DARI KODE ETIK WARTAWAN INDONESIA KE DEWAN PERS

dokumen-dokumen yang mirip
KODE ETIK JURNALISME DAN KODE PERILAKU PROFESIONAL JURNALIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

HAK PUBLIK MEMPEROLEH INFORMASI DAN KEBEBASAN PERS Oleh Ashadi Siregar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) HUKUM DAN KODE ETIK JURNALISTIK

BAB I KETENTUAN UMUM

BAB VI PENUTUP. A. Simpulan

LEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

BAB I PENDAHULUAN. membuat informasi yang dibutuhkan dapat diakses dengan cepat, dan memiliki tampilan yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Etika Jurnalistik dan UU Pers

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KODE ETIK, PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS PENGAWASANNYA

KONSEP ETIKA DI RUANG PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. pun mulai bebas mengemukakan pendapat. Salah satunya adalah kebebasan di bidang

PROFESIONALISME WARTAWAN DAN UPAYA MEMBANGUN INSTITUSI PERS

KODE ETIK JURNALISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Pada era modern saat ini, televisi dapat memberikan nilai-nilai kehidupan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal

BAB IV PENUTUP. 1. Peran organisasi profesi Notaris dalam melakukan pengawasan terhadap

PETA PERMASALAHAN KOMUNIKASI DAN INFORMASI DI INDONESIA

DIMENSI ETIS KOMUNIKASI PEMERINTAH. Oleh Ashadi Siregar

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

PENULISAN BERITA TELEVISI

dan eksternal) yang menghidupi perusahaan media, atau juga bukan untuk kekuasaan politik (negara dan kelompok masyarakat) yang melingkupinya.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

KODE ETIK JURNALISTIK. Oleh Ashadi Siregar

BAB I PENDAHULUAN. media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. penting dalam peta perkembangan informasi bagi masyarakat.

KERANGKA PEMIKIRAN DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN JURNALISME DI INDONESIA (Dari pengalaman di Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitkan Yogya / LP3Y)

ANGGARAN RUMAH TANGGA ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

KAJIAN SERTIFIKASI PADA PROFESI JURNALIS. Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

Mata Kuliah - Etika Periklanan-

ANGGARAN DASAR IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA (IJTI)

ETIKA PROFESI DAN KODE ETIK KONSULTAN PAJAK INDONESIA. Oleh Bambang Kesit PROGRAM MAKSI-PPAK FE-UII YOGYAKARTA 2010

PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN I N S P E K T O R A T Jl. Arungbinang Nomor 16 Telp: (0287) , Kebumen 54311

BAB I PENDAHULUAN. elemen yang saling membutuhkan. Dalam menjalankan kewajibannya sebagai

PANITIA PEMILIHAN RAYA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

Media Siber. Imam Wahyudi Anggota Dewan Pers

Bahan untuk diskusi pada Lokakarya Forum Penanganan Korban Kekerasan Bagi Perempuan dan Anak, FPK2PA Propinsi DIY, Yogyakarta 5 Februari 2007

3. Peraturan Pemerintah...

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH

bagi kehidupan modern, khususnya bisnis.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Kode Etik Jurnalistik

KEBEBASAN PERS: ANTARA KEKUATAN POLITIK DAN PEMILIK MODAL

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 26 TAHUN 2016

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

PROFESI. Pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 02 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM ADIWIYATA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Hasil Rapat Tim RIP 19 April 2016 mengenai Pelaksanaan RIP UMJ. MEMUTUSKAN

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMASI REPUBLIK INDONESIA

KODE ETIK PENERBIT ANGGOTA IKAPI

2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB V PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Praktik jurnalisme kloning kini menjadi kian populer dan banyak

2 Menetapkan : 3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik I

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/PER/M.KOMINFO/12/2011 TENTANG

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

KOMISI PENYIARAN INDONESIA DAERAH SULAWESI SELATAN KEPUTUSAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA (KPI) Nomor 240/SK/KPID-SS/03/2018 TENTANG

HAK BERKOMUNIKASI DALAM MASYARAKAT INFORMASI

PELANGGARAN ETIK DAN HAK PRIBADI DALAM KASUS KODE ETIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN

ETIKA PROFESI PUBLIC RELATIONS

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang No 40 tahun 1999 Tentang Pers, telah ditetapkan dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU KUHP

MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

Report2DewanPers (Tombol Lapor ke Dewan Pers di Media Siber Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN. menandakan proses komunikasi massa berlangsung dalam tingkat kerumitan yang relatif

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2013

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Hukum dan Pers. Oleh Ade Armando. Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2016

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

1 DARI KODE ETIK WARTAWAN INDONESIA KE DEWAN PERS Oleh Ashadi Siregar ( 1 ) Media pers tidak berada di ruang hampa. Karenanya silang-sengkarut pelaksanaan dan penaatan kode etik wartawan oleh pelaku profesi kewartawanan tidak terlepas dari praksis norma penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Pandangan ini akan menoleransi berbagai penyimpangan dalam pelaksanan profesi pers. Sebaliknya, dapat juga dikembangkan pandangan idealistik, yaitu dimulai dengan membangun praksis media massa atas dasar standar moral, dengan harapan media pers dapat menjadi institusi bersih kendati berada di tengah-tengah ruang kotor. Pertanyaan-pertanyaan mengenai standar moral dalam penyelenggaraan media pers, boleh jadi berasal dari kerancuan berpikir dalam menghadapi norma. Kerancuan ini akibat ketidak-jelasan batas taksanomi sebagai pangkal disiplin berpikir, sebab tumpang-tindih nomenklatur membawa ketidak-pastian norma. Dengan kejelasan batas dari norma dan konteksnya dapat dikenali sumber nilai dan sanksi. Media pers diselenggarakan atas dasar jurnalistik dan jurnalisme. Kedua hal ini biasanya dianggap sama saja sebagai istilah yang dipakai silih berganti. Dua hal ini perlu dibedakan seperti dalam gambar berikut: Gambar 1: Jurnalistik sebagai keterampilan teknis dapat digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari propaganda, bahkan pornografi. Teknik jurnalistik dapat digunakan untuk kepentingan pragmatis komunikator dan khalayak. Komodifikasi informasi pers merupakan bentuk yang umum dalam penggunaan teknik jurnalistik. Sedang jurnalisme bertolak dari epistemologi yang membawa konsekuensi dalam metodologi dan konteks keberadaannya dalam memeroses fakta publik. Landasan operasi dari epistemologi jurnalisme adalah fakta publik dalam kaitan dengan ruang publik (public-sphere). Lebih jauh dengan epistemologi jurnalisme dapat digambarkan berikut: Pokok pikiran disampaikan pada Lokakarya Membangun Kebebasan Pers yang Beretika, Dewan Pers, Jakarta 17 Januari 2006

2 Gambar 2: Proses pembelajaran jurnalistik cukup dengan teknik menulis 5W+1H (dan memotret) dan penyajian berita. Sedangkan epistemologi jurnalisme terdiri atas aspek metodologi berkaitan dengan proses dalam menghadapi fakta, dan etika menyangkut pertanyan eksistensial mengenai citra diri (self esteem) dan citra sosial (social image) yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil metodologis tersebut. Kata kunci dalam etika adalah keterhormatan yang mencakup marwah dan martabat (dignity). Tetapi apakah pengembangan jurnalisme kita ke arah sana? ( 2 ) Pembedaan atas operasi media pers, dapat dilihat konstelasinya sebagai berikut: Gambar 3: Karenanya tidak sulit bagi pengajar etika dan jurnalisme untuk menjelaskan sifat program infotainment yang merebak di televisi. Program ini sebagai berita memang menggunakan teknik jurnalistik, tetapi tidak memenuhi epistemologi jurnalisme. Dunia media massa kita dapat digambarkan sebagai berikut:

3 Gambar 4: Lewat taksanomi di atas, sifat dari media dapat dibedakan dalam kaitan dengan kebebasan pers. Media massa mencakup seluruh media di atas, sedang media jurnalisme sering dipertukarkan istilah dengan media pers ditandai dari sajian utama berupa informasi dari fakta publik sebagai berita jurnalisme. Pemilahan media massa saat ini tidak mudah, sebab orientasi umumnya bersifat campuran (mixture) dengan fiksi/karya kreatif yang berlandasarkan estetika maupun ilmu pengetahuan, fakta publik yang diproses dengan jurnalisme, dan fakta privat sebagai bagian dalam hiburan. Karenanya pendekatan dilakukan dengan fokus pada item informasi sebagai content, bukan atas media yang memuat/menyiarkan. Dari sini norma dalam etika jurnalisme diterapkan atas berita jurnalisme. ( 3 ) Persoalan pelaksanaan etika memerlukan kejelasan dalam displin berpikir. Hulu dari standar moral dapat digambarkan berikut: Gambar 5: Nomenklatur masyarakat (bersifat sosiologis) dan negara (bersifat politis), ditandai dengan perbedaan norma dan penerapannya. Dalam penyelenggaraan media pers manakala suatu

4 norma bersifat etis gagal diterapkan di ranah masyarakat sehingga perlu ditarik ke ranah negara untuk menjadi norma hukum, menunjukkan gagalnya hubungan bersifat sosiologis antara media dengan masyarakatnya. Jadi pendekatan legalistis yang menginginkan norma etis dijadikan norma hukum akan merugikan dalam membangun sifat sosiologis institusi pers. Etika merupakan pilihan nilai moral dalam menghadapi realitas. Persoalan etika ini secara substansial dapat ditarik ke akarnya, yaitu bagaimana pelaku (actor) mendefinisikan alter dalam interaksi sosial. Basis kultural bersifat demokratis dalam interaksi antara media dan masyarakat, merupakan masalah besar dalam penyelenggaraan media massa. Hakikat dari etika intitusi sosial yang bersifat pro bono publico (demi kemaslahatan publik) adalah nilai altruistis. Dari sini pertanyaan mendasar adalah: mungkinkah seseorang yang tidak memiliki orientasi nilai altruistis bekerja dalam institusi semacam ini? Ini memerlukan kesadaran etis yang bersifat personal dan otonom. Ketaatan atas norma merupakan dialektika dari norma dari kesadaran etis dan dari faktor imperatif. Level ketaatan atas norma dapat dilihat dalam bagan berikut: Binatang berpolitik (zoon politicon) memerlukan adanya kekuasaan negara untuk mengendalikannya, melalui sanksi yang menyakitkan mulai dari kematian, isolasi sosial, dan pembayaran materi. Pada level kedua, norma ditaati manakala ada sanksi yang secara langsung bersifat pragmatis (gaji ditunda, tidak naik jabatan, atau pemecatan). Level berikutnya penaatan atas norma kalau ada rasa keterhormatan (shameful feeling). Ke-3 level di atas bersifat imperatif. Sedang yang terakhir, penaatan yang bersifat personal dan otonom berkaitan dengan kesadaran kemanusiaan untuk memiliki rasa bersalah (guilty feeling). Kalau diharapkan pelaku profesi pers di Indonesia berada pada level ke-4, tentulah perlu kerja keras yang luar biasa dalam pendidikan budi-pekerti bagi warga. ( 4 ) Dalam kaitan dengan media pers, kiranya dapat difokuskan kepada etika bersifat imperatif, seperti dalam gambar berikut: Gambar 6:

Norma imperatif bersifat langsung dalam tindakan profesional bagi pelaku pers bersumber dari organisasi pers (sebagai anggota) dan korporasi pers (sebagai personel). Dengan begitu kalau ada norma etik yang berasal dari luar organisasi (profesi dan korporasi) pers seperti KEWI Dewan Pers dipandang sebagai acuan, dan dari sini masing-masing organisasi menyusun sendiri kode etik dan kode perilaku yang lebih spesifik. Secara substansial KEWI sudah lengkap untuk menjadi acuan. Norma etis dalam penyelenggaraan media pers pada hakikatnya adalah untuk menatahubungan jurnalis dengan jurnalis, hubungan jurnalis dengan narasumber, hubungan institusi pers dengan warga masyarakat secara umum. Setiap hubungan berlandaskan kejujuran dan kepantasan (fairness) untuk keterhormatan jurnalis dan medianya dalam konteks kebebasan pers di tengah masyarakat. Dari sini norma spesifik dapat dipahami seperti mengapa plagiat dipandang pekerti tidak senonoh, peramplopan dan premanisme merugikan kehormatan jurnalis dan media pers, dan sebagainya. Jadi kalau ada yang menganggap rumusan KEWI kurang spesifik, dan menuntut agar lebih bersifat terperinci, kalau ini berasal dari organisasi pers, menunjukkan kurang dipahami secara konseptual keberadaannya sebagai institusi. Keberadaan institusi Dewan Pers bersifat sosiologis, karenanya bukan sebagai suprastruktur perpanjangan kekuasaan negara. Sifat sosiologisnya diwujudkan melalui hubungan antar institusi secara lateral dalam konteks tujuan bersama. Hubungan Dewan Pers dan organisasi pers dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 7: 5

Hubungan bersifat sosiologis adalah adanya acuan nilai bersama (shared values) yang berkaitan dengan institusi pers dalam konteks kebebasan pers dan pers bebas. Hubungan bersifat institusional, yaitu antara Dewan Pers dengan organisasi profesi ataupun korporasi (perusahaan) pers. Karenanya Dewan Pers tidak pernah berurusan langsung dengan personel atau anggota organisasi pers, sebab diasumsikan setiap pelaku profesi jurnalisme berada dalam korporasi dan/atau organisasi profesi. Dengan kata lain, sanksi terhadap pelaku tidak datang dari Dewan Pers, sebab keberadaan Dewan Pers dalam interaksi institusional. Dari sini dipandang pentingnya organisasi profesi terutama bagi pelaku yang bekerja independen (free lance). Sementara yang menjadi personel pada korporasi terikat dengan norma etik yang berlaku di organisasi kerja tersebut. Adapun keberadaan setiap organisasi pers ditandai dengan adanya kode etik spesifik dan terperinci yang mengikat anggotanya, sedang organisasi korporasi pers ditandai adanya kode perilaku bagi personelnya dalam menjalankan fungsi sebagai karyawan jurnalisme. Sifat terperinci dari kode etik dan kode perilaku yaitu dengan kejelasan parameter tindakan dan sanksi atas penyimpangan. Khusus untuk kode perilaku korporasi ditambah lagi dengan parameter dan penghargaan prestasi dan sanksi dalam konteks manajemen. Dengan landasan konseptual semacam ini maka fisibilitas (feasibility) suatu organisasi profesi pers adalah adanya kode etik baik yang berdiri sendiri maupun inheren dalam anggaran rumah tangga. Kemudian adanya majelis yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan norma tersebut dengan menilai dan menjatuhkan sanksi organisatoris atas anggotanya yang menyimpang. Begitu pula fisibilitas suatu korporasi pers harusnya melalui assesment atas adanya kode perilaku khusus maupun inheren dalam perjanjian kerja bersama untuk personel jurnalisme, dan adanya news-ombudsman internal di organisasi tersebut. Kesimpulan logisnya, kalau tidak ada kode etik spesifik dan majelis etik, suatu organisasi profesi sebenarnya kehilangan makna sosiologisnya. Begitu pula bagi korporasi yang tidak punya kode perilaku bagi personel jurnalisme dan tiadanya newsombudsman di perusahaan. ( 5 ) Dewan Pers dibentuk secara imperatif dari Undang-undang, karenanya landasan keberadaannya dari negara. Fungsinya menurut Undang-undang no 40 Tahun 1999 adalah: melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; 6

7 menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; mendata perusahaan pers. (ayat 2, pasal 15) Pasal 15 ini terdiri atas 7 ayat, dalam penjelasan hanya tercantum 2 ayat, sedang 5 ayat lainnya dipandang (oleh anggota DPR) sudah jelas. Rumusan dalam penjelasan yaitu: Ayat 1 Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Ayat 2 Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Penjelasan atas ayat (2) mengenai fungsi Dewan Pers, pun tidak memberi gambaran yang menyeluruh sebab tidak menyinggung sub a, b, c, e, f, dan g yang jauh lebih penting untuk mendapat penjelasan. Klausul dalam undang-undang ini dengan sendirinya memerlukan penjabaran lebih jauh dalam perincian dari fungsi-fungsi yang bersifat imperatif tersebut. Ke-7 fungsi imperatif yang dirumuskan ekplisit dalam undang-undang sebenarnya ada yang bertumpang-tindih, sebab yang bersifat teknis operasional otomatis terkandung dalam fungsi bersifat prinsipil. Kembali lagi kerancuan taksanomi membuat keberadaan institusional Dewan Pers serba tidak jelas. Untuk itu dapat dikembalikan kepada fungsi dasar, dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 8: Tujuan institusional dari Dewan Pers adalah membangun dan menjaga nilai bersama (shared values) Kebebasan Pers di ruang publik di satu sisi, dan mendorong dan memperkuat menjaga keberadaan Pers Bebas. Dari sini pertanyaannya adalah: kebijakan macam apa yang dapat dibuat dan dilaksanakan Dewan Pers terhadap organisasi korporasi pers dan profesi pers? Kebijakan dan implementasinya bersifat administratif, sedang konteks tujuannya bersifat sosiologis (hubungan antar institusi).

8 Kebijakan Dewan Pers menuntut kejelasan dalam pendefinisian keberadaan dan fungsinya. Untuk itu dapat ditempuh dengan melihat fungsi-fungsi imperatif dari undang-undang. Dengan begitu alur berpikirnya adalah dari hukum ke etika, bukan sebaliknya. Kerangka pemikiran tentang fungsi imperatif ini sebagai berikut: KEBIJAKAN ADMINISTRATIF FUNGSI IMPERATIF melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah memfasilitasi organisasi pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan mendata perusahaan pers NILAI KEBEBASAN PERS INSTITUSI PERS BEBAS Isian sel di atas berupa kebijakan yang perlu dibuat dan diimplementasikan Dewan Pers. Rumusan dari undang-undang ini masih bersifat konseptual, lebih sesuai dipandang sebagai draft akademik ketimbang klausul bersifat legal. Untuk itu diperlukan penafsiran lebih jauh untuk dapat ditarik sebagai dasar kebijakan. Misalnya, apa yang dimaksud dengan melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain? Begitu juga dengan mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Konsep-konsep yang enak diomongkan itu kalau harus diwujudkan melalui kebijakan administratif, tentulah tidak mudah. Mengingat makna kebebasan pers dan pers bebas berkaitan dengan nilai etis (bersifat sosiologis), maka setiap kebiijakan (bersifat administratif) pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan norma etis tersebut. Dengan kata lain, nilai Kebebasan Pers dan institusi Pers Bebas merupakan tujuan kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan. Karena setiap kebijakan harus bersifat operasional, maka perlu parameter mengenai kebebasan pers dan pers bebas. Dalam kebijakan administratif ini perlu kejelasan sifat hubungan insititusional Dewan Pers dengan organisasi profesi pers dan korporasi pers. Begitu pula dengan sifat hubungan Dewan Pers dengan institusi publik lainnya yang berada dalam kerangka nilai kebebasan pers. Dari sini dapat ditelurkan kebijakan yang berkaitan dengan aspek dari fungsi-fungsi imperatif Dewan Pers.