BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. atau salah satunya sudah meninggal, maka anak yang masih di bawah umur

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB V PENUTUP A. SIMPULAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. Komanditer atau sering disebut dengan CV (Commanditaire. pelepas uang (Geldschieter), dan diatur dalam Kitab Undang-Undang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. serta membutuhkan manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

Psl. 119 BW jo. Psl. 124 BW

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB II PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

SUAMI DAN ISTERI SEBAGAI PENDIRI C.V. P.T.

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga. perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB II TINJAUAN UMUM. rakyat bukan dalam pengertian di jalankan oleh rakyat. 1

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. tentang pendirian PT. PT didirikan oleh dua orang atau lebih, yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah SWT telah menghiasi alam semesta ini dengan rasa cinta dan kasih

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Belanda, meskipun saat ini penggolongan penduduk telah dihapus semenjak adanya

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. menurut Mr.A.Pitlo adalah rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

PENJUALAN HARTA BERSAMA BERUPA HAK ATAS TANAH DALAM PERKAWINAN CAMPURAN TANPA PERJANJIAN KAWIN

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami kematian, demikian juga

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN MELALUI PERMOHONAN PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SURAKARTA YANG DILAKUKAN SETELAH PERKAWINAN (Studi Kasus)

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya

BAB I PENDAHULUAN. Boedi Harsono, Hukum Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 560

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan berkembang, meninggal dunia selalu berada dalam lingkungan masyarakat. Menjadi kodrat manusia untuk hidup berdampingan dengan sesama manusia, dan juga berusaha untuk meneruskan keturunan dengan cara melangsungkan perkawinan. Setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang diinginkannya. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 B ayat (1) yaitu Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang dilakukan oleh sepasang suami isteri secara sah otomatis akan membawa konsekuensi dan akibat akibat hukum terkait harta kekayaan. Syarat syarat yang harus dipenuhi oleh calon pasangan suami isteri untuk melangsungkan perkawinan juga telah diatur dalam Pasal 6 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sejak berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka di negara kita telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum / tidak diatur dalam undang undang tersebut, maka peraturan lama dapat dipergunakan (Pasal 66 Undang 1

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) 1. Meskipun undang undang tersebut mengatur tentang Perkawinan, tapi jika lebih jauh substansinya tidak sesuai mengenai Perkawinan tapi juga mengenai hal hal yang berkaitan dengan Perkawinan atau segala akibat hukum yang berkaitan dengan sebuah Perkawinan, bahkan lebih tepat dapat dikategorikan sebagai Hukum Keluarga 2. Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut 3 : 1. Timbulnya hubungan antara suami isteri; 2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan; 3. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai Pencatatan Perkawinan, ayat (1) : Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk. Ayat (2) : Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang undangan mengenai pencatatan perkawinan. Perjanjian adalah suatu perbuatan / tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari 2 (dua) orang pihak atau lebih, di mana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau 1 Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), ctk. Pertama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 113 2 J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 4 3 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, ctk. Pertama, Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hlm. 41 2

timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang undangan. 4 Singkatnya, Perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. 5 Menurut M. Yahya Harahap, Perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 6 Dari pengertian tersebut, terdapat beberapa unsur unsur dalam perjanjian, yaitu : 1. Adanya pihak pihak yang sekurang kurangnya 2 (dua) orang; 2. Adanya persetujuan atau kata sepakat; 3. Adanya tujuan yang ingin dicapai; 4. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan; 5. Adanya bentuk tertentu; 6. Adanya syarat syarat tertentu. Syarat sahnya untuk melakukan suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Perjanjian kawin merupakan sarana untuk melindungi masing masing harta calon pasangan suami isteri. Pasangan calon suami isteri pada saat atau sebelum melangsungkan perkawinan, dapat mengatur harta perkawinannya sendiri yang didasarkan atas kesepakatan bersama antara kedua belah pihak. Harus diperhatikan adanya kebebasan para pihak untuk menyimpang dari ketentuan undang undang dan mengatur sendiri hanya 4 C. Asser-A.S. Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkompsten, tiende druk, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1997, hlm. 10 5 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, ctk. Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 3 6 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6 3

mengenai harta benda perkawinannya, yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 29 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dengan perjanjian kawin tersebut, calon pasangan suami isteri dapat menentukan pengaturan mengenai harta bawaannya masing masing, apakah sejak awal perkawinan akan ada pemisahan harta atau akan melakukan percampuran harta / persatuan bulat harta bawaan masing masing. Peraturan mengenai pemisahan harta kekayaan ini diatur dalam Pasal 186 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pasangan calon suami isteri yang melakukan pemisahan harta kekayaan berarti mereka harus membuat perjanjian perkawinan. Dengan adanya perjanjian perkawinan maka pasangan calon suami isteri telah melakukan penyimpangan terhadap ketentuan dalam Pasal 35 36 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 119 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Calon suami isteri berhak untuk mengatur penyimpangan terhadap berlakunya persatuan harta kekayaan mereka asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik, atau tata tertib umum dan diindahkan ketentuan lain di dalam perundang undangan. Pasal 35 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan menjelaskan bahwa : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta Bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, terhitung sejak perkawinan dilangsungkan sampai perkawinan berakhir karena cerai (hidup) atau salah satu meninggal dunia. 4

Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh masing masing suami dan isteri sebelum perkawinan dilangsungkan, misalnya pemberian hibah, warisan. Pasal 36 menjelaskan tentang siapa yang berhak untuk mengatur harta bersama, yaitu : 1. Mengenai harta bersama suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing masing, suami isteri punya hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dalam Pasal ini dapat diketahui, bahwa pihak yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan isteri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena mereka memiliki kedudukan yang seimbang sebagai pemilik harta bersama tersebut. Pasal 29 Bab V Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan yang dijelaskan bahwa : Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. Hal ini kurang mendapat perhatian oleh calon pasangan suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan, bahkan banyak pihak yang tidak mengetahui akan adanya peraturan mengenai harta perkawinan yang dibuat secara tertulis dalam bentuk Perjanjian Kawin. 7 Perjanjian Kawin ialah Perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan 7 Ibid; hlm. 112 5

dilangsungkan untuk mengatur akibat akibat yang muncul dalam perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. 8 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur perjanjian perkawinan secara lebih luas lagi dengan substansi antara lain : 1. Pemisahan harta bersama (harta syarikat); 2. Percampuran semua harta pribadi yang dibawa masing masing dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing masing selama perkawinan; 3. Percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan; 4. Taklik Talak; 5. Perjanjian lain sejauh perjanjian kawin tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Perjanjian kawin sangat penting untuk melindungi dan memperjelas hak dan kewajiban kedua belah pihak, baik selama perkawinan berlangsung, maupun akibat akibat hukum setelah perkawinan putus karena perceraian atau kematian, dan dengan atau pihak ketiga salah satunya mengenai harta perkawinan. Pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian maka harta bersama itu harus dibagi menjadi 2 (dua) bagian antara suami isteri, sehingga masing masing mendapat separuh bagian (Pasal 128 KUHPerdata). Harta bawaan dari masing masing calon suami isteri, dan harta benda yang diperoleh masing masing sebagai suatu hadiah, atau warisan adalah dibawah penguasaan masing masing pihak sepanjang tidak ditentukan lain. Pada dasarnya jika membahas tentang perkawinan hal yang perlu diperhatikan salah satunya adalah harta perkawinan. Harta yang diperoleh selama perkawinan secara otomatis menjadi harta bersama / persatuan bulat. Dalam realitanya persatuan harta tersebut menimbulkan permasalahan permasalahan di bidang harta perkawinan dalam suatu perkawinan. Oleh karena itu, para calon pasangan suami isteri dapat 8 Rahmadika Sefira Edlynafitri, Pemisahan Harta Melalui Perjanjian Kawin Dan Akibat Hukumnya Terhadap Pihak Ketiga, artikel pada Jurnal Lex Privatum, edisi no. 1 Vol.3, 2015, hlm. 110 6

membuat perjanjian perkawinan untuk mengatur hartanya dengan melakukan pemisahan harta antara keduanya. Umumnya suatu perjanjian itu berkaitan pada dan menimbulkan suatu perikatan (verbintenisscheppende overeenkomst). Calon pasangan suami isteri yang akan melakukan pemisahan harta perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung sesuai dengan peraturan dalam Pasal 29 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Artinya, bahwa perjanjian kawin (huwelijksvorwaaerden) sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami isteri, yang salah satunya untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Pembuatan Perjanjian Kawin atas ancaman kebatalan harus dibuat dengan Akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung sesuai yang diatur dalam Pasal 147 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Setelah dibuatnya perjanjian kawin tersebut, maka perjanjian tersebut harus didaftarkan di Kantor Panitera Pengadilan Agama di wilayah hukum perkawinan tersebut dilangsungkan. Pasangan calon suami isteri jika tidak melakukan pemisahan harta, maka diatur dengan jelas dalam Pasal 119 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa : Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Perjanjian kawin ini dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing masing pasangan, dan untuk mengatur akibat perkawinan, khususnya terhadap harta perkawinan yang jumlah hartanya tidak sama atau lebih besar pada satu pihak calon suami isteri. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan isteri (Pasal 119 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Perdata). Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata juga menyatakan bahwa Semua 7

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya. Peraturan Perjanjian Perkawinan ini berbeda dengan peraturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Peraturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada dasarnya tidak mengatur tentang percampuran harta dalam perkawinan, baik harta milik suami maupun harta milik isteri akan tetap menjadi milik dan dikuasai sepenuhnya oleh masing masing pihak (Pasal 86 KHI). Meskipun dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dikenal percampuran harta perkawinan, para pihak tetap dapat mengadakan suatu perjanjian yang mengatur tentang kedudukan harta dalam perkawinan, dan perjanjian yang dimaksud adalah Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab VII mulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Perkembangan yang terjadi di masyarakat sekarang ini banyak terjadi permasalahan yang mungkin dihadapi oleh suami atau isteri terutama menjalankan kehidupan perkawinan, maka perjanjian perkawinan dapat dijadikan sebuah solusi untuk melindungi harta masing masing. Sebagai gambaran seorang calon isteri yang melangsungkan perkawinan tetapi tidak melakukan perjanjian perkawinan ternyata selama perkawinan perilaku si suami sering melakukan kesalahan yang dapat merugikan isteri dan harta kekayaan milik bersama, misalnya suami suka berjudi, mabuk mabukan sehingga sering menghabiskan uang dari harta bersama, hal itu tentunya akan merugikan isteri dan harta bersama selama perkawinan atau sebaliknya isteri yang terlalu boros dalam memakai harta bersama sehingga tentunya akan merugikan suami yang sudah bekerja keras mengumpulkan harta tersebut. Undang Undang Perseroan Terbatas, secara umum memberikan implikasi terhadap lebih banyaknya pasangan suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan, karena sebelum membuat perjanjian kawin, harta kekayaan mereka menjadi harta bersama. Contohnya, sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang 8

Perseroan Terbatas, tanggung jawab para pemegang saham yang juga merangkap bertindak sebagai Pengurus / Direksi Perseroan Terbatas, benar benar terbatas, namun saat ini para Direksi dan / Dewan Komisaris bertanggung jawab penuh dengan kerugian Perseroan Terbatas sampai harta kekayaan pribadi mereka, hal ini mulai dirasakan oleh para pasangan suami isteri yang mempunyai usaha mengelola Perseroan Terbatas bersama. Demikian juga pengaturan mengenai kepemilikan tanah yang terkait dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, khususnya Pasal 21 ayat (1) yang isinya, Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik dan ayat (3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Setelah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Dampak terhadap pasangan suami isteri membuat Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan yaitu Pertama, jika terjadi pemberian hibah (testamen) dari orang tua kepada suami atau isteri dengan maksud agar tidak dimasukan dalam pencampuran harta bersama selama perkawinan mereka. Kedua, melindungi perekonomian keluarga. Apabila bisnis suami atau isteri hancur, maka bisnis Si Isteri atau suami tak perlu ikut menjadi korban sehingga masih ada modal untuk membiayai pendidikan anak serta menata ulang kehidupan. Ketiga, sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kerugian lebih besar. Terutama kepada Warga Negara Indonesia yang merasa sangat dirugikan ketika 9

melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing tanpa melakukan pemisahan harta. Pemisahan harta ini dapat dilakukan dengan membuat Perjanjian Kawin yang dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan itu berlangsung. Pemisahan ini dilakukan karena jika pasangan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing membeli tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik atau mendapat warisan atau hadiah dengan Sertifikat Hak Milik, maka jangka waktunya hanya 1 (satu) tahun, jika lewat dari 1 (satu) tahun maka hak milik tidak dilepaskan, dan hak tersebut menjadi hapus demi hukum dan tanah jatuh pada negara. Perkembangan ini dapat dilihat dari adanya kemungkinan bahwa pelaksanaan Perjanjian Kawin dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan dengan dasar Penetapan Pengadilan Negeri 9. Pasal 186 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengatur mengenai Perpisahan Harta Kekayaan yang menyatakan bahwa : Sepanjang perkawinan setiap isteri berhak memajukan tuntutan kepada Hakim akan pemisahan harta kekayaan, akan tetapi hanya dalam hal hal sebagai berikut : 1e. Jika si suami karena kelakuannya yang nyata tak baik telah memboroskan harta kekayaan persatuan dan karena itu menghadapkan segenap keluarga rumah kepada bahaya keruntuhan; 2e. Jika karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta kekayaan si suami sendiri, jaminan guna harta kawin si isteri dan guna segala apa yang menurut hukum menjadi hak isteri akan menjadi kabur atau, jika karena sesuatu kelalaian besar dalam mengurus harta kawin si isteri, kekayaan ini dalam keadaan bahaya. Pemisahan harta kekayaan atas permufakatan sendiri, adalah terlarang. 9 Penetapan Pengadilan yang berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kawin yang dilakukan setelah dilangsungkannya perkawinan, yaitu: a. Penetapan Nomor 239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel. b. Penetapan Nomor 326/Pdt.P/2000/PN.Jkt.Bar. c. Penetapan Nomor 207/Pdt/P/2005/ PN.Jkt.Tim. d.penetapan Nomor 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tim. Undang-Undang Perkawinan tersebut dikatakan bahwa Perjanjian Kawin dilakukan sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan. 10

Pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan hanya dapat dilakukan untuk kondisi darurat, dan tidak dapat dilakukan atas permufakatan sendiri, melainkan harus diajukan kepada Hakim pengadilan. Pemisahan harta perkawinan yang dapat dilakukan dengan membuat perjanjian kawin ini di Indonesia kurang begitu popular dan mendapat perhatian. Mengadakan perjanjian kawin mengenai harta antara calon suami isteri dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sesuatu hal yang kurang pantas dan dapat dianggap menyinggung satu sama lainnya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya tidak mustahil suatu kebutuhan yang mutlak yang sekiranya perlu mendapatkan pemikiran sejak awal, sebab perkembangan bidang perkawinan menyimpang dari pola yang ditetapkan sehingga munculnya perkembangan baru akan senantiasa aktual dan kadang menimbulkan polemik (pro dan kontra) 10. Salah satu yang kemudian menarik perhatian penulis adalah pada prakteknya ada permohonan pemisahan harta yang dilakukan sesudah perkawinan, yang dilaksanakan dengan cara mengajukan Permohonan Penetapan ke Pengadilan Agama dan dikabulkan, sehingga hal ini menjadi penting dan menarik untuk dikaji lebih jauh. Beberapa penelitian yang relevan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian Tesis, Tahun 2010, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, oleh Ria Desviastanti dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Perkawinan Dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin. Dimana dalam penulisan hukum ini mengkaji mengenai perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan, kendala dalam pelaksanaan perjanjian kawin, wewenang dan tanggungjawab Notaris atas akta perjanjian kawin yang dibuat. 10 Yunanto, Peraturan Harta Perkawinan Dengan Perjanjian Kawin (Masalah Masalah Hukum), Semarang, 1993, hlm. 14 11

2. Penelitian Tesis, Tahun 2014, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Udayana, oleh Kadek Dwi Tusidhi Cesaryanti dengan judul Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara Indonesia Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran. Dimana dalam penulisan hukum ini mengkaji keabsahan dari suatu Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil, dan akibat hukum dari tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil terhadap pemilikan hak atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran. 3. Penelitian Tesis, Tahun 2013, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Indonesia, oleh Errica Sujana dengan judul Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung (Analisa Penetapan Nomor 277/Pdt.P/2010/Pn.Tng). Dimana dalam penulisan hukum ini mengkaji mengenai pembatalan akta perjanjian perkawinan dapat dilakukan setelah perkawinan berlangsung, landasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkna permohonan pembatalan akta perjanjian perkawinan dan akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian perkawinan tersebut bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan maupun pihak ketiga setelah dikeluarkannya penetapan oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan uraian diatas, terdapat perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan Penulis. Dalam penulisan tesis ini Penulis hendak mengkaji lebih dalam tentang Pemisahan Harta Perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan dengan mengajukan Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan ke Pengadilan Agama, yang berjudul : PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN MELALUI PERMOHONAN PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SURAKARTA YANG DILAKUKAN SETELAH PERKAWINAN (Studi Kasus : Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska). 12

B. Perumusan Masalah : Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Penulis merumuskan masalah yang diteliti secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang dikaji dalam penulisan hukum (tesis) ini adalah : 1. Apa Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surakarta dalam Penetapan Pengadilan Agama Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska? 2. Bagaimana Kedudukan Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska? 3. Apa Akibat Hukum dari Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska? C. Tujuan Penelitian : Maksud adanya tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah yang tepat dalam proses penelitian yang dilakukan agar penelitian tersebut berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu dalam penyusunan laporan penulisan hukum ini (tesis) tujuan yang hendak dicapai penulis adalah : 1. Tujuan Objektif : a. Untuk mengetahui Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surakarta dalam Penetapan Pengadilan Agama Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska; b. Untuk mengetahui Kedudukan Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska; c. Untuk mengetahui Akibat Hukum dari Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska. 2. Tujuan Subjektif : a. Untuk melatih kemampuan penulis dalam meneliti dalam rangka pengembangan ilmu hukum dari masalah masalah terutama dalam hal yang menyangkut tentang Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surakarta dalam Penetapan Pengadilan Agama 13

Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska, Kedudukan Penetapan Pengadilan Agama Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska dan Akibat Hukum dari Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska; b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum didalam teori hukum secara kritis dan sistematis; c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung antara lain : 1. Manfaat Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi pengetahuan mengenai Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surakarta dalam Penetapan Pengadilan Agama Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska, Kedudukan Penetapan Pengadilan Agama Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska dan Akibat Hukum dari Penetapan Pengadilan Agama Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska 2. Manfaat Secara Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan penjelasan mengenai masalah yang diteliti, dan dapat memberikan masukan bagi kepentingan negara, masyarakat, khususnya mengenai pembuatan perjanjian kawin yang dilakukan oleh calon pasangan suami isteri. 14