PERKEMBANGAN TELUR INFEKTIF Ascaridia galli MELALUI KULTUR IN VITRO

dokumen-dokumen yang mirip
Key words: Ascaridia galli, embrionated eggs, larvae

POPULASI L3 PADA AYAM PETELUR YANG DIINFEKSI DENGAN DOSIS L2 Ascaridia galli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama

(PREVALENCE AND INTENSITY OF ASCARIDIA GALLIINFECTION TO DOMESTIC CHICKEN IN BUKIT JIMBARAN AREA, BADUNG)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

PROLIFERASI SEL GOBLET DUODENUM, JEJUNUM, DAN ILEUM AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN PROTEIN EKSKRETORI/SEKRETORI ASCARIDIA GALLI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

mencapai stadium infektif (L 2 ) dalam waktu hari tergantung kepada temperatur serta kelembaban lingkungan (Gambar 1). Daur hidup disempurnakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN PROTEASE DAN DITANTANG DENGAN DOSIS 1000 L 2 Ascaridia galli

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

Analisis Faktor-Faktor Resiko Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Bogor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :41-46 ISSN : Agustus 2009 PREVALENSI INFEKSI CACING TRICHURIS SUIS PADA BABI MUDA DI KOTA DENPASAR

EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATERI DAN METODA. Materi

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli

MASALAH ASCARIASIS PADA AYAM

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... INTISARI... ABSTRACT...

DISAIN PENELITIAN. SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

PERKEMBANGAN DAN GAMBARAN ANATOMIS LARVA INFEKTIF (L3) Haemonchus contortus YANG DIBIAKKAN DENGAN VERMICULLITE

ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR DARMAWI

Dampak Infeksi Ascaridia galli Terhadap Gambaran Histopatologi dan Luas Permukaan Vili Usus Halus serta Penurunan Bobot Hidup Starter

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Uji Daya Antelmintik Ekstrak Perasan dan Infusa Daun Srikaya (Annona squamosa L.) Terhadap Cacing Gelang Ayam (Ascaridia galli) Secara In Vitro

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menyerang unggas, termasuk ayam (Suripta, 2011). Penyakit ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Perbedaan Heritabilitas Infeksi Heterakis gallinarum pada Ayam Lokal dan Ras Lohman

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Cacing Endoparasit pada Feses Ayam Pedaging dan Ayam Petelur

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB, Kampus Darmaga Bogor Indonesia 2)

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

I. PENDAHULUAN. ton), dan itik/itik manila ( ton). ayam untuk berkeliaran di sekitar kandang membuat asupan makanan ayam

POTENSI ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3, IMUNOGLOBULIN YOLK, DAN KOMBINASINYA TERHADAP PENURUNAN POPULASI Ascaridia galli

Kepadatan Nematoda Gastrointestinal Itik Manila (Cairina moschata) yang Dipasarkan di Pasar Flamboyan Kota Pontianak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PURIFIKASI PROTEASE DARI EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli ABSTRAK

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

EVALUASI PEMAKAIAN ANTELMINTIKA SINTETIK DI PETERNAKAN AYAM PETELUR SKALA KECIL (Studi Kasus di Kabupaten Blitar)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 1. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANLatihan Soal 1.5. Metagenesis. Metamorfosis. Regenerasi

ABSTRAK. Kata Kunci: Prevalensi, Intensitas, Tetrameres spp., Ayam Buras, Bukit Jimbaran

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

ABSTRAK EFEK INFUSA DAUN GANDARUSA

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK (IgY) PADA AYAM PETELUR DARMAWI

RESPONS SEL GOBLET TERHADAP PENYAKIT PARASITIK PADA AYAM PETELUR YANG DIBERIKAN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMERIKSAAN NEMATODA USUS PADA FAECES ANAK TK (TAMAN KANAK- KANAK) DESA GEDONGAN KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO

Cacing Parasit Saluran Pencernaan Pada Hewan Primata di Taman Satwa Kandi Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

N E M A T H E L M I N T H E S

Ascaris suum pada babi berperan sebagai molekul biologi aktif untuk penetasan telur, molting, pemecah jaringan inang, invasi dan migrasi larva ke

PENGARUH INFEKSI CACING Ascaridia galli TERHADAP GAMBARAN DARAH DAN ELEKTROLIT AYAM KAMPUNG (Gallus domesticus)

AKURASI METODE RITCHIE DALAM MENDETEKSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BABI

RESPONS PERTAHANAN MUKOSA USUS HALUS AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN PROTEASE DAN DITANTANG DENGAN DOSIS 1000 L 2 Ascaridia galli

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung

DAYA VERMISIDAL DAN OVISIDAL BIJI PINANG (Areca catechu L) PADA CACING DEWASA DAN TELUR Ascaris suum SECARA IN VITRO

Identifikasi dan Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Anak Babi di Bali

KORELASI PANJANG EKOR DAN PANJANG TUBUH TERHADAP JENIS KELAMIN ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyediaan protein hewani di Indonesia. Pada tahun 2004 produksi daging unggas

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

Transkripsi:

PERKEMBANGAN TELUR INFEKTIF Ascaridia galli MELALUI KULTUR IN VITRO The Development of Ascaridia galli Infective Eggs by In Vitro Culture Ummu Balqis 1, Darmawi 2, Muhammad Hambal 3, dan Risa Tiuria 4 1 Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 4 Laboratorium Helminthologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor E-mail: u_balqis@yahoo.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menentukan jumlah telur infektif Ascaridia galli yang berkembang melalui kultur in vitro. Cacing A. galli diperoleh dari dalam lumen usus halus ayam kampung yang terinfeksi secara alami. Perkembangan telur infektif diperiksa sebanyak tujuh kali, masing-masing pemeriksaan pada 3, 4, 5, 6, 11, 15, dan 18 ekor cacing A. galli betina dewasa. Telur cacing yang diperoleh dari uterus cacing betina A. galli dewasa diinkubasikan di dalam aquadestilata steril pada temperatur kamar selama 20 31 hari untuk mendapatkan telur infektif A. galli. Jumlah telur dan jumlah telur infektif yang berkembang dihitung di bawah stereomikroskop. Total jumlah telur yang diperoleh adalah 1.045.478 telur dan telur yang berkembang menjadi telur infektif adalah 935.300 telur. Persentase telur berkembang menjadi telur infektif adalah 89,46%. Kata kunci: Ascaridia galli, telur infektif ABSTRACT The aim of this study was to determine the survival of embrionated eggs of Ascaridia galli. Adult female worms were obtained from lumen of intestine of native chickens in a slaughter house. Eggs obtained from the uteri of adult female worms were incubated in distilled water at room temperature for 20-31 days in order to develop A. galli infective eggs. The eggs were counted using stereomicroscope. The result showed that the amount of A. galli eggs were 1,045,478 and the amount of embrionated eggs were 935,300 (89.46%). Keywords: Ascaridia galli, embrionated eggs 227

J. Ked. Hewan Vol. 3 No. 2 September 2009 PENDAHULUAN Cacing yang hidup dan berkembang di dalam saluran gastrointestinal sering ditemukan pada unggas. Fahrimal dan Raflesia (2002) berhasil mengidentifikasi tiga jenis nematoda yang ditemukan pada ayam kampung di provinsi Aceh, yaitu Ascaridia galli, Heterakis gallinae, dan Capillaria spp. Dari ketiga jenis nematode di atas, A. galli adalah jenis yang paling sering ditemukan. Investigasi Eshetu et al. (2001) pada empat distrik di wilayah pinggiran Amhara (Ethiopia) menunjukkan bahwa prevalensi cacing nematoda yang menginfeksi ayam adalah A. galli (35,58%), Heterakis gallinae (17,28%), Subulura brupti (17,60), Cheilospirura hamulosa (0,75%), dan Dyspharynx spiralis (2,62%). Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan (Soulsby, 1982). Cacing ini memiliki kutikula ekstraseluler yang tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematoda cacing dewasa (Bankov dan Barrett, 1993). Pada bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua sisi terdapat sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh (Calneck, 1997). Permin dan Hansen (1998) mengatakan bahwa cacing jantan dewasa berukuran panjang 51 76 mm dan cacing betina dewasa 72 116 mm. Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spikula berukuran panjang 1 2,4 mm, sedangkan cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. Telur A. galli berbentuk oval, kerabang lembut, tidak bersegmen, dan berukuran 73 92 x 45 57 µm. Prevalensi ascaridiosis tergolong tinggi seperti yang dilaporkan Darmawi et al. (2007). Tampilan tubuh yang besar, keunikan siklus hidup yang dapat berlangsung pada lingkungan bebas dan pada saluran cerna inangnya serta kemampuan A. galli menginvasi ke jaringan (Soulsby, 1982), menjadi alasan bahwa persentase perkembangan telur infektif A. galli secara in vitro sangat penting untuk dikaji sebagai landasan yang mengukuhkan penelitian selanjutnya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji keberhasilan perkembangan telur menjadi telur infektif. MATERI DAN METODE Rancangan Penelitian Cacing A. galli betina dewasa diperoleh dari dalam lumen usus halus ayam kampung yang terinfeksi secara alami. Cacing dikelompokkan berdasarkan jumlah cacing betina dewasa yang ditemukan. Telur diambil langsung dari uterus A. galli betina dewasa dan diinkubasi secara in vitro selama 21 30 hari pada temperatur ruangan untuk mendapatkan telur infektif. Jumlah telur yang berkembang menjadi telur infektif dihitung di bawah stereomikroskop. Cacing A. galli Betina Dewasa Usus ayam kampung yang diperoleh dari tempat pemotongan ayam disayat secara longitudinal sehingga isi usus ayam dapat diamati. Cacing A. galli dewasa yang ditemukan dibersihkan di dalam cairan aquadestilata dan diidentifikasi jenis kelaminnya berdasarkan bentuk ujung ekor dan ukuran tubuh 228

cacing. Cacing yang memiliki bentuk ekor yang lurus dan tubuh yang lebih besar diidentifikasi sebagai cacing A. galli betina dewasa. Telur A. galli Cacing terpilih diamati di dalam cairan aquadestilata steril di bawah stereo mikroskop dan tubuhnya dilukai dengan ujung oese yang tajam sehingga uterusnya keluar dari tubuh cacing. Uterus ditoreh kembali sehingga telur A. galli mengalir di dalam aquadestilata. Jumlah telur yang diperoleh dari setiap pemeriksaan telur dari sejumlah cacing A. galli betina dewasa dihitung di bawah mikroskop. Telur cacing tersebut diendapkan dan dimasukkan ke dalam eppendorf volume 1 ml aquadestilata Sebanyak 100 µl suspensi telur yang homogen dari volume endapan 1 ml tersebut diambil dan dihitung kandungan telurnya dengan tiga kali ulangan. Jumlah telur cacing ditentukan dengan cara menghitung jumlah telur dari populasi cacing yang disayat dengan rumus: 10 x rataan kandungan telur dalam 100 µl (Tiuria, 1991). Perkembangan Telur Infektif A. galli Telur cacing dikultur secara in vitro melalui inkubasi dalam cawan petri plastik berisi aquadestilata steril pada temperatur kamar selama 20 31 hari (tergantung perkembangan larva) sehingga terbentuk larva infektif (Tiuria, 1991). Jumlah telur yang berkembang menjadi telur infektif dihitung di bawah mikroskop. Larva infektif yang terbentuk dikemas dalam eppendorf dengan dosis 1000 telur infektif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan terhadap tiga, empat, dan enam ekor cacing menunjukkan bahwa setiap ekor cacing A. galli betina dewasa mampu menghasilkan 10.000 telur. Ada variasi jumlah telur yang dihasilkan oleh setiap ekor cacing A. galli betina dewasa, seperti yang ditunjukkan pada pemeriksaan lima ekor cacing bahwa jumlah telur yang dihasilkan oleh setiap ekor cacing A. galli betina dewasa adalah kira-kira 6.000 telur. Variasi kemampuan bertelur setiap ekor cacing A. galli juga ditunjukkan pada pemeriksaan 11, 15, dan 18 ekor cacing. Kondisi ini merefleksikan bahwa kemampuan cacing A. galli untuk bertelur sangat tinggi. Apalagi angka tersebut masih mungkin dapat bertambah karena pematangan telur di dalam uterus cacing A. galli tidak serentak. Pada saat uterus A. galli dilukai untuk mengalirkan telur ke dalam aquadestilata, telur yang belum matang masih banyak melekat di dalam uterus cacing A. galli. Hasil perhitungan telur cacing A. galli dari setiap kali pemeriksaan disajikan pada Gambar 1. Jumlah Telur Cacing A. galli 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 Produksi Telur Cacing A. galli 3 4 5 6 11 15 18 Jumlah Cacing A. galli Betina Dewasa Gambar 1. Grafik kemampuan cacing A. galli betina dewasa memproduksi telur Secara keseluruhan, cacing A. galli betina dewasa menghasilkan 1.045.478 telur yang berhasil berkembang menjadi 935.300 229

J. Ked. Hewan Vol. 3 No. 2 September 2009 telur infektif. Prosentase perkembangan telur menjadi telur infektif dari hasil pemeriksaan terhadap 3, 4, 5, 6, 11, 15, dan 18 ekor cacing berturut-turut adalah 87, 92, 94, 89, 97, 89, dan 85%. Hasil tersebut menunjukkan kemampuan berkembang telur yang dikultur secara in vitro sangat tinggi dimana prosentase telur berkembang menjadi telur infektif adalah 89,46%. Perkembangan telur menjadi telur infektif yang diperoleh dari A. galli betina dewasa disajikan pada Gambar 2. Perkembangan Telur Menjadi Telur Infektif Cacing A. galli Jumlah Telur Infektif Cacing A. galli 100000 80000 60000 40000 20000 0 28818 38989 Gambar 2. Grafik keberhasilan telur berkembang menjadi telur infektif A. galli Telur A. galli yang dilepaskan bersama tinja inang definitif dapat berkembang dalam waktu 10 hari atau lebih pada temperatur rendah. Perkembangan tersebut menyebabkan massa telur berubah dan dipenuhi oleh gelungan larva infektif. Viabilitas telur infektif dapat bertahan selama tiga bulan atau lebih pada kondisi lingkungan yang terlindungi, tetapi dengan cepat terbunuh oleh kekeringan dan cuaca panas (Soulsby, 1982). 24932 40294 49433 64382 104979 Jumlah Telur Cacing A. galli Menurut Permin dan Hansen (1998) siklus hidup A. galli bersifat langsung yaitu pematangan seksual berlangsung di dalam traktus gastrointestinal inang definitif dan stadium infektif berlangsung di dalam telur resisten berembrio di lingkungan bebas. Telur dikeluarkan bersama feses inang definitif dan akan mencapai stadium infektif dalam waktu 10 20 hari tergantung kepada temperatur serta kelembaban lingkungan. Daur hidup disempurnakan ketika telur infektif A. galli teringesti oleh inang definitif melalui makanan atau air terkontaminasi. Telur mengandung embrio secara mekanik terbawa ke duodenum atau jejunum hingga menetas setelah 24 jam pasca ingesti. Selama penetasan gelungan larva muncul dari ujung anterior telur melewati celah terbuka keluar ke dalam lumen intestinal untuk menjadi L 3. Soulsby (1982) menyatakan bahwa larva L 3 A. galli melanjutkan fase histotropik dengan cara menanamkan dirinya pada lapisan mukosa duodenum (fase jaringan) menjadi L 4. Durasi fase histotropik berlangsung selama 3 54 hari pasca infeksi. Setelah mengalami empat kali molting, L 5 (cacing muda) akan tumbuh dan mencapai dewasa di dalam lumen duodenum. Periode prepaten cacing A. galli berlangsung dalam waktu 5 8 minggu (Soulsby, 1982) dan 11 15 minggu (Athaillah, 1999). Menurut Idi et al. (2004) ayam Lohman Brown yang diinfeksi A. galli kadang-kadang dapat menimbulkan diare. Tiuria (1991) menyatakan bahwa infeksi A. galli dapat mengurangi berat badan dan menurunkan produksi telur ayam Isa Brown. Kilpinen (2006) melaporkan pula bahwa bila dibandingkan dengan penurunan berat badan ayam akibat infeksi tungau Dermanyssus gallinae, infeksi A. galli menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena ascaridiosis dapat mengganggu efisiensi absorpsi nutrisi yang berlangsung di dalam usus halus ayam petelur. Stadium telur infektif A. galli memainkan peranan yang sangat penting dalam siklus hidupnya karena apabila telur 230

infektif ditelan oleh host (unggas), telur infektif akan menetas dan berkembang menjadi stadium selanjutnya. Unggas dapat terinfeksi secara langsung oleh A. galli apabila telur infektif tertelan bersama pakan dan atau minuman yang terkontaminasi. Cacing tanah yang dimakan oleh unggas dapat menyebabkan transmisi infeksi secara mekanik, yaitu apabila cacing tanah tersebut telah menelan telur infektif A. galli. Telur infektif menetas di dalam intestinum inang definitif, dan setelah 10 hari larva (L 3) menjalani fase histotrofik dengan cara penetrasi ke dalam jaringan mukosa, larva kembali ke lumen tujuh hari kemudian. Cacing A. galli tumbuh menjadi dewasa dalam waktu 5 8 minggu. Kadang-kadang cacing A. galli dapat berpenetrasi ke organ tubuh yang lain seperti hati dan ginjal pada ular phyton (Taiwo et al., 2002) dan paru paru pada unggas (Soulsby, 1982). Penetrasi A. galli ke jaringan akan menyebabkan kerusakan villi-villi pada duodenum, jejunum, dan illeum ayam petelur (Balqis, 2004; Balqis et al., 2007a dan Balqis et al., 2007b). Selama berkembang pada inang definitif, A. galli dapat menyebabkan terganggunya absorbsi nutrisi seperti elektrolit-elektrolit dan vitamin-vitamin (Anwar dan Zia-ur-Rahman, 2002), mineral (Gabrashanska et al., 2004a), mengakibatkan perlambatan pertumbuhan (Gabrashanska et al., 2004b), dan penurunan produksi telur (Tiuria, 1991). Ascaridiosis yang telah berlangsung dalam waktu yang lama (infeksi kronis) dapat menyebabkan gastroenteritis ulseratif, hepatitis nekrotik, dan nepritis yang dapat berakhir dengan kematian (Taiwo et al., 2002). Infeksi cacing A. galli pada unggas tersebar luas di alam dengan prevalensi yang tinggi. Poulsen (2000) menemukan salah satu dari 18 jenis cacing gastrointestinal yang menginfeksi ayam muda di kawasan sampah di Gana, Afrika Barat, adalah A. galli dengan prevalensi 24%. Permin et al. (1998) melaporkan bahwa diantara 26 jenis cacing, salah satunya adalah A. galli dengan prevalensi 32,3% pada musim kering dan 28,3% pada musim hujan telah diidentifikasi pada ayam yang berkeliaran di kawasan sampah di daerah Morogoro, Tanzania. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, cacing A. galli harus menghasilkan telur dalam jumlah yang banyak, sehingga semakin banyak pula telur dapat mencapai stadium stadium telur infektif. Pada penelitian ini, terlihat bahwa cacing A. galli mampu melepaskan ribuan telur dari uterusnya. Secara in vitro, telur yang berkembang menjadi telur infektif adalah 89,46%. Hanya 10,54% telur yang gagal mencapai stadium stadium telur infektif (Gambar 2). Banyaknya jumlah telur yang dilepaskan oleh cacing A. galli betina dewasa, dan tingginya prosentase telur yang berkembang menjadi telur infektif merupakan cara cacing tersebut untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apabila banyak telur infektif yang berada di lingkungan maka peluang tertelan oleh inang definitif semakin besar. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan menghasilkan telur setiap ekor cacing A. galli betina dewasa bervariasi jumlahnya berkisar antara 4.000 sampai 10.000 butir telur. Keberhasilan telur berkembang menjadi telur infektif secara in vitro adalah 89,46%. 231

J. Ked. Hewan Vol. 3 No. 2 September 2009 UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Proyek Hibah Bersaing XIII Tahun 2005. DAFTAR PUSTAKA Anwar, H. and Zia-ur-Rahman. 2002. Effect of Ascaridia galli infestation on electrolytes and vitamins in chickens. J. of Biol. Sci. 2(10):650 651. Athaillah, F. 1999. Respon pertahanan selaput lendir usus halus terhadap infeksi cacing Ascaridia galli pada ayam petelur. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Balqis, U. 2004. Pengaruh pemberian ekskretori-sekretori (ES) cacing Ascaridia galli dewasa, L 2, dan kombinasinya terhadap perubahan struktur morfologi saluran cerna ayam petelur. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Balqis, U., Darmawi, R. Tiuria, B.P. Priosoeryanto, dan M.T. Suhartono. 2007a. Proliferasi sel goblet duodenum, jejunum dan ileum ayam petelur yang diimunisasi dengan protein ekskretori/sekretori Ascaridia galli. Jurnal Kedokteran Hewan. 1(2):71 76. Balqis, U., Darmawi, R. Tiuria, B.P. Priosoeryanto, M. Hambal, dan F. Jamin. 2007b. Respons sel goblet, luas permukaan vili, dan lesio patologik duodenum hysex brown setelah diberikan kombinasi ekskretori/sekretori dan telur infektif Ascaridia galli. Proceeding: Seminar Nasional Asosiasi Patologi Veteriner Indonesia (APVI), Yogyakarta. Bankov, I. and Barrett. 1993. Sphingomyelin synthesis in Ascaridia galli. Int. J. for Parasitol. 23(8):1083 1085. Calneck, B.W. 1997. Disease of Poultry. Tenth Edition. The Iowa State University Press. Ames, Iowa, USA. Darmawi, R. Tiuria, R.D. Soejoedono, F.H. Pasaribu, dan U. Balqis. 2007. Populasi L 3 pada ayam petelur yang diinfeksi dengan dosis 6000 L 2 Ascaridia galli. Jurnal Kedokteran Hewan. 1(2):71-76. Eshetu, Y., E. Mulualem, H. Ibrahim, A. Berhanu, and K. Aberra. 2001. Study of gastro-intestinal helminths of scavenging chickens in four rural districts of Amhara region, Ethiopia. Rev. Sci. tech. off. Int. Epiz. 20(3):791 796. Fahrimal, Y. dan R. Raflesia. 2002. Derajat infestasi nematoda gastrointestinal pada ayam buras yang dipelihara secara semi intensif dan tradisional. J. Med. Vet. 2(2):114 118. Gabrashanska, M., S.E. Teodorova, M.M. Galvez-Morros, N. Tsocheva- Gaytandzhieva, and M. Mitov. 2004a. Administration of Zn-Co-Mn basic salt to chickens with ascaridioasis. I. A mathematical model for Ascaridia galli populations and host growth with and without treatment. http://parasitology.informatik.uniwuerzburg.de/login/fram e.php?link. Gabrashanska, M., S.E. Teodorova, M.M. Galvez-Morros, N. Tsocheva- Gaytandzhieva, and M. Mitov. 2004b. Administration of Zn-Co-Mn basic salt to chickens with 232

ascaridioasis. II. sex ratio and microelement levels in Ascaridia galli and in treated and untreated chickens. http://parasitology.informatik.uniwuerzburg.de/login /frame.php?link. Idi, A., A. Permin, and K.D. Murrell. 2004. Host age only partially affects resistance to primary and secondary infections with Ascaridia galli (Schrank, 1788) in chickens. Vet Parasitol. 124:239-47. Kilpinen, O. 2006. Influence of Dermanyssus gallinae and Ascaridia galli infections on behaviour and health of laying hens (Gallus gallus domesticus). Avi. Pathol. 35:165-72. Permin, A. and J.W. Hansen. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry Parasites. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Permin, A., P. Nansen, M. Bisgaard, Frandsen, and M. Pearman. 1998. Studies on Ascaridia galli in chickens kept at different stocking rates. J. of Avi. Pathol. 27:382-389. Poulsen, J. 2000. Prevalence and distribution of gastro-intestinal helminths and haemoparasites in young scavenging chickens in upper eastern region of Ghana, West Africa. Int. J. Parasitol. 30:867-868. Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa or Domesticated Animals. 7rd Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Taiwo, V.O., O.O. Alaka, N.A. Sadiq, and J.O. Adejinmi. 2002. Ascaridiosis in captive reticulated python (Python reticulatus). Afr. J. Biomed. Res. 5:93 95. Tiuria, R. 1991. Hubungan antara dosis infeksi, biologi Ascaridia galli dan produktivitas ayam petelur. Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor. 233