BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Teori Pasut Laut

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB III 3. METODOLOGI

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

Pertemuan 3. Penentuan posisi titik horizontal dan vertikal

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

BAB 3 METODOLOGI. Gambar 3.1 Foto stasiun pengamatan pasut di Kecamatan Muara Gembong

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

Home : tedyagungc.wordpress.com

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

Tata cara penentuan posisi titik perum menggunakan alat sipat ruang

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Geodesi dan Keterkaitannya dengan Geospasial

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BENTUK BUMI DAN BIDANG REFERENSI

BAB 2 TEORI DASAR. 2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Kota Semarang berada pada koordinat LS s.d LS dan

BAB IV PENGOLAHAN DATA

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

Jika sebuah sistem berosilasi dengan simpangan maksimum (amplitudo) A, memiliki total energi sistem yang tetap yaitu

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (

BAB II LANDASAN TEORI SUNGAI DAN PASANG SURUT

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

2 BAB II LANDASAN TEORI DAN DATA

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks kondisi yang sangat

Kuliah ke-2 Pengukuran Gelombang

TEST KEMAMPUAN DASAR FISIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

Membandingkan Hasil Pengukuran Beda Tinggi dari Hasil Survei GPS dan Sipat Datar

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

GPS vs Terestris (1)

Sipat datar / Levelling/ Waterpassing

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

Pengujian Ketelitian Hasil Pengamatan Pasang Surut dengan Sensor Ultrasonik (Studi Kasus: Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap)

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

LATIHAN SOAL MENJELANG UJIAN TENGAH SEMESTER STAF PENGAJAR FISIKA TPB

TEORI SIPAT DATAR (LEVELLING)

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dievaluasi, sistem ini menggunakan sistem komunikasi (Carden, et al,

Oleh : Kunjaya TPOA, Kunjaya 2014

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

Datum dan Ellipsoida Referensi

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasang Surut Laut Pasut laut adalah perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya yang diakibatkan aksi gravitasi benda-benda angkasa dan luar materi itu berada. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]: a. Pasut laut terjadi karena massa bulan menghasilkan gaya tarik gravitasi terhadap air laut dan menarik air laut tersebut ke arah kedudukan bulan yang diimbangi oleh gaya tarik bumi terhadap air laut. b. Pasut laut dihasilkan oleh rotasi bumi serta revolusinya mengelilingi matahari. Gerakan tersebut kemudian menghasilkan gerakan air laut yang akan dimodifikasi oleh air laut. c. Pasut laut terjadi akibat adanya medan gaya di permukaan bumi yang dibangkitkan oleh bulan dan matahari. Arah dan bedanya gaya berubah-ubah secara periodik tergantung kepada posisi kedua benda langit tersebut terhadap bumi. Selanjutnya gaya-gaya tersebut merupakan gaya yang membangkitkan pasut laut atau biasa disebut gaya pembangkit pasut. d. Pasut laut merupakan naik turunnya permukaan air laut secara periodik sebagai akibat adanya gaya tarik menarik antara bumi, bulan dan matahari. 2.1.1 Pengamatan Pasut Tujuan dari pengamatan pasut adalah untuk mencatat atau merekam gerakan vertikal permukaan air laut yang terjadi secara periodik, yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara bumi dengan benda-benda angkasa terutama bulan dan matahari. Untuk mendapatkan informasi pasang surutnya air laut diperlukan suatu pengamatan di mana diperlukan adanya peralatan pengamatan pasut yang disebut stasiun pengamatan pasut, yang perlu memperhatikan hal-hal: 5

a. Lokasi yang mudah dijangkau dan struktur bangunannya kokoh. b. Ditempatkan di lokasi yang mudah diamati dalam berbagai cuaca. c. Lokasi stasiun pasut hendaknya sedekat mungkin dengan benchmark atau titik referensi yang ada. d. Lokasi stasiun pasut hendaknya ditempatkan di lokasi yang mewakili keadaan karakteristik daerah tersebut. e. Kondisi air laut sebaiknya bersih untuk memudahkan pengamatan. Peralatan yang digunakan dalam pengamatan pasut: 1. Alat Pengamat Pasut Sederhana Palem (Tide Pole) Merupakan alat sederhana yang terbuat dari kayu dengan ukuran panjang sekitar 3-5 meter, lebar 5-15 cm sedangkan tebalnya 1-4 cm. Alat ukur ini mirip seperti rambu ukur di mana mempunyai skala bacaan dalam satuan decimeter (Gambar 2.1). Agar ukuran pengamatan air laut benar, maka pemasangan palem harus tegak lurus dengan permukaan air laut. Selain terbuat dari kayu, palem pasut juga dapat dibuat dari pelat tipis atau pita plastik. Pemasangan palem pasut sebaiknya memperhatikan hal-hal yang mempengaruhi kualitas data pengamatan pasut. Pemasangan palem harus kokoh, tidak berubah naik turun. Selain itu lokasi diusahakan agar tidak terganggu oleh kapal yang lewat atau benda terapung lainnya. Gambar 2.1 Alat Pengamat Pasut dengan Pemberat [Djunarsjah, 2005] 6

Gambar 2.2 Alat Pengamat Pasut dengan Pengapung (Djunarsjah, 2005) Cara yang paling sederhana untuk mengamati pasut dilakukan dengan palem (Gambar 2.1 dan 2.2). Tinggi muka air setiap jam diamati secara manual oleh operator (pencatat) dan dicatat pada suatu formulir pengamatan pasut. Pencatat akan menuliskan kedudukan tinggi muka air laut relatif terhadap palem pada jam-jam tertentu sesuai dengan skala bacaan yang tertulis pada palem. Muka air laut yang relatif tidak tenang membatasi kemampuan pencatatan dalam menaksir bacaan skala. Walaupun demikian, cara ini cukup efektif untuk memperoleh data pasut dengan ketelitian hingga sekitar 2,5 cm. [Poerbandono & Djunarsjah, 2005] 2. Alat Pengamat Pasut Otomatik (Tide Gauge) a. Jenis pelampung (float tide tide gauge) Alat sensor berupa pelampung yang dihubungkan oleh katrol menuju alat perekam (Gambar 2.3). Perubahan tinggi air laut dapat tercatat pada alat perekam dengan mengikuti perubahan naik turunnya pelampung yang akan menggerakkan jarum pencatat pada alat perekam. 7

Gambar 2.3 Alat Pengamat Pasut Tipe Pelampung [Djunarsjah, 2005] b. Jenis tekanan (pressure type tide gauge) Tipe ini menggunakan tekanan air di atas suatu unit yang berubah-ubah akibat besar kecilnya lapisan air di atas unit sensor tersebut sesuai gerakan turun naiknya permukaan laut. Perubahan tekanan ini diteruskan ke unit recorder melalui selang udara yang biasanya terbuat dari karet atau plastik (Gambar 2.4). Gambar 2.4 Alat Pengamat Pasut Tipe Tekanan [Djunarsjah, 2005] 8

2.1.2 Analisis dan Prediksi Pasut Metode harmonik pasut banyak digunakan dalam menganalisis data pasut. Metode ini memiliki hipotesis bahwa pasut yang dialami merupakan penjumlahan dari beberapa komponen gelombang yang memiliki amplitudo dan frekuensi tertentu. Analisis pasut bertujuan untuk mendapatkan amplitudo dan beda fase komponen-komponen pasut dengan cara melakukan pengamatan pasut pada selang dan periode waktu tertentu. Tujuan utama pengamatan pasut selain untuk menentukan nilai MSL dan Chart Datum juga untuk dapat memprediksi pasut laut di suatu tempat. Salah satu metode prediksi pasut yaitu dengan menggunakan data analisis harmonik metode kuadrat terkecil. Metode kuadrat terkecil memiliki prinsip bahwa nilai dari kuadrat kesalahan mempunyai nilai yang minimum. Dalam hitung perataan kuadrat terkecil terdapat beberapa metode hitungan yang dapat digunakan, diantaranya adalah perataan parameter, perataan bersyarat, perataan kombinasi, perataan parameter bertahap, perataan bersyarat bertahap dan perataan kombinasi bertahap. Dasar analisis pasut ini dimaksudkan untuk mendapatkan komponen pasut dengan menghitung besaran amplitudo dan fase dari masing-masing komponen pasut serta permukaan laut rata-rata. Besaran tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan komponen pasut manakah yang paling dominan dalam menentukan tinggi muka laut. Adapun fungsi harmonik pasut adalah sebagai berikut ini : dengan : C 0 a j ω j m h( ti ) = C + a f cos( ω t + v 0 j j j i j j j= 1 g )...(2.2) = tinggi rata-rata permukaan air diatas datum yang digunakan = konstanta amplitudo = rata-rata perubahan pada fase disebut konstanta pokok kecepatan g j = fase awal konstanta pasang surut (saat t = 0) h ( t i ) = tinggi permukaan air laut (saat t = i) f j dan v j = argumen astronomis 9

2.2 Pengikatan Stasiun Pasut ke BM Pasut 2.2.1 Pendefinisian Datum Dalam praktek penentuan posisi, sistem-sistem referensi hitungan mempunyai peranan yang sangat penting untuk melakukan hitungan serta merekam titik-titik di atas permukaan bumi, sehingga titik-titik tersebut dapat direkonstruksi kembali untuk berbagai keperluan, baik praktis maupun ilmiah. Karena begitu pentingnya masalah sistem referensi hitungan dalam penentuan posisi, maka sebelum membahas ke bab selanjutnya terlebih dulu dalam subbab ini akan diterangkan masalah-masalah dari datum geodetik. Tentang definisi dari datum geodetik, ada dua definisi yang perlu dikemukakan, yaitu definisi dulu (sebelum era satelit) dengan definisi modern (era satelit). Adapun definisidefinisi tersebut adalah : Datum geodetik adalah titik asal dari sistem perhitungan dan permukaan tempat dilakukannya perhitungan-perhitungan Datum geodetik adalah himpunan parameter-parameter yang menggambarkan hubungan antara elllipsoid lokal dan sistem referensi geodetik global. Berikut ini beberapa datum dalam geodesi : 2.2.1.1 Datum Vertikal a. Geoid Geoid adalah salah satu bidang equipotensial yang merepresentasikan bentuk bumi. Bidang ini dianggap berimpit dengan permukaan laut rata-rata. Karena distribusi massa bumi yang tidak merata sehingga bentuk geoid menjadi tidak teratur. Sedangkan ellipsoid yaitu bidang referensi yang ditetapkan secara matematis dengan dimensi massa tertentu dan bentuk yang teratur. Maka ada perbedaan dari geoid terhadap ellipsoid yang disebut sebagai undulasi geoid (besaran vektor) dan defleksi vertikal (arah vektor). 10

Titik-titik di permukaan bumi mempunyai arah gaya berat berlainan dan potensial gaya berat tertentu. Permukaan yang merupakan tempat kedudukan titik-titik yang mempunyai potensial gaya berat sama besar disebut bidang nivo atau bidang ekuipotensial. Geoid adalah salah satu bidang ekuipotensial diantara bidang ekuipotensial lainnya yang melingkupi bumi. Geoid merupakan permukaan acuan bagi pengukuran gaya berat dan sistem referensi tinggi. Bentuk dari geoid ini tergantung dari distribusi massa bumi tidak teratur maka bentuk geoid pun menjadi tidak beraturan. Geoid merupakan pendekatan terbaik dari bentuk fisik bumi yaitu sekitar 72% dari permukaan terestrial. b. Mean Sea Level (MSL) MSL adalah permukaan yang didefinisikan sebagai hasil rata-rata tinggi permukaan laut setiap saat. Stasiun pasang surut adalah sumber informasi dari data tinggi permukaan laut setiap saat. Di stasiun pasut dicatat saat air naik (pasang) dan turun (surut) dan air laut yang kemudian diolah sehingga diperoleh nilai MSL yang menyatakan posisi MSL. Pada satu titik pengamatan diperlukan interval waktu antara 1-19 tahun untuk menghasilkan MSL lokal. MSL bukan merupakan bidang ekuipotensial. Bidang tersebut hanya menyebabkan adanya arus yang mengalir dari satu bidang ekuipotensial ke bidang ekuipotensial yang lain. Umumnya geoid dikatakan mempunyai lokasi fisik yang sama dengan permukaan laut rata-rata global di mana pasang surut, keadaan atmosfir dan pengaruh arus tidak ada atau disebut juga sebagai permukaan laut rata-rata dalam keadaan tenang. Selisih antara geoid dan MSL adalah SST (Sea Surface Toppography). c. Chart Datum Chart datum atau bidang referensi kedalaman merupakan bidang referensi yang ditentukan setelah mengetahui data-data yang diamati pada saat pengamatan pasut muka air laut. Asumsi bahwa muka laut antar stasiun pasut merupakan bidang datar atau penggunaan data pengamatan yang pendek secara sendiri-sendiri untuk penentuan datum tertentu, menyebabkan kesalahan datum lokal perlu diperhitungkan. Kesalahan datum vertikal akan membawa dampak yang besar dalam penetapan batas laut, terutama untuk kemiringan pantai yang landai. 11

International Hydrographic Organization (IHO) merekomendasikan bahwa Lowest Astronomical Tide (LAT) sebagai internasional Chart Datum. LAT digambarkan sebagai tingkatan pasang yang paling rendah yang dapat di prediksi pada setiap kombinasi kondisi-kondisi astronomi. d. Elipsoid Referensi Pada distribusi massa bumi yang teratur akan membentuk bidang ekuipotensial gaya berat yang teratur pula, yaitu elipsoid yang berputar pada sumbu pendeknya. Bidang elipsoid ditentukan sebagai bidang referensi hitungan yang tidak dapat dilakukan terhadap bidang geoid karena bentuknya tidak teratur. Bidang elipsoid yang dipilih harus elipsoid yang paling sesuai dengan bentuk geoid yang melingkupi permukaan bumi pada suatu daerah. Untuk menentukan bentuk elipsoid yang paling sesuai (elipsiod referensi) adalah jika penyimpangan dari undulasi geoid paling minimum. Elipsoid referensi merupakan bidang acuan bagi koordinat titik tiga dimensi. Tinggi di atas elipsoid dihitung sepanjang garis normal yang melalui titik bersangkutan atau disebut juga sebagai tinggi geometrik. Untuk saat ini bentuk elipsoid yang paling sesuai dengan bentuk geoid bumi adalah World Geodetic System 1984 (WGS 84). WGS dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dari seluruh titik-titik di mana titik pusat sistem berimpit dengan pusat massa bumi. 2.2.2 Penentuan Tinggi Orthometrik Dengan Levelling Dalam praktek selisih bacaan rambu belakang dengan bacaan rambu muka pada pengukuran sipat datar menghasilkan beda tinggi. Hal ini adalah benar sepanjang garis bidik (mendatar) sejajar dengan bidang nivo yang melalui masing-masing titik yang diukur. Dalam geodesi (fisik) definisi beda tinggi adalah jarak antara dua bidang nivo. Pada kenyataannya menunjukkan bahwa secara global bidang-bidang nivo tidak saling sejajar, sebab percepatan gaya berat (g) akan makin besar apabila lintang (φ) makin besar pula. Dengan demikian apabila dikembalikan kepada definisi tersebut, pengukuran dengan sipat datar tidak memberikan arti geometrik sebagai beda tinggi antara dua bidang nivo. Dengan demikian agar pengukuran sipat datar mempunyai kontrol artinya mempunyai syarat geometrik yang benar, perlu dilengkapi dengan pengukuran gaya berat. Ukuran tambahan ini juga akan memberikan pengertian tentang sistem tinggi. 12

2.3 Pengukuran Kedalaman ( Pemeruman ) Kedalaman laut adalah jarak antara dasar laut pada suatu tempat terhadap permukaan lautnya. Kedalaman laut ini dapat dibagi menjadi beberapa jenis, seperti kedalaman ukuran yaitu kedalaman yang didapat dari bacaan alat ukur; kedalaman lainnya adalah kedalaman peta, yaitu kedalaman dasar laut suatu tempat terhadap chart datumnya. Pengukuran kedalaman laut dapat dilakukan dengan beberapa cara, metoda yang paling sederhana adalah cara mekanis dengan menggunakan galah atau tali ukur, sedangkan yang sangat canggih adalah dengan menggunakan sinar laser yang dipancarkan dari pesawat terbang. Namun cara yang sering digunakan adalah metoda perum gema (echosounder). 2.3.1 Cara Mekanis. Cara yang paling sederhana dalam mengukur kedalaman laut adalah dengan menggunakan galah berskala, dengan membaca kedudukan muka laut pada skala galah maka kedalaman bacaan didapat. Namun cara ini sangat berkaitan dengan panjang galah, semakin panjang galah maka semakin banyak masalah didapat dalam pengukuran. Maka untuk lebih memudahkan pengukuran galah diganti dengan pita ukur berskala dengan pemberat diujungnya dikenal dengan sebutan lot, seperti terlihat pada Gambar 2.5. Dengan cara ini pengukuran dapat dilakukan lebih dalam lagi namun masalah baru timbul diantaranya bila pemberat cukup ringan maka pita akan mudah dipengaruhi kedudukannya oleh arus laut sehingga bentangan pita akan melengkung, sedangkan bila pemberat cukup berat maka pita akan meregang sehingga kedalaman bacaan akan lebih kecil dari yang seharusnya. Gambar 2.5 Pengukuran Kedalaman Cara Mekanis 13

Pada kedua cara mekanis tersebut diatas data yang didapat terbatas pada tempat atau posisi alat tersebut diturunkan, sedangkan diantara dua tempat yang berurutan tidak diketahui atau diasumsikan mempunyai kedalaman diantara kedua kedalaman pada sisinya, sehingga untuk mendapatkan ukuran yang lebih baik Interval jarak antara dua kedalaman dirapatkan namun berakibat waktu yang dibutuhkan untuk mengukur lebih lama. Sekalipun demikian cara tersebut diatas tidak berarti tidak dapat digunakan pada masa kini, cara tersebut masih dapat digunakan dalam beberapa kondisi yaitu : a. Daerah yang diukur mempunyai kelandaian rendah yang mempunyai permukaan relatif rata. b. Pengukuran diikuti dengan penyapuan kedalaman walaupun dilakukan dengan cara yang juga sederhana ( Dragging ) untuk memeriksa dasar laut dari kedalalaman yang lebih kecil dari batas tertentu, seperti gosong-gosong pada kedalaman sampai 10 meter. c. Pengukuran yang dilakukan untuk memeriksa secara acak pada daerah hasil ukuran yang akan disetujui. 2.3.2 Perum Gema Cara ini menggunakan gelombang suara yang dipancarkan oleh transducer pemancar pada permukaan laut kemudian dipantulkan oleh dasar laut dan diterima kembali oleh transducer penerima, transducer pemancar dan penerima dapat terletak pada tempat yang terpisah ataupun yang relatif sama. Gelombang udara tersebut yang dikemas dalam bentuk pulsa-pulsa menjalar pada medium air laut dengan kecepatan kurang lebih 1500 m perdetik dengan panjang lintasannya dua kali kedalaman air laut yang dilaluinya. Gambar 2.6 Alat Perum Gema ( Echosounder ) 14

Pada alat ukur echosounder (Gambar 2.10) faktor ΔT diukur pada sistem pada alat sedangkan faktor C merupakan besaran konstanta yang menyatakan kecepatan standar yang digunakan pada alat tersebut. Pada kenyataannya nilai C tersebut perlu diberikan koreksi yang bergantung kepada sifat fisik medium yang dilalui gelombang suara, masing - masing memberikan andil dalam penentuan ketelitian kedalaman ukuran. Pada beberapa alat ΔT tidak diukur secara langsung akan tetapi dimanipulasikan dari gerakan stillus ( kawat pembakar ). Dengan penandaan saat gelombang dipancarkan dan diterima pada kertas grafik sepanjang lintasan kawat stilus, maka kedalaman ukuran dapat ditentukan dari jarak anaara kedua tanda tersebut. Sedangkan nilai C manipulasikan sebagai kecepatan lintasan pita stillus. Kedalaman ukuran digambarkan pada kertas grafik ( echogram ), seperti terlihat pada Gambar 2.7, garis jarak antara garis nol ( Zerro line ) dengan garis kedalaman, atau dapat juga ditampilkan dalam bentuk angka. Beberapa alat telah menyediakan garis-garis skala kedalaman pada kertas grafiknya, sedangkan yang lainnya hanya berupa kertas polos/blanko saja. Selain dari pada gambar grafik hasil rekaman alat maka pada kertas grafik tersebut dapat juga dituliskan catatan yang diperlukan pada saat pengukuran, seperti tanggal, waktu, nomor lajur atau fix perum, dsb. Pada waktu atau tempat tertentu pada grafik dapat diberikan tanda garis fix untuk memberikan tanda pada posisi atau kedalaman tersebut dilakukan pengukuran posisinya atau hal lainnya yang dianggap penting. 15

Garis Nol Draft Transducer Grafik Kedalaman Angka Garis Kedalaman Garis Kalibrasi Garis & Nomor Fix Gambar 2.7 Kertas Grafik ( Echogram ) 2.4 Penentuan Posisi di Laut Dengan GPS Survei untuk penenentuan posisi dari suatu jaringan titik di permukaan bumi dapat dilakukan secara terestris maupun ekstra terestris, penentuan posisi titik-titik dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap target atau obyek yang terletak di permukaan bumi. Dalam metode penentuan posisi titik secara ekstra terestris, dilakukan dengan melakukan pengamatan atau pengukuran terhadap benda atau obyek di angkasa, baik berupa benda-benda, seperti bintang, bulan, dan quasar, maupun terhadap benda atau obyek buatan manusia seperti satelit. Dari beberapa metode dan penentuan posisi secara ekstra terestris, GPS ( Global Positioning System ) adalah sistem yang saat ini paling banyak digunakan untuk keperluan survei penentuan posisi, termasuk penentuan posisi di laut. Karena ada beberapa hal yang menjadikan survei menggunakan GPS lebih banyak dimanfaatkan, yaitu : 16

a. b. c. d. Pada survei GPS tidak diperlukan saling keterlihatan antartitik seperti halnya pada survei terestris, yang diperlukan adalah saling keterlihatan antara titik dengan satelit GPS. Karena tidak memerlukan saling keterlihatan antar titik, maka titik-titikk dalam jaringan GPS bisa mempunyai spasi jarak yang relatif jauh sampai puluhan maupun ribuan km. Pelaksanaann survei GPS dapat dilakukan siang maupun malam hari serta dalam segala kondisi cuaca. Pada survei GPS koordinat titik-titik ditentukan dalam tiga dimensi (posisi horisontal dan vertikal). 2.4.1 Prinsip Penentuann Posisi di Laut dengan GPS Padaa dasarnya konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi ( pengikatan ke belakang ) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Secara vektor, prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS diperlihatkan pada Gambar 2.8. Dalam hal ini parameter yang akan ditentukan adalah vektor posisi geosentrik pengamat (R). Untuk itu karena vektor posisi geosentrik satelit GPS (r) telah diketahui maka yang perlu ditentukan adalah vektor posisi toposentris satelit terhadap pengamat (ρ). Gambar 2.8 Prinsip Dasar Penentuan Posisi Dengan GPS (Pendekatan Vektor) 17

Padaa pengamatan dengan GPS, yang bisa diukur hanyalah jarak antar pengamat dengan satelit dan bukan vektor-nya. Oleh sebab itu rumus yang tercantum pada gambar 2.8 tidak dapat diterapkan. Untuk mengatasi hal ini, penentuan posisi pengamat dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap beberapa satelit sekaligus secara simultan, dan tidak hanya terhadap satu satelit, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.9. Padaa operasionalisasi, prinsip penentuan posisi dasar dengan GPS, berdasarkan pada mekanisme pengaplikasiannya dapat diklasifikasikan atas beberapa metode penentuan posisi, yang akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab berikutnya. ρ 1 ρ 2 Satelit GPS ρ 3 ρ 4 Pusat Bumi Gambar 2.9 Prinsip Dasar Penentuan Posisi Dengan GPS Posisi yang diberikan oleh GPS adalah posisi tiga dimensi (X, Y, Z ataupun φ, λ, h) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) 1984. Dengan GPS, titik yang akan ditentukann posisinya dapat diam (static positioning) ataupun bergerak (kinematic positioning). Posisi titik dapat ditentukan dengan menggunakan satu receiver GPS terhadap pusat bumi dengan menggunakan metode penentuan posisi absolut, ataupun terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatny ya (stasiun referensi) dengan menggunakan metode diferensial (relatif) yang menggunakan n minimal dua receiverr GPS. Di samping itu, GPS dapat memberikan posisi secara instan (real time) ataupun sesudah pengamatan setelah data pengamatannya diproses secara lebih ekstensif (post processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik. 18

2.4.2 Metode Penentuan Posisi Dalam pengukuran dengan GPS dikenal beberapa metode penentuan posisi dan secara umum dapat dibagi sebagai berikut Metode Absolut Metode Relatif Statik Kinematik Secara umum posisi dapat ditentukan dengan mengacu pada : a. Suatu sistem koordinat yang tetap yang didefinisikan dengan baik, yaitu yang diorientasikan, biasanya ke pusat massa bumi, disebut sebagai Penentuan Posisi Absolut ; atau b. Ke titik lainnya, yaitu dengan menempatkan satu titik di bumi sebagai titik asal suatu sistem koordinat lokal, disebut sebagai Penentuan Posisi Relatif. Namun di dalam penentuan posisi dengan metode-metode tersebut dikenal dua besaran pengukuran atau pengamatan dengan GPS, yaitu pengukuran pseudorange dan pengukuran fase. Kedua metode tersebut dapat digunakan untuk penentuan posisi absolut (point positioning), juga penentuan posisi relatif (differential positioning). 2.4.2.1 Penentuan Posisi Absolut Penentuan posisi secara absolut (absolute positioning) merupakan metode yang paling mendasar dari GPS [Abidin, 2000]. Dalam metode ini hanya diperlukan satu receiver GPS dan yang umum digunakan pada metode ini adalah GPS tipe navigasi (handheld). Pada penentuan posisi secara absolut pada suatu epok dengan menggunakan data pseudorange, ada empat parameter yang harus ditentukan yaitu parameter koordinat (X,Y,Z atau φ, λ, h) dan parameter kesalahan jam receiver GPS. Oleh sebab itu pada penentuan posisi secara absolut pada suatu epok dengan menggunakan data pseudorange diperlukan minimal pengamatan jarak ke empat buah satelit. 19

1 2 3 4 receiver Gambar 2.10 Penentuan Posisi dengan Metode Pseudorange 2.4.2.2 Penentuan Posisi Relatif Yang dimaksudd dengan penentuan posisi relatif adalah penentuan posisi suatu titik dengan menentukan besarnya beda koordinat antara titik yang diketahui koordinatnya (titik tetap) terhadap titik lain yang akan ditentukan koordinatnya, atau dengan perkataan lain di dalam pengamatannyaa salah satu alat penerima (receiver) ditempatkan pada titik yang telah diketahui koordinatnya atau titik yang dianggap sebagai titik referensi dan alat penerima lainnya ditempatkan pada titik lain yang akan ditentukan posisinya. Tujuan penentuan posisi relatif adalah menentukan vektor jarak antara kedua receiver tersebut. Jika kedua receiver masing-masing diletakkan di titik K dan titik U, dimana titik K koordinatnyaa telah diketahui dan titik U tidak diketahui, posisi titik U ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :...(2.3) Dimana vektor pengamatan 20

Penentuan posisi relatif efektif jika pengamatan dilakukan secara simultan di kedua titik pengamatan, yaitu di titik yang diketahui dan tidak diketahui posisinya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengamatan dengan besar kesalahan yang sama di kedua titik tersebut, sehingga bila diselisihkan akan diperoleh posisi relatif yang bebas kesalahan, terutama kesalahan akibat ionosfer dan troposfer. Penentuan koreksi diferensial pada pengamatan pseudorange dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu DGPS (Differential Global Positioning System) dan ACS (Active Control System). Dalam subbab selanjutnya akan dibahas tentang penentuan posisi menggunakan metode DGPS. 2.3.2.3 Metode Penentuan Posisi dengan Sistem DGPS Penentuan posisi kinematik dimaksudkan sebagai penentuan posisi suatu titik dimana titik yang akan ditentukan posisinya bergerak. Penentuan posisi titik yang bergerak ini dapat dilakukan dengan metode pengamatan relatif (point positioning) ataupun dengan metode pengamatan relatif (differential positioning), dengan besaran pengamatan menggunakan pseudorange atau beda fase (carrier phase). Hasil penentuan posisinya bisa didapatkan atau diperlukan pada saat pengamatan (real time) ataupun sesudah pengamatan (post processing). Pada pelaksanaan penentuan posisi di laut, metode penentuan posisi kinematik yang digunakan adalah sistem DGPS (differential GPS). Pada metode pengamatan dengan DGPS dibutuhkan minimum dua receiver GPS yaitu di stasiun acuan dan lainnya di stasiun pemakai. Stasiun acuan adalah stasiun yang telah diketahui koordinatnya sedangkan stasiun pengamat adalah stasiun pengamat yang akan ditentukan posisinya dengan DGPS. Stasiun Acuan di titik yang telah diketahui posisinya mengukur jarak ke semua satelit GPS yang dapat teramati. Dari hasil pengukuran data ephimeris dapat diperoleh jarak yang sebenarnya antara satelit GPS dengan stasiun acuan di darat. Perbedaan hasil ukuran dan hasil hitungan jarak diperoleh nilai koreksi jarak ke masing-masing satelit. Sistem DGPS ini dapat dilihat pada Gambar 2.11. 21

Gambar 2.11 Sistem DGPS Jika hasil koreksi jarak dari stasiun acuan dapat digunakan untuk koreksi jarak hasil pengukuran di stasiun pengamat (kapal laut), maka akan diperoleh data pengukuran yang telah dikoreksi. Atau dengan kata lain bisa menghapus kesalahan pengukuran jarak yang timbul di stasiun pemakai (kapal laut). Hal ini dimungkinkan apabila stasiun pemakai dan stasiun acuan mengamati kelompok satelit yang sama. Prinsip DGPS tersebut cocok digunakan untuk jarak antara stasiun pengamat dengan stasiun referensinya pendek. Dari pernyataan di atas sedikitnya tiga komponen sistem dalam teknik DGPS, yaitu : 1. Sistem DGPS stasiun acuan yang bertugas mengamati sinyal dari satelit GPS dan melakukan koreksi terhadap data hasil pengukuran. Sistem ini memiliki 4 bagian utama, yaitu receiver acuan, pembangkit koreksi diferensial, pembentuk format panduan koreksi diferensial, dan tampilan kontrol. 2. Sistem DGPS stasiun pemakai, yang bertugas mengamati sinyal satelit GPS dan melakukan koreksi data pengamatan dengan data koreksi yang diterima dari sistem DGPS stasiun acuan. 22

3. Sistem DGPS hubungan data, yang bertugas memancarkan sebagian atau seluruh data diferensial ke stasiun pemakai untuk pengolahan secara real time. Sistem ini terpisah di dua lokasi, satu di stasiun acuan dan lainnya di stasiun penerima. 2.3.2.4 Wide Area DGPS (WADGPS) WADGPS merupakan pengembangan dari DGPS. Sistem ini akan menghasilkan koreksi diferensial untuk wilayah yang lebih luas. Ide dasar dari pengembangan sistem ini adalah keterbatasan stasiun acuan lokal yang mempunyai ketergantungan antara koreksi diferensialnya dengan jarak antara stasiun acuan dan pemakai. Jaringan WADGPS terdiri dari satu stasiun master, beberapa stasiun acuan lokal, dan komunikasi data. Setiap stasiun acuan lokal dilengkapi dengan jam rubidum dan alat penerima GPS yang mampu melacak semua satelit yang terlihat. Data GPS yang diambil dari tiap stasiun acuan lokal dikirim ke stasiun master. Stasiun master mengestimasi parameter hambatan ionosfir, dan kesalahan jam dan ephemeris satelit, berdasar pada data posisi acuan yang sudah diketahui dan informasi yang dikumpulkan. Koreksi yang diperoleh kemudian dikirimkan ke pemakai menggunakan sistem komunikasi yang cocok, seperti satelit atau gelombang radio. Proses penghitungan koreksi dapat dilihat sebagai berikut : 1. Stasiun acuan lokal pada posisi yang sudah diketahui mengumpulkan data pseudorange GPS dari semua satelit yang terlihat. 2. Pseudorange dan ukuran hambatan ionosfir dikirim ke stasiun master. 3. Stasiun master menghitung koreksi. 4. Koreksi dikirimkan ke pemakai. 5. Pemakai menerapakan koreksi ke pseudorange amatan untuk meningkatkan ketelitian pemakaian. 23