Nova Faradilla, S.Ked

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Teknik Radiografi Sinus Paranasal

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

TANDA-TANDA RADIOLOGIK

Sejarah X-Ray. Wilheim Conrad Roentgen

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 2 RADIOGRAFI PANORAMIK. secara umum di kedokteran gigi untuk mendapatkan gambaran utuh dari keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Files of DrsMed FK UNRI (

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

(Assessment of The Ear)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

NEUROIMAGING Fadel Muhammad Garishah Mahasiswa Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

V E R T I G O. Yayan A. Israr, S. Ked. Author : Faculty of Medicine University of Riau Arifin Achmad General Hospital of Pekanbaru

BAB I PENDAHULUAN. Perbandingan rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1 hingga 4:1.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

FRAKTUR TIBIA DAN FIBULA

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang melibatkan glandula saliva. Sebelum membahas mengenai kedua penyakit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker payudara merupakan diagnosis kanker yang paling sering terjadi pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningioma merupakan neoplasma intracranial extraaxial yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Magnetic Resonance Image. By Arman

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

NEOPLASMA TULANG. Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

FISIK DIAGNOSTIK THT Dody Novrial

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

RONTGEN Rontgen sinar X

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

dengan processus spinosus berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamenligamen

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

CARA YANG TEPAT DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membuat protein, dan mengatur sensitivitas tubuh terhadap hormon

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Implementasi Intensity Transfer Function(ITF) Untuk Peningkatan Intensitas Citra Medis Hasil Pemeriksaan MRI

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan. Etiologi dan Epedimiologi

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. merupakan jenis kanker yang paling sering terdiagnosis pada wanita (Dizon et al.,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Curriculum Vitae. Writing Procedures

EMG digunakan untuk memastikan diagnosis dan untuk menduga beratnya sindroma kubital. Juga berguna menilai (8,12) :

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

TINGKAT PENGGUNAAN CT-SCAN PADA PEMERIKSAAN FRAKTUR MAKSILLA DI RS. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO

BAB II ANATOMI. Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata,

BAB 2 PERSIAPAN REKONSTRUKSI MANDIBULA. mandibula berguna dalam proses pembicaraan, mastikasi, penelanan dan juga

Transkripsi:

Author : Nova Faradilla, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk

Pendahuluan Pemeriksaan radiologis berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain pada umumnya. Kemajuan ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi fisika, kimia, biologi, elektronik, komputer dan sebagainya. Cara-cara pemeriksaan yang menghasilkan gambar tubuh manusia untuk tujuan diagnostik dinamakan pencitraan diagnostik. 1 Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang paling berharga bagi ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang sangat dibutuhkan dari pasien. Karena banyaknya bagian pendukung dan struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang pemeriksaannya bukan hanya sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau penentuan letak struktur) saja, tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi. Hal ini bukan berarti bahwa setiap pasien membutuhkan pencitraan diagnostik. Beberapa pasien mungkin hanya memerlukan pencitraan dignostik konvensional seperti film tipis sinar-x, atau beberapa justru membutuhkan pencitraan dengan teknologi tinggi untuk memperoleh hasil terbaik demi rencana terapi yang akan dia jalani nantinya. 2 Pengaruh lingkungan pekerjaan dan tim yang terlibat juga terus akan berkembang. Radiologis telah memiliki sangkut paut yang sangat erat dengan dunia radiologi kepala dan leher. Pemeriksaan radiologi merupakan sebuah referensi untuk menentukan proses pencitraan mana yang lebih bagus. Hal ini sangat penting dalam sebuah pencitraan diagnostik, karena hal tersebut dicapai secara efektif melalui komunikasi yang baik antara otolaryngologist dan radiologis. Selanjutnya, tim konsulting-lah yang akan menentukan pencitraan mana yang akan digunakan. 2 Peralatan yang biasa digunakan dalam pencitraan konvensional diberikan oleh table 1.1. Hingga saat ini, peralatan pencitraan konvensional yang masih bertahan dan paling banyak digunakan adalah sinar-x atau rontgen. 2 1

Regional screening - Temporal bone - Paranasal sinus Selective views - High-kV selective filtration of larynx, trachea - Panoramic tomography - Complex motion tomography - Sialography - Laryngography - Barium swallow esophagogram Peralatan pencitraan teknologi tinggi meliputi CT, MRI, angiography, diagnostic ultrasound (tidak invasif), dan radionuclide scan. Pencitraan ini biasanya digunakan sebagai pelengkap pencitraan yang dihasilkan oleh peralatan pencitraan konvensional. 2 2

Tinjauan Pustaka Daerah-Daerah Radiologi bagian Kepala dan Leher A. Mastoid Tulang temporal merupakan bagian paling kompleks dari keseluruhan struktur tubuh kita. Pemeriksaan gangguan pada tulang temporal secara konvensional masih berlaku di seluruh dunia. 2 CT dan MRI saat ini sudah menjadi salah satu metode pencitraan radiologi untuk sebagian besar penyakit pada telinga dan bila ada kerusakan pada tukang temporal. Pada penyakit pengikisan tulang, seperti otitis media kronik dengan kolesteatom, CT dengan pengaturan jendela tertentu akan memberikan sumber informasi yang akurat. CT dengan penggunaan cairan kontras yang disuntikan pada vena telah digunakan secara terus menerus pada pemeriksaan cerebellopontine angle masses. Peralatan pencitraan lain untuk tulang temporal ini meliputi superlatif angiography. 2 Ada tiga jenis proyeksi radiologik yang paling sering dan cukup bermamfaat serta dapat mudah dibuat dengan memakai alat rontgen yang tidak terlalu besar untuk menilai tulang temporal, yaitu: 1. Posisi Schuller Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan lebih jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna. 3 3

Gambar 1. Posisi Schuller 3 2. Posisi Owen Posisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid. Umumnya posisi owen dibuat untuk memperlihatkan kanalis auditorius eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran, dan sel udara mastoid. 3 Gambar 2. Posisi Owen 3 3. Posisi Chausse III Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang telingan tengah. Posisi ini merupakan posisi tambahan setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid. Posisi ini merupakan posisi radiologik konvensional yang paling baik 4

untuk pemeriksaan telinga tengah terutama untuk pemeriksaan otitis kronik dan kolesteatom. 3 Gambar 3. Posisi Chausse III 3 Mastoiditis akut Gambaran dini mastoid akut adalah perselubungan ruang telinga tengah dan sel udara mastoid, bila proses inflamasi terus berlanjut akan terjadi perselubungan yang difus pada kedua daerah tersebut. Pada masa permulaan infeksi biasanya strukrur trabekula dan dan sel udara mastoid masih utuh, tapi kadang-kadang dengan adanya edema mukosa dan penumpukan cairan seropurulen, maka terjadi kekaburan penampakan trabekulasi sel udara mastoid. Bersama dengan progesifitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi diikuti dengan dekstruksi trabekula dimana pada proses mastoid yang hebat akan terjadi penyebaran kearah posterior menyebabkan tromboplebitis kearah posterior. 3 Jika terjadi komplikasi intrakranial pada daerah fosa kranii posterior atau media, maka pemeriksaan CT merupakan pemeriksaan terpilih untuk mendeteksi hal tersebut dimana pada pemeriksaan CT dapat ditemui defek tulang dengan lesi intrakranial. 3 5

Gambar 4. Mastoiditis akut 3 Mastoiditis Kronik Gambaran radiologik pada mastoiditis kronik terdiri atas perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti demineralisasi trabekula, pada saat ini yang tampak pada foto adalah perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta struktur trabekula yang tersisa tampak menebal. 3 Jika proses inflamasi terus berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang-kadang lumen antrum mastoidikum dan sisa sel udara mastoid akan terisi jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan. 3 Gambar 5. Mastoiditis kronik 3 6

B. Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang dikelilingi oleh tulang yang tidak dapat terakses secara langsung oleh pemeriksaan klinikal semata, kecuali dengan meningkatkan penemuan teleskop. Secara tradisional, film konvensional merupakan pilihan pencitraan terbaik pada pemeriksaan paranasal sinus. Akan tetapi, secara perlahan CT mulai menggantikan pencitraan konvensional ini sebagai peralatan utamanya. 5 MRI merupakan metode pencitraan yang paling baik pada pemeriksaan sekitar dan komplikasi intrakranial dari penyakit radang sinus. Dibandingkan dengan CT, MRI lebih mampu memberikan visualisasi yang lebih baik bagi jaringan lunak, tapi tidak dapat dengan mudah menunjukan bagian yang terdapat batas cortical air-bone. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa CT masih menempati urutan prioritas pada pencitraaan paranasal sinus ini. 2 Pada pasien-pasien dengan keluhan klinis khas yang mengarah pada dugaan adanya sinusitis, antara lain pilek, nyeri kepala, nafas berbau, atau kelainan-kelainan lain pada sinus paranasal misalnya mukokel, pembentukan cairan dalam sinus-sinus, atau tumor, trauma sekitar sinus paranasal, diperlukan informasi mengenai keadaan sinus tersebut. 5 Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus paranasal adalah: - Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas - Pemeriksaan tomogram - Pemeriksaan CT-Scan Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasal dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini. 5 Pemeriksaan Foto kepala Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, 7

kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang sulit di evaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal. 5 Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik, arah sinar yang cukup teliti dan digunakan fokal spot yang kecil. Posisi pasien yang paling baik adalah posisi duduk. Apabila dilakukan pada posisi tiduran, paling tidak posisi Waters dilakukan pada posisi duduk. Diusahakan untuk memperoleh hasil yang dapat mengevaluasi adanya air fluid level dalam sinussinus. Apabila pasien tidak dapat duduk, dianjurkan untuk melakukan foto lateral dengan film diletakkan pada posisi kontralateral dengan sinar X horizontal. 5 Pemeriksaan kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi, antara lain: a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( posisi Caldwell) Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus pada film. 5 Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 derajat kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion. 6 Gambar 6. Gambaran posisi Caldwell 7 8

Gambar 7. Foto Caldwell 5 b. Foto kepala lateral Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletah sebelah lateral dengan sentrasi diluar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksila berhimpit satu sama lain. 4 Gambar 8. Gambaran posisi lateral 7 9

c. Foto kepala posisi Waters Posisi ini yang paling sering digunakan. Pada foto waters, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris. Maksud dari posisi ini adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 derajat dengan film. Foto waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sphenoid dengan baik. 5 Gambar 9. Gambaran posisi Waters 7 10

Gambar 10. Foto Waters 5 Gambar 11. Rontgen posisi waters dengan mulut terbuka 8 d. Foto kepala posisi Submentoverteks Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada verteks, kepala pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui sella tursika ke arah verteks. Banyak variasu-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris. 5 11

Gambar 12. Gambaran posisi Submentoverteks 5 Gambar 13. Foto kepala posisi Submentoverteks 5 e. Foto Rhese Posisi rhese atau oblik dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid, kanalis optikus dan lantai dasar orbita sisi lain. 5 12

Gambar 14. Foto Rhese 5 f. Foto proyeksi Towne Posisi towne diambil denga berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60 ke arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di atas glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah posisi yang paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura orbita inferior, kondilus mandibularis, dan arkus zigomatikus posterior. 5 Gambar 15. Foto proyeksi Towne 5 Pemeriksaan Tomogram. Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan tomogram sudah jarang digunakan. Tetapi pada fraktur daerah sinus paranasal, pemeriksaan 13

tomogram merupakan suatu tehnik yang terbaik untuk menyajikan fraktur-fraktur tersebut dibandingkan dengan pemeriksaan aksial dan coronal CT-Scan. Pada pemeriksaan tomogram biasanya dilakukan pada kepala dengan posisi AP atau Waters. 5 Pemeriksaan CT-Scan Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak, irisan aksial merupakan standar pemeriksaan paling baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigigeligi, sinus-sinus dan palatum, terrmasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis. 5 Infeksi sinus paranasal Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus sphenoidalis yang normal, tapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-Scan, maka tampak kelainan pada mukosa berupa penebalan. 5 Pada sinusitis tampak : - penebalan mukosa - air fluid level (kadang-kadang) - perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal - penebalan dinding sinus dengan sleklerotik (pada kasus-kasus kronik) 5 Pansinusitis adalah suatu keadaan dimana terdapat perselubungan pada seluruh sinus-sinus. Apabila perselubungan masih tetap ada sampai 2-3 minggu setelah terapi konservatif perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Hal-hal yang mungkin terjadi pada kasus tersebut, ialah: - Kista retensi yang luas, pada pemeriksaan CT-Scan terlihat gambaran air fluid level - Polip yang mengisi ruang sinus - Polip antrakoana 14

- Masa pada kavum nasi yang menyumbat sinus - Mukokel, pada foto polos tampak gambaran radioopak berbatas tegas berbentuk konveks dengan penebalan dinding mukosa disekitarnya. Pada mukokel didaerah sinus etmoidalis sukar dideteksi dengan foto polos, tetapi dapat dideteksi dengan pemeriksaan CT. - Tumor. 5 Fraktur pada tulang muka Fraktur tulang muka dapat dibagi 2 kelompok, yaitu : dapat terjadi pada satu tulang atau dapat terjadi pada beberapa tulang. Fraktur-fraktur ini meliputi: - fraktur tulang nasal ; dimana terjadi gangguan aliran dari sinus-sinus kekavum nasi - fraktur tulang frontal - fraktur arkus zigomatikus : dimana terlibat sinus makasilaris - fraktur yang meliputi etmoid/ maksilaris atau keduanya pada foto polos kepala gambaran yang tampak hanya garis fraktur dan perselubungan satu atau dua sisi sinus. Sedangkan pemeriksaann CT-Scan dapat memperlihatkan gambaran herniasi. 5 Fraktur kompleks yang sering terjadi adalah : 5 - fraktur naso-orbital, dapat disebabkan oleh benturan kuat pada dasar hidung yang menekan tulang nasal kebelakang sehingga menyebabkan sinus etmoidalis kolap. Pada foto polos AP sukar dinilai, pada foto lateral dapat dilihat fraktur pada tulang nasal dimana tulang nasal tertekan kedalam dan perselubungan pada sinus etmoidalis. Pemeriksaann CT-Scan khususnya irisan koronal, dapat memperlihatkan secara tepat kolap sinus etmoid. - fraktur trimalar, sering terjadi pada olah raga tinju dimana terdapat pukulan keras pada tulang zigomatikus. Fraktur dapat ditegakkan dengan pemotretan posisi Water dan pemeriksaan CT-Scan. - fraktur Le Fort, fraktur komplek tulang-tulang muka yang sering terlihat pada kecelakaan. Pemeriksaan foto polos muka dan CT-Scan dapat 15

memperlihatkan luasnya daerah yang terkena, dan tulang-tulang apa saja yang fraktur. Tumor pada sinus Delapan puluh persen tumor yang menyerang sinus paranasal dan kavum nasi adalah karsinoma sel skuamosa dan hamper 80% menyerang sinus maksila. Tanda-tanda radiologi pada fotp polos kepala dan CT kepala adalah adanya masa pada sinus maksilaris disertai dekstruksi tulang aktif, hanya pada CT kepala dapat ditambahkan evaluasi tambahan daerah fosa infra temporalis dan daerah paraparingeal. Hal ini dapat menentuka apakah tumor menyebar pada daerah tersebut atau ke atas ke daerah basis kranii. 5 Ada sekelompok tumor dengan tanda-tanda radiologik yang khas, yaitu adanya ekspansi aktif meliputi seluruh rongga sinus, dekstruksi tulang dinding pada sinus yang diserang, tetapi secara garis besar tulang-tulang tersebut mengalami rekalsifikasi lagi, sehingga sering tumor dianggap jinak, tetapi secara patologis prognosisnya sangat jelek. Kelompok tumor ini adalah papiloma, esthesioneuroblastoma, tumor kelenjer saliva minor termasuk adenokarsinoma, ekstramedulariplasmasitoma, melanosarkoma, dan rhabdomiosarkoma. 5 C. Jaringan Lunak Pada Leher Masa kepala dan leher secara umum digolongkan atas jaringan normal atau malignan, primer atau metastasis, yang sudah ada sejak lahir atau baru timbul akibat peradangan. Pengelompokan ini kemudian berlanjut menurut usia (anak dan dewasa), lokasi (depan, tengah, dan belakang). Sehingga pemeriksaan yang penting untuk membedakan mana jaringan normal dan malignan menjadi sangat penting dalam masalah klinis ini. 2 Metode radiografi konvensional biasanya tidak begitu berhasil dalam membedakan masa jaringan pada leher, kecuali dalam mengenali tanda-tanda yang tidak biasa, seperti pengapuran. Ultrasonografi adalah metode yang aman, relatif murah, sudah banyak tersedia, yang dikategorikan sebagai pencitraan beresolusi tinggi yang memungkinkan zat penerima suara memantulkan kembali suara ke reseptor. Teknik ultrasound yang dikombinasikan dengan lima jarum 16

penghisap dan pemeriksaan cytologic mempunyai kemampuan yang signifikan dalam mengetahui susunan jaringan lunak pada leher. MRI penting untuk mengetahui adanya node titik abnormal; CT dengan slicing yang tipis sangat cocok dipakai pada pelebaran extravaskular. Digital substriction angiography dan conventinal superselective angiography merupakan peralatan diagnostik pada hemangioma, arterivenous malformations, dan parangangliomas. CT adalah peralatan yang paling penting untuk mendiagnosa masa leher karena alat tersebut secara efektif dapat membedakan/menentukan tumor utama dan node-node tertentu. 2 D. Laring Peralatan pencitraan radiologi penting untuk mengamati dan menentukan ukuran atau dimensi dari sebuah kelainan pada laring. Meskipun laring dapat terlihat dengan mudah menggunakan mata telanjang atau biopsi, akan tetapi, perluasan daerah dibawah kelenjar tidak akan terlihat oleh mata telanjang. Bila memungkinkan, studi pencitraan harus segera dilakukan sebelum pemeriksaan biopsi apapun dilakukan terhadap laring. Hal ini untuk mencegah terjadinya kesalah pahaman penafsiran antara tumor dan trauma lokal akibat tumor. 2 Pencitraan konvensional menggunakan beberapa kv tegangan dapat digunakan sebagai informasi awal. Xeroradiography, meskipun kapasitasnya adalah sebagai pelengkap, akan tetapi peralatan ini dapat membedakan dengan jelas mana yang jaringan lunak, stenosa, dan terkadang dapat mengenali adanya keganjilan pada tulang lunak. 2 Sementara itu, ultrasonografi mempunyai keterbatasan karena tulang lunak memantulkan lebih banyak suara, yang akhirnya akan merusak kualitas pencitraan yang dihasilkan. MRI dan CT keduanya dapat memberikan informasi akurat mengenai tingkat/level dari tumor larink ini, terutama ukuran tumor atau kanker. 2 Untuk proses pencitraannya sendiri, CT dapat dengan mudah memperoleh data hanya dengan waktu kurang dari 10 detik, sehingga menghindari kesalahan yang diakibatkan oleh gerak pasien. Sedangkan larink sangat sulit untuk dicitra dengan MRI karena adanya motion artifac akibat denyut nadi pasien. 2 17

E. Kelenjar Ludah Pada sebagian besar pencitraan kelenjar ludah, ultrasound sudah cukup akurat untuk membedakan lapisan intrakapsular dan extrakapsular. Ultrasound juga dapat membedakan antara daerah yang padat dan yang berongga. Baik MRI dan CT keduanya merupakan metode yang sempurna untuk mendeteksi adanya penyakit pada kelenjar ludah, terutama fokal, multifokal, atau penyebaran masa. Pemilihan metode pencitraan yang akan dipakai pada pemeriksaan kelenjar ludah ini bergantung pada keadaan klinis pasien, referensi penggunanya yaitu dokter dan radiologis, serta didukung kemahiran menggunakan alat yang dipilih. 2 F. Kelenjar Gondok Untuk kasus kelenjar gondok, pencitraan konvensional bukan merupakan tahap awal; ini digunakan untuk membatasi luasan pencitraan dan menetukan letak pengapuran yang terjadi. Radionuclide scan merupakan metode yang paling sering dipilih untuk mendeteksi berbagai kelainan pada kelenjar gondok. Ada tiga jenis radionuclide dalam bentuk senyawa kimia yang sering digunakan untuk pemeriksaan ini, yaitu: Sodium Tc-99m Pertechnetate, dapat terperangkap di kelenjar gondok tapi tidak diserap organ, kemudian I-131 yang dapat terperangkap di kelenjar gondok tapi menyatu dengan organ. Dan yang terakhir adalah I-123. dari ketiga pilihan tersebut, Pertechnetate merupakan pilihan terbaik karena tidak menyatu dengan organ dan dapat dibuang segera oleh tubuh sehingga tidak menimbulkan efek samping bagi tubuh pasien. 2 G. Kelenjar Paratiroid Kelenjar paratiroid mengalami banyak kontroversi baik dari segi istilah indikasinya maupun dari segi agen pencitraan yang digunakan. Banyak pilihan tersedia bagi pencitraan kelenjar paratiroid ini: ultrasound, CT, MRI angiografi, hingga pencitraan kedokteran nuklir. Dari semua pilihan tersebut, ultrasound merupakan pilihan yang paling non-invasif. Untuk kedokteran nuklir sendiri, tidak ada agen kimia atau radinuclide apapun yang dapat diserap secara baik oleh kelenjar paratiroid yang normal, hal ini cukup menyulitkan pemeriksaan. 2 18

DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas G, Budyatmoko B. Perkembangan Mutakhir Pencitraan Diagnostik dalam Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. FKUI-RSCM. Jakarta. 2005. 11-14 2. Noyek MA, Witterick JI, Fliss MD, Kassel EE. Diagnostic Imaging in Head and Surgery-Otolaryngology. Second Edition. Edited by Byron J. Lippincott- Raven Publishers. Philadelphia. 1998.81-92 3. Makes D. Pemeriksaan Radiologik Mastoid dalam Radiolodi Diagnostik. Edisi Kedua. FKUI-RSCM. Jakarta. 2005. 447-52 4. Blogsome. About Sinusitis. 2008. Http://www.mixingblogging.blogspot.com [diakses tanggal 22 Februari 2009] 5. Rachman DM. Sinus Paranasal dalam Radiolodi Diagnostik. Edisi Kedua. FKUI-RSCM. Jakarta. 2005. 431-46 6. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. 2-9 7. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses. Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 22 februari 2009] 8. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher, Ekstremitas Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000. 94 19 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk