BAB II DASAR TEORI. 2.1 Analisis Kestabilan Lereng Batuan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan

BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

BAB III TEORI DASAR. Longsoran Bidang (Hoek & Bray, 1981) Gambar 3.1

Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32 Inderalaya Sumatera Selatan, 30662, Indonesia Telp/fax. (0711) ;

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

Analisis Geoteknik Terowongan Batuan Geurutee Aceh Menggunakan Metode Elemen Hingga

Studi Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) pada Lereng Bekas Penambangan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept Feb. 2016

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI. Masalah kestabilan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan kegiatan

BAB III DASAR TEORI 3.1 UMUM

DAFTAR PUSTAKA. Bieniawski, Z. T., Rock Mechanics Design in Mining and Tunneling. A.A. Balkema, Amsterdam. 272 hal.

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

5.1 ANALISIS PENGAMBILAN DATA CORE ORIENTING

Oleh: Yasmina Amalia Program Studi Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta

PHYSICAL PROPERTIES (Perilaku Fisik) AND ROCK CLASSIFICATION (Klasifikasi Batuan)

KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PAPER GEOLOGI TEKNIK

Teguh Samudera Paramesywara1,Budhi Setiawan2

KAJIAN GEOTEKNIK TERHADAP FORMASI TANJUNG DI PIT SAYUNA, SATUI, KALIMANTAN SELATAN, DENGAN MENGGUNAKAN METODE SLOPE MASS RATING

BAB I PENDAHULUAN. terowongan, baik terowongan produksi maupun terowongan pengembangan.

PENGARUH BIDANG DISKONTINU TERHADAP KESTABILAN LERENG TAMBANG STUDI KASUS LERENG PB9S4 TAMBANG TERBUKA GRASBERG

ANALISIS KESTABILAN LERENG BATU DI JALAN RAYA LHOKNGA KM 17,8 KABUPATEN ACEH BESAR

ANALISIS STABILITAS TEBING PANTAI DI NUSA PENIDA.

ANGGUNING DIAH FAHMI NIM

BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Praktikum

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan batuan samping berpotensi jatuh. Keruntuhan (failure) pada batuan di

DAFTAR ISI. SARI... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN...

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Data Lapangan Pemetaan Bidang Diskontinu

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB III LANDASAN TEORI

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR...i. SARI...iv. ABSTRACT...v. DAFTAR ISI...vi. DAFTAR TABEL...ix. DAFTAR GAMBAR...x. DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

Metode Analisis kestabilan lereng

ABSTRAK Kata Kunci : Nusa Penida, Tebing Pantai, Perda Klungkung, Kawasan Sempadan Jurang, RMR, Analisis Stabilias Tebing, Safety Factor

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

BAB 4 PENGUMPULAN DATA LAPANGAN. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

BAB III DASAR TEORI. 3.1 Prinsip Pengeboran

MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

4 PERHITUNGAN DAN ANALISIS

BEBERAPA PENYELIDIKAN GEOMEKANIKA YANG MUDAH UNTUK MENDUKUNG RANCANGAN PELEDAKAN

ANALISIS KERENTANAN GERAKAN TANAH (LONGSOR) DENGAN MENGGUNAKAN SIG

ANALISIS TIPE LONGSOR DAN KESTABILAN LERENG BERDASARKAN ORIENTASI STRUKTUR GEOLOGI DI DINDING UTARA TAMBANG BATU HIJAU, SUMBAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Parameter geomekanika yang dibutuhkan dalam analisis kestabilan lereng didasarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan

MAKALAH PENGEBORAN DAN PENGGALIAN EKSPLORASI

LAPORAN PENELITIAN TESIS 2013 BAB I PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI

Analisis Baliklongsoran Lowwall Pit B3 di Tambang Batubara PT BJA menggunakan Metode Probabilistik Monte Carlo

PENENTUAN DESAIN LERENG FINAL PADA PIT DH DAERAH KONSESI PT. ARUTMIN INDONESIA TAMBANG ASAM ASAM

ANALISIS KESTABILAN LUBANG BUKAAN DAN PILLAR DALAM RENCANA PEMBUATAN TAMBANG BAWAH TANAH BATUGAMPING DENGAN METODE ROOM AND PILLAR

Gambar 1 Hubungan antara Tegangan Utama Mayor dan Minor pada Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown dan Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb (Wyllie & Mah, 2005)

FRACTURES FRACTURES AND JOINTS

DAFTAR ISI... RINGKASAN... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I. PENDAHULUAN

M VII KUAT TARIK TIDAK LANGSUNG (Indirect Brazillian Tensile Strength Test)

MEKANIKA TANAH (CIV -205)

BAB III DASAR TEORI 3.1. Klasifilasi Massa Batuan

BAB I PENDAHULUAN. Font Tulisan TNR 12, spasi 1,5 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara Dispatch dan Aktual. Tabel 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara data Dispatch dan data Aktual

STUDI KEKUATAN GESER TERHADAP PENGARUH KEKASARAN PERMUKAAN DIAKLAS BATU GAMPING

BAB I PENDAHULUAN. dengan cara menggunakan pendekatan Rock Mass Rating (RMR). RMR dapat

BAB IV PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA

Studi Jarak Kekar Berdasarkan Pengukuran Singkapan Massa Batuan Sedimen di Lokasi Tambang Batubara

UNIVERSITAS DIPONEGORO

PENGARUH TINGGI GALIAN TERHADAP STABILITAS LERENG TANAH LUNAK ABSTRAK

DAFTAR TABEL. Parameter sistem penelitian dan klasifikasi massa batuan (Bieniawski, 1989)... 13

EVALUASI MASSA BATUAN TEROWONGAN EKSPLORASI URANIUM EKO-REMAJA, KALAN, KALIMANTAN BARAT

Analisis Kinematik untuk Mengetahui Potensi Ambrukan Baji di Blok Cikoneng PT. CSD Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten

TUGAS PRAKTIKUM GEOLOGI TEKNIK ROCK QUALITY DESIGNATION (RQD) & SCANLINE

Mekanisme keruntuhan

KAJIAN KLASIFIKASI MASSA BATUAN TERHADAP STABILITAS LERENG DAN PENENTUAN KEKUATAN JANGKA PANJANGNYA PADA OPERASI PENAMBANGAN BINUNGAN PT

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP STABILITAS GOA SEROPAN, KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Oleh; Bani Nugroho

Influence Groundwater Levels to Safety Factor of Slope Mining. Pengaruh Tinggi Muka Air Tanah Terhadap Faktor Kestabilan Lereng Tambang

ANALISIS KINEMATIKA KESTABILAN LERENG BATUPASIR FORMASI BUTAK

RESIKO KERENTANAN JATUHAN BATUAN DI PANTAI SELATAN KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

Prosiding Seminar Nasional XI Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2016 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Menurut PT. Mettana (2015), Bendungan Jatigede mulai dibangun pada

ANALISIS KARAKTERISTIK MASSA BATUAN DI SEKTOR LEMAJUNG, KALAN, KALIMANTAN BARAT

BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1. TINJAUAN UMUM TAHAPAN PENELITIAN BERBASIS STUDI NUMERIK... 73

UNIVERSITAS DIPONEGORO

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI Eskavasi terbuka adalah memindahkan suatu massa dari material tanah (soil) ataupun batuan (rocks) dengan tujuan untuk memudahkan pembuatan konstruksi yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam usaha untuk mencapai tujuan di atas, suatu studi terperinci mengenai karakteristik tanah dan/atau batuan serta pengaruh kondisi geologi sekitar sangatlah diperlukan. Kondisi geologi yang ada di lapangan sangat berpengaruh terhadap kecepatan penggalian dan metoda eskavasi yang digunakan. Infmasi geologi yang didapat merupakan suatu parameter yang dapat menentukan tingkat kestabilan dan sebagai referensi untuk pemilihan desain perkuatan lereng tersebut. 2. Analisis Kestabilan Lereng Batuan Secara umum perpaduan ientasi diskontinuitas batuan akan membentuk tiga tipe longsan/keruntuhan utama pada batuan (Gambar 2.), yaitu : - Keruntuhan geser planar (plane sliding failure) - Keruntuhan geser baji (wedge sliding failure) - Keruntuhan jungkiran (toppling failure) Namun demikian, seringkali tipe keruntuhan yang ada merupakan gabungan dari beberapa keruntuhan utama sehingga seakan-akan membentuk suatu tipe keruntuhan yang tidak beraturan (raveling failure) atau seringkali disebut sebagai tipe keruntuhan kompleks. Untuk mengetahui adanya potensi tipe keruntuhan pada suatu aktivitas pemotongan lereng batuan, perlu dilakukan pemetaan ientasi diskontinuitas yang dilakukan, baik sebelum maupun sesudah lereng batuan tersebut tersingkap. Sementara itu, metode analitik untuk memprediksi potensi keruntuhan batuan dan cara penanggulangannya seringkali tidak efektif (Maerz, 2000). Oleh karena itu, penggunaan desain empiris dan klasifikasi massa batuan menjadi penting (Franklin dan Maerz, 996). 8

Keruntuhan planar Keruntuhan baji Keruntuhan jungkiran Gambar 2.. Tipe keruntuhan utama pada batuan. 2.2 Klasifikasi Massa Batuan untuk Evaluasi Kestabilan Lereng Desain empiris (empirical design) merupakan salah satu metodologi desain yang tidak menggunakan metode desain fmal (yang pada umumnya menggunakan perhitungan atau persamaan analitis), namun lebih mendasarkan pada pengalaman kumulatif dari berbagai hasil penelitian terdahulu. Sementara itu dalam kaitannya dengan rekayasa batuan, klasifikasi massa batuan (rock mass classification) berarti mengumpulkan data dan mengklasifikasikan singkapan batuan berdasarkan parameter-parameter yang telah diyakini dapat mencerminkan perilaku massa batuan tersebut. Salah satu contoh skema klasifikasi yang cukup populer dan yang telah memasukan elemen desain di dalamnya yaitu rock mass rating (RMR) atau geomechanics classification system (Bieniawski, 984). Selain itu, terdapat juga beberapa sistem klasifikasi massa batuan yang dirancang khusus untuk lereng, misalnya sistem slope mass rating (SMR) yang dikemukakan oleh Romana (985). Sistem ini mendasarkan pada hasil RMR dengan memberikan beberapa penyesuaian. 2.2. Klasifikasi Sistem RMR (Geomechanics Classification System) Klasifikasi geomekanika diusulkan oleh Bieniawski pada tahun 984. Dalam menggunakan klasifikasi geomekanika, massa batuan dibagi menjadi beberapa kelompok daerah yang didasarkan kesamaan sifat dan karakteristik. Meskipun massa batuan bersifat diskontinuitas secara alamiah, namun pada setiap kelompok daerah yang telah dibagi akan memiliki kesamaan, seperti misalnya tipe batuan yang sama atau jarak spasi antar bidang diskontinuitas yang relatif sama. Setelah kelompok 9

daerah ditentukan maka selanjutnya dicari parameter-parameter klasifikasi pada setiap kelompok daerah dengan melakukan pengukuran lapangan. Di dalam klasifikasi ini, lima parameter dasar diukur atau diestimasi secara langsung di lapangan, meliputi : a. Kuat tekan uniaksial material batuan (intact rock) b. RQD (rock quality designation) c. Spasi diskontinuitas d. Kondisi diskontinuitas e. Kondisi keairan/airtanah Setelah parameter-parameter klasifikasi diperoleh, kemudian dihitung rating dari massa batuan dengan menggunakan rock mass rating system (Tabel 2.). Penjabaran lebih detail mengenai parameter kondisi diskontinuitas diberikan pada Tabel 2.2 yang mengikutsertakan karakteristik diskontinuitas secara lebih menyeluruh. Kemudian diberikan Tabel 2.3 sebagai suatu pembagian massa batuan berdasarkan total nilai pembobotan yang secara langsung didapatkan dari Tabel 2.. Lebih lanjut lagi, Tabel 2.4 diberikan dengan tujuan untuk memaparkan setiap kelas massa batuan agar memudahkan pengaplikasian dalam hal kerekayasaan berdasarkan kelas massa batuan tersebut. Gambar 2.3 sampai 2.5 merupakan grafik yang digunakan untuk menginterpolasi nilai pembobotan untuk parameter kekuatan batuan (intact rock), RQD, dan spasi bidang diskontinuitas. Sementara itu, Gambar 2.6 memperlihatkan hubungan antara spasi bidang diskontinuitas dengan nilai RQD. Hasil akhir penilaian RMR kemudian dapat digunakan untuk mendeterminasi kemampuan lereng akan stabil tanpa diberi perkuatan dan memilih jenis perkuatan yang dibutuhkan. 0

Gambar 2.2. Grafik perbandingan nilai rating untuk setiap parameter kekuatan intact rock. Gambar 2.3. Grafik perbandingan nilai rating untuk setiap spasi bidang diskontinuitas. Gambar 2.4. Grafik perbandingan nilai rating terhadap nilai RQD.

Tabel 2.. Parameter-parameter klasifikasi RMR dan nilai-nilai pembobotannya. Parameter Ranges of values Strength of intact rock material Point load strength index (MPa) Uniaxial compressive strength (MPa) > 0 > 250 4 0 00 250 2 4 50 00 2 25 50 F this low range, uniaxial compressive test is preferred 5 25 5 < Rating 5 2 7 4 2 0 2 Drill ce quality RQD (%) 90 00 75 90 50 75 25 50 < 25 Rating 20 7 3 8 3 3 Spacing of discontinuities > 2 m 0,6 2 m 200 600 mm 60 200 mm < 60 mm Rating 20 5 0 8 5 4 Condition of discontinuities Very rough surfaces Not continuous No separation Unweathered wall rock 5 Groundwater Inflow per 0 m tunnel length (L min - ) Slighlty rough surface Separation < mm Slightly weathered walls Slighlty rough surface Separation < mm Highly weathered walls Slickensided surfaces Gouge < 5 mm thick Separation 5 mm Continuous Soft gouge > 5 mm thick Separation > 5 mm Continuous Rating 30 25 20 0 0 Ratio Joint water pressure Maj principal stress None 0 < 0 < 0, General conditions Completely dry Damp Wet Dripping Flowing Rating 5 0 7 4 0 0 25 0, 0,2 25 25 0,2 0,5 > 25 > 0,5 Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, 2

Tabel 2.2. Pembobotan setiap karakteristik diskontinuitas untuk parameter kondisi diskontinuitas. Parameter Ratings Discontinuity length (persistence/continuity) < m 3 m 3 0 m 0 20 m > 20 m 6 2 4 0 Separation (aperture) None < 0, mm 0,,0 mm 5 mm > 5 mm 6 5 4 0 Roughness Very rough Rough Slightly rough Smooth Slickensided 6 5 3 0 Hard filling Soft filling Infilling (gouge) None < 5 mm > 5 mm < 5 mm > 5 mm 6 4 2 2 0 Weathering Unweathered Slightly weathered Moderately weathered Highly weatehered Decomposed 6 5 3 0 Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, 3

Tabel 2.3. Pengklasifikasian massa batuan dari total nilai pembobotan. Rating Class Description 00 8 I Very good rock 80 6 II Good rock 60 4 III Fair rock 40 2 IV Po rock < 20 V Very po rock Tabel 2.4. Deskripsi terkait dari setiap kelas massa batuan. Class I II III IV V Average stand-up time Cohesion of the rock mass (kpa) Friction angle of the rock mass (deg) 20 y f 5 m span > 400 > 45 y f 0 m span 300 400 35 45 week f 5 m span 200 300 25 35 0 h f 2,5 m span 00 200 5-25 30 min f m span < 00 < 5 Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, 4

2.2.2 Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) Romana (985) telah memodifikasi sistem klasifikasi RMR untuk menentukan kestabilan lereng dengan sistem klasifikasi SMR. Romana (985) menambahkan fakt penyesuai seperti ientasi bidang diskontinuitas dan metoda eskavasi lereng. Fakt penyesuaian untuk ientasi bidang diskontinuitas lebih memberikan gambaran yang lebih spesifik tentang bagaimana menentukan sifat menguntungkan atau tidaknya ientasi bidang diskontinuitas terhadap ientasi lereng (favourability of discontinuity ientation), hal tersebut tidak dijelaskan secara lengkap pada sistem klasifikasi RMR (Bieniawski, 984). Pendekatan ini sangat cocok untuk penilaian awal kestabilan lereng batuan, termasuk batuan lunak atapun massa batuan yang sangat terkekarkan (heavily jointed rock mass). Nilai SMR diperoleh dari perhitungan bobot menurut klasifikasi RMR dan faktfakt penyesuaian F, F 2, F 3, dan F 4. dengan, SMR = RMRbasic + ( F + F F2 F3 ) F bergantung kepada perbedaan besar sudut antara jurus bidang diskontinuitas ( j α ) dengan jurus dari permukaan lereng ( α ), memiliki kisaran nilai,0 (jika α j dan α s mendekati paralel) sampai 0,5 (jika sudut antara dari 30º dan kemungkinan terjadinya keruntuhan sangat kecil). [ ( α α )] 2 F = sin s j s 4 α j dan α s lebih F 2 merupakan harga tangensial sudut kemiringan bidang diskontinuitas, dengan β j adalah sudut kemiringan diskontinuitas. Nilai F 2 berkisar,00 (apabila sudut kemiringan bidang diskontinuitas lebih dari 45º) sampai 0,5 (untuk β j kurang dari 20º). Untuk jenis longsan jungkiran (toppling failure) nilai F 2 berkisar,00. 2 F2 = tan β j 5

F3 mencerminkan hubungan antara permukaan lereng dan kemiringan bidang diskontinuitas. Dalam tipe longsan planar (planar sliding failure), F3 berhubungan dengan kemungkinan terjadinya bidang luncur bebas ( day light ) ke arah permukaan lereng. F 4 merupakan fakt penyelarasan yang berkaitan dengan metode eskavasi. Besarnya bobot F, F 2, F 3 diberikan pada Tabel 2.5 sedangkan F 4 pada Tabel 2.6. Setelah niai SMR diperoleh, maka nilai tersebut akan berada dalam salah satu kelas dengan nilai bobot tertentu. Tabel 2.7 mendeskripsikan setiap kelas pada sistem klasifikasi SMR. Tabel 2.5. Penyesuaian pembobotan untuk diskontinuitas Case P T P/T P P T P T P/T j s ( j s ) 80º F j F 2 F 2 j s j + s F 3 Very favable > 30º 0,5 < 20º 0,5 > 0º < 0º 0 Favable Fair Unfavable 30 20º 0,40 20 30º 0,40 0 0º 0 20º -6 20 0º 0,70 30 35º 0,70 0º > 20º -25 P = keruntuhan bidang (plane failure) j = joint dip direction j = joint dip T = keruntuhan jungkiran (toppling failure) s = slope dip direction s = slope dip 0 5º 0,85 35 45º 0,85 0 (-0º) -50 Very unfavable < 5º,00 > 45º,00 < -0º -60 Tabel 2.6. Penyesuaian pembobotan untuk metoda ekskavasi lereng Method Natural slope Presplitting Smooth blasting Blasting mechanical Deficient blasting F 4 +5 +0 +8 0-8 6

Tabel 2.7. Deskripsi untuk setiap kelas SMR (Romana, 985) Class SMR Description Stability Failure Suppt I 8 00 Very good Completely stable None None II 6 80 Good Stable Some blocks Occasional III 4 60 Nmal Partially stable Some joints many wedges IV 2 40 Bad Unstable Planar big wedges V 0 20 Very bad Completely unstable Big planar soil-like Systematic Imptant/ crective Reexcavation 2.3 Analisis Kinematika untuk Evaluasi Kestabilan Lereng Batuan Berbagai jenis longsan lereng (slope failure) berhubungan dengan struktur-struktur geologi yang mengakibatkan adanya suatu diskontinuitas pada suatu massa batuan. Salah satu metode yang seringkali digunakan untuk melakukan identifikasi dan karakterisasi bidang diskontinuitas pada singkapan lereng batuan yaitu metoda scan line (Hudson dan Harrison, 997). Dalam kaitannya dengan usaha pemetaan diskontinuitas batuan, scan line sampling harus dilakukan secara sistematik pada seluruh singkapan batuan yang ada. Parameter yang diukur di lapangan adalah panjang lintasan scan line (L), jumlah diskontinuitas (N) dalam lintasan pengukuran, dan kedudukan bidang-bidang diskontinuitas. Dengan demikian, maka frekuensi dikontinuitas ( λ ) dapat dinyatakan sebagai : N λ = L dan rata-rata spasi diskontinuitas ( x ) adalah : x = L N Dalam memperhitungkan stabilitas lereng batuan, data kedudukan bidang-bidang diskontinuitas hasil pengukuran scan line sampling digambarkan di dalam stereoplot. Pada umumnya, jika data struktur geologi tersebut telah diplot, beberapa konsentrasi kutub yang signifikan dapat hadir di dalam stereoplot (Gambar 2.2). 7

Gambar 2.5. Penggambaran kutub bidang-bidang struktur pada umumnya memperlihatkan konsentrasi kutub, misalnya kutub A dan B. Adalah sangat berguna untuk dapat memilah antara bidang-bidang yang berpotensi mengalami keruntuhan, dengan bidang-bidang yang kemungkinan tidak akan terlibat di dalam longsan. Fakt kinematik lereng dikatakan memenuhi syarat untuk menyebabkan ketidakstabilan apabila pada lereng terdapat ruang bagi blok massa batuan untuk bergerak pada bidang gelincirnya menuju ruang tersebut (Hoek dan Bray, 98). 2.3. Analisis Kinematika dari Keruntuhan Geser Planar (Plane Failure) Longsan bidang (plane failure) adalah bentuk longsan yang paling mudah untuk diidentifikasi dan dianalisis. Longsan bidang dapat terjadi dengan bidang gelincir tunggal ataupun set bidang gelincir. Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan keruntuhan tipe ini adalah : - kemiringan lereng ( s ) lebih besar daripada kemiringan bidang gelincir ( j ) - jejak bagian bawah bidang diskontinuitas yang menjadi bidang gelincir harus muncul di muka lereng. - bidang gelincir memiliki jurus ( α j ) yang sejajar atau hampir sejajar (maksimal 20º) dengan jurus permukaan lereng ( α s ). - Kemiringan bidang gelincir ( j ) lebih besar daripada sudut geser dalamnya. 8

2.3.2 Analisis Kinematika dari Keruntuhan Geser Baji (Wedge Failure) Berbeda dengan keruntuhan geser planar, keruntuhan geser baji akan terjadi bila ada dua bidang diskontinuitas atau lebih berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng. Persyaratan lain yang harus terpenuhi di antaranya adalah : - arah garis perpotongan (trend) kedua bidang diskontinuitas harus mendekati arah kemiringan muka lereng. - sudut lereng lebih besar daripada sudut garis potong kedua bidang diskontinuitas - garis perpotongan kedua bidang diskontinuitas harus menembus permukaan lereng. - plunge dari garis perpotongan kedua bidang diskontinuitas lebih besar daripada sudut geser dalamnya. Uji Markland (Hoek dan Bray, 98) dilakukan untuk menentukan kemungkinan terjadinya keruntuhan geser baji (wedge sliding failure), dengan arah luncuran terjadi pada penunjaman garis perpotongan antara dua buah bidang diskontinu planar (Gambar 2.3B). Uji ini juga mencakup longsan bidang yang merupakan kasus khusus dari longsan baji (Gambar 2.3C). Pada longsan baji, jika kontak pada kedua bidang tetap terjadi, luncuran hanya dapat terjadi pada arah penunjaman garis perpotongan. 2.3.3 Analisis Kinematika dari Keruntuhan Jungkiran (Toppling Failure) Keruntuhan jungkiran umumnya terjadi pada massa batuan yang kemiringan bidangbidang diskontinuitasnya berlawanan arah dengan kemiringan lereng. Bidang-bidang diskontinuitas tersebut membentuk kolom-kolom yang akan mengguling bila bidang diskontinuitas yang menghubungkan antar kolom menggelincir. Analisis keruntuhan jungkiran lebih rumit bila dibandingkan dengan bentuk keruntuhan planar dan baji. Karena interaksi antar kolom-kolom yang mengguling secara simultan serta gaya-gaya geser yang terjadi antar kolom harus diperhatikan. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan keruntuhan tipe jungkiran adalah : 9

- jurus dari bidang diskontinuitas harus paralel atau mendekati paralel dengan jurus permukaan lereng (perbedaan arah maksimal 20º). - sudut kemiringan bidang diskontinuitas harus sama besar dengan kemiringan permukaan lereng. - plunge dari bidang gelincir harus lebih kecil dari kemiringan permukaan lereng dikurangi sudut geser dalam dari bidang gelincir tersebut (Goodman, 980). a. Keruntuhan planar b. Keruntuhan baji c. Keruntuhan jungkiran Gambar 2.6. Model stereoplot kondisi struktur yang dapat menyebabkan jenis-jenis longsan utama pada batuan (Hoek, 2000). 20