BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

Kloramefenikol Cost Effectiveness Analisys And Seftriakson In The Treatment Of Typhoid Fever Patients In Inpatient RSUD.Abdul Moeloek In 2011

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

Laporan Pendahuluan Typhoid

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE 2008 SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

EVALUASI EKONOMI PADA PELAYANAN KESEHATAN

Rickettsia prowazekii

ABSTRAK PROFIL PEMBERIAN ANTIBIOTIK DAN PERBAIKAN KLINIS DEMAM PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Demikian juga tubuh manusia yang diciptakan dalam keadaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. PENGUMPULAN/PENYAJIAN DATA DASAR SECARA LENGKAP

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK MENGGUNAKAN KLORAMFENIKOL DAN SEFTRIAKSON DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN

III. METODE PENELITIAN. cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DINAS KESEHATAN PUSKESMAS LENEK Jln. Raya Mataram Lb. Lombok KM. 50 Desa Lenek Kec. Aikmel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

ANALISIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN 2009 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. besar di Indonesia bersifat sporadic endemic dan timbul sepanjang tahun. Kasus

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

Bacillius cereus siap meracuni nasi anda

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada dinding abdomen dan uterus. Sectio caesarea merupakan bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT R.A KARTINI JEPARA TAHUN 2009 SKRIPSI

SKRIPSI MARHAMAH K Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MACAM-MACAM PENYAKIT. Nama : Ardian Nugraheni ( C) Nifariani ( C)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN DEMAM TIFOID DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

ANALISIS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R.D

A. lisa Data B. Analisa Data. Analisa data yang dilakukan pada tanggal 18 April 2011 adalah sebagai. berikut:

BAB I PENDAHULUAN. daya alam di antaranya sumber daya alam hayati. Kondisi alamindonesia yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menyerang seperti typhoid fever. Typhoid fever ( typhus abdominalis, enteric fever ) adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari berbagai macam segi kehidupan, kesehatan merupakan harta terindah bagi setiap

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat.

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

dan menjadi dasar demi terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Demam Typhoid (typhoid fever) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN TEORI. infeksi systemic bersifat akut yang disebabkan oleh salmonella thyposa, ditandai oleh panas berkepanjangan (Sumarmo, 2002).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infeksi merupakan masalah terbanyak yang dihinggapi oleh negara yang

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB III METODE PENELITIAN

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

PEMERIKSAAN WIDAL SLIDE UNTUK DIAGNOSA DEMAM TIFOID. Agnes Sri Harti 1, Saptorini 2

BAB I PENDAHULUAN. radang usus besar yang disebabkan oleh kuman dari genus Shigella. (1)

TATALAKSANA MALARIA. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

BAB 1 PENDAHULUAN. Disentri basiler yang berat pada umumnya disebabkan oleh Shigella

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DIVERTICULITIS DIVERTICULITIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH RAWAT INAP DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008 SKRIPSI

SAKIT PERUT PADA ANAK

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Farmakoekonomi Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan (Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi (Vogenberg, 2001) Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama. Selain itu juga membandingkan pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa dijadikan informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan digunakan. Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro (Trisna, 2010). Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang terbatas, dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001). Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka sudah seyogyanya farmakoekonomi

dimanfaatkan dalam membantu membuat keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis (Trisna, 2010). 2.2 Metode Farmakoekonomi Ada empat jenis metode farmakoekonomi yang telah dikenal yaitu: No Metode Satuan Unit Satuan Hasil 1 Cost Minimization Analysis Mata Uang Hasil Yang Sama 2 Cest Effectiveness Analysis Mata Uang Natural Units 3 Cost Benefit Analysis Mata Uang Mata Uang 4 Cost Utility Analysis Mata Uang Kualitas Hidup a. Cost Minimization Analysis Cost Minimization Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh (Orion, 1997). Contoh dari analisis cost minimization adalah terapi dengan menggunakan antibiotika generik dan paten. Luaran klinik (efikasi dan efek sampingnya) sama. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001). b. Cost Effectiveness Analysis Cost effectiveness analysis merupakan salah satu cara untuk menilai dan memilih program terbaik bila terdapat beberapa program berbeda dengan tujuan yang sama untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih adalah berdasarkan total biaya dari masing-masing alternatif program

sehingga program yang mempunyai total biaya terendahlah yang akan dipilih oleh para analis/pengambil keputusan (Tjiptoherijanto, 1994). Cost effectiveness analysis merupakan metode yang paling sering digunakan. Metode ini cocok untuk membandingkan obat-obat yang pengukuran hasil terapinya dapat dibandingkan. Sebagai contoh, membandingkan dua obat yang digunakan untuk indikasi yang sama tetapi biaya dan efektivitasnya berbeda (Trisna, 2010). c. Cost Benefit Analysis Cost benefit analysis merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Contoh dari cost benefit analysis adalah membandingkan program penggunaan vaksin dengan program perawatan suatu penyakit. Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program perawatan penyakit dilakukan. Semakin tinggi benefit cost, maka program makin menguntungkan (Trisna, 2010) d. Cost Utility Analysis Cost utility analysis merupakan tipe analisis yang membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Dalam cost utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya

ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi ke dalam nilai QALYs. Sebagai contoh jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup sedangkan kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997). 2.3 Biaya Pelayanan Kesehatan Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu: a. Biaya langsung medis (direct medical cost) Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, lama perawatan. Kategori biaya-biaya langsung medis antara lain pengobatan, pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan pencegahan dan penanganan (Orion, 1997; Vogenberg, 2001). b. Biaya langsung nonmedis (direct nonmedical cost) Biaya langsung nonmedis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit (Vogenberg, 2001). c. Biaya tidak langsung (indirect cost) Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang. Sebagai

contoh pasien kehilangan pendapatan karena sakit yang berkepanjangan sehingga tidak dapat memberikan nafkah pada keluarganya, pendapatan berkurang karena kematian yang cepat (Vogenberg, 2001). d. Biaya tak terduga (Intangible cost) Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan medis, tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur seperti rasa nyeri/cacat, kehilangan kebebasan, efek samping. Sifatnya psikologis, sukar dikonversikan dalam nilai mata uang (Vogenberg, 2001). 2.4. Perspektif Pelayanan Kesehatan Pelayanan Kesehatan dapat ditinjau dari empat perspektif yaitu: a. Perspektif pasien (konsumen) yaitu pasien mendapatkan pelayanan kesehatan dengan biaya yang murah b. Perspektif penyedia pelayanan kesehatan yaitu menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan masyarakat. Sebagai contoh: Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Sakit Swasta, praktik dokter dan praktik bidan. c. Perspektif pembayar (perusahaan asuransi) yaitu membayarkan biaya terkait dengan pelayanan kesehatan yang digunakan peserta asuransi selama pelayanan kesehatan yang digunakan peserta termasuk dalam tanggungan perusahaan bersangkutan. Menyusun program pelayanan kesehatan yang lebih efektif sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. d. Perspektif masyarakat yaitu masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan untuk mencegah terjangkitnya berbagai penyakit, seperti program pencegahan penyakit dengan imunisasi (Vogenberg, 2001)

2.5 Demam Tifoid Demam tifoid (typhoid fever) atau disebut juga tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran. Patofisiologi: a. Kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus, ke jaringan limfoid dn berkembang biak menyerang usus halus. Kemudian kuman masuk ke peredaran darah dan mencapai sel-sel retikuloendoteal, hati, limpa dan organ-organ lainnya. b. Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikulo endoteal melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan selanjutnya masuk ke beberapa jaringan organ tubuh terutama limpa, usus dan kandung empedu. c. Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulcerasi plaks player. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulcus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar. d. Gejala demam disebabkan oleh endotoksil, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus (Suriadi, 2006) Etiologi: Salmonella typhi, balis gram negatif yang bergerak dengan rambut getar dan tidak berspora. Masa inkubasi 10-20 hari.

Manisfestasi Klinis: Manifestasi klinis yang terdapat pada demam tifoid meliputi: a. Demam Demam merupakan gejala utama demam tifoid. Suhu tubuh berfluktuasi yakni pada pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore atau malam hari lebih tinggi. Demam dapat mencapai 38-40ºC. Intensitas demam akan semakin tinggi disertai dengan gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua intensitas demam tetap tinggi dan terus menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur turun dan dapat normal kembali. b. Gangguan pada saluran pencernaan Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering dan kadang pecah-pecah, Lidah terlihat kotor dengan ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor. Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut terutama nyeri ulu hati disertai mual dan muntah. c. Gangguan kesadaran Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan. Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita akan mengalami koma. d. Hepatosplenomegali Pada penderita demam tifoid, hati dan limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri bila ditekan (Hadinegoro, 2008)

Pemeriksaan Diagnostik: Apabila penderita mempunyai gejala klinis yang menyerupai gejala demam tifoid, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa penyakit meliputi: a. Pemeriksaan darah tepi: leukopenia, limfositosis, anemia. b. Biakan empedu: terdapat basil Salmonella typhi pada urin dan tinja. Jika pada pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan bakteri Salmonella typhi pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan benar-benar sembuh. c. Pemeriksaan Widal: didapatkan titer terhadap antigen O adalah 1/200 atau lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menegakkan diagnosis karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh (Suriadi, 2006) Pengobatan: Pengobatan terhadap penyakit demam tifoid terus berkembang. Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid. Namun seiring dengan kemajuan bidang kedokteran, dikembangkan lagi obat-obat seperti golongan sulfonamide, sepalosporin dan florokuinolon (Juwono, 2004). Antibiotik yang digunakan pada pengobatan demam tifoid adalah: a. Kloramfenikol Dosis 500mg Oral/IV setiap 4 jam sampai suhu tubuh kembali normal, kemuadian setiap 6 jam sampai total 14 hari. Pediatrik: Dosis 50-75mg/kg bb/hari, Oral/IV dibagi setiap 6 jam

b. Amoksisilin Dosis 1g IV setiap 8 jam, 500mg oral setiap 8 jam Pediatrik: Dosis 20-50mg/kg bb/hari, pemberian oral dibagi setiap 8 jam selama 14 hari c. Trimetoprim dan Sulfametoksazol Dosis 160mg trimetoprim / 800mg sulfametoksazol, setiap 12 jam selama 10-14 hari Pediatrik: < 2 bulan, tidak direkomendasikan > 2 bulan, dosis 15-20mg/kg bb/hari, pemberian oral dibagi setiap 12 jam berdasarkan dosis trimetoprim selama 14 hari d. Ciprofloksasin Dosis 250-500mg oral, setiap 12 jam selama 7-14 hari Pediatrik: < 18 tahun, tidak dianjurkan e. Azitromisin > 18 tahun, dosis seperti pada orang dewasa Hari 1, dosis 500mg oral/hari. Hari 2-5, dosis 250mg/hari Pediatrik: < 6 bulan, tidak dianjurkan > 6 bulan, hari 1 dosis 10mg/kg bb/hari, tidak melebihi 500mg/hari. Hari 2-5 dosis 5mg/kg bb/hari, tidak melebihi 250mg/hari f. Seftriakson Dosis 1-2g IV setiap 12 jam Pediatrik: Dosis 50-75mg/kg bb/hari IV, dibagi setiap 12 jam, tidak melebihi 2g /hari

g. Sefotaksim Dosis 2g IV setiap 6 jam Pediatrik: Dosis 50-180mg/kg bb/hari IV/IM dibagi setiap 4-6 jam h. Ofloksasin > 12 tahun, dosis seperti pada orang dewasa Dosis 200-400mg oral, setiap 12 jam Pediatrik: < 18 tahun, tidak dianjurkan i. Levofloksasin >18 tahun, dosis seperti pada orang dewasa Dosis 500mg oral/hari selama 7-14 hari Pediatrik: < 18 tahun, tidak dianjurkan >18 tahun, dosis seperti pada orang dewasa (Brusch, 2010) 2.6 Kloramfenikol Kloramfenikol pertama kali ditemukan pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik berspektrum luas yang aktif terhadap organism-organisme aerob dan anaerob gram positif maupun gram negatif (Katzung, 2004). Mekanisme Kerja: Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mrna dan trna. Pada bakteri, ribosom terdiri atas dua sub unit, dinyatakan sebagai ribosom 30s dan 50s. Kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50s, sehingga menghambat pengikatan asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase (Setiabudy, 2007).

2.7 Seftriakson Seftriakson adalah derivat thiazolyl ditemukan pada tahun 1983 dari generasi ketiga sepalosporin dengan sifat anti-laktamase dan anti kuman gram negatif kuat (Tjay, 2002). Mekanisme Kerja: Dinding sel bakteri merupakan lapisan luar yang kaku, yang menutupi keseluruhan membran sitoplasma. Lapisan ini mempertahankan bentuk sel serta mencegah lisis sel yang mungkin terjadi sebagai akibat dari tekanan osmotik yang tinggi di dalam sel dibanding dengan lingkungan luarnya. Dinding sel terdiri dari peptidoglycan. Seftriakson menghambat sintesis peptidoglycan yang diperlukan kuman sehingga sel mengalami lisis dan sel bakteri akan mati (Katzung, 2004)