BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai aspek bidang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini banyak tantangan yang dihadapi manusia, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB 1 PENDAHULUAN. Zaman modern yang penuh dengan pengaruh globalisasi ini, kita dituntut

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aspek aspek kepribadian berdasarkan teori yang dikemukakan Klages

BAB I PENDAHULUAN. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut adalah adversity

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia menjadi semakin mudah untuk dilakukan. Informasi ini disebut

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan

Studi Deskriptif Adversity Quotient Mahasiswa Berprestasi Rendah Fakultas Psikologi Unisba Angkatan 2012

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas,

BAB V PENUTUP. Akselerasi (Studi kasus di SMP Islam Pekalongan), maka dapat. 1. Desain pembelajaran PAI dalam program akselerasi.

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan kemahasiswaan tertua yang berada di lingkungan Universitas X di

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. banyak hal-hal yang tidak terduga seperti kecelakaan, bencana alam, bahkan

Sartika, namun dengan kuatnya iklim yang terdapat di lingkungan SD Dewi Sartika,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dewasa ini banyak permasalahan yang dialami para pelaku pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebabkan karena masa remaja dikenal sebagai masa untuk mencari identitas dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang. berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai

PETUNJUK PENGISIAN. #### Selamat Mengerjakan ####

ADVERSITY QUOTIENT DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MIPA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN AKADEMIK 2015/2016

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kontribusi yang sangat besar pada masyarakat (Reni Akbar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi seorang guru membutuhkan persyaratan-persyaratan spesifik di

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang kehidupan, yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB II. Landasan Teori

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha telah mencapai era globalisasi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

TINGKAT ADVERSITY QUOTIENT ATLET DIY M. Yunus Sb, BM Wara K. dkk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak

BAB I PENDAHULUAN. ilmunya dalam dunia pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Dalam jenjang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA ANTARA KELAS AKSELERASI DAN KELAS NON AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan sarat perkembangan. Perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa merupakan suatu tahapan pendidikan formal yang menuntut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sepanjang hayatnya, baik sebagai individu, kelompok sosial, maupun sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada akhir tahun 1997, negara-negara di Asia dilanda oleh krisis ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. tidak memiliki tempat ibadah yang tetap, salah satu faktor yang mempengaruhi

BAB 1 PENDAHULUAN. Menengah Pertama individu diberikan pengetahuan secara umum, sedangkan pada

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anissa Dwi Ratna Aulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan sumber daya manusia di Indonesia. Oleh sebab itu, sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DENGAN MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA. Skripsi

BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini

I. PENDAHULUAN. bervariasi dalam suatu proses pembelajaran. Perbedaan tersebut dapat menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang mengutamakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dunia pendidikan yang terus berkembang membuat banyak teori-teori

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu Fakultas yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. sumbangsih bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya, menantang bangsa ini untuk mengatasi krisis yang dialami agar tidak tertinggal kemajuan global. Krisis yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan bangsa ini, perlu dibenahi dan ditangani secara serius oleh individu yang ahli pada bidangnya. Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan Sumber Daya Manusia yang berkualitas, yang ahli dan berkompeten dalam bidangnya. Pendidikan formal merupakan salah satu cara untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia. Pendidikan yang diberikan selama masa sekolah dapat menentukan kualitas individu yang dihasilkan. Pendidikan di Indonesia memiliki kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan pendidikan secara keseluruhan yaitu menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal. Pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, sekolah memegang peranan dan tanggung jawab dalam menyusun program akademik agar tujuan kurikulum dapat tercapai. Berdasarkan hal ini maka setiap sekolah menetapkan program akademik yang berbeda, sesuai dengan data prestasi siswa, sarana prasarana dan akreditasi sekolah tersebut.

Dewasa ini pemerintah menetapkan beberapa sekolah sebagai sekolah unggulan. Sekolah unggulan ini ditentukan oleh Depdiknas berdasarkan peringkat sekolah dari tahun ke tahun. Sekolah yang mendapat peringkat pertama minimal sepuluh kali pada masing-masing wilayah DATI I atau II akan mendapatkan penghargaan sebagai sekolah unggulan. Sekolah unggulan ini termasuk diantaranya SMU akselerasi yaitu sekolah yang menyediakan kelas khusus karena terdapat sekelompok siswa yang bersekolah di SMU tersebut memiliki kemampuan akademik yang lebih daripada siswa lain, sehingga mereka dapat mempercepat waktu kelulusan di SMU. Akselerasi sebagi program kurikulum dapat diartikan mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai siswa pada saat itu (Hawadi, 2004:6). SMU yang menyediakan program kelas akselerasi ini dalam pelaksanaannya menggunakan bentuk telescoping yaitu siswa dapat menyelesaikan tiga tahun kegiatan belajarnya menjadi dua tahun. Salah satu SMU yang menyediakan program kelas akselerasi ialah SMU X Bandung. Program ini mulai diadakan sejak bulan Juli 2000. Pada pelaksanaannya, SMU X mempersyaratkan kesediaan pribadi dari calon siswa untuk mengikuti program ini. Para calon siswa diseleksi berdasarkan kriteria nilai raport SLTP yaitu bernilai minimal 7 untuk semua mata pelajaran. Selanjutnya pihak sekolah memberikan psikotest berupa test IQ, CQ (Creative Quotient) dan TC (Task Comitment) untuk melihat potensi dan kemampuan dari setiap siswa. Selanjutnya mereka diberikan masa uji coba menggunakan kurikulum akselerasi selama dua bulan.

Program akselerasi di SMU X dilakukan dengan mempercepat kurikulum yang ada. Kecepatan belajar diatur pihak sekolah dengan acuan satu tahun ajaran untuk mengajarkan materi kelas satu dan kelas dua, dan satu tahun ajaran berikutnya untuk mengajarkan materi kelas tiga. Dalam kegiatan belajarmengajar, guru hanya mengajarkan materi essensial sehingga tidak semua materi diterangkan di kelas. Berdasarkan hal ini maka para siswa dituntut untuk lebih aktif dan berinisiatif sendiri dalam belajar, jadi tidak hanya mengandalkan guru di kelas. Mereka juga diberi pekerjaan rumah dalam jumlah lebih banyak serta ulangan yang lebih sering diadakan. Selain itu, jumlah jam belajar di sekolah lebih lama yaitu mereka memulai jam pelajaran pada Pk. 6.45 dan berakhir pada Pk. 14.00. Para siswa juga wajib mengikuti kegiatan praktikum dan olahraga yang dilakukan pada hari-hari tertentu setelah jam belajar usai (di atas Pk. 14.00), yang biasanya berakhir hingga Pk. 16.30. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan seluruh siswa akselerasi kelas II SMU X yang hanya berjumlah tujuh orang, mengenai dampak program ini bagi kegiatan belajar mereka; peneliti mendapatkan mereka merasakan sejumlah kesulitan studi dalam usahanya mengikuti kurikulum yang dipercepat tersebut. Kesulitan studi yang mereka alami antara lain cara mengajar guru yang kurang dapat dipahami karena hanya memberikan point inti, tugas yang dirasa terlalu banyak sehingga tidak terselesaikan, bahan ulangan lebih banyak sehingga ulangan dirasa lebih sulit, jadwal ulangan yang padat, waktu belajar untuk setiap materi lebih singkat sehingga pemahaman siswa kurang mendalam, dan beberapa mata pelajaran yang dirasa sulit.

Berdasarkan wawancara dengan setiap siswa*, peneliti mendapatkan lima orang siswa merasa kesulitan dengan cara mengajar guru. Tiga orang dari mereka merasa tidak dapat memahami penjelasan guru yang hanya berupa point-point inti. Dua siswa lainnya merasa tidak mendapatkan pemecahan soal yang diharapkan karena guru seringkali membalikkan kembali pertanyaan siswa kepada siswa lainnya. Berikutnya enam orang siswa merasa kewalahan mengerjakan tugas yang diberikan sehingga tidak dapat menyelesaikannya. Kebanyakan dari mereka tidak dapat menyelesaikan karena merasa tugas terlalu banyak dan jawaban terkadang tidak ada di buku sehingga mereka harus mencari referensi lain. * : setiap siswa mengalami lebih dari satu kesulitan studi. Kesulitan lain yang mereka rasakan ialah ketika mengerjakan ulangan/ujian. Tiga orang siswa merasa ulangan yang ada lebih sulit sehingga mendapat nilai buruk, dua siswa lainnya merasa kewalahan menghadapi bahan ujian semester yang sangat banyak, dan satu siswa merasa kewalahan menghadapi jadwal ulangan yang padat sehingga kurang waktu untuk persiapan belajar. Peneliti juga mewawancarai mengenai kesulitan yang mereka rasakan pada mata pelajaran yang ada. Peneliti memperoleh empat orang siswa merasa kesulitan terhadap pelajaran kimia. Tiga orang dari mereka merasa kesulitan ketika ditugaskan mempelajari materi sendiri di rumah dengan disertai PR soal-soal kimia yang harus dikerjakan; sedangkan seorang sisanya merasa kewalahan ketika menghadapi ujian kimia karena harus menghafal teori dan juga menguasai persolan hitungan.

Lima orang siswa merasa kesulitan dengan pelajaran fisika. Dua diantaranya merasa kesulitan untuk menguasai materi karena rumus yang diajarkan sangat banyak sedangkan waktu belajar lebih singkat. Tiga orang siswa merasa kesulitan mengerjakan PR fisika karena seringkali materi tersebut belum diajarkan di kelas. Berikutnya dua orang siswa merasa kesulitan dengan pelajaran Bahasa Inggris, mereka merasa kesulitan saat mengerjakan tugas terjemahan karena seringkali vocabulary materi tersebut belum diajarkan. Siswa akselerasi SMU X yang memiliki IQ di atas rata-rata ini membuat mereka unggul dalam hal IQ (Intelligence Quotient). Namun menurut Stoltz (2000:14) pandangan mengenai IQ saja sebagai faktor penentu keberhasilan termasuk keberhasilan dalam studi telah lama bergeser yaitu sejalan dengan banyaknya individu yang mempunyai inteligensi cemerlang tetapi kontribusinya kurang dibandingkan dengan yang intelektualnya sedang-sedang saja. Berdasarkan hasil penelitian Paul G. Stoltz (2000:8), didapatkan suatu terobosan baru tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan, termasuk keberhasilan dalam studi. Untuk mencapai keberhasilan studi khususnya mengatasi kesulitan-kesulitan studi di kelas akselerasi, diperlukan Adversity Quotient (AQ). Adversity Quotient merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respons seseorang terhadap kesulitan (Paul G. Stoltz, Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, 2000:9). AQ memiliki empat dimensi CORE yaitu Control/Pengendalian, Ownership/Kepemilikan, Reach/Jangkauan, Endurance/Daya Tahan. Dimensi AQ yang pertama yaitu Control mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan siswa akselerasi terhadap peristiwa yang menimbulkan

kesulitan studinya. Peneliti mendapatkan tiga orang siswa yang tidak memahami penjelasan guru karena hanya menerangkan point inti, seorang dari mereka mengatasinya dengan banyak bertanya pada guru tersebut baik saat pelajaran maupun di luar jam belajar (dimensi Control tinggi) sedangkan dua siswa lainnya walau tidak jelas malas bertanya pada guru (Control rendah). Dua orang siswa yang tidak puas dengan cara menjawab guru mengatasinya dengan mencoba bertanya pada teman reguler dan seorang lainnya dengan mencari jawaban melalui referensi lain di perpustakaan (Control tinggi). Dimensi AQ yang kedua yaitu Ownership mempertanyakan sampai sejauh mana siswa akselerasi merasa bertanggung jawab mengakui akibat-akibat kesulitan untuk kemudian memperbaikinya. Peneliti mendapatkan respons keenam siswa yang seringkali tidak dapat menyelesaikan tugas sebagai berikut: tiga diantara mereka berusaha mengerjakan semampunya saja dan bila tidak selesai mereka menganggapnya dikarenakan memang tugas yang diberi terlalu banyak (Ownership sedang). Seorang siswa mengatasinya dengan mencicil mengerjakan tugas dan membuat jadwal belajar, karena ia merasa sudah tanggung jawabnya untuk berusaha menyelesaikan setiap tugas (Ownership tinggi); sedangkan dua siswa lainnya lebih sering tidak menyelesaikan tugas karena menurutnya tidak masalah tidak selesai, asal sudah ada soal yang dikerjakan. (Ownership rendah). Dimensi AQ yang ketiga yaitu Reach mempertanyakan sejauh manakah suatu kesulitan dalam studi akan menjangkau pikiran dan perasaan siswa pada aspek studi lainnya. Berikutnya dimensi AQ yang keempat yaitu Endurance mempertanyakan berapa lama kesulitan studi dan penyebabnya akan berlangsung.

Peneliti mendapatkan lima orang siswa seringkali memperoleh nilai buruk pada ujian semester fisika karena bahan ulangan yang banyak. Dua diantara mereka ketika mendapat nilai buruk menganggap hal tersebut merupakan bencana yang mempengaruhi pikiran mereka pada ulangan-ulangan lainnya (Reach rendah). Mereka merasa demikian karena bagi mereka sulit untuk memperbaiki nilai ujian semester, mereka juga merasa nilai buruknya lebih disebabkan bahan ulangan terlalu banyak (penyebab permanen) sehingga mereka tidak berdaya untuk mengatasinya (Endurance rendah). Sedangkan tiga siswa lainnya yang mendapat nilai ujian fisika buruk, merasa karena mereka kurang berlatih soal (penyebab sementara) dan akan mengatasinya dengan lebih banyak berlatih soal pada ujian berikutnya (Endurance tinggi). Berdasarkan perbedaan respons dan cara mereka mengatasi kesulitan studi yang dirasakan, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Adversity Quotient dan keempat dimensi CORE pada siswa akselerasi SMU X, Bandung. Peneliti tertarik meneliti siswa kelas II, karena kelas II (tahun ajaran terakhir bagi siswa akselerasi) merupakan masa transisi antara pendidikan SMU dengan Perguruan Tinggi atau bekerja. Di kelas II ini juga, siswa akselerasi dipersiapkan untuk menghadapi UAN (Ujian Akhir Nasional) dan bersaing untuk memasuki Perguruan Tinggi yang memiliki tugas dan kesulitan studi yang lebih kompleks. 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH Bagaimana Adversity Quotient pada siswa/i akselerasi kelas II di SMU X, Bandung?

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Adversity Quotient pada siswa/i akselerasi kelas II di SMU X, Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui secara lebih rinci Adversity Quotient dan keempat dimensi CORE pada setiap siswa/i akselerasi di SMU X Bandung. 1.3.KEGUNAAN PENELITIAN 1.3.1. Kegunaan Ilmiah Memberikan informasi tambahan dalam bidang Psikologi Pendidikan, khususnya Psikologi Belajar yang berkaitan dengan Adversity Quotient. Memberi bahan masukan bagi penelitian lain yang berkaitan dengan Adversity Quotient. 1.3.2. Kegunaan Praktis Memberi masukan bagi SMU X Bandung untuk mempertimbangkan Adversity Quotient sebagai salah satu faktor yang perlu diperhatikan perkembangannya pada siswa akselerasi dalam mengikuti kegiatan belajar. Memberi bahan masukan bagi siswa akselerasi SMU X Bandung untuk mempertimbangkan AQ sebagai salah satu faktor yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan dalam studi.

1.5. KERANGKA PEMIKIRAN Akselerasi atau acceleration secara konseptual dapat didefinisikan sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang konvensional (Pressey dalam Hawadi 2004 : 31). Siswa akselerasi kelas II SMU X yang seluruhnya berusia 17 tahun berada dalam tahap perkembangan remaja madya (Kagan & Coles, 1972; Keniston 1970). Di kelas II ini mereka menghadapi tugas dan kesulitan belajar yang lebih kompleks, mengingat mereka akan menghadapi UAN (Ujian Akhir Nasional) di akhir semester. Selain itu mereka juga mulai memikirkan dan merencanakan Perguruan Tinggi yang akan dipilih untuk melanjutkan studi. Jadi di kelas II ini, mereka menghadapi situasi-situasi yang lebih banyak menimbulkan kesulitan studi sehingga mereka perlu mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki, salah satunya ialah mereka memerlukan Adversity Quotient (AQ). Menurut Paul G. Stoltz (2002:28) Adversity Quotient merupakan suatu pola tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu tersebut terhadap kesulitan yang dihadapi. AQ memiliki 4 dimensi yaitu C(Control/Pengendalian), O(Ownership/Kepemilikan), R (Reach/Jangkauan), E(Endurance/Daya tahan). Dimensi C (Control) mempertanyakan berapa banyak kendali yang seorang siswa rasakan terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Siswa akselerasi dengan Control tinggi merasa ia mempunyai tingkat kendali yang kuat atas peristiwa yang menimbulkan kesulitan dalam studinya. Mereka juga memiliki disiplin yang tinggi dan cepat pulih dari penderitaan atau kegagalan dalam

studinya. Siswa akselerasi yang mempunyai dimensi Control sedang merasa kesulitan-kesulitan dalam studi sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendalinya, tergantung pada besarnya kesulitan tersebut. Mereka sulit mempertahankan perasaan mampu memegang kendali bila dihadapkan pada kesulitan studi yang lebih berat atau bila kesulitan tersebut telah menumpuk. Siswa akselerasi yang mempunyai dimensi Control yang rendah merasa bahwa kesulitankesulitan studi yang dihadapi berada di luar kendalinya dan hanya sedikit yang bisa ia lakukan untuk mencegah atau membatasi kerugian-kerugian karena kesulitan studi tersebut. Dimensi O (Ownership) mempertanyakan sampai sejauh mana seorang siswa bersedia mengakui akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan studinya. Siswa akselerasi yang mempunyai dimensi Ownership yang tinggi bersedia mengakui akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan studi sehingga merasa perlu untuk memperbaiki setiap kesulitan dalam studinya tanpa mempermasalahkan siapa atau apa penyebabnya. Mereka mampu menilai dan memecahkan masalah dalam studinya, bertindak secara efektif dan menggali kesulitan studi untuk mencari peluang. Siswa akselerasi dengan dimensi Ownership sedang menganggap dirinya ikut bertanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul dari kesulitan studinya, tetapi mereka membatasi tanggung jawab memperbaiki kesulitan studi hanya pada hal-hal dimana mereka merupakan penyebab langsungnya, dan tidak bersedia memberikan lebih banyak kontribusi. Sedangkan siswa akselerasi dengan Ownership rendah akan menolak pengakuan akibat dari kesulitan studi yang ada, dengan menghindarkan diri dari tanggung jawab untuk memperbaikinya. Mereka

cenderung menyalahkan keadaan, tidak percaya terhadap orang lain, bersikap sinis dan berusaha menghindari kesulitan yang ditemui dalam studi. Dimensi R (Reach) mempertanyakan sejauh manakah kesulitan studi akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seorang siswa. Siswa akselerasi yang mempunyai dimensi Reach tinggi akan merespons kesulitan studi sebagi sesuatu yang spesifik dan terbatas. Mereka mampu membatasi kesulitan studi tersebut tidak mempengaruhi bagian-bagian lain dari kehidupannya. Mereka mampu membatasi kesulitan yang dihadapi dalam studi tidak mempengaruhi emosi mereka dalam berelasi dengan teman maupun sikap mereka terhadap orang tua. Siswa akselerasi yang mempunyai dimensi Reach yang sedang merespons kesulitan-kesulitan studi sebagai sesuatu yang spesifik namun kadang-kadang mereka akan membiarkan kesulitan-kesulitan tersebut secara tidak perlu mempengaruhi bagian-bagian lain dari kehidupannya. Pada saat mereka merasa lemah atau mengalami kekecewaan, mereka akan membiarkan jangkauan kesulitan studi lebih luas dari yang semestinya. Sedangkan siswa akselerasi yang mempunyai dimensi Reach rendah akan merespons kesulitan studi sebagai sesuatu yang mempengaruhi bagian-bagian lain kehidupan mereka. Dengan membiarkan kesulitan studi mempengaruhi bagian-bagian lain dari kehidupan maka akan meningkatkan beban dan energi yang dibutuhkan untuk mengatasinya sehingga membangkitkan rasa takut, apatis dan tidak berdaya. Dimensi E (Endurance) mempertanyakan berapa lama seorang siswa menganggap kesulitan studi akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan studi itu akan berlangsung. Siswa akselerasi yang mempunyai dimensi Endurance

yang tinggi memandang kesulitan dalam studi sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinannya untuk terjadi lagi sehingga membuat mereka dapat bertahan menghadapi kesulitan yang ada. Di dalam menghadapi kesulitan studinya mereka akan tekun, sabar, tidak mudah menyerah dan memikirkan alternatif-alternatif tindakan untuk mengatasi kesulitan tersebut. Siswa akselerasi yang mempunyai dimensi Endurance yang sedang memandang kesulitan dalam studi dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama. Hal ini akan menunda mereka mengambil tindakan yang konstruktif. Dalam kesulitan-kesulitan studi berukuran kecil sampai menengah, mereka mampu mempertahankan keyakinan dan melangkah maju, namun ada waktu dimana mereka menjadi lemah, terutama sewaktu mengalami kesulitan studi yang berat. Sedangkan siswa akselerasi dengan dimensi Endurance rendah memandang kesulitan dalam studi dan penyebabnya sebagai peristiwa yang berlangsung lama dan peristiwa positif dalam studinya sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Hal ini akan menimbulkan perasaan tak berdaya atau hilangnya harapan sehingga lama-kelamaan bisa menimbulkan perasaan sisnis terhadap studinya. Berdasarkan keempat dimensi tersebut dapat dilihat bahwa siswa akselerasi yang memiliki AQ tinggi mampu mengendalikan setiap kesulitan studi yang ada. Mereka merasa perlu memperbaiki kesulitan studi yang ada tanpa menyalahkan siapa atau apa yang menyebabkannya. Kesulitan studi yang dirasakan tidak meluas mempengaruhi aspek lain dari kehidupannya. Mereka

memandang kesulitan studi sebagai sesuatu yang bersifat sementara sehingga kesulitan studi dapat cepat berlalu. Siswa akselerasi dengan AQ sedang kurang mampu mengendalikan kesulitan studi pada saat kesulitan itu menumpuk atau menjadi semakin berat. Jika mereka berada dalam keadaan sangat lelah atau tegang maka mereka cenderung menyalahkan orang lain seperti teman atau orang tua. Kesulitan dalam studi cenderung mempengaruhi aspek lain dari kehidupannya sehingga mereka merasa terbebani oleh kesulitan tersebut. Mereka cukup mampu memandang kesulitan studi sebagai situasi yang cepat berlalu tetapi ketika kesulitan tersebut menumpuk atau semakin berat, mereka cenderung putus harapan dan memandang kesulitan studi tersebut akan berlangsung lama. Siswa akselerasi dengan AQ rendah memiliki pengendalian yang rendah terhadap kesulitan studi sehingga cenderung akan menyerah. Mereka cenderung menyalahkan orang lain seperti teman atau guru tanpa merasa perlu memperbaiki situasi yang menimbulkan kesulitan studi tersebut. Kesulitan studi akan mempengaruhi semua aspek kehidupan sehingga mereka merasa kehidupannya dikelilingi oleh kesulitan. Mereka memandang kesulitan studi sebagai sesuatu yang berlangsung lama bahkan menetap sehingga membuat mereka putus asa dan menyerah. Derajat AQ tiap siswa dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pola asuh orang tua, peran guru sebagai figur pengajar di sekolah dan peran teman sebaya dimana individu tersebut berinteraksi (Dweck & Seligman dalam Stoltz, 2000:47). Orang tua sebagai figur pendidik pertama secara tidak langsung mengajarkan bagaimana

harus mengatasi permasalahan sehari-hari pada anaknya. Seorang ayah yang langsung membantu dan melakukan apa saja bagi anaknya untuk mengatasi kesulitan dalam studi, secara tidak langsung akan mengajarkan ketidakmampuan mengatasi kesulitan dalam studi dan kesulitan lainnya. Namun jika sejak dini anak dibiasakan mengatasi kesulitan studi dengan terlebih dahulu berusaha sendiri maka memungkinkan mereka lebih mampu menghadapi kesulitan studi dan berbagai kesulitan lainnya Guru sebagai figur pendidik di sekolah juga turut mempengaruhi perkembangan kemampuan siswa mengatasi kesulitan, terutama kesulitan studi di sekolah. Guru yang menjelaskan nilai buruk seorang siswa disebabkan dengan alasan penyebab permanen, seperti kecerdasan dan kepribadian siswa tersebut, akan membuat mereka menjadi kurang mampu berusaha mengatasi kesulitan studi. Namun apabila penjelasan yang diberikan guru bersifat sementara (seperti: kurang motivasi belajar) maka akan mendorong siswa merasa memiliki kemampuan untuk berusaha mengatasi kesulitan studi tersebut Teman sebaya yang merupakan lingkungan dimana seorang siswa berinteraksi juga mempengaruhi kemampuan mereka mengatasi kesulitankesulitan yang ada, termasuk kesulitan dalam studi. Seorang siswa akan belajar dari teman-temannya melalui modelling (meniru perilaku orang lain) mengenai bagaimana kecenderungan teman-teman sebaya tersebut berespons terhadap kesulitan studi maupun kesulitan lainnya.

BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN Bagan 1.1 Kerangka Pikir

1.6 ASUMSI 1. Dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar di kelas akselerasi, para siswa/i merasakan sejumlah kesulitan studi. 2. AQ merupakan salah satu faktor yang diperlukan siswa/i akselerasi dalam mengatasi kesulitan studi yang dialami. 3. Setiap siswa/i akan memberi respons yang berbeda-beda terhadap kesulitan studi yang dialami sesuai AQ dan keempat dimensi CORE yang dimiliki. 4. Perbedaan AQ dan keempat dimensi CORE pada siswa/i akselerasi menyebabkan perbedaan derajat kemampuan siswa/i dalam mengatasi kesulitan studi.