Menguji Rasionalitas Publik

dokumen-dokumen yang mirip
Agama dan Demokrasi. Masdar Hilmy Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya

Ihwal Budaya Politik Kita

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

xiv digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan

Pokok-pokok Pikiran RUU Kebudayaan, Negara dan Rakyat 1 [sebuah catatan awam] 2. Oleh Dadang Juliantara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara demokratis merupakan negara yang memberi peluang dan

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Pemilih Pemula di Indonesia

KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK

IMAGOLOGI POLITIK SKRIPSI. Oleh : WAHYUDI AULIA SIREGAR NIM : : Drs. P. Anthonius Sitepu, MSi

2015 HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP KAMPANYE DI MEDIA MASSA DENGAN PARTISIPASI POLITIK PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

KARTELISASI POLITIK PILKADA LANGSUNG

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB I PENDAHULUAN. antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang

BAB VII PENUTUP. pendeskripsian, uji Chi-square dan uji koefisien kontingensi maka peneliti dapat

PERAN PARTAI POLITIK DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI YANG SANTUN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT Oleh I Gde Made Metera 1

BAB V KESIMPULA DA SARA

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

LAPORAN SURVEY PERILAKU PEMILIH MENJELANG PILKADA KABUPATEN LAMONGAN

PELAJAR, POLITIK, DAN PEMILU Oleh: Pan Mohamad Faiz

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang

BAB II KAJIAN TEORETIK. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang

BAB II KAJIAN TEORITIK

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rakyat indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang undang dasar negara

I. PENDAHULUAN. melalui lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki ragam fungsi,platform (program partai) dan dasar pemikiran. Fungsi Partai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,

BAB I PENDAHULUAN. mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Business Ethic & Good Governance

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN

Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif. Mei 2014

BAB I PENDAHULUAN. adalah parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis :

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

BAB I PENDAHULUAN. tidak dilakukan secara berlebihan sebagaimana beberapa kandidat kepala daerah

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH

METODE PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif.

MENDENGARKAN HATI NURANI

BAB II PERTUKARAN SOSIAL GEORGE CASPAR HOMANS

HANDOUT MATAKULIAH: PROPAGANDA

BAB V PENUTUP. Penelitian hubungan antara karakteristik pemilih, konsumsi media, interaksi peergroup dan

SEKOLAH TINGGI ILMU INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. uraian yang sudah dibahas secara keseluruhan. Penulis akan menyimpulkan bab

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan

BAB II TINDAKAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL. paradigma yang ada yakni Fakta Sosial (Emile Durkheim) dan Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. yang menyanjung-nyanjung kekuatan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara

I. PENDAHULUAN. berbangsa dan bernegara, baik ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali

I. PENDAHULUAN. diperuntukkan untuk rakyat. Pemilihan umum merupakan bagian dari

DINAMIKA POLITIK LOKAL SUKSESI PEMILU KEPALA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

Politisasi Agama Menodai Demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu sistem. Politik, salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Mengapa Pilkada Jakarta Kali Ini Penting?

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, media kampanye

PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

Diperkenankan untuk mengutip sebagian atau seluruh isi paparan ini dengan mencantumkan sumber kutipan atas nama Komite Ekonomi dan Industri Nasional

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bu and Go a. b. c. d. e.

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

I. PENDAHULUAN. Hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau rakyat selalu berada. terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern.

BAB I PENDAHULUAN. hampir seluruh organisasi politik memiliki strategi yang berbeda-beda.

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB V PENUTUP. yang melibatkan birokrat masuk dalam arena pertarungan politik yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. merumuskan situasi persaingan dan konflik antara berbagai kepentingan. Teori ini

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB I PENDAHULUAN. praktek politik masa lalu yang kotor. Terlepas dari trauma masa lalu itu, praktek

BAB I PENDAHULUAN. lagi, ternyata dalam prakteknya partai politik ini kurang mampu menjawab

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu

BAB V PENUTUP. masyarakat yang diberikan pada kandidat-kandidat partai politik.

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik demokratik modern. Secara universal Pemilihan Umum adalah

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, politik merupakan kegiatan yang dekat

Transkripsi:

Menguji Rasionalitas Publik Masdar Hilmy ; Dosen UIN Sunan Ampel, Surabaya KOMPAS, 18 Juni 2014 KUALITAS demokrasi ditentukan, salah satunya, oleh kualitas pilihan warga negara dalam mengartikulasikan preferensi dan kepentingannya dalam sebuah diskursus publik yang sehat, adil, dan dinamis-dialektis. Adapun kualitas pilihan warga ditentukan oleh, salah satunya, sejauh mana setiap warga memiliki kematangan, kedalaman, dan kebijaksanaan dalam mencerna semua kebijakan publik melalui apa yang oleh John Rawls (1997) disebut kecerdasan atau rasionalitas publik (public reason). Dalam konteks demokrasi, terutama pilpres di Indonesia, kecerdasan publik merupakan katalisator terakhir bagi pilihan-pilihan politik warga melalui aspirasi dan preferensi publik yang diuji secara terbuka, obyektif, dan terus-menerus. Rasionalitas jenis ini akan menguji apakah sebuah pilihan warga merefleksikan preferensi yang penuh kedalaman analisis, pertimbangan hati-hati (considerate), ataukah sebaliknya hanya pilihan dangkal, pragmatis, dan kebetulan belaka. Orientasi tindakan Weber, dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, Theory of Social and Economic Organization (1964: 115), menegaskan bahwa orientasi tindakan sosial bertumpu pada empat jenis rasionalitas. Pertama, zweckrational (rasionalitas instrumental). Dalam kecerdasan semacam ini, tindakan seseorang hanya didorong oleh keinginan-keinginan subyektif-instrumental untuk menggapai tujuan pragmatis belaka. Tindakan seseorang dalam kategori ini hanya didorong oleh kalkulasi untung-rugi atau apa yang oleh Weber disebut

marginal utility. Bekerjanya politik uang dalam pemilu barangkali dapat menjelaskan rasionalitas jenis ini. Kedua, wertrational (rasionalitas nilai). Tindakan seseorang didorong oleh keyakinan akan kandungan nilai (value) yang ada di balik tindakan itu. Sama seperti rasionalitas pertama, rasionalitas jenis ini dihasilkan oleh sebuah proses intelektual-kognitif warga dalam mengambil sebuah keputusan. Pilihan tindakannya sama-sama rasional, tetapi cakupannya melampaui batas-batas pragmatisme sempit. Memang di sini ada unsur pragmatis, tetapi cakupannya lebih luas ketimbang rasionalitas pertama. Barangkali inilah rasionalitas publik paling ideal. Ketiga, rasionalitas tradisional. Dalam rasionalitas jenis ini, pilihan seseorang hanya dibimbing oleh bingkai tradisi yang tidak tunduk pada prinsip-prinsip kemasukakalan rasional. Tindakan seseorang dilakukan semata-mata karena tradisi mengajarkan demikian. Dengan kata lain, tidak ada mekanisme intellectual exercises yang mengantarkan seseorang pada pilihan tindakannya. Pilihan tindakan seseorang terjadi akibat adanya intervensi tradisi dalam proses pengambilan keputusan. Persis seperti jargon populer dalam sebuah iklan: sudah menjadi tradisi! Terakhir, keempat, rasionalitas afektual. Dalam rasionalitas jenis ini, pilihan tindakan seseorang hanya didorong oleh aspek perasan semata, bukan hasil olah kognisi pikirannya. Rasionalitas terakhir ini memiliki mekanisme atau modus yang hampir sama dengan rasionalitas tradisional: tidak ada signifikansi olah pikir manusia dalam menghasilkan sebuah pilihan atau keputusan. Pilihan diambil karena perasaan suka atau tidak suka. Tidak lebih dari itu. Keempat rasionalitas di atas tentu saja bukanlah tipologi paling memuaskan

untuk menjelaskan fenomena pilihan atau tindakan. Tidak ada rasionalitas tunggal yang dapat menjelaskan semuanya. Bisa jadi terdapat overlapping antara satu dan lainnya. Bahkan, bisa saja terdapat keempatnya di balik sebuah keputusan atau pilihan. Realitas sosial-politik memang jauh lebih kompleks ketimbang penjelasan tipologis di atas. Melampaui mayoritarianisme Terpenting dari itu semua, prinsip mayoritarianisme tidak bisa dijadikan sebagai parameter bagi bekerjanya rasionalitas publik. Artinya, kemenangan kontestan tertentu dalam proses pemilu tidak bisa diatribusikan pada faktor kecerdasan publik semata. Hal ini karena ada banyak faktor yang bekerja di balik proses pengambilan keputusan warga, seperti faktor popularitas dan primordialitas. Sebaliknya, kontestan yang berkualitas, berintegritas, dan berkompeten tidak dijamin dapat memenangi proses kontestasi politik. Intinya, pilihan politik warga tidak sejajar dan sebangun dengan rasionalitas publik. Meski demikian, iklim demokrasi yang meruangkan pertukaran gagasan yang sehat, terbuka, dan akuntabel dapat memungkinkan terjadinya demokrasi berbasis kecerdasan publik yang matang dan berkualitas. Kualitas kecerdasan publik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana setiap warga mengerahkan segenap potensi kognitifnya dalam mengambil keputusan (decision making process). Hal ini sejalan dengan pernyataan John Dewey bahwa yang terpenting dalam sebuah rezim demokrasi bukanlah hasil akhir sebuah keputusan, melainkan proses terjadinya dialektika pertukaran gagasan yang mengantarkan pada pilihan warga yang teruji. Inilah sebenarnya inti persoalan demokrasi kita. Demokrasi di negeri ini baru sebatas demokrasi mayoritarian, bukan demokrasi yang mencerminkan

kecerdasan publik dalam pengertian sesungguhnya. Dalam konstruksi demokrasi semacam ini, pilihan warga sering kali ditentukan oleh hal-hal lain di luar aspek rasionalitas, seperti perasaan suka atau tidak suka, favoritisme, dan primordialisme. Dalam demokrasi berbasis kecerdasan publik, kualitas pilihan ditentukan oleh ketundukan rasional-kognitif warga pada hal-hal yang bekerja di atas prinsip kemasukakalan (commonsensicality). Oleh karena itu, penting diperhatikan oleh masing-masing kontestan caprescawapres yang tengah bertarung adalah bagaimana menundukkan kognisi warga pemilih melalui sebuah skema terstruktur dan terukur tentang Indonesia yang lebih baik berdasarkan atas narasi tebal tentang berbagai persoalan yang membelit bangsa ini. Skema semacam ini menjadi penting di tengah absennya peta jalan menuju Indonesia sejahtera yang realistisis, terukur, dan dapat dicapai (achievable), bukan sekadar janji-janji retoris yang lazim dijual para jurkam pemilu. Gambaran ketidakcerdasan rasionalitas publik kita dapat dilihat pada membanjirnya informasi negatif tentang masing-masing pasangan dalam kampanye hitam. Sebagai gambaran ketidakcerdasan, informasi tersebut sering kali bersifat sepotong-sepotong, tidak utuh (fragmented), dan mengandung biasbias primordialitas yang kuat. Isu-isu yang dijual melalui kampanye hitam biasanya menyangkut isu-isu SARA yang menggelikan, tanpa bukti, sekaligus tidak mencerahkan. Tentu saja tujuan kampanye hitam cuma satu, yakni melemahkan elektabilitas pasangan lawan sekaligus mendongkrak elektabilitas pasangan yang diusung. Diharapkan, kognisi pemilih dapat digoyahkan oleh gempuran informasi yang dilancarkan oleh pihak-pihak pengusung. Dengan begitu, pasangan yang diusung dapat menikmati tumpahan suara dari pihak lawan.

Persoalannya, sesederhana itukah mekanisme kecerdasan publik bekerja? Biarlah itu semua menjadi domain rasionalitas publik untuk menghakiminya. Terpenting lagi, biarlah rasionalitas publik menjadi tulang punggung bagi semakin matang dan dewasanya demokrasi kita. Semoga!