BAB I PENDAHULUAN. bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicoliana Tabacum, Nicoliana

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya atau sintesis

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan sebuah perilaku yang tidak asing ditemukan di kehidupan seharihari,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dari setiap negara. Salah satu indikatornya adalah meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya adalah perubahan yang terus-menerus yang merupakan kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. sampai saat ini telah dikenal lebih dari 25 penyakit berbahaya disebabkan oleh rokok.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1

dalam terbitan Kementerian Kesehatan RI 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. Tembakau pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda

BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Oleh karena itu,

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ASAP ROKOK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 2,7% pada wanita atau 34,8% penduduk (sekitar 59,9 juta orang). 2 Hasil Riset

I. PENDAHULUAN. adalah perokok pasif. Bila tidak ditindaklanjuti, angka mortalitas dan morbiditas

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai tobacco dependency sendiri dapat didefinisikan sebagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak menular salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi tembakau yaitu. dan adanya kecenderungan meningkat penggunaanya.

BAB I PENDAHULUAN. lain-lain, bahkan merokok dapat menyebabkan kematian. Laporan dari World

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia yang sebenarnya bisa dicegah. Sepanjang abad ke-20, telah terdapat 100

BAB I PENDAHULUAN. sehingga hal ini masih menjadi permasalahan dalam kesehatan (Haustein &

Kuesioner Penelitian

BAB 1 : PENDAHULUAN. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan silent disease yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di negara-negara besar di dunia walaupun hal tersebut sudah

tinggi tingkat kesehatan, maka kesegaran jasmani akan semakin baik pula. Berdasarkan Undang- Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 yang memuat

I. PENDAHULUAN. diantaranya penyakit pada sistem kardiovaskular, penyakit pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. walaupun sering ditulis di surat-surat kabar, majalah dan media masa lain yang

BAB I PENDAHULUAN. tambahan (Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009). Masalah utama. yang menjadi semakin tinggi tiap tahunnya.

BAB 1 : PENDAHULUAN. tempat seperti di lingkungan keluarga, kantor, fasilitas kesehatan, cafe, kendaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Kemenkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Gambaran Perilaku Merokok pada masyarakat di Kabupaten Purwakarta: Suatu Kajian Literatur

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 5 juta orang mati

BAB I PENDAHULUAN. adalah hasil dari non-perokok yang terpapar asap rokok. Hampir 80% dari lebih 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tidak menular (PTM), yang merupakan penyakit akibat gaya hidup serta

Analisis Proporsi Perokok Tingkat SMK di Kota Semarang

BAB 1 PENDAHULUAN. diperkirakan 45% wanita yang merokok, dan 27% wanita hamil yang merokok,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN. Rokok merupakan benda kecil yang paling banyak digemari dan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. mengodentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Friedman, 1998).

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh yang sangat berarti terhadap kesehatan masyarakat. Menurut perkiraan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah i

BAB I PENDAHULUAN. Health Organization (WHO) pada tahun 2011 jumlah perokok laki-laki di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dihembuskan kembali sehingga mengeluarkan asap putih keabu-abuan. Perilaku merokok

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku merokok tampaknya telah menjadi kebiasaan banyak. seperti Indonesia bermunculan rokok-rokok terbaru yang setiap produk

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anita Indriana, 2014 Wacana Polemik Pemberitaan Rokok dalam Harian Umum Kompas

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok. Rokok mengandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN DIREKTUR POLITEKNIK MANUFAKTUR NEGERI BANGKA BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan. ada dalam diri individu yang bersangkutan ( Sunaryo, 2004 ).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang di akibatkan karena merokok berakhir dengan kematian. World

Dedy Gunawan, 2014 Efektifitas Perda Nomor 11 Tahun 2005 Bagi Perokok Untuk Menjadi Warga Negara Yang Baik

BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA SISWA SLTP DI KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Mengkonsumsi rokok dan produk tembakau lainnya menyebabkan

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1805/SK/R/UI/2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK UNIVERSITAS INDONESIA (KTR UI)

- 1 - WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DAN KAWASAN TERBATAS MEROKOK

PERATURAN BERSAMA MENTERI KESEHATAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 188/MENKES/PB/I/2011 NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih

BAB V KESIMPULAN. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 5 orang mahasiswa yang tidak

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rista Mardian,2013

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. merasakan hal yang demikian terutama pada saat menginjak masa remaja yaitu. usia tahun (Pathmanathan V dan Surya H, 2013).

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rokok pada remaja yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di

BAB I PENDAHULUAN. yang mengkomsumsi rokok. Banyak di lapangan kita temui orang-orang merokok

BAB I PENDAHULUAN. yang penting bagi seluruh dunia sejak satu dekade yang lalu (Mayasari, 2007). Salah satu

KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR : 11 TAHUN 2004 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

WALIKOTA BANDA ACEH PROVINSI ACEH QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif)

BAB 1 : PENDAHULUAN. kandung kemih, pankreas atau ginjal. Unsur-unsur yang terdapat didalam rokok

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara sadar untuk melukai dirinya sendiri, karena dengan merokok, berarti

BAB I PENDAHULUAN. kini. Jika ditanya mengapa orang merokok, masing-masing pasti memiliki. anak muda, remaja yang melakukan kebiasaan tersebut.

BAB 1 : PENDAHULUAN. kalangan masyarakat seperti di lingkungan keluarga, kantor, fasilitas kesehatan, cafe,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan. Kandungan rokok adalah zat-zat kimiawi beracun seperti mikrobiologikal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

hari berdampak negatif bagi lingkungan adalah merokok (Palutturi, 2010).

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 29/P/SK/HT/2008 TENTANG KAWASAN BEBAS ROKOK REKTOR UNIVERSITAS GADJAH MADA,

BAB I PENDAHULUAN. inaktivitas fisik, dan stress psikososial. Hampir di setiap negara, hipertensi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicoliana Tabacum, Nicoliana Rustica dan Spesiae lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan, PP Nomor 19, tentang pengamanan rokok bagi kesehatan (2003). Menurut Istiqomah (dalam Suparyanto, 2011) merokok adalah membakar tembakau kemudian dihisap, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur sebatang rokok yang tengah dibakar adalah 90 derajat Celcius untuk ujung rokok yang dibakar dan 30 derajat Celcius untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok. Sudah banyak diketahui bahwa perilaku merokok memiliki dampak negatif bagi kesehatan perokok itu sendiri maupun orang lain yang ada di sekitarnya. Setiap batang rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia yang telah diidentifikasi dalam asap tembakau. Banyak diantaranya beracun dan beberapa bersifat radioaktif. Lebih dari 40 menyebabkan kanker bahan-bahan kimia ini terutama terkonsentrasi di dalam tar, yaitu cairan coklat lengket yang terkondensasi dari asap tembakau (Crofton dan Simpson, 2009). Bukti bahwa merokok merupakan suatu penyebab penyakit diperoleh dari penelitian kontrol kasus (case-control) atau studi retrospektif (restropective studies), misalnya 1

2 penelitian kanker paru-paru oleh Doll dan Hill tahun 1950 (Doll dan Hill, 1950 dalam Crofton dan Simpson, 2009). Konsekuensi dari merokok antara lain meningkatnya kejadian infeksi saluran nafas bagian atas, batuk, asma, sinusitis, penyakit kardiovaskular, kanker, mengganggu fertilitas, lahir kurang bulan, kematian, serta dapat menyebabkan absen dari kerja atau absen dari sekolah yang disebabkan dari dampak merokok (Suparyanto, 2011). World Health Organisation (WHO) pada tahun 2008 mencatat bahwa tembakau (rokok) adalah faktor risiko dalam 6 dari 8 penyebab utama kematian. Suatu survey pada tahun 1990 menunjukkan di 44 negara maju, merokok menyebabkan rata-rata 24% dari semua kematian laki-laki dan 7% dari semua kematian perempuan (Crofton dan Simpson, 2009). Selain dari berbagai efek negatif rokok yang berdampak hingga kematian, rokok juga berdampak bagi orang yang tidak merokok. Bagi orang yang tidak merokok, asap tembakau selalu tidak menyenangkan, berbau, mencekik, mengiritasi hidung dan mata. Dalam 20 tahun terakhir penelitian menunjukkan bahwa menghirup asap rokok orang lain juga sangat membahayakan (Crofton dan Simpson, 2009). Orang bukan perokok yang memiliki risiko terhadap bahaya rokok biasa dikenal dengan perokok pasif (non perokok). Perokok pasif adalah seseorang yang menghirup asap rokok dari orang yang merokok (pasive smoker). Asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya (Wardoyo, 1996). Suatu tinjauan terhadap 34 penelitian semacam ini mengenai kanker paruparu menunjukkan suatu kombinasi peningkatan risiko sebanyak 24% lebih tinggi

3 kejadian kanker paru-paru pada mereka yang terkena oleh asap rokok di dalam rumah. Menurut Law and Hackshaw (1996) terdapat peningkatan risiko penyakit jantung iskemik (penyakit jantung koroner) sebanyak 25% (dalam Crofton dan Simpson, 2009). Meskipun dampak negatif dari merokok sudah diketahui bahkan peringatan mengenai bahaya merokok sudah jelas terpampang di bungkus rokok, namun tetap saja mudah sekali menemui perilaku merokok dikeseharian kita. World Health Organitation (WHO) menyebutkan jumlah perokok global pada tahun 1997 sebanyak 47% laki-laki dan 12% perempuan. Jumlah tersebut memiliki kecenderungan akan terus meningkat dari 1,1 miliar menjadi 1,6 miliar pada tahun 2025 (dalam Crofton dan Simpson, 2009). Kriteria seorang perokok aktif menurut WHO (1998) adalah apabila telah merokok selama satu tahun minimal satu batang rokok perhari (dalam Gunaseelan, 2013). Di Indonesia sendiri, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 mencatat bahwa secara nasional, prevalensi penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok sebesar 34,7%, dimana 28,2% adalah perokok setiap hari, dan 6,5% perokok kadang-kadang. Hampir sebagian besar perokok aktif di Indonesia mulai merokok sejak usia belia. Sekitar 43,3% perokok, mulai merokok di usia 15-19 tahun, sekitar 17,5% mulai merokok di rentang usia 10-14 tahun dan 14,6% di usia 20-24 tahun. Bahkan di antara para perokok sebanyak 1,7% mulai merokok sejak usia 5-9 tahun (www.news.okezone.com, diakses 12 Desember 2012). Perokok dengan usia yang dapat dikategorikan remaja, kini tak sungkan merokok di tempat umum, bahkan di rumah sendiri. Lingkungan tumbuh

4 kembang anak saat ini memang cenderung mengkondisikan bahwa perilaku merokok itu sebagai hal yang lumrah. Pengaruh perilaku merokok di kalangan anak dan remaja itu muncul dari lingkungan sekitar, mulai dari teman sepermainan, tetangga, kakak atau saudara, bahkan ironisnya, dari orang tua sendiri (www.news.okezone.com, diakses 12 Desember 2012). Selain itu, iklan produk rokok yang muncul di berbagai media pun turut menjadi acuan perilaku merokok. Bentuk perilaku merokok di kalangan mahasiswa bukan berarti tidak mengetahui ataupun tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai dampak dari perilaku merokok terhadap kesehatan dan lingkungan. Mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya memiliki kepekaan yang tinggi terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, merokok di kalangan mahasiswa justru menjadi fenomena yang biasa. Fenomena merokok di kalangan mahasiswa dapat ditemui di Fakultas Psikologi Universitas X Kota Bandung. Dalam hal ini, mahasiswa Fakultas Psikologi dituntut untuk memiliki kepekaan dalam menjalankan tugasnya sebagai psikolog kelak. Pada mahasiswa Fakultas Psikologi, hubungan dengan manusia lain dan tenggang rasa yang tinggi sangat perlu dimiliki karena psikologi diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan yang berkaitan dengan manusia (dalam Prayogo, 2009, diakses 19 Februari 2014). Perilaku para mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X Kota Bandung yang merokok pun bermacam-macam dan tentunya memiliki tujuan yang berbeda-beda. Ada larangan merokok di area kampus, namun tidak dihiraukan. Mahasiswa merokok di foodcourt, taman kampus hingga di selasar kelas. Mereka seolah tidak

5 memperdulikan peringatan larangan merokok dan juga tidak memperdulikan mahasiswa lain yang ada di sekitarnya terutama mahasiswa non perokok. Kini pihak Universitas X Kota Bandung mulai bertindak tegas terhadap perilaku merokok di dalam kampus dengan mengeluarkan sanksi bagi mahasiswa yang terbukti merokok di kawasan tanpa rokok dan/atau melanggar ketentuan PP pasal 3 ayat 2. Salah satu sanksi yang berlaku adalah teguran lisan dari dekan fakultas yang bersangkutan. Tidak hanya dekan fakultas yang wajib menegur, tetapi pihak dari petugas keamanan (satpam) Universitas X Kota Bandung juga akan menegur secara lisan bagi mahasiswa yang melanggar peraturan tersebut. Larangan merokok juga terpasang di area kampus, belum lagi reklame-reklame peringatan bahaya merokok, namun perilaku merokok mahasiswa tetap saja terjadi. Mencuri kesempatan merokok bila situasi memungkinkan atau berpindah ke tempat-tempat makan atau mini market yang ada di sekitar lingkungan Universitas X Kota Bandung. Tidak peduli dimanapun tempatnya, sebenarnya perilaku merokok tetap memiliki efek negatif bagi perokok itu sendiri maupun orang yang ada di sekitarnya. Meski mahasiswa tidak merokok di dalam kampus, bukan berarti efek negatif rokok hilang atau berkurang. Dampak dari perilaku merokok cukup sulit untuk dihindari. Apalagi peraturan merokok di Indonesia yang belum jelas. Ruang publik Universitas pun belum bisa bebas dari asap rokok. Mengingat setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan suatu tindakan meski bergantung juga pada kebebasan orang lain. Mahasiswa perokok memiliki kebebasan untuk merokok dan bertanggung jawab secara pribadi terhadap dampaknya. Namun demikian,

6 mahasiswa perokok pun perlu mengingat bahwa ada mahasiswa non perokok yang juga punya kebebasan untuk tidak merokok, menghindari asap rokok namun tetap terkena dampak negatif dari rokok hanya karena mahasiswa perokok. Meskipun resiko non perokok tidak sebesar perokok, jenis penyakit dan kelainan yang timbul ternyata serupa, antara lain kanker, penyakit jantung dan stroke, serta gangguan pernapasan, seperti asma (Crofton dan Simpson, 2009). Risiko ini memunculkan berbagai upaya untuk melindungi perokok pasif (non perokok), misalnya melalui perundangan dan persuasi, alat transportasi, tempat umum, kantor yang dibuat menjadi kawasan bebas asap rokok (Crofton dan Simpson, 2009). Berbagai upaya melindungi perokok pasif (non perokok) merupakan suatu bentuk perilaku empati. Empati merupakan suatu reaksi-reaksi individu terhadap situasi yang terlihat pada orang lain (Davis, 1996). Ada banyak bentuk reaksi yang mungkin terjadi setelah seseorang melihat banyak peristiwa. Para ahli membedakan respon empati menjadi dua komponen, yaitu, komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif observer dengan tepat, di sini diharapkan seseorang dapat membedakan emosi orang lain dan menerima pandangan mereka. Adapun komponen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional yang dialami observer dalam merespon pengalaman-pengalaman target (Koestner, 1990 dalam Davis, 1983). Davis (1996) pun mengungkapkan selain perilaku menolong empati juga dihubungkan dengan perilaku agresi.

7 Untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk perilaku empati yang lebih mendalam, maka peneliti melakukan survey awal melalui wawancara terhadap mahasiswa perokok Fakultas Psikilogi di Universitas X Kota Bandung. Dari 16 orang mahasiswa perokok diperoleh informasi, sebanyak 3 orang (18.75%) telah merokok selama 3 tahun, diantaranya berusia 18 tahun merokok tiga batang dalam sehari, berusia 21 tahun merokok satu bungkus dalam sehari dan berusia 24 tahun merokok lima batang dalam sehari. Dua orang (12.5%) telah merokok selama 5 tahun, masing-masing berusia 20 tahun merokok lima belas batang dalam sehari dan berusia 23 tahun merokok delapan batang dalam sehari. Satu orang (6.25%) telah merokok selama 6 tahun, berusia 24 tahun merokok tiga batang dalam sehari. Tiga orang (18.75%) telah merokok selama 7 tahun, diantaranya berusia 21 tahun merokok enam batang dalam sehari, berusia 23 tahun merokok delapan batang dalam sehari dan berusia 21 tahun merokok lima batang dalam sehari. Dua orang (12.5%) telah merokok selama 8 tahun, masing-masing berusia 21 tahun dan 24 tahun yang sama-sama merokok satu bungkus dalam sehari. Lima orang (6.25%) lainnya berusia 21 tahun telah merokok selama 9 tahun merokok dua bungkus perhari, berusia 23 tahun telah merokok selama 10 tahun merokok dua bungkus perhari, berusia 21 tahun telah merokok selama 12 tahun merokok tujuh batang perhari, berusia 23 tahun telah merokok selama 13 tahun merokok tiga batang perhari, dan berusia 25 tahun telah merokok selama 15 tahun, dua bungkus perhari. Sebanyak 16 orang mahasiswa perokok, ditanyakan mengenai efek negatif dari rokok. Enam belas orang mahasiswa mengetahui efek negatif rokok, baik

8 bagi dirinya sendiri maupun bagi orang di sekitarnya, seperti mahasiswa non perokok. Meskipun mereka mengetahui efek negatif rokok, namun mereka tetap merokok. Adapun alasan mereka merokok antara lain, 12 orang (75%) mengakui alasan mereka menjadi perokok aktif adalah karena kebiasaan. Mulanya berawal dari pengaruh lingkungan untuk mencoba rokok, tapi seiring waktu berubah menjadi bentuk perilaku yang terbiasakan. Merokok setelah makan atau ketika tidak ada kegiatan, dan merasa memperoleh ketenangan dari merokok. Empat orang (25%) mengakui alasan mereka menjadi perokok aktif adalah pengaruh lingkungan. Bermula dari mencoba karena menghargai lingkungannya yang perokok hingga kini terus merokok bila ada di lingkungan perokok. Bila tidak ada di lingkungan perokok, mereka cenderung tidak merokok. Sebanyak 16 orang mahasiswa perokok, ditanyakan juga mengenai pandangan mereka sebagai perokok aktif terhadap mahasiswa non perokok. Tiga belas orang (81%) berusaha untuk menghargai dengan tidak merokok di sekitarnya mahasiswa non perokok. Bila situasi tidak memungkinkan, seperti hanya ada satu mahasiswa non perokok yang berada di lingkungan mahasiswa perokok, maka mereka tidak memperdulikan mahasiswa non perokok dan tetap merokok. Tiga orang (19%) berpendapat lebih baik non perokok menjadi perokok aktif karena dampaknya sama saja. Dampak negatif dari rokok tidak dapat dihindari meskipun oleh mahasiswa non perokok, maka dari itu lebih baik menjadi perokok aktif dibanding mengalami kerugian menjadi non perokok. Sebanyak 16 orang mahasiswa perokok, ditanyakan juga mengenai pandangan mereka terhadap mahasiswa non perokok. Pandangan mahasiswa

9 perokok berbeda ketika mereka berada di dalam lingkungan non perokok. Lima orang (31,25%) mengaku tidak akan merokok bila ada di lingkungan mahasiswa non perokok dengan alasan mereka menyadari dampak negatif dari perilaku merokok terhadap non perokok, dengan mereka memaparkan tidak merokok di lingkungan non perokok. Berarti dengan demikian mereka sudah membantu mengurangi risiko non perokok terpapar dampak negatif dari asap rokok yang dihirupnya. Delapan orang (50%) mengaku akan tetap merokok, namun menjauhi atau mencari tempat yang sepi dari mahasiswa non perokok, dengan mencari tempat yang sepi atau menjauhi orang-orang non perokok, mahasiswa perokok akan menimbulkan suasana saling menghargai antara perokok dan mahasiswa non perokok. Mahasiswa perokok akan tetap merokok tapi tidak mengganggu mahasiswa non perokok. Suasana saling menghargai ini merupakan perilaku dari hubungan sosial yang baik antara mahasiswa perokok dan non perokok karena adanya empati. Tiga orang (18,75%) mengatakan akan tetap merokok di lingkungan mahasiswa non perokok dan akan merasa jengkel bila ada mahasiswa yang menunjukkan perilaku menolak asap rokok, seperti terbatuk-batuk atau berusaha mengibas-ibaskan tangan untuk menghindari asap rokok. Perilaku tersebut justru membuat mereka sengaja menyemburkan asap rokok kepada non perokok, hal tersebut membuat mahasiswa perokok mengeluarkan perilaku agresi yang justru semakin membuat mahasiswa non perokok merasa terganggu dengan semburan asap tersebut.

10 Dari hasil wawancara survey awal terhadap mahasiswa perokok Fakultas Psikologi di Universitas X Kota Bandung, diperoleh data yang mencerminkan bentuk perilaku yang berbeda-beda dari mahasiswa perokok saat berada di lingkungan mahasiswa non perokok. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk mengetahui derajat empati mahasiswa perokok terhadap mahasiswa non perokok. 1. 2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui gambaran mengenai derajat empati mahasiswa perokok Fakultas Psikologi terhadap mahasiswa non perokok di Universitas X Kota Bandung. 1. 3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian adalah untuk mengetahui gambaran mengenai derajat empati mahasiswa perokok Fakultas Psikologi terhadap mahasiswa non perokok di Universitas X Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai derajat empati mahasiswa perokok Fakultas Psikologi terhadap mahasiswa non perokok di Universitas X Kota Bandung berdasarkan komponen kognitif yang terdiri dari aspek perspective taking dan aspek fantasy, sedangkan komponen afektif meliputi aspek empathic concern dan aspek personal distress.

11 1. 4 Kegunaan Penelitian 1. 4. 1 Kegunaan Teoretis Memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan mengenai derajat empati mahasiswa perokok Fakultas Psikologi terhadap mahasiswa non perokok di Universitas X Kota Bandung ke dalam bidang ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Sosial. Memberikan masukan pada peneliti lain yang tertarik meneliti empati. 1. 4. 2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada Fakultas Psikologi Universitas X Kota Bandung mengenai derajat empati mahasiswa perokok Fakultas Psikologi terhadap mahasiswa non perokok di Universitas X Kota Bandung sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun kegiatan/program dalam menyukseskan lingkungan bebas asap rokok di Universitas X Kota Bandung. 1.5 Kerangka Pemikiran Pada umumnya seseorang memasuki perguruan tinggi atau menyandang status mahasiswa saat berusia sekitar 18-20 tahun. Usia akhir belasan tahun hingga akhir 20 tahunan dapat dikategorikan sebagai dewasa awal dan berakhir di usia 30 tahunan (Santrock, 2002). Salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah perkembangan sosioemosional, khususnya temperamen. Temperamen digambarkan sebagai suatu cara berperilaku dari mahasiswa dan karakteristik respon emosional. Temperamen terdiri dari salah satu bentuk emotionality dan

12 kemampuan mengendalikan suatu reaksi emosi pada mahasiswa perokok adalah empati (Caspi, 1998, dalam Santrock, 2002). Empati merupakan reaksi-reaksi mahasiswa perokok pada saat melihat situasi mahasiswa non perokok yang terlihat (Davis, 1996). Dikaitkan dengan fenomena mengenai perilaku merokok mahasiswa, empati merupakan suatu reaksi dari mahasiswa perokok pada saat melihat situasi mahasiswa non perokok yang terkena dampak dari asap rokok. Menurut Davis (1996), ada dua hal yang dapat memengaruhi proses empati pada diri seseorang, yaitu individu dan situasi. Pertama, individu secara khusus dapat diartikan sebagai mahasiswa perokok. Kriteria mahasiswa perokok adalah yang telah merokok selama satu tahun minimal satu batang rokok perhari (WHO, 1998). Karakteristik mahasiswa perokok akan memengaruhi processes dan outcome dari empati. Karakteristik tersebut meliputi kecerdasan dalam mengambil peran sebagai mahasiswa perokok, riwayat pembelajaran sebelumnya termasuk sosialisasi nilai-nilai yang terkait dengan empati dan memahami pandangan-pandangan mahasiswa non perokok. Karakteristik yang paling penting adalah perbedaan antar mahasiswa perokok secara natural cenderung untuk berempati terhadap situasi yang dihadapi. Kedua, situasi respon mahasiswa perokok terhadap mahasiswa non perokok, baik kognitif maupun afektif, muncul dari berbagai situasi spesifik dan bervariasi dalam waktu tertentu. Terdapat dua kondisi, yaitu intensitas situasi, terkait dengan reaksi afektif dan derajat kesamaan antara mahasiswa perokok dengan mahasiswa non perokok. Tampilan yang kuat dari emosi negatif, terutama pada mahasiswa non perokok yang benar-benar lemah atau tak berdaya, dapat

13 menimbulkan respon empati mahasiswa perokok yang sangat kuat dalam menghadapi situasi tersebut. Sebagai contoh, seorang mahasiswa non perokok sedang berkumpul bersama dengan mahasiswa yang lebih senior dimana mayoritas adalah mahasiswa perokok. Ketika mahasiswa non perokok tidak bisa bertindak apa-apa, sehingga akan memunculkan rasa kasihan yang muncul pada diri mahasiswa perokok yang dapat menimbulkan empati terhadap mahasiswa non perokok. Kekuatan situasi sangat memengaruhi mahasiswa perokok untuk berempati. Untuk mendapatkan derajat empati pada mahasiswa perokok terhadap mahasiswa non perokok, maka digunakan skala empati. Berdasarkan skala empati yang dibuat Davis (1996) secara global, ada dua komponen dalam empati, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif yang masing-masing mempunyai dua aspek, yaitu komponen kognitif terdiri dari aspek perspective taking dan aspek fantasy, sedangkan komponen afektif meliputi aspek empathic concern dan aspek personal distress. Komponen kognitif dalam empati mahasiswa perokok difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif mahasiswa non perokok dengan tepat. Mahasiswa perokok diharapkan dapat membedakan emosi mahasiswa non perokok dan menerima pandangan mereka. Secara khusus dapat dilihat melalui aspek perspective taking dan aspek fantasy. Aspek perspective taking terjadi ketika mahasiswa perokok cenderung untuk memahami pandangan-pandangan mahasiswa non perokok. Hal ini membuat mahasiswa perokok menjadi nonegosentrik, yaitu memiliki kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan

14 sendiri, tetapi pada kepentingan mahasiswa non perokok. Bentuknya adalah mahasiswa perokok mencari tempat yang cukup jauh dari mahasiswa non perokok ketika ingin merokok. Aspek berikutnya dari komponen kognitif adalah fantasy. Fantasy merupakan kecenderungan mahasiswa perokok membayangkan dirinya ke dalam perasaan, perilaku pada situasi yang tidak nyata terjadi (fiktif), seperti meniru perilaku tokoh yang diidolakan. Misalnya, mahasiswa yang mengidolakan seorang dosen favorit di kampus, walaupun dosen tersebut merupakan seorang perokok berat, namun dosen tersebut dapat memberikan contoh perilaku yang baik bagi mahasiswanya. Ketika dosen tersebut merokok dia tidak akan merokok di kawasan bebas asap rokok dan di lingkungan non perokok. Perilaku tersebut akan ditiru oleh mahasiswa perokok yang mengidolakannya, sehingga mahasiswa perokok tidak akan merokok di lingkungan mahasiswa non perokok. Adapun komponen afektif merupakan kecenderungan mahasiswa perokok untuk mengalami perasaan emosional mahasiswa non perokok. Komponen afektif dapat dilihat dari aspek empathic concern dan aspek personal distress. Empathic concern merupakan perasaan simpatik mahasiswa perokok berorientasi pada apa yang dialami mahasiswa non perokok, sehingga muncul rasa iba terhadap penderitaan mahasiswa non perokok. Hal ini membuat mahasiswa perokok akan memunculkan rasa perhatian saat melihat non perokok terganggu dengan asap rokok, mengiritasi mata atau terbatuk-batuk dan memiliki keinginan untuk mematikan rokok dengan tujuan mengurangi ketidaknyamanan yang dialami mahasiswa non perokok.

15 Aspek berikutnya dari komponen afektif adalah personal distress. Personal distress merupakan reaksi emosional mahasiswa perokok yang merasa tidak nyaman melihat kondisi penderitaan yang dialami mahasiswa non perokok karena terganggu asap rokok. Hal ini ditekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri, serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Mahasiswa perokok mengetahui dampak negatif dari asap rokok terhadap mahasiswa non perokok. Menimbang hal tersebut, akan muncul perasaan tidak nyaman pada diri mahasiswa perokok karena merasa telah berperan sebagai penyebab ketidaknyamanan yang dirasakan oleh mahasiswa non perokok. Iritasi mata, sesak nafas, hingga resiko mengalami penyakit yang sama dengan mahasiswa perokok. Hal ini membuat mahasiswa perokok berusaha mengurangi atau bahkan tidak merokok di sekitar mahasiswa non perokok untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Mahasiswa perokok dapat memiliki derajat empati yang tinggi atau rendah, sejalan dengan tinggi rendahnya setiap komponen dan aspek empati di dalam diri setiap individu (Davis, 1996). Mahasiswa perokok yang mempunyai kemampuan berempati yang tinggi, salah satunya dipengaruhi oleh kapasitas intelektual untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh mahasiswa non perokok pada saat terpapar asap rokok, atau kemampuan untuk memahami apa yang terjadi pada mahasiswa non perokok saat terpapar asap rokok. Derajat empati yang rendah apabila perilaku menolong yang ditampilkan mahasiswa perokok tidak muncul terhadap mahasiswa non perokok, perilaku agresi lebih sering dimunculkan mahasiswa perokok.

16 Antecendent 1. Individu - Riwayat pembelajaran 2. Situasi - Kekuatan situasi - Tingkat persamaan observer & target Mahasiswa Perokok Fakultas Psikologi Universitas X Kota Bandung EMPATI Komponen Afektif Aspek empathic concern Aspek personal distress Komponen Kognitif Aspek perspective taking Aspek fantasy Tinggi Rendah Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran 1.6 Asumsi Mahasiswa perokok Fakultas Psikologi di Universitas X Kota Bandung memiliki empati dengan derajat yang berbeda-beda berdasarkan derajat komponen kognitif yang terdiri dari aspek perspective taking dan aspek fantasy, serta komponen afektif meliputi aspek empathic concern dan aspek personal distress yang berbeda pula. Perbedaan mengenai derajat empati mahasiswa perokok Fakultas Psikologi di Universitas X Kota Bandung dipengaruhi oleh individu dan situasi.