BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penerimaan diri 2.1.1 Definisi Penerimaan Diri Ellis (dalam Richard et al., 201) konsep penerimaan diri disebut Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu terhadap dirinya. Individu sepenuhnya sebagai pribadi yang unik dan tunggal bahwa individu selalu memiliki nilai untuk dirinya sendiri selama individu masih hidup, hanya nilai intrinsiknya atau nilai diri dan tidak tergantung dengan cara apapun pada nilainya ekstrinsik atau layak untuk orang lain. Individu dengan penerimaan diri tanpa syarat cenderung menerima kritik dan tidak merasa cemas terhadap apa yang individu tampilkan tanpa meminta persetujuan orang lain. Ellis (dalam Bernard et al., 2013), merumuskan penerimaan diri sebagai berikut: 1) Individu sepenuhnya dan tak bersyarat menerima diri baik ketika individu mampu berperilaku cerdas, tepat dan sempurna atau tidak, baik orang lain mengakui, menghargai dan mencintai atau tidak. 2) Indvidu adalah manusia yang rentan berbuat salah, dan memiliki kekurangan. Individu akan melakukan intropeksi terhadap kesalahan yang diperbuat. 3) Individu tidak memberi penilaian negatif atau positif harga diri secara menyeluruh. 8
4) Individu adalah pribadi yang berharga hanya karena individu ada di dunia meskipun individu melakukan kesalahan. Bernad et., al (2013) penerimaan diri kaitannya dengan kekuatan karakter sebagai kualitas khusus individu yang relatif tetap stabil dari waktu ke waktu dalam berbagai situasi anak muda memiliki: 1) Kesadaran dan apreasiasi diri terhadap karakter positif yang dimiliki dan mengembangkan potensi-potensi seperti kepribadian, bakat, keluarga, agama, karakteristik budaya. 2) Ketika peristiwa negatif terjadi (kurang sukses, kritik, penolakan dari orang lain) atau indvidu terlibat dalam perilaku negatif, individu merasa bangga atas dirinya dan menerima diri secara tidak bersyarat, serta individu tidak menilai nilai diri dan harga diri secara negatif. Ellis (dalam Bernard, 2013), mengungkapkan bahwa individu yang tidak mampu menerima diri karena memiliki kepercayaan-kepercayaan irasional mengenai diri yang digunakan individu untuk mendefinisikan dirinya secara global. 2.1.2 Manfaat penerimaan diri Menurut Bernard (2013), penerimaan diri memunculkan emosi positif, hubungan negatif yang memuaskan, memampukan individu melakukan penyesuian terhadap peristiwa negatif. Individu terbuka terhadap pengalaman hidup sehingga pemahaman individu semakin meningkat. 9
Menurut Ellis (dalam Bernad, 2013), penerimaan diri dapat membebaskan individu dari kecemasan, depresi, dan menuntun individu menjelajahi hal baru yang membawa individu menikmati hidup dalam kebahagiaan yang besar. 2.2 Konseling Kelompok Realita 2.2.1 Pengertian Konseling Realita Individu yang tidak dapat memuhi kebutuhannya secara realistis dan telah melanggarnya dengan cara kurang realistis akan mengarah pada kegagalan dalam suatu usahanya. Glasser (1975) konseling realita adalah proses dimana konselor menuntun individu (konseli) dapat menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan mereka Prinsip-prinsip konseling realitas diarahkan untuk mencapai keterlibatan yang tepat, benar-benar jujur, hubungan manusia dimana individu pertama kali dalam hidupnya cukup peduli tentang dirinya, tidak hanya menerima dirinya tetapi untuk membantunya memenuhi kebutuhannya di dunia nyata 2.2.2 Teori dan Konsep Dasar Untuk melakukan konseling realita, tidak hanya untuk membantu konseli menerima kebutuhannya di dunia nyata tetapi kemudian konselor harus lebih lanjut memenuhi kebutuhannya di dunia nyata sehinga individu tidak akan memiliki kecenderungan di masa depan untuk menyangkal keberadaannya. Semua manusia memiliki kebutuhan fisiologis dan psikologis yang sama, orang yang kompeten mungkin menggambarkan kebutuhan berbeda, tetapi tidak ada perselisihan yang serius bahwa dalam semua budaya dan semua derajat 10
manusia memiliki kebutuhan yang sangat penting. Pemenuhan kebutuhan fisiologis untuk makanan, kehangatan, dan sisanya jarang menjadi perhatian konselor. Glasser (1975) menyatakan konselor harus konsentrasi dengan dua kebutuhan psikologis dasar yaitu the need to love and be loved and the need to feel that we are worthwhile to our selves and to others. 1) The need to love and be loved atau kebutuhan untuk mencintai dan dicintai Ketika individu tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan individu akan cinta atau membiarkan diri individu untuk dicintai tidak cukup, individu harus melakukan kedua-duanya. Ketika individu tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan akan cinta individu akan gagal, menderita dan bereaksi dengan banyak gejala psikologis seperti kecemasan dan depresi untuk menyelesaikan dari sekitar individu. Sama pentingnya dengan kebutuhan akan cinta adalah kebutuhan untuk merasa bahwa kita berharga baik untuk diri sendiri dan kepada orang lain. Meskipun dua kebutuhan yang terpisah, orang yang mencintai dan dicintai biasanya akan ada sesorang yang dicintai dan memberikan cinta kembali. 2) The need to feel that we are worthwhile to our selves and to others. Kebutuhan untuk merasa bahwa kita berharga untuk diri kita sendiri dan sebagaian lainnya. Tetapi apakah kita dicintai atau tidak untuk menjadi bermanfaat kita harus mempertahankan standar yang memuaskan perilaku. Untuk melakukannya individu harus belajar untuk mengkoreksi diri ketika berbuat salah dan memberikan penghargaan diri sendiri ketika melakukan benar. Jika individu tidak mengevaluasi perilaku individu sendiri, atau setelah dievaluasi individu tidak bertindak untuk meningkatkan perilaku, individu tidak akan memenuhi 11
kebutuhan individu untuk menjadi bermanfaat dan individu tidak akan memenuhi kebutuhan menjadi berharga dan individu menderita seperti gagal untuk mencintai dan dicintai. 2.2.3 Prosedur Konseling Kelompok Realita Glasser (dalam Corey, 1984) telah mengembangkan delapan prinsip atau konsep yang membentuk konseling realita. 1) Tahap keterlibatan pribadi dengan klien Langkah pertama konseling realita adalah menjadi bersahabat dengan klien. Menciptakan hubungan yang akan menjadi dasar dari hubungan terapeutik. Di tahap keterlibatan pemimpin harus memiliki kualitas pribadi tertentu, termasuk kehangatan, pengertian, penerimaan, perhatian, menghormati klien, keterbukaan dan keinginan untuk ditantang oleh lainnya. 2) Tahap perubahan perilaku Perubahan perilaku lebih mudah untuk mempengaruhi bahwa perubahan sikap dan nilai yang lebih besar dalam proses konseling. Untuk alasan bahwa konseli yang mengungkapkan perasaan depresi dan ketidakberdayaan tidak akan ditanya tentang alasan untuk perasaannya atau didorong untuk menjelajahinya. Sebaliknya konseling realita akan mendorong untuk mengidentifikasi perilaku yang menyebabkan atau mendukung perasaan-perasaan. Tujuannya adalah untuk membantu konseli memahami tanggung jawab terhadap perasaan konseli sendiri, sebagai cara untuk mendorong konseli melihat apa yang sesungguhnya konseli lakukan ntuk berkontribusi pada perasaan mereka. 12
3) Evaluasi perilaku Setelah anggota kelompok dapat mengidentifikan dan bertanggungjawab atas perilakunya saat ini, konseling realita menuntun individu untuk mengevaluasi perlaku yang berdasarkan apa yang baik bagi individu dan untuk lainnya. Pada akhinya perilaku individu mengarah ke identitas keberhasilan atau identitas kegagalan. Glasser (1975) mencatat bahwa bukan fungsi konseling realita untuk bertindak sebagai moralis memutuskan apa yang konseli harus melakukan atau memaksakan nilai-nilai. Memang konseling realita diperintahkan dari menawarkan saran atau bahkan mengarahkan konseli untuk berubah. Konselor tidak membuat penilaian-nilai bagi konseli, untuk ini akan membebaskan dari tanggung jawab untuk perlakuan konseli tetapi konselor memandu konseli untuk evaluasi perilakunya sendiri. Dengan demikian upaya utama konseling berfokus pada membantu konseli untuk membantu dampak dari tingkah lakunya untuk menerima konsekuensinya 4) Rencana dan tindakan Setelah konseli telah membuat pertimbangan nilai pada perilakunya dan memutuskan untuk mempengaruhi perubahan nilai pada perilakunya dan memutuskan untuk mempengaruhi perubahan positif dalam perilaku. Konselor dibebankan dengan tugas membantu konseli alam mengembangkan rencana untuk perubahan perilaku. 5) Komitmen Biasanya orang-orang dengan identitas kegagalan mengalami kesulitan membuat dan menjaga komitmen penting, karena sebagaian dari kegagalan 13
mereka terkait dengan komitmen. Merumuskan bahkan rencana yang paling masuk akal dan praktis adalah buang-buang waktu jika konseli tidak memiliki kemauan untuk menerapkannya. Glasser dan Zunin (1975) menunjukkan bahwa rencana secara tertulis dalam bentuk kontrak-kontrak yang akan membantu anggota kelompok dalam memegang sendiri tanggung jawab lainnya untuk melakukan rencana. 6) Penolakan untuk menerima kesalahan Tidak ada jumlah yang cermat dan komitmen teliti dapat menjamin bahwa anggota kelompok akan mengikuti rencana mereka. Kegagalan tersebut dapat dan memang terjadi bahkan anggota akan mengikuti rencana mereka. Tetapi Glasser memperingatkan konseling dari bahaya memanfaatkan karena gagal untuk tetap dengan komitmen atau dengan mengajukan pertanyaan sia-sia tentang mengapa rencana tersebut gagal. 7) Tidak ada hukuman Konseling realita beranggap bahwa hukuman bukanlah alat yang berguna untuk mempengaruhi perilaku. Glasser (1975) menyatakan bahwa hukuman tidak efisien dalam mengubah perilaku tetapi juga memperkuat identitas kegagalan konseli dan merusak hubungan terapeutik. Oleh karena itu dari pada menggunakan hukuman, konselor menantang konseling untuk melihat dan menerima konsekuensi wajar dari tindakan konseli. 8) Penolakan untuk penyerahan 14
Langkah terakhir konseling realita adalah jangan pernah menyerah dengan identitas kegagalan. Oleh karena itu tidak peduli apa yang dikatakan atau dilakukan itu adalah konseling untuk membantu konseli untuk tidak menyerah 2.3 Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai komunikasi penerimaan diri dan konseling kelompok realita akan membantu memperkuat, menambahkan, membandingkan, bahkan membenarkan terhadap penelitian dengan judul Meningkatkan Peningkatan Penerimaan Diri Melalui Konseling Kelompok Realita untuk Siswa Kelas VIII SMP Negeri 9 Salatiga Tahun Pelajaran 2013/2014. Berikut mengenai penelitian-penelitian yang terdahulu yang menjadi landasan bagi penelitian ini : a. Akbar Heriyadi (2013) dengan judul judul Meningkatkan Penerimaan Diri (Self Acceptance) siswa kelas VIII melalui konseling realita di SMP Negeri 1 Bantarbolang Kabupaten Pemalang serta penelitian b. Agis Setyaningsih (2012) yang berjudul Peningkatan Penerimaan Diri melalui konseling kelompok pada siswa kelas XI di MAN Pakem 2.4 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Post-Test Kelompok Eksperimen Treatment Hasil Pre-Test Dibandingkan Kelompok Kontrol Tanpa Treatment Hasil 15
Penelitian ini memiliki beberapa tahap, yang pertama dilakukan adalah melakukan pre test pada subjek penelitian sebagai test awal untuk mengetahui penerimaan diri subjek penelitian, sehingga subjek penelitian dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan dibuktikan dengan hasil uji homogenitas yang dilakukan. Namun, kedua kelompok tidak mendapatkan perlakuan yang sama, kelompok eksperimen mendapatkan treatment berupa layanan konseling kelompok realita, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan treatment. Setelah treatment selesai diberikan, kedua kelompok melakukan post test skala penerimaan diri untuk dibandingkan hasilnya. 2.5 Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: Ada peningkatan yang signifikan dalam penerimaan diri untuk siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Salatiga melalui konseling kelompok realita. 16