PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

PENERAPAN ASAS TIDAK ADA EKSTRADISI UNTUK KEJAHATAN POLITIK TERHADAP PENOLAKAN PERMINTAAN EKSTRADISI

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

SUATU TINJAUAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI. A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang

Keywords: Role, UNCITRAL, Harmonization, E-Commerce.

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

HUBUNGAN ANTARA NORMA HUKUM DENGAN ASAS HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

h. 17. h.1. 4 Ibid, h C.S.T Kansil dan Christine S.T., 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Pengertian

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

Lex Crimen Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2014

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA. Adji, Oemar Seno, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Cetakan ke-1, Erlangga, Jakarta.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM HAL KETERLAMBATAN SAMPAINYA BARANG

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA. Jacklyn Fiorentina

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

TINJAUAN MATA KULIAH...

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGATURAN PROSPEKTUS PENAWARAN WARALABA DALAM PERJANJIAN WARALABA. Oleh Calvin Smith Houtsman Sitinjak Desak Putu Dewi Kasih.

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN. Alma Panjaitan

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

PERLINDUNGAN KEPENTINGAN PARA PIHAK DALAM KONTRAK KERJASAMA INTERNASIONAL BERDASARKAN UNIDROIT

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

: KRISDIANA KATIANDAGHO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN E-COMMERCE DAN EKSISTENSI ELECTRONIC SIGNATURE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

ABSTRAK. Kata kunci : Yurisdiksi, Mahkamah Pidana Internasional, Komplementaris, Negara Bukan Peserta

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

PENERAPAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI PELAKU USAHA PERDAGANGAN LUAR NEGERI

ANALISIS YURIDIS HUKUMAN MATI TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL oleh Made Putri Saraswati A.A. Gede Oka Parwata Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Ne bis in idem principle is very important to protect individuals not to be punished more than once for the same offence. However,international practice shows that the application of this principle can be ruled out if the crime has linkage jurisdiction between two or more countries. Similarly, the International Criminal Court (ICC) can also override this principle and has the authority to prosecute or try a repetitive justice to the perpetrators of serious human rights crimes in the territory of contracting parties of the Rome Statute. This article discusses that the override of this principle may affect the jurisdiction of a country and directly intimidates" its legal sovereignty. Keywords: Ne bis in idem, serious human rights crimes, State sovereignty. ABSTRAK Asas ne bis in idem sangat penting dalam melindungi individu untuk tidak dihukum lebih dari satu kali atas kejahatan yang sama. Namun, dalam praktik internasional penerapan prinsip ini dapat dikesampingkan jika kejahatan yang dilakukan mempunyai pertautan yurisdiksi antara dua negara atau lebih. Begitu pula, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court / ICC) dapat mengesampingkan asas ini dan mempunyai wewenang untuk mengadili ataupun melakukan peradilan ulang terhadap pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat dalam teritoral Negara anggota peserta Statuta Roma. Tulisan ini membahas bagaimana pengesampingan terhadap asas ini mempengaruhi yurisdiksi suatu negara dan secara langsung mengancam kedaulatan hukumnya. Kata Kunci: Ne bis in idem, kejahatan HAM berat, kedaulatan negara I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Asas merupakan hal yang sangat esensi dalam penegakan hukum. 1 Secara leksikal asas berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak yang menopang kukuhnya suatu norma hukum. 2 Asas ne bis in idem merupakan salah satu prinsip dasar, yang artinya, seseorang tidak boleh diadili dan dihukum lebih dari satu 1 Sucipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Aditya Citra Bakti, Bandung, h.47. 2 Ibid. 1

kali atas kejahatan yang sama. 3 Asas ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya bagi individu bersangkutan. Penerapan asas ne bis in idem perlu untuk diperhatikan berkaitan dengan kedaulatan suatu negara. Ada kalanya, terhadap satu bentuk kejahatan atau tindak pidana, dapat menjadi kompetensi yurisdiksi pengadilan dua negara atau lebih. Dalam praktik internasional, penerapan asas ini tidak absolut keberlakuannya dan dapat dikesampingkan. 4 Begitu pula halnya dengan International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional mempunyai hak untuk mengesampingkan asas ini. 5 Sehingga ada kemungkinan bahwa seseorang dapat dihukum untuk kedua kali atas kejahatan yang sama namun pada yurisdiksi berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan asas ne bis in idem berkaitan dengan kedaulatan suatu negara, juga untuk mengetahui kewenangan dari ICC terhadap pelaku kejahatan HAM berat. II. ISI MAKALAH 2.1. METODE PENELITIAN Penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif dikatakan sebagai suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. 6 Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan --dalam hal ini menganalisis instrumen internasional yang relevan-- pendekatan konsep, dan pendekatan perbandingan. 2.2. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1. Penerapan Asas Ne Bis in Idem Terkait dengan Kedaulatan Suatu Negara 3 I Wayan Parthiana, 1990, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h. 52. 4 Aristo M.A. Pangaribuan, 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana Internasional, cet.1, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h. 100. 5 Pasal 20 ayat (3) Statuta Roma 6 Peter Mahmud Marzuki, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34. 2

Wilayah merupakan atribut yang paling penting bagi eksistensi suatu negara. Max Huber, seorang Arbitrator dalam Island of Palmas Arbitration berpendapat kedaulatan teritorial sebagai kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan negara itu. 7 Negara memiliki kekuasaan tertinggi untuk melaksanakan kedaulatan atas benda, orang, dan juga peristiwa hukum yang terjadi di wilayahnya. 8 Memiliki kekuasaan tertinggi berarti negara harus dapat menentukan kehendaknya sendiri serta mampu melaksanakannya. Kehendak negara tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk hukum. Penerapan asas ne bis in idem dalam praktiknya masih kontroversial, karena bersinggungan dengan kedaulatan suatu negara. Selain dalam perjanjian ekstradisi yang bersifat bilateral, penerapan asas ini juga dapat ditemukan dalam perjanjian yang bersifat multilateral. Seperti dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang melakukan monitoring terhadap implementasi Pasal 14 (7) ICCPR di negara anggota ICCPR, bahwa asas ne bis in idem dapat dikesampingkan apabila putusan tersebut diadili oleh negara lain. 9 Hal ini juga, dapat dilihat dalam Pasal 4 (1) Protokol No.7 European Convention of Human Rights (ECHR) yang menyatakan tidak ada seorang pun yang dapat diadili atau dihukum lagi atas tindakan yang sama di bawah yurisdiksi negara yang sama. 10 Kedua konvensi tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang dapat diadili dua kali atas kejahatan yang sama namun berbeda yurisdiksi. Akibatnya, tidak ada jaminan kepastian hukum bagi orang itu sendiri yang merupakan pelanggaran HAM. Walaupun kedua konvensi tersebut dapat dikatakan kurang menjamin kepastian hukum, Schengen Convention mencegah dua negara atau lebih yang mempunyai pertautan yurisdiksi melakukan penuntutan untuk kedua kali atas kejahatan yang sama. Dalam Pasal 54 konvensi ini mengenai application of the ne bis in idem principle menyatakan bahwa apabila hukuman telah dijatuhkan dan diberlakukan maka negara 7 J.G. Starke, Q.C., 1988, Pengantar Hukum Internasional 1, Ed. Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, h. 211. 8 Huala Adolf, 2010, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasiona edisi revisi, PT. Rafika Aditama, Bandung, h. 20. 9 Human Rights Committee, General Comment 13, www1.umn.edu/.../gencomm/hrcom13.htm diakses terakhir pada tanggal 3 April 2014. 10 Ibid. 3

anggota lainnya tidak dapat menuntut atas kejahatan yang sama. Schengen Convention mensyaratkan negara anggota konvensi ini untuk menghormati kedaulatan masingmasing negara. 11 2.2.2. Kewenangan ICC di dalam Melakukan Upaya Hukum terhadap Pelaku Kejahatan HAM Berat ICC mempunyai otoritas bertindak melebihi batas kedaulatan negara (supranasional) untuk membrantas kejahatan-kejahatan HAM berat di dalam teritorial negara anggotanya dan hanya menargetkan aktor-aktor utama yang paling bertanggung jawab. 12 Akibatnya, kewenangan ICC akan turut mempengaruhi yurisdiksi suatu negara dan secara langsung mengancam kedaulatan hukum negara anggotanya. Statuta Roma mengatur beberapa pengecualian terhadap asas ne bis in idem, tepatnya dalam Pasal 20 (3) yang menyatakan bahwa ICC mempunyai hak untuk melakukan peradilan ulang apabila peradilan sebelumnya diadakan dengan tujuan untuk melindungi orang tersebut dan peradilannya bersifat non-independen dan berpihak. 13 Tetapi apabila pasal tersebut dicermati, asas ne bis in idem hanya dapat dikecualikan pada kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan genosida (Pasal 6), kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) dan kejahatan perang (Pasal 8), sedangkan tidak pada kejahatan agresi (Pasal 5). Namun keberadaan ICC ini tidaklah menggantikan peradilan nasional melainkan melengkapi karena dibatasi oleh asas komplementaritas (complementarity principle) sesuai dengan Pasal 1 Statuta Roma. Di dalam Pasal 17 Statuta Roma mengandung suatu pengertian, bahwa yurisdiksi nasional lebih didahulukan daripada yurisdiksi ICC. 14 Yurisdiksi ICC hanya dapat aktif apabila penegakan hukum nasional suatu negara dianggap tidak mampu (unable) atau tidak mau/serius (unwilling) menyelesaikan suatu kejahatan HAM berat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 Statuta Roma. Ketika ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan dan penyerahan, negara yang 11 RN Daniels, Non Bis in Idem and the International Criminal Court, Research Paper, Northwestern University School of Law, law.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=628&context=expresso diakses terakhir pada tanggal 06 Maret 2014. 12 Aristo M.A. Pangribuan, op.cit, h. 19. 13 Ibid,h. 23. 14 Tijana Surlan, Ne bis in idem in Conjunction with the Principle of Complementarity in the Rome Statute, diakses terakhir pada tanggal 06 maret 2014, www.esil-sedi.eu/.../surlan_0.pdf 4

bersangkutan haruslah mentaati dan tidak dapat menolak dengan argumentasi kedaulatan negara. Dengan demikian, maka negara-negara anggota demi melindungi kedaulatan negaranya haruslah menegakkan pelaku pelanggaran HAM dengan sungguhsungguh. III. KESIMPULAN Penerapan asas ne bis in idem dalam praktik internasional masih banyak diperdebatkan, karena bersinggungan dengan kedaulatan suatu negara. Beberapa konvensi internasional menyebutkan bahwa asas ini dapat dikesampingkan apabila putusan tersebut diadili di negara lain. Artinya asas ne bis in idem ini hanya berlaku mutlak dalam ruang lingkup nasional sehingga dapat dikatakan tidak ada jaminan kepastian hukum. Tidak terlepas dari asas ne bis in idem, ICC juga mempunyai kewenangan untuk mengadili dan melakukan peradilan ulang tehadap suatu tindak pidana apabila negara anggota tersebut unwilling dan unable untuk menegakkan hukum terhadap kejahatan bersangkutan. DAFTAR PUSTAKA Aristo M.A. Pangaribuan, 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana Internasional, cet.1, Papas Sinar Sinanti, Jakarta. I Wayan Parthiana, 1990, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum NasionaL Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung. J.G. Starke, Q.C., 1988, Pengantar Hukum Internasional 1, Ed. Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. RN Daniels, Non Bis in Idem and the International Criminal Court, Research Paper, Northwestern University School of Law, law.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=628&context=expresso Tijana Surlan, Ne bis in idem in Conjunction with the Principle of Complementarity in the Rome Statute, www.esil-sedi.eu/.../surlan_0.pdf Human Rights Committee, General Comment 13, www1.umn.edu/.../gencomm/hrcom13.htm Statuta Roma (Rome Statute of the International Criminal Court). 5