BAB III BENTUK PENJABARAN GCG DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA PLN. 3.1 Pengaturan dan Penjabaran GCG dalam Peraturan di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK (GOOD CORPORATE GOVERNANCE/GCG)

PEDOMAN PERILAKU Code of Conduct KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Prinsip-prinsip GCG 1. Transparansi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (2009 : 67) mencoba memberikan definisi dari kinerja, antara lain sebagai

PEDOMAN DIREKSI DAN KOMISARIS PERSEROAN

KEWRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

BOARD MANUAL PT PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY

09Pasca. Kewirausahaan, Etika Profesi dan Hukum Bisnis

BAB I PENDAHULUAN. Good Corporate Governance (GCG) adalah salah satu pilar dari sistem

KEBIJAKAN MANAJEMEN Bidang: Kepatuhan (Compliance) Perihal : Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

PIAGAM KOMITE AUDIT (AUDIT COMMITTEE CHARTER) PT PERTAMINA INTERNASIONAL EKSPLORASI & PRODUKSI

Pedoman Tata Kelola Perusahaan PT Nusa Raya Cipta Tbk PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN

PT HD CAPITAL TBK ( PERSEROAN ) KODE ETIK ( CODE OF CONDUCT )

B E N T U R A N K E P E N T I N G A N CONFLICT OF INTEREST. PT Jasa Marga (Persero) Tbk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Direksi Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN

DAFTAR ISI. SK BERSAMA DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI PT BARATA INDONESIA(Persero)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK PT SURYA CITRA MEDIA Tbk

Kebijakan Corporate Governance. PT. Persero Batam. Tim GCG PT. Persero Batam Hal : 1 of 9

Piagam Direksi. PT Link Net Tbk ( Perseroan )

Pedoman Good Corporate Governance PT Taspen (Persero)

BAB 5 PENUTUP. Berdasarkan hasil analisis mengenai Penerapan Good Corporate Governance

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

SURAT KEPUTUSAN BERSAMA DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI PT PERKEBUNAN NUSANTARA XIII (PERSERO) NOMOR : 13.00/KPTS/09/IV/2014 NOMOR : Dekom/SK-02/IV/2014

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 30/POJK.05/2014 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Direksi

Analisis Pengungkapan Good Corporate Governance (GCG) pada Perusahaan Indeks Pefindo25 (SME Index) Tahun

Pedoman Direksi. PT Astra International Tbk

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PEDOMAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI INDONESIA

NOMOR 152/PMK.010/2012 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Direksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PEDOMAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFORMASI

DAFTAR ISI. Daftar Isi

12Pasca. Kewirausahaan, Etika Profesi dan Hukum Bisnis

TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

DAFTAR ISI CHARTER KOMITE AUDIT PT INDOFARMA (Persero) Tbk

Pedoman Tata Kelola Yang Baik (Good Governance) BPJS Ketenagakerjaan. Good Governance is Commitment and Integrity

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan nilai perusahaan. Sedangkan Perum mempunyai maksud

BAB I PENDAHULUAN. efektivitas pencapaian tujuan perusahaan. Seiring dengan berkembangnya. mendorong kesinambungan dan kelangsungan hidup perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pedoman Dewan Komisaris. PT Astra International Tbk

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG TATA KELOLA YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

PEDOMAN BENTURAN PT. PELITA AIR SERVICE. PT. PELITA AIR SERVICE Jl. Abdul Muis No A Jakarta Pusat 10160


PEDOMAN UMUM GOOD CORPORATE GOVERNANCE PENDAHULUAN

KODE ETIK (CODE OF CONDUCT) PT PROVIDENT AGRO TBK

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /POJK.05/2015 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN MODAL VENTURA

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DEWAN KOMISARIS PT WIJAYA KARYA BETON Tbk

Piagam Dewan Komisaris. PT Link Net Tbk ( Perseroan )

Yth. 1. Direksi Perusahaan Pembiayaan; dan 2. Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah, di tempat.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN

KONSEP PEDOMAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI DAN PIALANG REASURANSI INDONESIA

PEDOMAN BENTURAN KEPENTINGAN

2012, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN. BAB I KETEN

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan pertumbuhan bisnis nasional. Dalam melakukan pengadaan barang

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan istilah asing Good Corporate Governance (GCG) tidak dapat

Pedoman Kerja Dewan Komisaris dan Direksi PT Nusa Raya Cipta Tbk PEDOMAN KERJA DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN

Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Dewan Komisaris

Batang Tubuh Penjelasan Tanggapan TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

Strategic Governance Policy. Pendahuluan. Bab 1 PENDAHULUAN. Kebijakan Strategik Tata Kelola Perusahaan Perum LKBN ANTARA Hal. 1

Direksi Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek SALINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengevaluasi kegiatan-kegiatan organisasi yang dilaksanakan.

Daftar Isi... i Tentang Panduan Good Corporate Governance... 1 Visi... 3 Misi... 3 Nilai-Nilai Dasar Perseroan... 4 Komitmen Perseroan...

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/ TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, serta

V. KESIMPULAN DAN SARAN

PEDOMAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PERUSAHAAN KONSULTAN AKTUARIA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi perekonomian di Indonesia semakin berkembang dan menjadikan

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

PERNYATAAN KOMITMEN DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI PT JASA RAHARJA (PERSERO)

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15/SEOJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN

Tentang Panduan Good Corporate Governance.

DAFTAR ISI. C. Rangkap Jabatan... 16

BAB I PENDAHULUAN. Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan sebuah komunitas negaranegara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KOMITE NASIONAL KEBIJAKAN GOVERNANCE (KNKG) Corporate Governance Self Assessment Checklist

KEPUTUSAN DIREKSI PT. ABM INVESTAMA TBK TENTANG Good Corporate Governance Charter No.002/ABM-BOC-CIR/I/2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

LAPORAN HASIL STUDI INDEKS TRANSPARANSI BUMN 2014 (Berbasis Website)

- 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 13 Cukup jelas.

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Tentang Panduan Good Corporate Governance.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dengan mengimplementasikan Good Corporate Governance (GCG). Penerapan

PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Dewan Komisaris

PEDOMAN PENANGANAN BENTURAN KEPENTINGAN

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi global sangat mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan di

PIAGAM KOMITE AUDIT (AUDIT COMMITTEE CHARTER) PT SUMBERDAYA SEWATAMA

Transkripsi:

53 BAB III BENTUK PENJABARAN GCG DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA PLN 3.1 Pengaturan dan Penjabaran GCG dalam Peraturan di Indonesia 3.1.1 Penjabaran GCG dalam Undang Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN Dalam Undang Undang BUMN, konsep GCG terdapat dalam poin IV dan poin VI dalam penjelasan atas Undang Undang tersebut. Kedua poin tersebut menyebutkan bahwa 1 : a. Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan sesuai dengan prinsip prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG). b. Undang undang tersebut dimaksudkan untuk memenuhi visi pengembangan BUMN di masa yang akan dating dan meletakkan dasar dasar atau prinsip prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( GCG) Penerapan prinsip prinsip tersebut sangat penting dalam melakukan pengelolaan dan pengawasan BUMN. Berdasarkan pengalaman, 1 Muh.Arief Effendi, Loc.cit h. 62-63

54 keterpurukan ekonomi di berbagai Negara termasuk Indonesia, antara lain disebabkan perusahaan perusahaan di Negara tersebut tidak menerapkan prinsip prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) secara konsisten. c. Undang Undang BUMN dirancang untuk menciptakan system pengelolaandan pengawasan berlandaskan pada prinsip efisiensi dan produktivitas guna meningkatkan kinerja dan nilai ( value) BUMN serta menghindarkan BUMN dari tindakan tindakan pengeksploitasian di luar asas tata kelola perusahaan yang baik (GCG). d. Undang undang ini juga dirancang untuk menata dan mempertegas peran lembaga dan posisi wakil pemerintah sebagai pemegang saham atau pemilik modal BUMN, serta mempertegas dan memperjelas hubungan BUMN selaku operator usaha dengan lembaga pemerintah sebagai regulator. Selain itu dalam UU No.19 tahun 2003 ini dapat dilihat pada pasal 5 ayat 3 yaitu, dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Pada pasal 6 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Komisaris dan Dewan Pengawas harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-

55 prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Dalam kedua pasal tersebut di atas mengandung prinsip prinsip dari GCG yaitu, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian dan kewajaran. Pada penjelasan pasal 5 ayat 3 dan pasal 6 ayat 3 memuat bahwa Direksi diberikan tugas melakukan pengurusan tunduk pada semua peraturan yang berlaku terhadap BUMN dan tetap berpegang pada penerapan prinsip - prinsip GCG, yaitu : a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan; b. kemandirian, yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; c. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif; d. pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; e. kewajaran, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

56 Sedangkan untuk penjelasan pasal 6 ayat 3 sama dengan pasal 5 ayat 3 maka Direksi dalam suatu BUMN harus memegang teguh prinsip dari GCG dan mengimplementasikannya. Dengan demikian memperhatikan pasal 5 ayat 3, dalam kata lain pengadaanbarang dan jasa BUMN harus dilakukan dengan memperhatikan asas asas fiduciary duty, yaitu pengurusan BUMN harus dilakukan oleh Direksi BUMN dengan itikad baik dan penuh dengan tanggung jawab 2. 3.1.2 Penjabaran GCG dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Pada 16 Agustus 2007 Undang - undang tentang Perseroan Terbatas disahkan. Undang undang No.40 tahun 2007 ini menggantikan Undang Undang PT sebelumnya yang telah dua belas tahun berlaku. Undang undang ini bertujuan mendukung penerapan GCG yang mana prinsip GCG mengacu pada UU PT dan harus mencerminkan hal hal sebagai berikut : a. Unsur Transparency Dalam suatu perseroan penerapan unsur transparency / keterbukaan ini tertulis dalam beberapa pasal, yaitu : 1. Pasal 44 ayat 2; Direksi wajib memberitahukan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (yaitu tentang pengurangan modal) k epada semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kabar dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal 2 Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia,2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, hal.40

57 keputusan RUPS. Ini berarti suatu perusahaan hanya melakukan transparansi sejauh yang diwajibkan oleh Undang-Undang saja. 2. Pasal 50 ayat 2; Selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Direksi perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar khusus yang memuat keterangan mengenai saham anggota direksi dan dewan komisaris beserta keluarganya dalam perseroan dan/atau pada perseroan lain serta tanggal saham itu diperoleh. 3. Pasal 101 ayat 1; Anggota direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan dan perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus. 4. Pasal 116 poin b ; Dewan komisaris wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain. 5. Pasal 50 ayat 2, 101 ayat 1 dan 116 poin b memberikan pengertian suatu perusahaan secara aktif melakukan keterbukaan (transparency) dengan menerapkan prinsip manajemen secara terbuka dengan memberikan secara akurat, tepat waktu dan sasaran terhadap sebanyak mungkin adanya akses kepada pihak pemegang saham maupun stakeholders lainnya dalam perusahaan tersebut. b. Unsur Accountability (Akuntabilitas) 1. Pasal 108 ayat 1, Dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik

58 mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasehat kepada direksi. Hal ini mencerminkan adanya kejelasan fungsi, struktur dari organ perusahaan yang mana direksi menjalankan operasional perusahaan dan sisi lain dewan komisaris melakukan pengawasan. c. Unsur Responsibility 1. Pasal 97 ayat 4, Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi 2. Pasal 114 ayat 4, Dalam hal dewan komisaris terdiri dari 2 orang anggota dewan komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada pasal 3 berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota dewan komisaris 1. Pasal 152 ayat 1, Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya atas likuidasi perseroan yang dilakukan Pada pasal pasal yang disebutkan di atas memberikan pengertian bahwa perusahaan harus berpegang teguh pada hukum yang berlaku dan mempertanggungjawabkannya pada para stakeholder. d. Unsur Fairness 1. Pasal 53 ayat 2, Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama. Dalam pasal ini mencerminkan bahwa setiap keputusan dan kepentingan diambil untuk kepentingan bersama karena para stakeholder harus mendapatkan perlakuan yang sama.

59 3.1.3 Pengaturan GCG dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER-01 /MBU/2011 Terbitnya Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER- 01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (GCG) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggantikan Keputusan Menteri BUMN Nomor:KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek GCG pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan wujud penerapan tata kelola perusahaan yang berusaha untuk terus ditingkatkan seiring dengan pembaruan undang undang di bidang perseroan terbatas. Memperhatikan perkembangan usaha yang semakin dinamis ada beberapa perubahan materi ataupun penyempurnaan materi dalam Peraturan Menteri ini. 3.1.4 Pedoman Umum GCG di Indonesia oleh KNKG Pedoman Umum GCG di Indonesia dikeluarkan tahun 2006 oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) terbit karena adanya dorongan etika. Pedoman ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat melainkan rujukan bagi dunia usaha untuk dapat menerapkan GCG serta dapat digunakan sebagai sebuah acuan bagi sebuah perusahaan untuk melaksanakan GCG dalam rangka 3 : a. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. 3 Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, Jakarta, h.2

60 b. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham. c. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. d. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan. e. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya. f. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Dalam Pedoman umum KNKG ini terdiri dari : 1. Penciptaan situasi kondusif untuk melaksanakan GCG Pada bagian ini memaparkan bahwa adanya dukungan dari tiga pilar yang saling berhubungan dalam penerapan GCG, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. 2. Azas GCG

61 Pada bagian ini memamparkan bahwa setiap perusahaan wajib memastikan bahwa asas GCG telah diterapkan dalam setiap aspek bisnis dan pada setiap jajaran perusahaan. Asas asas GCG yang terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan kesetaraan sangant diperlukan dalam mencapai kesinambungan usaha perusahaan dengan tetap memperhatikan para pemilik kepentingan (stakeholders) 3. Etika bisnis dan pedoman perilaku. Dalam bagian ini memaparkan bahwa adanya etika bisnis sebagai acuan perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan serta adanya pedoman perilaku yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilainilai (values) sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan. 4. Organ perusahaan Dalam bagian ini menjelaskan bahwa organ perusahaan ( RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi) harus menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya hanya untuk kepentingan perusahaan. 5. Pemegang Saham Dalam bagian ini menjelaskan adanya prinsip dasar bagi pemegang saham tentang hak dan kewajiban pemegang saham serta tanggung jawab perusahaan terhadap hak dan tanggung jawab pemegang saham.

62 6. Pemangku kepentingan Dalam bagian ini memaparkan bahwa pemangku kepentingan (selain pemegang saham) adalah mereka yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan mereka yang terpengaruh secara langsung oleh keputusan strategis dan operasional perusahaan, yang antara lain terdiri dari karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat terutama sekitar tempat usaha perusahaan. Adanya hubungan yang sesuai dengan asas kewajaran dan kesetaraan (fairness) antara perusahaan dengan pemangku kepentingan berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi masing-masing pihak. 7. Pernyataan tentang pedoman penerapan GCG Setiap perusahaan harus membuat pernyataan tentang kesesuaian penerapan GCG dengan pedoman GCG ini dalam laporan tahunannya. Pernyataan tersebut harus disertai laporan tentang struktur dan mekanisme kerja organ perusahaan serta informasi penting lain yang berkaitan dengan penerapan GCG. Dengan demikian, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk regulator, dapat menilai sejauh mana Pedoman GCG pada perusahaan tersebut telah dilaksanakan. 8. Pedoman praktis penerapan GCG Dalam bagian ini menyatakan bahwa perusahaan wajib membuat pedoman praktis agar dapat dibuat sebagai acuan dalam pelaksanaan GCG. 3.2 Penjabaran GCG dalam Pengadaan Barang dan Jasa Dalam peraturan pengadaan Barang dan Jasa, beberapa prinsip prinsip GCG juga menjadi prinsip dari pelaksanaan pengadaan barang/ jasa pemerintah.

63 Pada pasal 5 Peraturan Presiden Indonesia Nomor 54 Tahun 2010, jo. Perpres No 70 Tahun 2012, jo Perpres No.172 tahun 2014 prinsip pengadaan barang dan jasa yaitu: a. Efisien, berarti Pengadaan barang/ jasa diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai suatu kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. b. Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar besarnya. c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. d. Terbuka, berarti pengadaan barang/ jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/criteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. e. Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi

64 yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan Barang/ Jasa. f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan tetap memperhatikan kepetingan nasional. g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penjelasan Perpres ini disebutkan bahwa dengan menerapkan prinsip prinsip ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang/ jasa karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis serta dari segi keuangan. Dibandingkan dengan prinsip GCG, yang ada dalam prinsip pengadaan barang dan jasa ialah Transparansi, Akuntabel, serta Independency (adil) sehingga dalam aturan dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sejalan dengan Pepres Nomor 54 Tahun 2010, jo. Perpres No 70 Tahun 2012, jo Perpres No.172 tahun 2014 telah mencerminkan nilai GCG sehingga dalam pelaksanaannya harus menerapkan nilai GCG tersebut. 3.3 Penjabaran GCG dalam Pengadaan Barang dan Jasa pada PT PLN Penjabaran GCG pada PT PLN berdasarkan pada Pedoman Good Corporate Governance (GCG) pada PT PLN cetakan pertama yang dikeluarkan

65 pada tahun 2013 oleh Direksi sebagai wujud komitmen perusahaan untuk benar benar mengimplementasikan GCG di lingkungan PT PLN. Tindakan Direksi ini merujuk pada prinsip yang digariskan dalam Keputusan Menteri No:KEP-117/M- MBU/2002 tentang penerapan praktek GCG pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta Undang Undang BUMN. Pengaturan GCG dalam pengadaan barang dan jasa pada PT PLN yang mana pengadaan barang dan jasa pada PT PLN tunduk pada SK Dir 620/2013 diterangkan dalam Petunjuk Teknis No.4.6.11.11 tentang evaluasi harga penawaran bahwa dalam hal semua penawaran HPS, proses pengadaan barang/ jasa dapat dilanjutkan dengan melakukan negosiasi kepada penawar terendah dengan tujuan mendapatkan harga perjanjian/kontrak di bawah HPS dengan tetap memperhatikan prinsip GCG. Selain itu, dalam pengendalian dan pengawasan juga menyebutkan bahwa PLN juga harus memelihara sistem pengendalian internal yang sehat khususnya pengadaan barang dan jasa guna mewujudkan GCG. Dalam aturan Pengadaan Barang dan Jasa di PT PLN, prinsip prinsip dari pengadaan barang dan jasa di PLN mengadopsi dari Peraturan Presiden Indonesia Nomor 54 Tahun 2010, jo. Perpres No 70 Tahun 2012, jo Perpres No.172 tahun 2014. Prinsip prinsip dasar pengadaan barang dan jasa di PT PLN ialah 4 : 4 Petunjuk Teknis Pengadaan Barang / Jasa PT PLN (Persero), 2014, Jakarta, h.6

66 a. Efisien Pengadaan barang/jasa harus diusahakan untuk mendapatkan hasil yang optimal dan terbaik dalam waktu yang cepat dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin secara wajar dan bukan hanya didasarkan pada harga tersendah. b. Efektif, Pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan memberikan manfaat yang sebesar besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. c. Kompetitif Pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi Penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan yang dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan. d. Transparan Semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat.

67 e. Adil dan wajar Memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat. f. Akuntabel Harus mencapai sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menjauhkan dari potensi penyalahgunaan dan penyimpangan. Prinsip prinsip pengadaan barang dan jasa di PT PLN seperti yang disebutkan di atas sejalan dengan penerapan prinsip GCG khususnya implementasi GCG dalam hubungan kemitraan antara perusahaan dengan penyedia barang/jasa (pemasok) yaitu 5 : a. Prinsip Transparency Menitikberatkan pada keterbukaan khususnya dalam proses pengambilan keputusan dan informasi material yang relevan mengenai perusahaan. Hal ini tampak dalam bentuk: 1. Memberikan informasi yang setara untuk standar kualifikasi dan spesifikasi ke semua pemasok 2. Menyampaikan kebijakan / informasi kepada pemasok secara berkala. b. Prinsip Accountability Menitikberatkan pada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ perusahaan, misalnya: 1. Melakukan tender / lelang untuk mendapatkan harga yang terbaik. 5 Mas Achmad Daniri, Loc.cit, h.61

68 2. Memastikkan bahwa SOP (Standar Operating Procedure) dan kebijakan perusahaan telah dijalankan dengan benar. c. Prinsip Responsibility Menitikberatkan pada kesesuaian pengelolaan perusahaan dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi, bentuknya adalah: 1. Dengan melakukan pelatihan E-procurement, penerapan ISO 140001, green procurement; 2. Seleksi berdasarkan E-procurement dengan persyaratan terukur (mengurangi kontak langsung); 3. Melakukan pengukuran kualitatif (check and balance); 4. Berperan dalam membangun industri penunjang; d. Prinsip Fairness adalah: Yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders, bentuknya 1. Membangun kemitraan, menyeleksi setiap kualifikasi sesuai persyaratan tanpa intervensi pihak ketiga; 2. Menetapkan code of conduct dalam berhubungan dengan pemasok; 3. Survey tingkat kepuasan pemasok terhadap perusahaan; 4. Bursa komponen untuk menjamin peluang yang sama;

69 Selain itu dalam pelaksanaan barang dan jasa, prinsip independency dapat dilihat pada : e. Prinsip Independency Yaitu bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengadaan barang dan jasa, bentuknya adalah : 1. Tidak ada tekanan dari pihak manapun dalam menentukan pemenang penyedia barang dan jasa asalkan sudah sesuai dengan aturan; 2. Membuka kesempatan yang sama pada semua calon penyedia barang dan jasa untuk mengajukan penawaran tanpa adanya pemilihan langsung, dikarenakan metode pengadaan pemilihan langsung sudah tidak berlaku lagi di PT PLN. Dari penjabaran GCG dalam pengadaan barang dan jasa di atas, diharapkan dapat mengurangi persekongkolan atau konspirasi yang dilakukan antar pelaku usaha ataupun pelaku usaha dengan pengguna barang dan jasa. Seperti yang diatur dalam Undang Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam pasal 21, 22 dan pasal 23 yaitu : a. Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

70 b. Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. c. Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Bentuk implementasi prinsip GCG dalam pengadaan barang dan jasa tidak lepas dari adanya peranan penting dari penyedia barang/jasa sehingga diperlukan sinergi dari penyedia dan pengguna barang/jasa. Adanya keterkaitan pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa sebagai salah satu stakeholder dalam perusahaan khususnya pada PT PLN mampu memberikan motivasi untuk meningkatkan implementasi GCG. Suatu kelemahan dalam GCG ialah tidak adanya sanksi jika GCG tidak diterapkan oleh suatu perusahaan sehingga GCG dirasakan sebagai pelengkap dan kewajiban bukanlah suatu keharusan. 3.4 E - Procurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa sebagai Sarana Penerapan GCG E-Procurement PT PLN bertujuan untuk lebih meningkatkan integrasi antar unit PT PLN, transparansi, kecepatan proses, efisiensi waktu dan biaya, akuntabilitas, memudahkan pengendalian dan pengawasan, dan mengoptimalkan pemanfaatkan material di gudang. Secara garis besar, tujuan E-procurement PLN

71 sejalan dengan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang/Jasa BUMN dan juga sejalan dengan prinsip-prinsip GCG dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN. Penggunaan E-Procurement tidaklah sebuah keharusan, karena dalam pasal 6 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang/Jasa BUMN disebutkan bahwa cara pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan dengan beberapa cara namun tidak terbatas pada pelelangan terbuka, pemilihan langsung, penunjukan langsung dan pembelian langsung dan dapat menggunakan sarana E procurement yang ketetapanya diatur oleh Direksi masing masing BUMN. Jadi kata dapat menggunakan E-procurement memberikan pengertian bukanlah suatu keharusan ataupun kewajiban. Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi dasar dari penerapan proses pengadaan barang/jasa berbasis sistem informasi elektronik. UU ITE menjadi payung hukum baru di bidang pengaturan pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik sehingga pelaksanaan E-Procurement telah memiliki landasan hukum secara utuh. Dalam implementasi E-Procurement, aspek yang paling ditakutkan ialah keamanannya. Ini dikarenakan masih banyaknya kasus cyber crime yang

72 sering terjadi. Menurut Budi Rahardjo aspek keamanan ditinjau dari tiga hal, yaitu 6 : a. Confidentially Merupakan aspek yang menjamin kerahasiaan data atau informasi, sistem yang digunakan untuk mengimplementasikan E-procurement harus dapat menjamin kerahasiaan data yang dikirim, diterima, dan disimpan. Bocornya informasi dapat berakibat batalnya proses pengadaan. b. Integrity Merupakan aspek yang menjamin bahwa data tidak boleh berubah tanpa ada izin pihak yang berwenang ( authorized). Untuk aplikasi E- procurement, aspek integrity ini sangat penting. Data yang telah dikirimkan tidak dapat diubah oleh pihak yang berwenang. Pelanggaran terhadap hal itu akan berakibat tidak berfungsinya sistem E-procurement. c. Availability Merupakan aspek yang menjamin bahwa data tersedia ketika dibutuhkan, dapat dibayangkan apabila ketika proses penawaran sedang berlangsung ternyata sistem tidak dapat diakses sehingga penawaran tidak dapat diterima. Hal ini akan menyebabkan adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan karena tidak dapat mengirimkan penawaran. Dalam upaya memenuhi aspek-aspek diatas, sistem perlu dirancang dan diimplementasikan sesuai dengan standar yang berlaku baik standar yang sifatnya 6 Adrian Sutedi I, Loc cit,h.211

73 formal sampai kepada standar yang sifatnya lebih praktis dan operasional (best practice). Masalah keamanan merupakan kendala utama yang menyebabkan lembaga/instansi beralih ke sistem ini sehingga diperlukan manajemen transaksi elektronik yang baik dengan cara memperkecil kemungkinan terjadinya masalah terkait keamanan. UU ITE sangat memperhatikan masalah keamanan walaupun masih bersifat umum dan tidak mengatur secara rinci tentang transaksi elektronik pengadaan barang dan jasa. Dalam pasal 15 ayat (1) UU ITE disebutkan; Setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Dengan demikian lembaga/instansi yang telah konsekuen untuk menggunakan sistem E Procurement dalam pengadaan barang/jasa pada lembaga/instansinya sudah tentu harus menjamin kemanan dan keandalan dari sistem tersebut seperti yang diatur oleh UU ITE dalam Pasal 15 di atas. Penggunaan sistem E-Procurement dalam pengadaan barang/ jasa harus didukung oleh stakeholder dibandingkan dengan pengadaan manual karena jika dibandingkan dengan pengadaan manual menggunakan sistem E Procurement lebih transparan, adil, wajar, efektif dan bertanggungjawab seperti prisnip prinsip yang terkandung dalam GCG ataupun pengadaan barang/jasa itu sendiri. Melalui sistem E-Procurement, pengguna barang/ jasa dan calon penyedia barang/jasa mendapatkan beberapa keuntungan, diantaranya ialah 7 : 7 PLN Corporate Academy,2013, Matery E-procurement, Udiklat Pandaan, h.15

74 a. tidak adanya batas ruang dan waktu karena menggunakan teknologi berbasis internet yang bias dilakuakn di mana saja dan kapan saja; b. proses pengadaan barang dapat diikuti oleh pemasok secara terbuka ; c. proses dalam setiap tahapan pengadaan akan dengan mudah diikuti / diawasi oleh seluruh stakeholder. Proses akan berlangsung secara : 1. efisien, dikarenakan adanya standar proses pengadaan barang/jasa yang lebih baik serta menghemat waktu proses pengadaan barang/jasa; 2. efektif, terwujud dengan adanya fungsi kontrol yang baik dan benar dengan tujuan mampu mendapatkan barang/jasa sesuai dengan kebutuhan dan mampu meningkatkan pengawasan proses pengadaan barang/jasa dan menjalin hubungan dengan rekanan yang tepat; 3. terbuka dan bersaing; 4. transparan, dapat dilihat pada aplikasi memberikan informasi pengumuman adanya rencana pengadaan barang/jasa kepada siapa pun serta seluruh external user mendapatkan perlakuan (informasi pengadaan barang/jasa, pengumuman hasil pengadaan barang/jasa) yang sama; 5. adil/tidak diskriminatif dikarenakan seluruh internal user mendapatkan perlakuan (role dan tanggung jawab ) yang sama dan seluruh external user mendapatkan perlakuan ( informasi pengadaan barang/jasa ) yang sama; 6. akuntabel

75 d. akan lebih mendorong terjadinya persaingan antar pemasok yang lebih sehat e. mencegah tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.