis silase rumput kolonjono. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan 8 Tropical Animal Husbandry Vol. 1 (1) 2012
Ternak, Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput kolonjono yang berasal dari Sambi, Boyolali. Rumput diambil dari areal yang sama dan berumur ±60 hari. Jarak pemotongan rumput dari permukaan tanah ±15 cm dengan diameter batang ±2 cm. Rumput yang digunakan untuk pembuatan silase hanya bagian daun. Akselerator yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu dedak padi, molases dan tepung gaplek. Rumput dicacah sepanjang 3-5 cm kemudian dilayukan ±1 hari. Silo yang digunakan terbuat dari stoples plastik yang berdiameter 15 cm dan tinggi 15 cm, dengan daya tampung rumput ±1 kg. Rumput kolonjono ditimbang dan dicampur dengan akselerator sampai homogen kemudian dimasukkan ke dalam silo plastik. Silase disimpan selama 21 hari. Perlakuan pada penelitian ini yaitu penambahan level akselerator yaitu silase TA (0% akselerator), silase DP (5% dedak padi), silase TG (5% tepung gaplek) dan silase ML (5% molases). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola searah. Data kualitas fisik, kimiawi dan biologis dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Apabila terdapat hasil yang berpengaruh nyata pada perlakuan maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1995). Peubah yang diamati adalah kualitas fisik (bau, tekstur, keberadaan jamur, warna dan presentase keberhasilan silase) (Syarifuddin, 2001), bahan kering (BK) (Sudarmadji et al., 1984), bahan organik (BO) (Sudarmadji et al., 1984), nilai ph, NH 3 (Conway dan O Malley, 1942), nilai fleigh (NF) (Santoso et al., 2009). Pengukuran kecernaan dan fermentabilitas dengan menggunakan teknik in vitro menggunakan metode dari Tilley dan Terry (1963). Pengambilan cairan rumen dengan cara cairan rumen disaring menggunakan kain kasa berlapis, kemudian cairan rumen diperas dan dimasukkan ke dalam termos yang sebelumnya diberi air hangat untuk menjaga suhu dari cairan rumen. Pembuatan blanko sama seperti perlakuan in vitro, akan tetapi blanko tersebut tidak menggunakan sampel silase, hanya campuran cairan rumen dan larutan Mc.Dougall saja yang di in vitro. Uji fermentabilitas dengan metode in vitro dengan lama diinkubasi 3 jam, setelah inkubasi selesai kemudian cairan yang berada di dalam tabung fermentor disaring dan diperoleh supernatan dan substrat. Supernatan ini yang digunakan untuk analisis NH 3 dan ph. Pengukuran konsentrasi NH 3 ini mengikuti metode Raneff (Chaney dan Marbach, 1962) sedangkan ph menurut Santoso et al. (2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas fisik Pemberian akselerator ML menghasilkan kualitas fisik yang paling baik yaitu bau (asam, manis atau wangi fermentasi dan tidak terdapat aroma busuk), tekstur padat (tidak menggumpal, tidak berlendir, dan remah), warna hijau gelap atau kuning kecoklatan, tidak terdapat jamur, dan presentase keberhasilan silase 100% (Tabel 1). Silase ML menghasilkan kualitas fisik paling baik, diduga pada silase ML ditambahkan molases yang mempunyai kandungan BETN tinggi yaitu 74,9% (Lubis, 1992) sehingga mempercepat proses fermentasi yang mengakibatkan turunnya ph. Sandi et al. (2010) menyatakan bahwa silase yang baik memiliki aroma asam dan wangi fermentasi. Despal et al. (2011) menambahkan bahwa silase yang diberi akselerator (dedak padi, tepung gaplek, dan molasses) mempunyai tekstur utuh, halus dan tidak berlendir. Reksohadiprodjo (1988) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang mengalami proses ensilase disebabkan oleh perubahan- Pengaruh Akselerator terhadap Kualitas Silase... (Kurnianingtyas et al.) 9
Tabel 1. Kualitas fisik dan kimiawi silase rumput kolonjono pada berbagai macam akselerator Peubah Silase TA DP TG ML Bau 1,00 a 2,00 b 2,50 c 3,00 d Tekstur 1,75 a 2,25 b 2,50 c 3,00 d Keberadaan jamur 3,00 2,75 3,00 3,00 Warna % Keberhasilan silase Bahan kering (%) Bahan Organik (%) ph NH 3 (mm) NF 3,00 45,3 22.60 a 84.09 a 5.65 a 20.31 a 24.28 a 3,00 71,40 21.97 ab 84.23 b 5.37 b 16.77 ab 34.07 b 3,00 91,70 27.32 b 87.49 b 4.93 c 14.84 b 60.96 c 2,00 100,00 23.33 b 84.78 b 3.04 d 7.78 c 130.39 c Keterangan : TA=tanpa akselerator, DP= dedak padi, TG=tepung gaplek, ML= molases. Bau {Skor 1=busuk, 2=tidak asam atau tidak busuk, 3= asam}, tekstur {Skor 1= lembek (menggumpal, berlendir dan berair), 2=agak lembek (agak menggumpal, terdapat lendir), 3= padat (tidak menggumpal, tidak berlendir, remah)}, keberadaan jamur {Skor 1= banyak (lebih dari 5 % dari total silase), 2=cukup (2-5 % dari total silase), 3= tidak ada/sedikit (kurang dari 2 % dari total silase)}, warna {Skor 1= coklat sampai hitam, 2=hijau gelap/kuning kecoklatan, 3= hijau alami/hijau kekuningan}. a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) perubahan yang terdapat dalam tanaman karena proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai gula tanaman habis. Gula akan teroksidasi menjadi CO 2 dan air, dan terjadi panas sehingga temperatur naik. Temperatur yang terus naik tanpa terkendali akan mengakibatkan silase berwarna coklat tua sampai hitam. Hal ini menyebabkan nilai nutrisi turun dikarenakan banyak sumber karbohidrat yang hilang dan kecernaan protein turun, yaitu pada suhu 55 C. Kartadisastra (1997) juga berpendapat bahwa silase berkualitas baik yaitu mempunyai tekstur segar, berwarna kehijau-hijauan, tidak berbau busuk, disukai ternak, tidak berjamur, dan tidak menggumpal. Silase TA tergolong silase yang paling buruk dengan persentase keberhasilan 45,3%. Hal ini dikarenakan pada silase TA tidak ditambahkan akselerator sehingga mempunyai kualitas fisik yang terburuk yaitu berbau busuk dan mempunyai tekstur lembek (menggumpal, berlendir dan berair). Bakteri pembusuk (Clostridia) lebih dominan tumbuh dan berkembang pada silase TA ditunjukkan dengan skor tekstur 1 (lembek, menggumpal, berlendir). Kualitas kimiawi (BK, BO, ph, NH 3, NF) Kandungan bahan kering dan bahan organik yang tertinggi terdapat pada silase TG yaitu sebesar 27,32% dan 87,48% (Tabel 1). Hal ini diduga karena bahan kering tepung gaplek (87%) lebih tinggi dibandingkan dengan dedak padi dan molasses (79,7%) (Lubis, 1992). Penambahan akselerator (dedak padi, tepung gaplek, dan molasses) terbukti meningkatkan kandungan bahan organik silase rumput kolonjono dibandingkan dengan silase kontrol yang tidak diberi tambahan akselerator. Mc.Donald (1981) menyatakan bahwa penurunan bahan kering dapat terjadi pada tahap aerob dan anaerob. Penurunan BK pada tahap aerob terjadi karena respirasi masih terus berlanjut, sehingga glukosa yang merupakan fraksi BK akan diubah menjadi CO 2, H 2 O dan panas. Penurunan pada tahap anaerob terjadi karena glukosa diubah menjadi etanol dan CO 2 oleh mikroorganisme. Santoso et al. (2009) menambahkan bahwa tingginya kandungan 10 Tropical Animal Husbandry Vol. 1 (1) 2012
bahan organik silase dengan penambahan akselerator dikarenakan adanya tambahan karbohidrat mudah larut yang dimanfaatkan oleh bakteri pencerna serat kasar misalnya bakteri selulolitik, sehingga degradasi karbohidrat menjadi asam organik seperti asetat, propionat dan butirat lebih tinggi. Nilai ph terendah terdapat pada silase dengan penambahan molases yaitu 3,04 sejalan dengan kadar NH 3 silase segar (7,78 mm) (Tabel 1), rendahnya nilai ph dan NH 3 silase ML diduga karena tingginya kandungan karbohidrat mudah larut (water soluble carbohydrate) pada molases dibandingkan dedak padi dan tepung gaplek, sehingga asam laktat yang dihasilkan lebih banyak yang mengakibatkan turunnya ph lebih cepat. Lubis (1992) menyatakan bahwa kandungan BETN molases (74,9%) lebih tinggi dibandingkan dengan dedak padi (43,8%). Thalib et al. (2000) menyatakan bahwa derajat keasaman asam laktat merupakan derajat keasaman yang tertinggi dibandingkan asam-asam organik lainnya yang terbentuk selama fermentasi, sehingga kecepatan penurunan ph silase sangat ditentukan oleh jumlah bakteri asam laktat (BAL) yang terbentuk. Nilai fleigh merupakan indeks karakteristik fermentasi silase berdasarkan nilai BK dan ph dari silase (Despal et al., 2011). Silase ML mempunyai nilai fleigh yang tertinggi yaitu 130,39 (Tabel 1). Hal ini dikarenakan kadar BK yang tinggi pada silase ML sebesar 23,33% (Tabel 1) dan nilai ph yang paling rendah sebesar 3,04 (Tabel 1) sehingga menyebabkan nilai fleigh tertinggi yaitu >100. Nilai ph dan NH 3 tertinggi terdapat pada silase kontrol yaitu 5,65 dan 20,31 mm (Tabel 1). Hal ini diduga pada silase TA tidak diberi penambahan akselerator sehingga tidak memacu fermentasi yang mengakibatkan penurunan ph sulit terjadi. Bakteri Clostridia dapat berkembang dan melakukan perombakan protein menjadi NH 3, H 2 O dan CO 2. Ridla (2011) menyatakan bahwa tinggi rendahnya kandungan N-Amonia dapat juga menunjukkan seberapa besar terjadinya penghancuran asam amino sebagai akibat proses proteolisis. Silase TA tergolong silase berkualitas buruk dengan nilai fleigh 24,28 (Tabel 1). Rendahnya nilai fleigh pada silase TA disebabkan karena kadar BK pada silase TA rendah yaitu 22,6% (Tabel 1) dan nilai ph yang dihasilkan paling tinggi (5,65) (Tabel1). Gunawan et al. (1988) menyatakan bahwa bahan akselerator mempunyai fungsi untuk meningkatkan ketersediaan nutrien, memperbaiki nilai gizi silase, meningkatkan palatabilitas, mempercepat tercapainya kondisi asam, memacu terbentuknya asam laktat dan asam asetat, merupakan sumber karbohidrat mudah tercemar sebagai sumber energi bagi mikrobia yang berperan dalam proses fermentasi. Kualitas Biologis Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara biologis akselerator memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dalam meningkatkan koefisien cerna bahan kering (KCBK), koefisien cerna bahan organik (KCBO) silase rumput kolonjono dan menurunkan ph cairan rumen, akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap NH 3 cairan rumen. Mc.Donald (1981) menyatakan bahwa penambahan material dalam proses pembuatan silase dapat meningkatkan kecernaannya. Silase TG memiliki nilai KCBK dan KCBO paling tinggi dibandingkan silase lainnya yaitu sebesar 23,44% dan 24,28% (Tabel 2). Tingginya nilai KCBK dan KCBO pada silase TG ini diduga dipengaruhi oleh tingginya kandungan water soluble carbohidrate (WSC) yang terdapat pada tepung gaplek. Menurut Lubis (1992) bahwa kandungan WSC dari masing-masing akselerator adalah tepung gaplek 78,4%, molasses 74,9% dan dedak padi 43,8%. Kandungan WSC dari bahan penyusun silase akan memengaruhi banyak sedikitnya komponen penyusun silase yang dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat untuk memproduksi asam laktat dan juga menghasilkan energi serta mengubah komponen penyusun bahan organik tersebut menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga mikroorganisme cairan rumen Pengaruh Akselerator terhadap Kualitas Silase... (Kurnianingtyas et al.) 11
Tabel 2. Koefisien cerna bahan kering (KCBK), koefisien bahan organik (KCBO), ph cairan rumen, dan konsentrasi NH 3 rumen silase rumput kolonjono pada berbagai macam akselerator Peubah Silase TA DP TG ML KCBK (%) 15,331 c 17,403 bc 23,437 a 20,227 ab KCBO (%) 16,629 b 18,813 b 24,277 a 19,698 b ph cairan rumen 7,346 a 7,294 ab 7,13 b 7,11 b Konsentrasi NH3 rumen 2,108 2,091 2,096 2,104 Keterangan: TA=silase tanpa akselerator, DP=silase dengan akselerator dedak padi, TG=silase dengan akselerator tepung gaplek, ML=silase dengan akselerator molases a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) lebih banyak mencerna komponen bahan organik silase TG tersebut yang ditunjukkan dengan tingginya KCBK dan KCBO silase TG. Selain itu nilai KCBK dan KCBO diduga juga dipengaruhi oleh kandungan serat kasar yang terkandung pada bahan penyusun silase dan kemampuan mikrobia rumen dalam mencerna serat kasar tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Soest (1994) yang menyatakan bahwa pada saat ensilase tidak terjadi proses pencernaan serat kasar, akan tetapi pencernaan serat kasar terjadi pada saat pakan tersebut berada di dalam rumen. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya kandungan serat kasar pada silase akan memengaruhi kemampuan mikrobia rumen dalam mencerna serat kasar yang pada akhirnya akan memengaruhi nilai KCBK dan KCBO. Pernyataan ini didukung oleh Hau et al. (2005) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya kecernaan zat-zat makanan pada ternak ruminansia bergantung pada kandungan serat kasar dan aktivitas mikroorganisme rumen terutama bakteri selulolitik. Spesies selulolitik ada yang berfungsi ganda didalam mencerna serat kasar yaitu sebagai pencerna selulosa juga hemiselulosa dan pati. Besarnya nilai KCBK ini sejalan dengan besarnya nilai KCBO. Hal ini sesuai dengan pendapat Tillman et al. (1991) yang menyatakan bahwa KCBO dipengaruhi oleh KCBK. Koefisien cerna bahan organik menggambarkan ketersediaan nutrien dari pakan dan menunjukkan jumlah nutrien yang mampu dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Jumlah mikrobia rumen yang tinggi mampu meningkatkan aktivitas dari mikrobia rumen dalam mendegradasi pakan secara fermentatif bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana mudah larut yang mengakibatkan penyerapan zat-zat organik juga meningkat. Semakin banyak jumlah mikrobia rumen maka akan semakin banyak pakan yang tercerna oleh mikroba rumen. Penambahan akselerator pada silase rumput kolonjono berpengaruh nyata (P<0,05) dalam menurunkan ph cairan rumen. ph cairan rumen terkecil terlihat dari silase ML (Tabel 2). ph cairan rumen silase TG dan ML lebih rendah dari ph cairan rumen silase TA dan silase DP (Tabel 2), diduga rendahnya nilai ph silase ML dipengaruhi ketersediaan karbohidrat yang mudah larut yang masih tinggi pada silase ML. Tingginya karbohidrat mudah larut pada silase diduga akan mengakibatkan semakin banyak fermentasi karbohidrat yang dilakukan mikrobia rumen untuk menghasilkan VFA. Banyaknya VFA yang dihasilkan, mengakibatkan ph cairan rumen akan semakin turun. Silase TA dan silase DP karbohidrat mudah larutnya lebih sedikit, sehingga pada saat proses fermentasi VFA yang dihasilkan juga sedikit yang mengakibatkan ph cairan rumennya tinggi. Tinggi rendahnya ph cairan rumen ditentukan oleh jenis makanan, waktu yang tersedia bagi mikrobia rumen untuk melakukan fermentasi bahan makanan, kapasitas sistem buffer, kadar NH 3 serta total VFA (Nurhaita et al., 2008). 12 Tropical Animal Husbandry Vol. 1 (1) 2012
Berdasarkan hasil dari penelitian ini bahwa ph cairan rumen in vitro berada dalam rentang yang normal dari kondisi ph di dalam rumen. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nurhaita et al. (2008) bahwa kisaran ph rumen dapat 5,5-7,2 dan untuk normalnya berkisar 6,0-7,0. Penambahan akselerator tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap konsentrasi amonia (NH 3 ) cairan rumen silase rumput kolonjono. Amonia (NH 3 ) merupakan produk akhir dari degradasi protein kasar di dalam pakan dan juga deaminasi asam amino oleh mikroba didalam rumen. Kandungan protein kasar pada silase rumput kolonjono diduga mempengaruhi konsentrasi ammonia yang dihasilkan selama proses fermentasi in vitro, meskipun terdapat perbedaan kandungan protein pada masing-masing bahan penyusun silase akan tetapi protein tersebut memiliki tingkat degradasi yang sama pada rumen yang ditunjukkan dengan hasil yang tidak berbeda nyata. Protein kasar yang terdapat pada silase diduga terdiri dari protein murni. Protein murni pada rumen tidak dapat larut (by pass) dan akan langsung menuju ke usus halus. Menurut Prayitno (2007), NH 3 dipengaruhi oleh kelarutan bahan pakan, jumlah protein serta sumber nitrogen yang terdapat dalam pakan. Protein dalam pakan dihidrolisis oleh mikrobia rumen menjadi peptida, asam amino dan NH 3. Mikrobia rumen sebagian besar tidak dapat menggunakan asam amino secara langsung, sehingga asam amino yang ada dirombak menjadi amonia. Semakin mudah protein pakan didegradasi oleh mikrobia rumen maka semakin tinggi pula produksi amonia yang dihasilkan. Menurut Nurhaita et al. (2008) bahwa konsentrasi NH 3 di dalam rumen bervariasi antara 0-130 mg/100 ml cairan rumen sedangkan kadar minimal untuk sintesis protein mikroba rumen yang optimal adalah 5 mg/100 ml cairan rumen. SIMPULAN Akselerator dapat meningkatkan kualitas fisik (bau dan tekstur) kualitas kimiawi (nilai BK, BO, NF) dan kualitas biologis (KCBK dan KCBO). Akselerator nyata menurunkan nilai ph dan NH 3 silase segar rumput kolonjono dan ph silase in vitro. Akselerator tidak berpengaruh terhadap kualitas fisik (warna, keberadaan jamur dan persentase keberhasilan) silase rumput kolonjono dan kadar NH 3 silase in vitro. Akselerator yang paling baik untuk pembuatan silase rumput kolonjono adalah molases dan tepung gaplek. DAFTAR PUSTAKA Chaney, A. L. dan E. P. Marbach. 1962. Modified reagent for determination of urea and ammonia. Clinical Chemistry Journal. 8:130-132. Conway, E. J. dan E. O Malley. 1942. Microdiffusion methods: ammonia and urea using buffered absorbents (revised methods for ranges greater than 10 µg N). Biochemistry Journal. 36: 655-66. Despal, I. G., Permana, S. N. Safarina dan A. J. Tatra. 2011. Penggunaan berbagai sumber karbohidrat terlarut air untuk meningkatkan kualitas silase daun Rami. Media Peternakan. 43: 69-76. Gunawan, B., T. D. Zaenuddin, J. Daema dan A. Thalib. 1988. Silage. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ciawi. Bogor. Hau, D. K., N. Mariana, N. Jacob dan G. F. K. Nathan. 2005. Pengaruh Probiotik Terhadap Kemampuan Cerna Mikroba Rumen Sapi Bali. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Nusa Tenggara Timur, Indonesia. pp. 171-180. Heinritz, S. 2011. Ensiling Suitability of High Protein Tropical Forages and Their Nutritional Value for Feeding Pigs. Diploma Thesis. University of Hohenheim. Stutgart. Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia (Sapi, Kerbau, Domba, Kambing). Kanisius, Yogyakarta. Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Pembangunan, Jakarta. McDonald, P. 1981. Biochemistry of Silage. John Willey and Sons, Chichester. New York. Pengaruh Akselerator terhadap Kualitas Silase... (Kurnianingtyas et al.) 13
Nurhaita, N. Jamarun, R. Saladin, L. Warly dan Z. Mardiati. 2008. Efek suplementasi mineral sulfur dan fosfor pada daun sawit amoniasi terhadap kecernaan zat makanan secara in vitro dan karakteristik cairan rumen. Journal Indonesian Tropycal Animal Agriculture. 33: 51-57. Prayitno, E. 2007. Fermentabilitas Silase Sampah Organik dalam Rumen sebagai Pengganti Rumput Lapangan pada Domba Lokal Jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. Reksohadiprodjo, S.1988. Pakan Ternak Gembala. Bio Partening Future Europe, Yogyakarta. Ridla, M. 2011. Pengolahan Biologis pada Hijauan. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sandi, S., E. B. Laconi, A. Sudarman, K. G. Wiryawan dan D. Mangundjaja. 2010. Kualitas nutrisi silase berbahan baku singkong yang diberi enzim cairan rumen sapi dan Leuconostoc mesenteroides. Media Peternakan. 33: 25-30. Santoso, B., B. Tj. Hariadi, H. Manik dan H. Abubakar. 2009. Kualitas rumput unggul tropika hasil ensilase dengan aditif bakteri asam laktat dari ekstrak rumput terfermentasi. Media Peternakan. 32: 137-144. Schroeder, J.W. 2004. Silage Fermentation and Preservation. http://www.ext.nodak.edu/ expubs/ansci/dairy/as1254w.btm.pdf. (10-06-2012). Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (Diterjemahkan oleh B. Sumantri). Sudarmadji, S. Haryono dan B. Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian Edisi Ketiga. Liberty,Yogyakarta. Susetyo, Kismono dan B. Soewardi. 1969. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Peternakan Rakyat Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta. Syarifuddin, N. A. 2001. Karakteristik dan Persentase Keberhasilan Silase Rumput Gajah pada Berbagai Umur Pemotongan. Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan. Thalib, A., J. Bestari, Y. Widiawati, H. Hamid dan D. Suherman. 2000. Pengaruh perlakuan silase jerami padi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya cerna dan ekosistem rumen sapi. Journal Indonesian Tropical and Veteriner. 5:276-281. Tilley, J. M. A. dan R. A. Terry. 1963. A two stage technique for the in vitro digestion of forage crops. Journal Britis Grassland Social. 18: 104-111. Tillman, A. D., S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan 5. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. 2 nd Ed Comstock Publising Associates Advion of corhell University Press, Ithaca. New York. 14 Tropical Animal Husbandry Vol. 1 (1) 2012