BAB V RANCANG BANGUN/DISAIN LANDFILL

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-04/BAPEDAL/09/1995 TENTANG

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indones

Limbah B3 dan Pengelolaannya

KEPUTUSA N KEPALA BA DAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGA N NOMOR : KEP-04/BAPEDAL/09/1995 TENTANG TATA CARA PERSYARATAN PENIMBUNAN HASIL PENGOLAHAN,

X. BIOREMEDIASI TANAH. Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1994 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Pemerintah No 18 tahun 1999).

TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PENGELOLAAN LIMBAH B3 PENIMBUNAN DAN DUMPING

PERENCANAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) SAMPAH DENGAN SISTEM SANITARY LANDFILL DI TPA PECUK KABUPATEN INDRAMAYU

Teknik Bioremediasi Hidrokarbon

Keputusan Kepala Bapedal No. 1 Tahun 1995 Tentang : Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

PENGELOLAAN LIMBAH B3. Disampaikan oleh: Deputi MENLH Bidang Pengeloaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. dan panas bumi dan Iain-lain. Pertumbuhan industri akan membawa dampak positif,

Disampaikan Pada Kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B September 2016

Persyaratan Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 Yulinah Trihadiningrum 11 Nopember 2009

STABILISASI SOLIDIFIKASI LIMBAH MENGANDUNG KROM DAN HIDROKARBON MENGGUNAKAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP-01/BAPEDAL/09/1995

Kriteria Agregat Berdasarkan PUBI Construction s Materials Technology

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP- 01/BAPEDAL/09/1995 TENTANG

METODE PENGUJIAN KEPADATAN BERAT ISI TANAH DI LAPANGAN DENGAN BALON KARET

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM

PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN 27/07/2010. Efek Limbah Batubara. Pencemaran Logam Berat (Pb, Cr, Ar) Pencemaran lindi limbah batubara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IDENTIFIKASI & TEKNIK PENYIMPANAN LIMBAH B3

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya baik secara langsung maupun

2014, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disin

ISBN : Oleh: Ir. Setiyono, MSi

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

IMPLEMENTASI PERATURAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG PENGUMPULAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH B3

JENIS DAN KOMPONEN SPALD

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Bagian III: JARINGAN AIR KOTOR

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL

Kajian Peningkatan Daya Dukung Sub Base Menggunakan Pasir Sumpur Kudus

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum Setiap manusia akan menimbulkan buangan baik cairan, padatan maupun

PENYIMPANAN SEMENTARA LIMBAH B3

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS

Pengelolaan dan Pengendalian Limbah B3

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PENGGUNAAN PASIR DARI BEBERAPA DAERAH TERHADAP KUAT TEKAN BETON. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Spesifikasi Pipa Beton untuk Air Buangan, Saluran Peluapan dari Gorong-Gorong

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kawasaki Motor Indonesia Green Industry Sumber Limbah

TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Koener (1988) geosintetik terdiri dari 2 suku kata, geo yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN

PENGUJIAN INFILTRASI FINAL CLAY COVER PADA BANGUNAN SANITARY LANDFILL

Solusi TenCate untuk Kelestarian Lingkungan Hidup

Definisi. Limbah Organik. Jenis-jenis Limbah. Jenis-jenis Limbah. Limbah Anorganik. Pengelolaan Limbah L/O/G/O

PENGELOLAAN TPA BERWAWASAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi

Spesifikasi lapis fondasi agregat semen (LFAS)

PEDOMAN. Penggunaan tailing untuk lapis pondasi dan lapis pondasi bawah DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

SOLIDIFIKASI DEINKING SLUDGE DAN FLY ASH BATU BARA UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN PENIMBUNAN DI LANDFILL

PERKUATAN TANAH LUNAK PADA PONDASI DANGKAL DI BANTUL DENGAN BAN BEKAS

DAFTAR STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL

AUDIT LIMBAH B3 Bahan Berbahaya dan Beracun

BAYU TEGUH ARIANTO NIM : D NIRM :

BAB III LANDASAN TEORI

TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM

LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB)

Drainase Lapangan Olahraga

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN. Menimbang :

BAB V PEMBAHASAN. Beracun (B3) yang dihasilkan di PT Saptaindra Sejati site ADMO bahwa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

STUDI KAPASITAS DUKUNG PONDASI LANGSUNG DENGAN ALAS PASIR PADA TANAH KELEMPUNGAN YANG DIPERKUAT LAPISAN GEOTEKSTIL

PROSES PENGAWETAN KAYU. 1. Persiapan Kayu untuk Diawetkan

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

Metode pengujian kuat lentur kayu konstruksi Berukuran struktural

BAB I PENDAHULUAN. paling sering ditemui diantaranya adalah sampah plastik, baik itu jenis

2011, No Menetapkan : 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Karakteristik Limbah Padat

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir)

Judul Tugas Akhir STABILISASI LIMBAH MENGANDUNG Cu DENGAN CAMPURAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT

Penyehatan Lingkungan Permukiman bertujuan untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni, sehat, aman, produktif dan berkelanjutan melalui

BAB IV DISAIN DAN REKOMENDASI TPA SANITARY LANDFILL KABUPATEN KOTA

Pemantauan Limbah Cair, Gas dan Padat

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Skema Proses Pengolahan Air Limbah

BAB I PENDAHULUAN. pulau-pulau : Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Gambut adalah tanah lunak,

Petunjuk Operasional IPAL Domestik PT. UCC BAB 5 SPESIFIKASI BANGUNAN IPAL DAN PERALATAN

Spesifikasi bangunan pelengkap unit instalasi pengolahan air

Tata cara perencanaan bangunan MCK umum

Transkripsi:

BAB V RANCANG BANGUN/DISAIN LANDFILL 5.1. Penimbunan/Landfill Limbah B3 Penimbunan/landfill hasil pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari pengelolaan limbah B3. Lokasi landfill merupakan lokasi khusus yang diperuntukkan sebagai tempat penimbunan limbah B3 dengan disain yang dilengkapi dengan sistem pengumpulan timbulan lindi dan unit pengolahannya. Limbah B3 yang dapat ditimbun adalah limbah yang telah telah diolah atau limbah yang tidak memerlukan pengolahan lagi tetapi sudah memenuhi kriteria (lulus uji TCLP, uji kuat tekan/ compressive strength, mempunyai nilai tekan minimum 10 ton/m 2, dan lolos uji paint filter test) Tujuan dari penimbunan limbah B3 di tempat penimbunan (landfill) adalah untuk menampung dan mengisolasi limbah B3 yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dan menjamin perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam jangka panjang. Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus dilakukan secara tepat, baik tempat, tata cara maupun persyaratannya. Meskipun limbah B3 yang akan ditimbun sudah diolah (secara fisika, kimia, biologi) sebelumnya, tetapi limbah tersebut masih berpotensi mencemari lingkungan dari timbulan lindinya. Untuk mencegah pencemaran akibat timbulan lindi, maka limbah B3 harus ditimbun pada lokasi yang memenuhi persyaratan-persyaratan teknis tertentu. Selain itu lokasi bekas (pasca) pengolahan dan penimbunan limbah B3-pun harus ditangani dengan baik untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Secara sistematis teknik penimbunan limbah B3 dapat dilihat seperti 60

Gambar 5.1. Di lokasi landfill limbah yang sudah ditimbun dihindarkan terjadi kontak dengan air tanah yang ada. 5.2.Jenis/Kategori Landfill Ada tiga jenis/kategori disain landfill untuk tempat penimbunan limbah B3, yang mana setiap jenis landfill tersebut dapat digunakan untuk menimbun limbah sesuai dengan jenis dan karakteristik dari limbah yang akan ditimbun. Rancang bangun/disain pelapisan dasar bagi masing-masing kategori landfill yang digunakan untuk tempat penimbunan limbah B3 dan penutup dari ketiga jenis landfill tersebut adalah sebagai berikut: A. Kategori I (Secure Landfill Double Liner). Rancangan bangun minimum untuk kategori I (secure landfill double liner) adalah sebagai berikut: Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-komponen berikut : 61

(1). Lapisan Dasar (Subbase) Sebelum dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan pekerjaan penyiapan di antaranya : a. pengupasan tanah yang tidak kohesif; b. perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan, dan sebagainya); c. pemenuhan konstruksi daya dukung muatan (bearing capacity) yang diperlukan untuk menopang muatan (landfill dan limbahnya) di atasnya. Lapisan dasar (subbase) berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang yang memiliki konduktivitas hidraulik jenuh maksimum 1 x 10-9 m/detik di atas lapisan tanah setempat. Ketebalan minimum lapisan dasar adalah satu meter. Lapisan setebal satu meter tersebut terdiri dari lapisanlapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan permeabilitas (konduktivitas hidraulik) dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan di atasnya, limbah B3 yang ditimbun dan lapisan penutup. (2). Lapisan Geomembran Kedua (Secondary Geomembrane) Lapisan dasar dilapisi dengan lapisan geomembran kedua berupa lapisan sintetik yang terbuat dari HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum 1,5-2,0 mm (60-80 mil). Semua lapisan sintetik pada peraturan ini harus dipasang sesuai dengan American Society of Testing Materials (ASTM) D308-786 atau yang setara. Lapisan sintetik ini 62

harus dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama instalasi, operasi dan penutupan landfill. (3). Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System) Sistem Pendeteksi Kebocoran dipasang di atas lapisan geomembrane kedua dan terdiri dari geonet HDPE. Geonet HDPE tersebut harus memiliki transmisivitas planar sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar bahan/tanah butiran setebal 30 cm dengan konduktivitas hidraulik jenuh 1 x 10-4 m/detik. Komponen teratas dari sistem pendeteksi kebocoran ini adalah "non woven geotextile" yang dilekatkan pada geonet pada proses pembuatannya. Sistem Pendeteksi Kebocoran harus dirancang sedemikian rupa dengan kemiringan tertentu menuju bak pengumpul, sehingga timbulan lindi akan terkumpul. Timbulan lindi tersebut dialirkan dengan menggunakan pompa submersible menuju ke tangki penampung atau pengumpul lindi; (4). LapisanTanahPenghalang (Barrier Soil Liner) Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga berpermeabilitas 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau "geosynthetic clay liner (GCL)" dengan tebal minimum 6 mm. GCL tersebut berupa bentonit yang diselubungi oleh lapisan geotekstil. Jenisjenis GCL adalah: Claymax, Bentomat, Bentofix, atau yang sejenis. 63

(5). Lapisan Geomembran Pertama (Primary Geomembrane) Lapisan Geomembran pertama berupa lapisan sintetik yang terbuat dari HDPE dengan ketebalan minimum 1,5-2,0 mm (60-80 mil). Lapisan geomembran pertama ini harus dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama proses instalasi, konstruksi, operasi dan penutupan landfill. (6). Sistem Pengumpulan dan Pemindahan Lindi (SPPL) SPPL pada dasar landfill terdiri dari sekurang-kurangnya 30 cm bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPL nya. Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidraulik jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik. (7). Lapisan Pelindung (Operation Cover) Sistem pungumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama 0perasi (LPSO) dengan ketebalan minimum 30 cm, dirancang untuk mencegah kerusakan komponen pelapisan dasar landfill selama penempatan limbah di landfill. LPSO berupa tanah setempat atau tanah dari tempat lain yang tidak mengandung material tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal. Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding set selama masa aktif sel landfill. Rancang bangun landfill kategori I dapat dilihat pada Gambar 5.2. 64

Cover Geomembran primer Geomembran sekunder Gambar 5.2 : Landfill Kategori I (Secure Landfill Double Liner). B. Kategori II (Secure Landfill Single Liner) Rancangan bangun minimum untuk kategori II (secure landfill single liner) adalah sebagai berikut : Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-komponen berikut: (1). Lapisan Dasar (Subbase) Sebelum dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan pekerjaan penyiapan lahan diantaranya : a. pengupasan tanah yang tidak kohesif; b. perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan, dan sebagainya); c. pemenuhan konstruksi daya dukung muatan (bearing capacity) yang diperlukan untuk menopang muatan (landfill dan limbahnya) di atasnya. Lapisan dasar (subbase) berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang yang memiliki konduktivitas hidraulik jenuh maksimum 1 x 10-9 m/detik di atas lapisan tanah setempat. 65

Ketebalan minimum lapisan dasar adalah satu meter. Lapisan setebal satu meter tersebut terdiri dari lapisan-lapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan permeabilitas (konduktivitas hidraulik) dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan di atasnya, limbah B3 yang ditimbun, dan lapisan penutup. (2). Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System) Sistem Pendeteksi Kebocoran dipasang di atas lapisan dasar (subbase) dan terdiri dari geonet HDPE. Geonet HDPE tersebut harus memiliki transmisivitas planar sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar bahan/tanah butiran setebal 30 cm dengan konduktivitas hidraulik jenuh 1 x 10-4 m/detik. Komponen teratas dari sistem pendeteksi kebocoran ini adalah "non woven geotextile" yang dilekatkan pada geonet pada proses pembuatannya. Sistem Pendeteksi Kebocoran harus dirancang sedemikian rupa dengan kemiringan tertentu menuju bak pengumpul, sehingga timbulan lindi akan terkumpul. Timbulan lindi tersebut dialirkan dengan menggunakan pompa submersible menuju ke tangki penampung atau pengumpulan lindi; (3). Lapisan Geomembran (Geomembrane) Lapisan dasar dilapisi dengan lapisan geomembran berupa lapisan sintetik yang terbuat dari HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum 1,5-2,0 mm (60-80 mil). Semua lapisan sintetik pada peraturan ini harus dipasang sesuai dengan American Society of Testing Materials (ASTM) D308-786 atau yang setara. Lapisan sintetik ini harus 66

dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama instalasi, konstruksi operasi dan penutup landfill. (4). Lapisan Tanah Penghalang (Barrier Soil Liner) Lapisan tanah penghalang berupa tanah fiat yang dipadatkan hingga berpermeabilitas 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau geosynthetic clay liner (GCL) dengan tebal minimum 6 mm. GCL tersebut berupa bentonit yang diselubungi oleh lapisan Geotekstil. Jenis-jenis GCL adalah Claymax, Bentomat, Bentofix, atau yang sejenis. (5). Sistim Pengumpulan dan Pemindahan Lindi (SPPL) SPPL pada dasar landfill terdiri sekurang-kurangnya 30 cm bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPLnya. Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidraulik jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik. Untuk meminimumkan terjadi penyumbatan pada SPPL, harus dipasang geotekstil pada bagian atas SPPL. SPPL harus mempunyai kemiringan sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat dipindahkan ke tangki penampungan penampung/pengumpul lindi. (6). Lapisan Pelindung (Operation Cover) Sistim pengumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama Operasi (LPSO) dengan ketebalan minimum 30 cm, dirancang untuk mencegah kerusakan komponen pelapisan dasar landfill selama pelapisan limbah di landfill. LPSO berupa tanah setempat atau tanah dari tempat yang lain yang tidak mengandung material tajam. LPSO dipasang pada dasar 67

landfill selama konstruksi awal. Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif sel landfill. Rancang bangun landfill kategori II dapat dilihat pada Gambar 5.3. Gambar 5.3 : Landfill Kategori II (Secure Landfill Single Liner). C. Kategori III (Landfill Clay Liner). Rancangan bangun minimum untuk kategori III (landfill clay liner) adalah sebagai berikut : Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-komponen berikut : (1). Lapisan Dasar (Subbase) Sebelum dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan pekerjaan penyiapan lahan diantaranya : a. pengupasan tanah yang tidak kohesif; b. perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan, dan sebagainya); c. pemenuhan konstruksi daya dukung muatan (bearing capacity) yang diperiukan untuk menopang muatan (landfill dan limbahnya) di atasnya. 68

Pelapis dasar berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang yang memiliki konduktivitas hidraulik jenuh maksimum 1x10-9 m/detik di atas tanah setempat. Ketebalan minimum pelapis dasar adalah satu meter. Lapisan setebal satu meter tersebut terdiri dari lapisan-lapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan permeabilitas (konduktivitas hidraulik) dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan-lapisan di atasnya, limbah B3 yang ditimbun, dan lapisan penutup; (2). Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System) Sistem Pendeteksi Kebocoran dipasang di atas lapisan tanah setempat terdiri dari bahan butiran atau geonet HDPE dan "non woven geotextile". Bahan butiran atau geonet HDPE tersebut harus memiliki transmisivitas planar sama atau lebih besar dari transmisivitas planar bahan butiran setebal 30 cm dengan konduktivitas hidrolik 1 x 10-4 m/detik. Sistem Pendeteksi Kebocoran harus dirancang sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat dipindahkan ke tempat penampungan/pengumpulan lindi; (3). Lapisan Tanah Penghalang (Barrier Soil Liner) Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga berpermeabilitas 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau "geosynthetik clay liner (GCL)" dengan tebal minimum 6 mm. GCL tersebut berupa bentonit yang diselubungi oleh lapisan geotekstil. Jenis-jenis GCL adalah : Claymax, Bentomat, Bentofix, atau yang sejenis; 69

(4). Sistem Pengumpulan atau Pemindahan Lindi (SPPL) SPPL pada dasar landfill terdiri dan sekurang-kurangnya 30 cm bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPL nya. Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidraulik jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik. Untuk meminimumkan terjadi penyumbatan pada SPPL, harus dipasang geotekstil pada bagian atas SPPL. SPPL harus mempunyai kemiringan sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat dipindahkan ke tangki penampung/pengumpul lindi; (5). Lapisan Pelindung (Operation Cover) Sistem pengumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama Operasi (LPSO) dengan ketebalan minimum 30 cm, dirancang untuk mencegah kerusakan komponen pelapisan dasar landfill selama penempatan limbah di-landfill. LPSO berupa tanah setempat atau tanah dari tempat lain yang tidak mengandung material tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal. Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif set landfill. Rancang bangun landfill kategori III dapat dilihat pada Gambar 5.4. 70

Gambar 5.4 : Landfill Kategori III (Landfill Clay Liner). D. Pelapisan Penutup Akhir (Final Cover) Landfill Kategori I, II & III Setelah landfill diisi penuh dengan limbah, landfill harus ditutup dengan pelapis penutup akhir (PPA). PPA tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu : a. meminimumkan perawatan di masa yang akan datang setelah landfill ditutup; b. meminimum infiltrasi air permukaan ke dalam landfill, dan c. mencegah lepasnya unsur-unsur limbah dari landfill. Pelapis penutup akhir landfill limbah B3, mulai dari bawah ke atas, terdiri dari : (1). Tanah Penutup Perantara (Intermediate Soil Cover) Tanah penutup perantara (TPP) ditempatkan di atas limbah ketika tahap akhir dari penimbunan limbah di landfill limba B3 telah dicapai. TPP berupa tanah dengan ketebalan sekurang-kurangnya 15 cm. Lapisan ini harus berfungsi memberikan dasar yang stabil untuk penempatan dan pemadatan lapisan di atasnya; 71

(2). Tanah Tudung Penghalang (Cap Soil Barrier) Tanah tudung penghalang berupa lapisan lempung yang dipadatkan hingga permeabilitas maks.1 x 10-9 m/detik. Ketebalan min.tanah penghalang penutup adalah 60 cm; (3). Tudung Geomembran (Cap Geomembrane) Tudung geomembran berupa HDPE dengan ketebalan minimum 1 mm (40 mil) dan permeabilitas maksimum 1 x 10-9 m/detik. Tudung geomembran ini harus dirancang tahan terhadap semua tekanan selama instalasi, konstruksi lapisan atas, dan saat penutupan landfill; (4). Pelapisan untuk Tudung Drainase (Cap Drainage Layer) Pelapisan untuk tudung drainase (PTD) harus dirancang mampu mengumpulkan air permukaan yang meresap ke dalam lapisan tumbuhan yang ada di atasnya dan kemudian menyalurkan ke tepian landfill. PTD ini berupa bahan butiran atau geonet HDPE dengan transmisivitas planar minimum sama dengan transmisivitas planar lapisan bahan.tanah butiran setebal 30 cm dengan konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. Untuk memperkecil penyumbatan pada PDT oleh lapisan tanah tumbuhan di atasnya maka harus dipasang geotekstil di atas PTD; (5). Pelapisan Tanah untuk Tumbuhan (Vegetative Layer) Pelapisan tanah untuk tumbuhan (PTT) berupa tanah setempat atau tanah dari tempat lain dengan sifat fisik perbedaan kembang kerut kecil. Ketebalan minimum 60 cm. PTT harus mampu mendukung tumbuhnya tumbuhan di atasnya; 72

(6). Tumbuh-tumbuhan (Vegetation) Setelah konstruksi selesai untuk meminimumkan erosi pada PTT atau sistem penutup. Tanaman yang digunakan/ditanam adalah tanamana yang membutuhkan perawatan sederhana, cocok dengan daerah setempat dan tidak mempunyai potensi merusak lapisan di bawahnya (tanaman rerumputuan). Rancang bangun penutup akhir dapat dilihat pada Gambar 5.5 Gambar 5.5 : Pelapis penutup akhir untuk landfill limbah B3 kategori I, II dan III 5.3. Sistem Penimbunan Limbah Ada tiga sistem penimbunan limbah yang dapat diterapkan menurut jenis limbah yang akan ditimbun, yaitu sistem penimbunan limbah anorganik (inorganic waste landfill), sistem penimbunan limbah organik (organic waste landfill) dan sistem penimbunan limbah berbahaya dan beracun /B-3 (hazardous waste landfill). Pemilihan sistem yang akan diterapkan pada suatu pusat penimbunan limbah tergantung jenis limbah dan kondisi lokasi penimbunan itu sendiri 73

dengan memperhatikan faktor keamanan dari sistem itu. Gambar detail dari ketiga sistem tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.5 sampai Gambar 5.8. Timbunan limbah organik dan limbah berbahaya dapat menghasilkan cairan lindi (leachate) yang mengandung bahan-bahan kimia dari hasil reaksi limbah yang ditimbun atau dari kemungkinan terlepasnya bahan kimia dari limbah yang telah disolidifikasi, sehingga jika leachate ini terlepas langsung ke lingkungan dapat menimbulkan pencemaran. Untuk mengendalikan leachate agar tidak terlepas langsung ke lingkungan maka pada bagian bawah sistem penimbunan dilengkapi dengan sistem pengumpul leachate. Leachate yang terkumpul di bagian bawah landfill akan mengalir melalui pipa-pipa pengumpul menuju ke unit/kolam pengumpul leachate. Leachate yang telah terkumpul di kolam dipompa ke unit pengolah leachate. Padatan hasil pengolahan leachate ditimbun bersama-sama dengan limbah kembali, sementara cairan hasil pengolahan leachate yang telah memenuhi baku mutu limbah buangan baru boleh dibuang ke perairan. Dengan penerapan sistem dan operasional yang baik seperti tersebut di atas, maka terjadinya pencemaran terhadap air dan tanah di sekitar lokasi penimbunan dapat dihindari. Diagram alir dari sistem penimbunan limbah organik dan limbah berbahaya dapat dilihat pada Gambar 5.10. Bagi wilayah yang telah padat penduduknya, penempatan lokasi penimbunan limbah merupakan permasalahan yang serius dan sulit untuk dipecahkan terutama untuk penempatan lokasi penimbunan limbah organik dan limbah berbahaya. Untuk penimbunan limbah anorganik yang bukan limbah berbahaya hal ini dapat dilakukan di suatu tempat dan bagian atas dari lokasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas umum, seperti stadion atau sarana lainnya. Gambar lengkap dari sistem ini dapat dilihat seperti pada Gambar 5.11. 74

Pagar (Fence) Tembok beton (Concrete wall) Gambar 5.6 : Penimbunan Limbah An-organik non B3 Pagar pengaman Unit pengolahan air leachate (lindi) Pengumpul leachate Pipa pengumpul leachate Lapisan pengaman kebocoran Gambar 5.7 : Penimbunan Limbah Organik dan Limbah B3 Atap Saluran air Beton penutup Dinding/beton Timbunan limbah Gambar 5.8 : Penimbunan Limbah Berbahaya Sederhana Dengan Skala Kecil 75

Tumbuhan penutup Ventilasi gas Tanah penutup akhir Lapisan drainase Membran penutup Timbunan limbah beracun Lapisan membran primer Lapisan drainase Lapisan membran sekunder Pipa pengambilan sampel untuk analisis leachate Aliran leachate/lindi ke unit pengolahan air lindi Gambar 5.9 : Potongan sistem penimbunan limbah organik dan limbah berbahaya Gambar 5.10 : Diagram Alir Sistem Penimbunan Limbah Organik Dan Limbah Berbahaya 76

Gambar 5.11 : Bangunan Lengkap Sistem Penimbunan Limbah Anorganik 5.4. Pemilihan Jenis dan Sistem Penimbunan Limbah Jenis limbah yang dapat ditimbun di suatu landfill merupakan limbah padat atau limbah yang sudah dijadikan dalam bentuk padat atau limbah yang telah dipadatkan dan sudah dalam kondisi yang stabil sehingga dihindari terjadinya reaksi kimia atau perubahan bentuk dari limbah tersebut. Limbah padat yang telah siap untuk ditimbun ini ditempatkan pada suatu bangunan landfill yang telah disiapkan sebelumnya. Dalam menyiapkan bangunan landfill untuk suatu jenis limbah tertentu harus memperhatikan faktor biaya investasi awal dan biaya operasional yang akan ditanggung disamping faktor keamanan dari sistem yang harus diutamakan. Ada dua hal yang dapat dipertimbangkan agar biaya investasi dan operasional ini dapat ditekan tanpa mengabaikan faktor keamanan sistem, yaitu: a. pemilihan jenis landfill disesuaikan dengan jenis limbah (limbah an-organik, limbah organik atau limbah berbahaya) yang akan di-landfill (lihat sub bab 5.3). 77

b. pemilihan kategori landfill disesuaikan dengan jenis limbah yang akan di-landfill (lihat kategori landfill I, II dan III di sub bab 5.2); 5.4.1. Pemilihan Kategori Landfill Pemilihan kategori landfill untuk limbah B3 didasarkan atas tingkat bahaya yang kemungkinan dapat ditimbulkan dari timbunan limbah tersebut. Untuk limbah B3 dari sumber yang spesifik seperti yang tertera pada Tabel 5.1 berikut, tempat penimbunannya harus di landfill kategori I (seperti tertera pada Gambar 5.2). Sedangkan untuk limbah B3 dari sumber spesifik lainnya yang mengandung zat pencemar tertentu dengan kadar yang telah diketahui melalui hasil uji laboratorium penimbunannya (landfill) mengacu pada Tabel 5.2 berikut. 5.4.2. Pemilihan Jenis Landfill Pemilihan jenis landfill yang akan digunakan tergantung dari jenis limbah yang akan ditimbun. Ada tiga pilihan jenis landfill yang dapat dipakai, yaitu landfill untuk limbah an-organik non-b3, untuk limbah organik non-b3 dan untuk limbah B3 (organik maupun an-organik). Ketiga jenis landfill tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.6 s/d 5.8. 78

Tabel 5.1 : Jenis industri/kegiatan penghasil limbah B3 dari sumber yang spesifik yang tempat penimbunan limbahnya harus di-landfill Kategori I Kode limbah Jenis Industri Uraian Limbah D202 Pestisida - Sludge pengolahan limbah cair - Tong dan macam-macam alat yang digunakan untuk formulasi D203 Proses kloro alkali - Sludge pengolahan limbah cair (proses merkuri) D204 Adesif (UF, PF, MF, lain-lain) - Buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi D205 Industri polimer (PVC, PVA, lainlain) - Katalis - Monomer yang tidak bereaksi - Katalis D207 Pengawetan kayu - Sludge D210 Peleburan timbal bekas - Sludge - Debu - Slag D212 Pabrik tinta - Sludge D214 Perakitan kendaraan - Sludge D215 Elektrogalvani dan elektroplating - Sludge D216 Industri cat - Sludge D217 Baterai kering - Sludge - Sludge yang mengandung logam berat - Pasta (Mix) D218 Aki - Sludge - Buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi - Debu D219 Perakitan dan komponen - Sludge elektronika D224 Penyamakan dan pengolahan - Sludge kulit D225 Zat warna - Sludge D228 Laboratorium riset dan komersil - Sisa contoh Sumber : Kep. Kepala Bapedal No. 04/BAPEDAL/09/1995 79

Tabel 5.2 : Total Kadar Maksimum Limbah B3 yang belum terolah dan Tempat Penimbunannya Catatan: Bahan Pencemar Total Kadar Maksimum (mg/kg berat kering) KOLOM A Lebih Besar Dari atau Sama Dengan Tempat Penimbunannya di Landfill KATEGORI I Lebih Kecil Dari -- Tempat Penimbunannya di Landfill KATEGORI II Total Kadar Maksimum (mg/kg berat kering) KOLOM B Lebih Kecil Dari atau Sama Dengan - Tempat Penimbunannya di Landfill KATEGORI I 1. 2. 3. Arsenic 300 30 Barium - - Cadmium 50 5 Chromium 2500 250 Copper 1000 100 Cobalt 500 50 Lead 3000 300 Mercury 20 2 Molybdenum 400 40 Nickel 1000 100 Tin 500 50 Selenium 100 10 Silver - - Zinc 5000 500 Cyanide 500 50 Fluoride 4500 450 Phenols: 10 1 Pentachlorophenol (PCP) 2,4,5-trichlorophenol 2,4,6-trichlorophenol Monocyclic Aromatic 70 7 Hydrocarbons: Benzene Nitrobenzene Monocyclic Aromatic 200 20 Hydrocarbons: o-cresol m-cresol p-cresol total cresol 2,4-dinitrotoluene methyl ethyl ketone pyridine Total Petroleum Hydrocarbons (C6 to C9) TPH (all Cn) 1000 -- 100 -- Total Petroleum Hydrocarbons 10000 1000 (> C9) Organochlorine Compounds : Carbon tetrachloride Chlorobenzene Chloroform Tetrachloroethylene (PCE) Trichloroethylene (TCE) 1,4-dichlorobenzene 1,2 dichloroethane 1,2-dichloroethylene Hexachlorobenzene Hexachlorobutadiene Hexachloroethene Vynil chloride 10 1 Sumber : Kep. Kepala Bapedal No. 04/BAPEDAL/09/1995 80