BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA

dokumen-dokumen yang mirip
Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Menurut Sadjijono dalam bukunya mengatakan:

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN

BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO 13 TAHUN 2006

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan diatur dalam buku ke dua, sedangkan

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO. Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) Kode Pos PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kata dasar sidik yang artinya memeriksa dan meneliti. Kata sidik diberi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA 2.1 Pengertian Perlindungan Hukum Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah melalui perangkat hukumnya seperti peraturan perundang-undangan, mulai dari seseorang dapat diidentivikasikan sebagai korban perdagangan anak, proses beracara melalui penyidikan, hingga pengadilan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial hingga proses pemulangan korban perdagangan anak. Pengertian perlindungan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 disebutkan sebagai upaya dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban yang wajib dilaksanakan oleh lembaga perlindungan saksi dan korban atau lembaga lainnya 1. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pelaku kejahatan sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah Mengatakan : 1 Andi Hamzah,1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, hal.33 22

Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia ada kecenderungan untuk mengupas hal- hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwijudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum 2. Jeremy Bentham menyatakan: Ganti rugi adalah suatu yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkrit (langsung) perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional, seperti rasa puas. Sementara itu perlindungan yang konkrit pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa materi ataupun non materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat manusia. Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian, hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut 3 1) Asas manfaat 2 Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-Undangan Prinsip-Prinsip Legislasi Hukum Perdata dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung, hal.316 3 Arif Gosita, 2005, Masalah Korban Kejahatan, Salemba, Jakarta, hal.50.

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana 2) Asas keadilan Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi juga oleh rasa keadilan bagi pelaku. 3) Asas keseimbangan Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula, asas keseimbangan memiliki posisi yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. 4) Asas kepastian hukum. Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya perlindungan hukum pada korban kejahatan. 2.2 Pengertian Anak Dalam setiap peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang anak memberikan pengertian dan batasan yang berbeda tentang anak. Hal ini dapat dipahami karena mengingat dari setiap peraturan perundang-undangan tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda tentang anak tergantung dari kepentingan peraturan tersebut terhadap anak dan umur kedewasaannya. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak memberikan pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Hal ini dijelaskan bahwa batas umur 21 tahun, karena

berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Mulyana W.Kusuma, yang dimaksud dengan anak adalah Mereka yang belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental,fisik, masih belum dewasa) dan anak disini meliputi anak sebagai pelaku, korban, dan pengamat atau saksi. Dalam hal ini berarti mereka harus dibina sendiri mungkin dalam rangka pencegahan menjadi korban dan menimbulkan korban. Berdasarkan beberapa pengertian tentang anak yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari segi usia kronologis menurut hukum, maka seseorang yang dikategorikan sebagai anak berbeda beda tergantung tempat, waktu, dan keperluannya. Dalam hal ini batas umur anak adalah relatif tergantung pada kepentingannya. 2.3 Pengertian Korban Secara umum yang dimaksud dengan korban adaalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan anak lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau anak lain yang bertentangan dan hak asasi yang menderita 4. Menurut Muladi yang dimaksud dengan korban ialah: 4 Suryono Ekatama, 2010, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, Liberty, Yogyakarta, hal.176.

Seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target/sasaran kejahatan Ketentuan lainnya yang memuat perihal korban dapat dilihat pada beberapa konvensi atau deklarasi, seperti: 1) Pada Declaration on the elimination of violence against women (diadopsi oleh resolusi majelis umum PBB Np. 48/104, 20 Desember 1993) 2) Declaration on sosial and legal principles relating to the protection and welfare of children, with special reference to foster placement and adoption nationally and internationally (diadopsi oleh resolusi majelis umum PBB NO. 41/1985 tanggal 3 Desember 1986) Apabila memperhatikan beberapa definisi tentang korban di atas terkandung adanya beberapa persamaan unsur dari korban, yaitu: 1) Anak (yang menderita) 2) Penderitaan yang sifatnya fisik, mental, ekonomi. 3) Penderitan karena perbuatan yang melanggar hukum. 4) Dilakukan oleh pihak lain Dalam beberapa perundang-undangan baik nasional maupun internasional, pengertian korban seringkali diperluas tidak hanya pada individu yang secara langsung mengalami penderitaan, tetapi juga termasuk didalamnya adalah keluarga dekat atau anak-anak yang menjadi tanggungan korban. Contohnya dalam Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pengertian korban diperluas meliputi juga ahli warisnya yang terdiri dari ayah, ibu, istri, suami dan anak.

Dalam viktimologi, dikenal pula apa yang dinamakan korban ganda yaitu korban yang mengalami berbagai macam penderitaan mental, fisik, dan sosial yang terjadi pada saat korban mengakami kejahatan setekah dan pada saat khasusnya diperiksa dan setelah selesainya pemeriksaan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Secara luas pengertian korban diartikan bukan hanyahanya sekedar anak yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsungpun juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagi korban. Korban tidak langsung contohnya adalah istri kehilangan suami, anak kehilangan orang tuanya. 2.4 Pengertian Kejahatan Kejahatan dibagi dalam dua pengertian yaitu baik secara yuridis maupun kriminologis. Pengertian kejahatan secara yuridis yaitu bahwa 5 : Tidak semua perbuatan manusia dapat disebut sebagai tindak pidana, hanya suatu perbuatan manusia yang dilarang dan diancam dengan hukuman dalam Undang-Undang yang disebut dengan tindak pidana Selanjutnya dalam pengertian secara kriminologis, Bonger mengemukakan bahwa pengertian kejahatan adalah 6 : Suatu perbuatan anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa pemberian penderitaan hukuman atau tindakan 2.5 Pengertian Perdagangan Anak 5 Bambang Purnomo, 2011, Asas-Asas Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal.16. 6 Yasmil Anwar dan Dadang, 2010, Kriminologi, Citra Aditya, Bandung, hal.318.

Pengertian perdagangan anak mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Perdagangan anak meliputi sederetan masalah dan isu sensitif yang kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi. Definisi perdagangan anak pertama kali dikemukakan pada tahun 2000, ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa menggunakan protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan atas manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang akhirnya terkenal dengan sebutan protokol Palermo protokol ini merupakan sebuah perjanjian yang merupakan perangkat hukum yang mengikat dan menciptakan kewajiban bagi semua Negara yang mewajibkan menyetujuinya. Definisi perdagangan anak menurut protokol Palermo tertuang didalam Pasal 3 yang rumusannya : 1) Perdagangan anak yang dilakukan oleh anak lain berarti perekrutan, pengiriman kesuatu tempat, pemindahan, penampungan, atau penerimaan melalui ancaman atau pemaksaan dengan kekerasan, penculikan, penipuan, penganiyayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. 2) Persetujuan korban perdagangan anak atas eksploitasi yang dimaksud pada Pasal (3) sub (a) Pasal ini menjadi tidak relevan apabila sarana yang dimaksud pada sub (a). 3) Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang anak untuk maksud eksploitasi dianggap sebagai perdagangan anak meskipun apabila ini tidak mencakup salah satu sarana yang termasuk pada sub (A) Pasal ini. 4) Anak berarti seseorang yang masih dibawah umur 18 tahun.

Definisi perdagangan anak yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang rumusannya: Perdagangan anak adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan penjeratan hutang atau member bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari anak yang memegang kendali atas anak lain tersebut, baik yang di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan anak tereksploitasi. Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa unsur unsur perdagangan anak adalah sebagai berikut: 1) Adanya tindakan atau perbuatan seperti perekrutan, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan anak. 2) Dilakukan dengan cara menggunakan ancaman atau kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penyalahgunaan kekuasaan, pemberian bayaran untuk memperoleh persetujuan. 3) Ada tujuan dan maksud yaitu untuk tujuan eksploitasi dengan maksud mendapatkan keuntungan dari anak tersebut. Dari pengertian tindak pidana perdagangan anak yang penulis paparkan dapat dirinci halhal penting sebagai berikut: 1) Bahwa tindak piana perdagangan anak merupakan delik formal, karena mendeskripsikan tindakan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana perdagangan anak.

2) Tindak pidana anak dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi atau penjeratan uang. 2.6 Perlindungan Korban Kejahatan Sebagai Wujud Perlindungan Hak Asasi Manusia Manusia adalah mahkluk sosial, konsekuensi dari eksistensi manusia sebagai makhluk sosial adalah perluya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antra manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung makna hak dan kewajiban 7. Dari berbagai hal yang melekat pada diri manusia, ada hak yang sangat fundamental dan mendasar yang diberikan kepada manusia sejak lahir sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan tidak dapat diganggu gugat bahka harus dilindungi dihormati dan dipertahankan yaitu hak asasi manusia. Muladi menyatakan hak asasi manusia pada hakikatnya adalah sepeangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga Negara dari keungkinan penindasan, pemasungan, dan atau pembatasan ruang gerak warga Negara oleh Negara. Hak asasi manusia adalah hak kodrat manusia. Begitu manusia dilahirkan langsung hak asasi itu melekat pada dirinya sebagai manusia sehingga tidak dapat dicabut oleh siapapun, sebab pencabutan hak asasi manusia berarti hilangnya sifat kemanusiaan yang ada pada diri manusia. Hal ini berarti harkat dan martabat manusia sebagai ciri khas kemanusiaan dari manusia tidak lagi dihormati dan diakui. Hak asasi manusia menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat dan mahkluk Tuhan yang harus dihormati dan dijamin setingginya oleh hukum. 7 Pudjiarto Harum, 2013, Hak Asasi Manusia Kajian Filosofis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Yogyakarta, hal.45.

Dalam kerangka perdagangan anak, banyak hak asasi yang seringkali diabaikan, antara lain: hak untuk idup, hak atas kebebasan, hak untuk tidak diperlakukan secara berbeda, padahal setiap manusia mempunyai hak untuk mempertahankan hidupnya dari berbagai gangguan ataupun ancaman yang menimpa dirinya baik dari manusia lainnya ataupun pemerintah. Oleh karena itu segala bentuk ancaman dan gangguan pada diri manusia pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia itu sndiri. Begitu pula sebagai bentuk pembiaran yang dilakukan oleh perseorangan terlebih oleh pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap adanya ancaman atau gangguan yang dialami oleh seseorang. Pada hakikatnya juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Adanya berbagai upaya preventif dan represif baik yang dialakukan oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui penegak hukum) seperti pemberian perlindungan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang adil terhadap pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia. 2.7 Pengaturan dan Kebijakan Dalam Menangani Korban Perdagangan Anak Kebijakan perlindungan pada korban pada hakikatnya merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan perlindungan. Berdasarkan konsep tersebut per Negara guna menciptakan suatu kesejahtraan sosial tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan materiil dari warga negaranya, tetapi lebih dari itu guna terpenuhinya rasa kenyamanan dan keamanan dalam beraktifitas. Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan korban kejahatan melalui Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain memiliki undang undang yang secara khusus mengatur

tentang perlindungan korban kejahatan, Indonesia juga memiliki beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan. Dalam beberapa Undang-Undang dapat ditemukan tentang perlindungan korban kejahatan sekalipun sifatnya masih persial.

Undang-Undang dan PERDA yang didalamnya memberikan pengaturan tentang perlindungan korban kejahatan, diantaramya: 1) Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP 4) Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia 5) Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 6) PERDA Kabupaten Jembrana No. 4 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang.