REFLEKSI KONTRIBUSI HUKUM DALAM MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS DAN INDUSTRIALISASI

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh : Putu Ayu Satya Mahayani I Ketut Sujana Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI)

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang;

NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disingkat HKI) merupakan

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Buku sebagaimana pepatah menyatakan adalah jendela dunia. Setiap isi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan isu yang sangat

NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IDENTITAS MATA KULIAH

BAB IV IMPLEMENTASI DAN EFEKTIFITAS PERJANJIAN TRIPS DI INDONESIA

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 PENJELASAN ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 MEREK

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk baru atau pengembangan dari produk-produk. penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

WORLD TRADE ORGANIZATION Structure & Membership FETRYCIA ANGELA OCTORY/ KEN SWARI MAHARANI /

MAKALAH ETIKA PROFESI RAHASIA DAGANG

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014

E UNIVERSITAS SEBELAS MARET

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam upayanya memperbaiki nasib atau membangun segala

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

kata kunci: Hak Kekayaan Intelektual ; Merek

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA

SEJARAH HKI DI INDONESIA Sejarah Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN DAN HAK CIPTA PADA KAIN PRODUKSI PT ISKANDARTEX SURAKARTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

V. SIMPULAN. Pertanian RI yang berperan melakukan pengawasan dan pengelolaan PVT. Pusat PVT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perlindungan terhadap karya cipta manusia. menjadi semakin penting dengan terjadinya revolusi

PETUNJUK PELAKSANAAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LUAR NEGERI

RGS Mitra 1 of 10 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) melalui

Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara Wajib

BAB I PENDAHULUAN. Sistem yang ada di dalam hukum merupakan upaya untuk menjaga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau disebut juga dengan property rights

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

BEBERAPA KOMPONEN YANG MENDUKUNG DALAM PELAKSANAAN SISTEM ADMINISTRASI DANDOKUMENTASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL*

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Keanekaragaman budaya yang dipadukan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

Transkripsi:

REFLEKSI KONTRIBUSI HUKUM DALAM MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS DAN INDUSTRIALISASI H.E. Saefullah * Abstrak Pembangunan hukum, khususnya pembangunan materi hukum, diarahkan pada terwujudnya system hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Pembangunan materi hukum tersebut harus dapat dijadikan dasar untuk menjamin agar masyarakat, antara lain dapat menikmati kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum. Arah dan pembangunan hukum yang telah digariskan tersebut menghadapkan pembangunan hukum kepada beberapa masalah yang cukup luas dalam menghadapi perdagangan bebas dan industrialisasi. Diakui bahwa karena sangat luas dan kompleknya bidang yang akan diteliti lebih lanjut, maka menetapkan suatu daftar prioritas mengenai bidang-bidang hukum ekonomi yang mendesak, sangat penting, dan perlu segera dilaksanakan. Dalam hal ini ukuran untuk memprioritaskan bidang-bidang hukum yang terdapat dalam putaran Uruguay yang merupakan cikal bakal dan induk kesepakatan yang mengarah kepada liberalisasi atau era perdagangan bebas tampaknya perlu menerapkan ukuran keperluan mendesak (urgent need) dan perubahan yang pokok (fundamental change). 1. Pendahuluan Dalam menghadapi perdagangan bebas yang semakin dekat dan industrialisasi yang semakin meningkat di Indonesia, peranan hukum dirasakan semakin penting. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan oleh masyarakat bangsa-bangsa dalam mewujudkan liberalisasi perdagangan yang merefleksikan perdagangan bebass seperti misalnya kesepakatan regional AFTA, APEC dan kesepakatan global WTO, adalah kesepakatan-kesepakatan hukum yang mengikat, kecuali ditentukan lain, negara-negara yang membuatnya. Indonesia di dalam kesepakatan * Dosen Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung; E-mail: esaefullah@unpad.ac.id 1

AFTA, APEC dan WTO tidak terkecuali juga terikat oleh kesepakatankesepakatan tersebut. Keterikatan terhadap kesepakatan membawa dampak yang cukup luas terhadap pembangunan hukum di tanah air. Masalah-masalah tersebut di antaranya perlunya memilih bidang-bidang hukum mana hendak dikembangkan atau dibangun guna menghadapi perdagangan bebas dan industrialisasi. Tulisan ini akan mengkaji secara deskriptif dan analisis mengenai refleksi dan kontribusi hukum dalam menghadapi perdagangan bebas dan industrialisasi. Mengingat sangat luasnya materi pembahasan topik ini, penulis merasa perlu untuk membatasi pengkajiannya. Pengkajian dalam paper ini dibatas kepada refleksi atau gambaran dan kontribusi hukum berupa upaya hukum yang telah dilaksanakan pemerintah serta upaya hukum yang perlu dipersiapkan guna menghadapi era globalisasi. Karenanya pengkajian paper ini akan menitik-beratkan kepada upaya pembangunan hukum nasional di tanah air dalam menghadapi era perdagangan bebas dan industri. Sedangkan pembangunan industri di Indonesia yang ditujukan untuk memperkukuh struktur ekonomi Indonesia tidak akan dibahas secara khusus di sini. 2. Pembahasan a) Refleksi dan Kontribusi Hukum Arah dan pembangunan hukum di Indonesia dapat tampak dalam Naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam kebijaksanaan pembangunan lima tahun keenam disebutkan, antara lain, bahwa pembangunan hukum dilaksanakan secara terpadu yang meliputi semua aspek kehidupan dan terus ditingkatkan. Hal ini dilakukan agar hukum nasional Indonesia senantiasa dapat menunjang dan mengikuti dinamika pembangunan, sesuai dengan perkembangan aspirasi masyarakat, serta kebutuhan masa kini dan masa depan. Dalam pada itu, pembangunan hukum, khususnya pembangunan materi hukum, diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Pembangunan materi hukum tersebut harus dapat dijadikan dasar untuk menjamin agar masyarakat, antara lain, dapat menikmati kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum. Arah dan pembangunan hukum yang telah digariskan tersebut menghadapkan pembangunan hukum kepada beberapa masalah yang 2

cukup luas dalam menghadapi perdagangan bebas dan industrialisasi. Hal ini terkait dengan tidak sedikitnya bidang-bidang yang diatur dalam kesepakatan liberalisasi materi-materi perdagangan seperti yang terdapat dalam kesepakatan AFTA, APEC, dan WTO. Kesepakatankesepakatan tersebut, yang akan diuraikan secara singkat di bawah ini, tidak lagi semata-mata mengatur mengenai perdagangan barang ( trade in goods), tetapi telah pula mengatur bidang-bidang lainnya seperti perdagangan di bidang jasa, hak atas kekayaan intelektual, penanaman modal, dll. Kesepakatan-kesepakatan berupa produk hukum tersebut mau tidak mau membawa dampak yang cukup luas terhadap pembangunan hukum di tanah air. Masalahnya adalah bidang-bidang hukum mana yang perlu diprioritaskan atau dikembangkan terlebih dahulu. Untuk dapat menetapkan bidang hukum mana yang sebaiknya harus dikembangkan dapat kiranya dipakai ukuran atau kriteria berikut : 1 1) Ukuran keperluan mendesak (urgent need) Ukuran ini digunakan manakala kita terdesak untuk segera melakukannya tanpa kesempatan memilih dalam arti sebenarnya. 2) Ukuran kelayakan (feasibility) Ukuran ini digunakan manakala kita dihadapkan kepada bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan. Untuk bidang hukum seperti ini perlu ditangguhkan dan kemudian dipilih bidangbidang yang tidak ada komplikasi-komplikasi budaya, keagamaan, dan sosiologis. 3) Ukuran perubahan yang pokok (fundamental change) Dalam hal ini perubahan (melalui perundang-undangan) diperlukan karena pertimbangan-pertimbangan politis, ekonomis, dan/atau sosial. b) Kesepakatan Perdagangan Bebas dan Industrialisasi Membahas perdagangan bebas dan industrialisasi tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan mengenai perjanjian multilateral WTO yang dibentuk berdasarkan perjanjian putaran Uruguay. Perjanjian Putaran Uruguay beserta lampiran-lampirannya seperti tersebut di atas, berpengaruh luas terhadap sistem hukum ekonomi 1 Mochtar Kusumaatmadja, Pembangunan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, Bandung, Binacipta, cet. 2, 1986, h. 12. 3

internasional. Secara makro seluruh isi Perjanjian Putaran Uruguay yang ditandatangani di Marrakesh tanggal 15 April 1995 telah masuk dalam sistem hukum positif nasional Indonesia melalui ratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1994. Dengan demikian setiap warga negara dan badan hukum Indonesia yang berkecimpung di dunia bisnis wajib mentaati ketentuan perjanjian putaran Uruguay. Namun secara makro, substansi perjanjian putaran Uruguay berdampak langsung pada produk-produk hukum ekonomi yang perlu diperbaharui dan disempurnakan agar tidak menimbulkan konflik hukum yang merugikan. 2 Adapun bidang-bidang hukum ekonomi yang mendapat dampak langsung dari perjanjian Putaran Uruguay adalah 3 : 1) Perdagangan Penanaman Modal (TRIMs) 4 Perjanjian ini mengakui bahwa kebijakan penanaman modal suatu negara tertentu dapat membatasi atau bahkan merusak perdagangan dunia. Karena itu, ketentuan baru ini mensyaratkan para negara anggota WTO agar tidak mempraktekkan perdagangan penanaman modal yang tidak sesuai dengan Pasal III (klausul perlakuan nasional) dan Pasal XI (larangan pembatasan kuantitatif) GATT. Untuk maksud itu, perjanjian ini akan melampirkan dalam perjanjian WTO yang baru daftar-daftar yang berisi tindakan yang digolongkan sebagai TRIMs. Perjanjian ini mensyaratkan pula pemberitahuan wajib semua TRIMs. Yang tidak sehat tersebut dan pembatasannya. Jangka waktu yang diberikan untuk itu adalah 2 tahun untuk negara maju, 5 tahun untuk negara sedang berkembang dan 7 tahun untuk negara-negara miskin. 2 Normin S. Pakpahan, Pengaruh Perjanjian WTO terhadap Pembentukan Hukum Ekonomi Indonesia, Makalah pada seminar mengenai Pengaruh dan Akibat Organisasi Perdagangan Dunia terhadap Hukum Nasional, Jakarta, 6 Maret 1996, hlm. 8. 3 Sumber utama penelitian bagian ini adalah The Final Act of the Uruguay Round : Sumary, termuat dalam GATT FOCUS, No. 104, December 1993, hlm. 5 15. Sebagai bahan perbandingan, menarik pula digunakan sebagai bahan pengantar untuk mendapatkan gambaran mengenai hasil-hasil Putaran Uruguay dari artikel singkat berjudul : In the bank : What has already been provisionally agreed in the Uruguay Round, dalam GATT FOCUS, No. 103, November 1993, hlm. 3 et.seq. 4 Lihat pula, Final Act of the Uruguay Round, di bawah judul Agreement on Trade in Reataed Investment Measures. Perjanjian dalam bidang ini terdiri dari 9 pasal dan 1 lampiran. 4

Di samping itu, perjanjian ini membentuk pula suatu Komisi TRIMs. yang tugasnya, antara lain, mengawasi pelaksanaan perjanjian dan komitmen-komitmen negara anggota terhadap TRIMs. 2) Perdagangan Jasa 5 Perdagangan jasa memuat 3 ketentuan pokok. Pertama, memuat serangkaian kewajiban-kewajiban dasar yang berlaku terhadap semua negara. Kedua, komitment negara-negara yang tertuang dalam daftar-daftar yang berisi kewajiban-kewajiban negaranegara tersebut untuk memperlancar proses liberalisasi perdagangan jasa. Ketiga, beberapa annex (lampiran) perjanjian yang menetapkan keadaan-keadaan khusus sektor-sektor jasa pada setiap negara anggota GATT. Ketiga ketentuan dasar ini dijabarkan kembali ke dalam empat bagian. Bagian pertama menetapkan ruang lingkup sebagai berikut : (a) Jasa yang diberikan dari satu wilayah negara ke wilayah negara lain, misalnya jasa telekomunikasi; (b) Jasa-jasa yang diberikan dalam wilayah suatu negara kepada konsumen negara lain, misalnya turisme; (c) Jasa yang diberikan oleh lembaga pemberi jasa di wilayah negara lainnya, misalnya perbankan; dan (d) Jasa-jasa yang diberikan oleh warga negara suatu negara di wilayah negara lain, misalnya jasa konsultasi. Bagian kedua menetapkan kewajiban-kewajiban umum dan ketentuan-ketentuan tingkah laku ( code of conduct). Bagian ini mensyaratkan bahwa para negara anggota harus mentaati klausul yang disebut dengan most favoured nations clause. Maksud klausul ini adalah bahwa setiap negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama seperti kepada warga-negaranya terhadap jasa-jasa dan pemberi jasa dari negara lainnya dengan segera dan tanpa syarat. Bagian ketiga mengatur ketentuan-ketentuan mengenai akses pasar dan perlakuan nasional yang bukan merupakan kewajiban umum 5 Lihat Final Act of the Uruguay Round, di bawah judul General Agreement on Trade in Services (GATT). Perjanjian ini terdiri dari 29 pasal dan beberapa lampiran (annex). 5

tetapi merupakan komitmen yang ditetapkan dalam daftar nasional. Karena itu, setiap pihak harus memberikan jasa dan pemberi jasa dari pihak lainnya perlakuan yang sama dari yang ditetapkan dalam syaratsyarat, pembatasan-pembatasan atau ketentuan lainnya yang disetujui dan ditetapkan dalam daftar. 3) Perdagangan Hak Milik Intelektual 6 Perjanjian ini mengakui adanya praktek-praktek negara yang berbeda dalam memberikan standar perlindungan dan pelaksanaan hak milik intelektual, kurangnya prinsip-prinsip multilateral, ketentuanketentuan serta aturan-aturan mengenai perdagangan barang tiruan/palsu. Adanya perbedaan praktek ini telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan ekonomi internasional. Ketentuan perjanjian mengenai bidang ini karenanya diperlukan untuk mengantisipasi timbulnya ketegangan tersebut. Untuk itu, perjanjian Uruguay menetapkan penerapan prinsip-prinsip dasar GATT dan perjanjian-perjanjian hak milik intelektual yang relevan; perjanjian mengenai pelaksanaan atau penegakan hak-hak tersebut, penyelesaian sengketa multilateral dan peraturan peralihannya. Ketentuan tersbut dijabarkan lebih lanjut ke dalam tiga bagian. Pertama, menetapkan ketentuan umum dan prinsip dasarnya. Ketentuan dan prinsip tersebut berupa komitmen perlakuan nasional yang memperlakukan warga-negara lain perlakuan yang sama seperti kepada warga-negaranya dalam hal perlindungan hak milik intelektual. Ketentuan ini juga mengandung suatu klausul perlakuan yang sama terhadap semua warga-negara ( most favoured nations clause). Ketentuan demikian merupakan suatu hal yang baru dalam perjanjian hak milik intelektual internasional. Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa perlakuan tersebut harus diberikan secara langsung dan tanpa syarat kepada warga asing lain. Bagian kedua mengatur bentuk-bentuk hak milik intelektual. Khusus mengenai hak cipta, para pihak diwajibkan untuk mematuhi isi ketentuan-ketentuan Konvensi Berne (Paris, 1971) bagi perlindungan karya-karya literatur dan seni. 6 Lihat Final Act of the Uruguay Round. Bagian ini di bawah judul General Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights including Trade in Counterfeit Goods (Agreement on TRPS). Perjanjian ini terdiri dari 23 pasal. 6

Bagian ketiga mengatur kewajiban-kewajiban anggota pemerintah untuk memberikan prosedur-prosedur dan upaya penanggulangan menurut hukum nasionalnya masing-masing. Tujuannya adalah untuk menjamin agar hak milik intelektualnya dapat dilaksanakan secara efektif, baik pemegang hak-hak oleh warga asing atau pun juga oleh warga-negaranya. Prosedur ini mengijinkan tindakan efektif terhadap hak milik intelektual. Tindakan tersebut harus adil dan jujur, dan tidak berkepanjangan yang menyebabkan keterlambatan atau proses yang bertele-tele. Perjanjian ini membentuk pula suatu Council (Dewan) Perdagangan Hak Milik Intelektual ( Council for Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights). Badan ini bertugas memonitor pelaksanaan perjanjian dan pentaatannya oleh para pemerintah. Apabila timbul sengketa dalam bidang ini, maka prosedur penyelesaian sengketanya juga berlangsung menurut prosedur penyelesaian sengketa yang ada dalam GATT. Perangkat peraturan baru yang dipersyaratkan TRIPs dalam pembentukan hukum nasional meliputi 7 (a) memberlakukan prinsip GATT 1994 dan konvensi-konvensi internasional mengenai hak kekayaan intelektual; (b) pengaturan tentang standar lingkup dan penggunaan TRIPs; (c) ketentuan hukum bagi pemberlakuan TRIPs dalam sistem hukum nasional; (d) ketentuan hukum yang memberi landasan bagi penyelesaian efektif bagi sengketa mengenai kekayaan intelektual antar pemerintah; dan (e) pengaturan transisi bagi pemberlakuan sepenuhnya dari TRIPs. 4) Hukum Persaingan Artikel 40 TRPs Agreement memuat ketentuan tentang pengendalian atas praktek-praktek anti persaingan dalam pelaksanaan hubungan kontraktual dari pemberi lisensi atas penggunaan hak kekayaan intelektual. Ketentuan ini memperbolehkan negara anggota mencakup secara rinci di dalam perundang-undangan nasionalnya persyaratan lisensi tertentu yang berakibat kepada penyalahgunaan hak kekayaan intelektual ini serta kelak mempengaruhi persaingan sehat. 7 Normin S. Pakpahan, op. cit., hlm. 9. 7

Arti ketentuan tersebut adalah bahwa negara anggota dalam situasi tertentu boleh menghindari penerapan hukum persaingan nasional sebagai pengecualian. Penerapan pengecualian ini harus dilakukan secara ketat dan transparan. Ketentuan ini dinilai sebagai insentif untuk membuat undang-undang mengenai persaingan 8. 5) Organisasi Perdagangan Multilateral 9 Perkembangan baru lainnya yang penting dari perjanjian ini adalah disepakatinya untuk membentuk suatu Organisasi Perdagangan Multilateral ( Multilateral Trade Organization atau MTO). Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan MTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948). Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional (yang dulu namanya International Trade Organization atau ITO). Struktur MTO akan dikepalai oleh suatu badan yang disebut Pertemuan Tingkat Menteri ( Ministerial Meeting). Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Perjanjian ini juga menetapkan suatu Dewan Jenderal ( General Council) yang akan mengawasi atau mengamati pelaksanaan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Pertemuan Tingkat Menteri ( Ministerial Decisions) secara reguler. Dewan Jenderal ini memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai suatu Badan Penyelesaian Sengketa ( Dispute Settlement Body). Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negara-negara anggota GATT (Trade Policy Review Mechanism). Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah perdagangan yang akan dicakup oleh MTO. Ia akan menetapkan badanbadan subsider seperti Good Council, Service Council, TRIPs Council, dan lain-lain. MTO akan berfungsi sebagai alat untuk memastikan suatu pendekatan tunggal terhadap pelaksanaan perjanjian Putaran Uruguay. 6) Informasi Hukum 8 Normin S. Pakpahan, cp.cit., hlm. 10. 9 Lihat lebuh lanjut Final Act of the Uruguay Round. Bagian ini berada di bawah judul Agreement Establishing the Multilateral Trade Organization. Perjanjian ini terdiri dari 16 pasal beserta lampiranlampirannya. 8

Apabila dikaji secara mendalam, Perjanjian Putaran Uruguay menetapkan beberapa persyaratan yang secara potensial mempengaruhi sistem informasi hukum negara anggota. Dalam berbagai persetujuan terdapat pemahaman pada prinsip transparansi, yaitu jaminan kemudahan dalam memperoleh peraturan perundang-undangan serta akses pada hukum pada umumnya 10 Penandatanganan perjanjian WTO memberi komitmen yang mengikat secara yuridis pada keharusan prinsip transparansi ini. Misalnya, Annex IB dari Perjanjian WTO ( General Agreement on Trade in Services), Artikel III mengharuskan setiap negara anggota untuk 11 : (i) Menerbitkan dalam penerbitan resmi sesegera mungkin semua bentuk peraturan perundang-undangan serta semua perjanjian internasional yang diikuti oleh negara anggota berkaitan dengan perdagangan jasa serta membuat dokumen-dokumen hukum tersebut tersedia untuk umum. (ii) Sesegera memberi tahu Council for Trade in Services dalam hal peraturan baru dikeluarkan atau terjadi perubahan atas peraturan perundang-undangan yang bersifat administratif yang semuanya berpengaruh besar pada perdagangan jasa. Setiap negara anggota wajib memberi informasi sekurang-kurangnya sekali setahun mengenai keberadaan/perkembangan peraturan perundangundangan di bidang perdagangan jasa. (iii) Wajib memberi jawaban atas semua permintaan untuk memperoleh informasi tentang ketentuan hukum di bidang perdagangan jasa yang disampaikan oleh negara anggota lainnya. Demikian pula halnya dengan Agreement on Import Licensing Procedures yang mengharuskan increased transparancy serta Agreement of Technical Barries to Trade (TBT). Contoh konkrit lainnya tercantum dalam Artikel 6 TRIPs yang menyatakan: each member shall notify the WTO Secretariat of the publication in which TRIM may be found, including those applied by 10 Normin S. Pakpahan, Op.Cit., hlm. 11. 11 Normin S. Pakpahan, Op. Cit., hlm. 11. 9

regional and local government and authorizzed within their territories. 12 3. Penutup Dari uraian di atas, tampak bahwa dengan luasnya materi perjanjian WTO telah dan akan berdampak sangat luas terhadap perkembangan hukum di Indonesia. Masalahnya sekarang adalah bagaimana para pelaku kebijakan perdagangan dalam negeri memanfaatkan peluang-peluang hukum yang diberikan oleh perjanjian WTO itu untuk memajukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Agar peluang itu dapat efektif, pemahaman terhadap isi perjanjian itu merupakan conditio sine qua non. Sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan. Dalam hal ini pensosialisasian hasil-hasil putaran Uruguay merupakan hal yang penting pula untuk segera dilakukan. Dengan adanya perubahan yang sangat besar dalam hukum perdagangan global demikian itu, maka: Pertama, upaya mengidentifikasi langkah-langkah implementasi perjanjian GATT dan penyesuaian produk-produk hukum nasional terhadapnya harus segera dilaksanakan; Kedua, perlunya meningkatkan sumber daya manusia di bidang hukum secara terencana untuk dapat mengantisipasi dampak negatif dari lahirnya perjanjian putaran Uruguay. Ketiga, seperti disebut di atas, pemahaman terhadap aturan-aturan dari perjanjian Putaran Uruguay mendesak segera dilaksanakan. Untuk itu perguruan tinggi perlu mengambil tindakan-tindakan terencana dan sistematis guna mengkaji hasil-hasil perjanjian ini secara lebih mendalam dan intensif. Diakui bahwa karena sangat luas dan kompleknya bidang yang akan diteliti lebih lanjut, maka menetapkan suatu daftar prioritas mengenai bidang-bidang hukum ekonomi yang mendesak, sangat penting, dan perlu segera dilaksanakan. Hal ini dipandang mendesak agar hasil dari perjanjian putaran Uruguay dapat dimanfaatkan dengan positif guna kepentingan bangsa. Disadari bahwa langkah-langkah perubahan dan pembangunan terhadap sistem hukum nasional perlu juga segera dilaksanakan dengan segera. Dalam hal ini ukuran untuk memprioritaskan bidang-bidang 12 Normin S. Pakpahan, op. cit., hlm. 11. 10

hukum yang terdapat dalam putaran Uruguay yang merupakan cikal bakal dan induk kesepakatan yang mengarah kepada liberalisasi atau era perdagangan bebas tampaknya perlu menerapkan ukuran keperluan mendesak ( urgent need) dan perubahan yang pokok (fundamental change). Daftar Pustaka General Agreement of Tariff and Trade, GATT: What it is and What it does, Genewa, 1992. Jackson, John H., The World Trading System: Law and Policy of International Economic Relations, the MIT Press, 1989. --------------------------, Legal Problems of International Economics Relations, West Publishing Co., 1977. Long, Oliver, Law and its Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff Publisher, 1987. McGovern, Edmond, International Trade Regulations, Exeter: 1982. Mochtar Kusumaatmadja, Pembangunan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, Bandung: Binacipta, cet. 2, 1986. Normin S. Pakpahan, Pengaruh Perjanjian WTO terhadap Pembentukan Hukum Ekonomi Indonesia, Makalah pada seminar Mengenai Pengaruh dan Akibat Organisasi Perdagangan Dunia terhadap Hukum Nasional, Jakarta, 6 Maret 1996. 11

12