ANALISIS SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN UNTUK DESKRIPSI KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS

Jurnal Geodesi Undip April 2017

PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI KEBAKARAN HUTAN/LAHAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK KEKERINGAN DAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN

LAPORAN PELATIHAN PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI KEBAKARAN HUTAN/LAHAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

1* 2 3. Eko Heriyanto, Lailan Syaufina dan Sobri Effendy. Puslitbang, BMKG 2. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB 3

ANALISIS HUBUNGAN KODE-KODE SPBK (SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN) DAN HOTSPOT DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU)

Sistem Informasi Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan Dengan Menggunakan Fire Weather Index (FWI) dan SIG Arcview.

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature

5. Restaurasi merupakan konsep mengenai kegiatan yang dilakukan terhadap wilayah atau daerah pasca kebakaran.

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android

IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS: KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN 15 SEPTEMBER 2015)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR

KATA PENGANTAR Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Mendeteksi Kebakaran Hutan Menggunakan Citra Satelit Landsat

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

IDENTIFIKASI PERUBAHAN DISTRIBUSI CURAH HUJAN DI INDONESIA AKIBAT DARI PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

VALIDASI HOTSPOT DI WILAYAH RAWAN KEBAKARAN TAHUN 2012: KASUS LAHAN GAMBUT DAN KEBAKARAN KECIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

PENERAPAN LOGIKA FUZZY UNTUK MEMPREDIKSI CUACA HARIAN DI BANJARBARU

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)

Dedi Irawadi Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh. KLHK, Jakarta, 25 April 2016

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

INFORMASI TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN HUTAN/LAHAN PANDUAN TEKNIS (V.01)

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR. Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN

PENYUSUNAN SOFTWARE APLIKASI SPASIAL UNTUK MENENTUKAN TINGKAT KEKERINGAN METEOROLOGI DI INDONESIA

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bulan Januari-Februari yang mencapai 80 persen. Tekanan udara rata-rata di kisaran angka 1010,0 Mbs hingga 1013,5 Mbs. Temperatur udara dari pantauan

PENENTUAN DISTRIBUSI TIPE AWAN DI PROVINSI RIAU MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MTSAT IR1

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

KARAKTERISTIK WAKTU TERJADI HOTSPOT MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTERING DI WILAYAH KALIMANTAN SELATAN. Nur Armina Rahmah

ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

PENGARUH TOPOGRAFI TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI PROVINSI BALI BERDASARKAN DATA OBSERVASI RESOLUSI TINGGI

REMOTE SENSING APPLICATION FOR DISASTER MANAGEMENT IN INDONESIA

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

Informasi Data Pokok Kota Surabaya Tahun 2012 BAB I GEOGRAFIS CHAPTER I GEOGRAPHICAL CONDITIONS

SKRIPSI. Disusun Oleh : TYAS ESTININGRUM

PEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PREDIKSI PANJANG MUSIM HUJAN BERDASAR SEA SURFACE TEMPERATURE

Iklim / Climate BAB II IKLIM. Climate. Berau Dalam Angka 2013 Page 11

BAB III KELEMBAGAAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS PERBANDINGAN ESTIMASI CURAH HUJAN DENGAN DATA SATELIT DAN RADAR INTEGRASI DI BALIKPAPAN

Estimasi Curah Hujan Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan Menggunakan Metode Jaringan Syaraf Tiruan

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Propinsi Riau Tahun

ANALISIS HUJAN JUNI 2016 DAN PRAKIRAAN HUJAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2016 DI SUMATERA SELATAN

Perubahan Iklim Wilayah DKI Jakarta: Studi Masa Lalu Untuk Proyeksi Mendatang

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

Perbandingan Akurasi Backpropagation Neural Network dan ANFIS Untuk Memprediksi Cuaca

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI ESTIMASI CURAH HUJAN, SUHU DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 Peneliti Pusbangja, LAPAN 2 Dosen Statistika, IPB 3 Mahasiswa Statistika, IPB. Abstrak

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

3 METODOLOGI PENELITIAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

ANALISIS KORELASI KERAPATAN TITIK API DENGAN CURAH HUJAN DI PULAU SUMATERA DAN KALIMANTAN

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

PEMANFAATAN DATA READY-ARL NOAA DAN CMORPH UNTUK PENGEMBANGAN MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH INDAH PRASASTI

PREDIKSI SEBARAN ASAP KEBAKARAN HUTAN/LAHAN MENGGUNAKAN WRF/CHEM (Studi Kasus: Tanggal 14 dan 20 Juni 2012, Pekanbaru-Riau)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Stasiun Meteorologi kelas III Nangapinoh-Melawi,Kalimantan Barat 2

Rencana Strategis BMKG Tahun

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

MEMPRAKIRAKAN KEDATANGAN FENOMENA EL-NINO TAHUN 2002~2003

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

SKRIPSI. Oleh: RENGGANIS PURWAKINANTI

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

HUBUNGAN ANTARA ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN CURAH HUJAN DI JAWA

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN

ABSTRAK Kata kunci : ABSTRACT Key word :

PREDIKSI ENSEMBLE MENGGUNAKAN CCAM (CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL) UNTUK PRAKIRAAN PELUANG KEJADIAN HUJAN DI PULAU JAWA

VALIDASI HOTSPOT MODIS DI WILAYAH SUMATERA DAN KALIMANTAN BERDASARKAN DATA PENGINDERAAN JAUH SPOT-4 TAHUN 2012

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

ESTIMASI PARAMETER TURBULENSI UNTUK JASA PENERBANGAN BERBASIS ANALISIS DATA RADIOSONDE ZAINAL ABIDIN

Medan (Penulis Korespondensi, Abstract

ANALISIS DERET BERKALA MULTIVARIAT DENGAN MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI TRANSFER: STUDI KASUS CURAH HUJAN DI KOTA MALANG

Transkripsi:

ANALISIS SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN UNTUK DESKRIPSI KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Yenni Vetrita* 1, Indah Prasasti*, Nur Febrianti*, Widya Ningrum* * Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN yenni.vetrita@gmail.com ABSTRAK Sistem peringatan dini untuk bahaya kebakaran sudah cukup lama dikembangkan, baik di dunia internasional maupun secara nasional. Sistem ini digunakan dengan tujuan untuk meminimalkan risiko kebakaran hutan/lahan. Salah satu sistem yang banyak digunakan di Indonesia adalah Fire Danger Rating System (SPBK) atau Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang diadopsi dari Kanada. Lembaga Penerbangan Antariksa dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah mengembangkan sistem ini dan dioperasionalisasikan sejak tahun 2005 menggunakan data penginderaan jauh. Dalam penelitian ini kami melakukan validasi untuk menguji sensitivitas dua kode SPBK dalam mendeteksi kebakaran yang telah terjadi di Kalimantan Tengah pada tahun 2011 yaitu Fine Fuel Moisture Code (FFMC) dan Drought Code (DC). Data yang digunakan adalah SPBK LAPAN yang dianalisis secara time series selama periode 2 bulan menjelang terjadinya kebakaran hingga 1 bulan setelah kebakaran, data pemadaman dari Kementerian Kehutanan, hotspot Terra/Aqua MODIS, dan administrasi wilayah Kalimantan Tengah. Dari analisis sebaran waktu data SPBK sebelum kebakaran hingga puncak waktu kebakaran, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Drought Code (DC) menunjukkan nilai yang signifikan terus meningkat sejak 2 bulan menjelang kejadian kebakaran dan mengalami penurunan sesudah kebakaran. Demikian pula dengan FFMC yang juga menunjukkan peningkatan dari kelas rendah hingga mencapai ekstrim pada periode kebakaran. Kedua parameter terlihat dapat mendeskripsikan kejadian kebakaran dengan baik. Namun DC yang diperoleh dari dua buah input, yaitu curah hujan dan suhu, lebih terlihat signifikan naik 2 bulan menjelang kebakaran dibandingkan FFMC. Faktor curah hujan merupakan pengaruh paling utama dalam mendeteksi kejadian kebakaran. Oleh karena itu, DC dan FFMC dapat dijadikan sebagai parameter utama yang harus diperhatikan dalam mendeteksi kebakaran hutan menggunakan data SPBK berbasiskan penginderaan jauh.

Kata kunci: Drought Code, Fine Fuel Moisture Code, Validasi, Kebakaran hutan/lahan, Kalimantan Tengah. ABSTRACK Early warning systems for fire danger has long been developed, both internationally and nationally. This system is used to minimize the risk of forest/land fires. One widely used system in Indonesia is the Fire Danger Rating System (FDRS )adopted from Canada. Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) has developed this system and operationalized since 2005 using remote sensing data. In this study we perform validation to investigate the sensitivity of the two codes i.e. the Fine Fuel Moisture Code (FFMC) and Drought Code (DC) for detecting fires occurred in Central Kalimantan in 2011. The data used are FDRS LAPAN which analyzed time series over a period of 2 months before the fire until 1 month after the fire, suppression data from the Ministry of Forestry, hotspot Terra / Aqua MODIS, and administrative areas of Central Kalimantan. The results indicate that the Drought Code (DC) showed significant rise since 2 months before fires and decreased after the fire. It is similar to that found in the FFMC. However, DC which obtained from two inputs i.e. rainfall and temperature, was significantly increased 2 months before the fire than that FFMC. Therefore, these two parameters appear well to describe fires. Rainfall is the most important factor influence in fire behaviour. Therefore, DC and FFMC can be used as the main parameter that must be considered to mitigate forest/land fires using FDRS based remote sensing data. Key Words: Drought Code, Fine Fuel Moisture Code, Validation, Forest/land fires, Central Kalimantan. Pendahuluan Lahan gambut di wilayah tropis merupakan salah satu wilayah penyimpan karbon organik yang sangat terkait dengan perubahan iklim global (Page et al., 2002) dimana kerusakan gambut dapat melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfir. Kebakaran di lahan gambut merupakan kontribusi utama dalam bencana asap kebakaran di Indonesia (Page et al., 2002). Pada kejadian kebakaran terbesar tahun 1997 telah diperkirakan sekitar 94% dari total bahan emisi kebakaran bersumber dari kebakaran di lahan gambut (Levine et al., 1999). Untuk mengantisipasi meluasnya kebakaran dengan risiko yang tinggi, salah satu langkah preventif di Indonesia adalah dengan mengembangkan sistem peringatan dini

yang disebut dengan Fire Danger Rating System (SPBK) yang diadobsi dari Kanada (Field et al., 2004; De Groot et al, 2006). Parameter yang digunakan dalam sistem ini menggunakan input dari data cuaca (deskripsi tentang sistem SPBK dijelaskan dalam Bab Metode). Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai lembaga yang berwenang dalam informasi menggunakan data cuaca di Indonesia, telah melakukan operasionalisasi SPBK secara nasional sejak Februari 2002 (Guswanto et al., 2009). Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang memungkinkan untuk diperolehnya data secara sistematis dan spasial, dan terkini (update) menjadikan data ini sebagai data yang handal untuk kegiatan pemantauan. Estimasi parameter cuaca sudah cukup banyak dilakukan antara lain curah hujan (Dinku et al., 2011; National Weather Service, 2012), suhu udara (Vancutsem et al., 2010) dan kelembaban relatif (Han et al., 2003; Khomarudin et al., 2005). Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) yang salah satu fungsinya adalah melakukan pengembangan dan pemanfaatan bidang penginderaan jauh, serta pengembangan bank data penginderaan jauh nasional dan pelayanannya (LAPAN, 2012), sejak tahun 2005 telah melakukan operasionalisasi SPBK dengan semua data bersumber dari penginderaan jauh. Semua input SPBK LAPAN telah divalidasi (Noviar et al., 2005) namun beberapa parameter seperti DC tidak menunjukkan korelasi yang baik dengan data cuaca observasi (BMKG). Kalibrasi maupun validasi komponen SPBK menggunakan input data cuaca observasi telah dilakukan, seperti FFMC, DC, ISI, dan FWI (Field et al., 2004; Dymond et al., 2004; Dymond et al., 2005; De Groot et al., 2006). Namun validasi untuk SPBK LAPAN yang menggunakan estimasi dari data penginderaan jauh masih sedikit dilakukan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh International Research Institute bersama Central Kalimantan Peatlands Project/CKPP (CKPP, 2008) di Provinsi Kalimantan Tengah menemukan bahwa input untuk parameter suhu, kelembaban relatif dan dan kecepatan angin tidak berpengaruh nyata dalam analisis prilaku kebakaran di wilayah tersebut. Sebaliknya, curah hujan, khususnya anomali curah hujan memiliki korelasi yang sigifikan dalam perilaku kebakaran di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis secara series data di lokasi kebakaran yang terjadi di Kalimantan Tengah (Gambar 1), yang berada di lokasi lahan gambut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan analisis tentang sejauhmana sebaran nilai series data

FFMC dan DC sebelum kejadian kebakaran dapat menjelaskan kejadian kebakaran yang terjadi pada tahun 2011 pada beberapa kejadian kebakaran di wilayah studi. Hipotesis Deteksi kebakaran yang lebih baik ditunjukkan dengan peningkatan nilai DC dan FFMC secara signifikan sebelum kejadian kebakaran hingga terjadinya kebakaran. Metodologi Lokasi Penelitian Provinsi Kalimantan Tengah/Kalteng (Gambar 1) dipilih menjadi lokasi penelitian mengingat wilayah ini menjadi daerah rawan kebakaran (Kementerian Kehutanan, 2011). (A) (B) Gambar 1 Lokasi penelitian di Provinsi Kalimantan Tengah, (A) kotak biru merupakan wilayah studi, (B) fokus wilayah penelitian Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari (1) data lapangan pemadaman kebakaran yang diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2011, (2) hotspot Terra/Aqua MODIS yang diperoleh dari Indofire Map Service (http://indofire.dephut.go.id/) dan NASA, (3) Drought Code (DC), Fine Fuel Moisture Code (FFMC), suhu, dan curah hujan (CH) yang diperoleh dari

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan (4) administrasi wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Pengolahan dan Analisis Data Semua data yang diperoleh ditumpangtindihkan (overlay), untuk selanjutnya diekstraksi nilai tengah (median) DC, FFMC, suhu dan CH di wilayah sekitar kejadian kebakaran (kotak biru pada Gambar 2). Mengingat semua kejadian kebakaran (ditandai bendera merah pada Gambar 2) sebagian besar terjadi pada bulan Agustus-September 2011, maka nilai yang diekstraksi merupakan periode sebelum hingga waktu kebakaran (Juni- September 2011). Gambar 2 Metode ekstraksi nilai DC, FFMC, suhu dan CH di sekitar lokasi kebakaran Analisis dilakukan dengan melihat pola series data tiap parameter dalam waktu 1-2 bulan menjelang puncak kejadian kebakaran (Agustus 2011). Nilai FFMC dan DC dengan pola distribusi yang cenderung meningkat menjelang puncak kejadian kebakaran dianggap sebagai nilai yang dapat mendeskripsikan kejadian kebakaran dengan lebih baik. Deskripsi Operasionalisasi Fire Danger Rating System di LAPAN LAPAN mulai mengoperasionalisasikan SPBK sejak bulan Juni 2005 (Noviar et al., 2005; Khomarudin et al., 2005)). Secara umum struktur pembangunan SPBK sebagaimana yang diadobsi dari SPBK Kanada dapat dilihat pada Gambar 1 (De Groot et al., 2006).

Gambar 3 Struktur sistem Fire Weather Index (FWI) FFMC merupakan peringkat numerik kandungan kadar air bahan bakaran halus. FFMC digunakan sebagai indikator potensi tingkat kemudahan penyulutan api (kebakaran). Sedangkan DC merupakan peringkat numerik kandungan kadar air di lapisan organik yang berada 10-20 cm di bawah permukaan tanah. DC digunakan sebagai indikator potensi kekeringan dan potensi terjadinya kabut asap. Berdasarkan sistem FWI (Gambar 3) dapat dilihat bahwa sistem ini menggunakan beberapa parameter cuaca. Sumber data yang digunakan untuk SPBK LAPAN, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan Sumber data SPBK LAPAN Jenis input Sumber data Referensi Suhu udara (temperature) NOAA-AVHRR Kelembaban (relative humidity) relatif Kecepatan angin (wind speed) Curah Hujan (rain) NOAA-AVHRR Bureau of Meteorology (BOM-Australia). Qmoprh dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP) Khomarudin et al., 2005; Noviar et al., 2005 Khomarudin et al., 2005; Noviar et al., 2005 http://www.bom.gov.au/ ftp://ftp.cpc.ncep.noaa.gov/precip /qmorph/30min_8km

Keunggulan menggunakan data ini adalah diperolehnya data secara spasial yang dapat menurunkan unsur-unsur cuaca tersebut secara langsung dengan resoluasi spasial 1 x 1 km (Noviar et al 2005). Namun disebutkan pula bahwa kendala yang dimiliki adalah bila liputan awan tinggi pada suatu daerah, maka parameter seperti suhu permukaan dan NDVI tidak dapat ditentukan. Nilai ini didekati dengan data ketinggian. Keempat unsur cuaca tersebut diolah untuk mendapatkan nilai FFMC, DC, ISI, dan FWI menggunakan software SFMS (Spatial Fire Management System). Resolusi spasial data akhir yang diperoleh adalah 2.5 km x 2.5 km setelah sebelumnya diinterpolasi menjadi grid. Informasi ini kemudian diunggah setiap hari ke dalam website LAPAN di alamat http://www.lapanrs.com/simba. Berdasarkan hasil kalibrasi yang telah dilakukan sebelumnya di wilayah Indonesia dan Malaysia (De Groot et al), LAPAN juga mengklasifikasi FFMC dan DC sesuai dengan hasil tersebut. Pengkelasan kedua parameter tersebut dengan interpretasinya sebagaimana yang diunggah dalam website, dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Kelas rawan FFMC dan interpretasinya Kelas Nilai Interpretasi (potensi tingkat kemudahan penyulutan api) Rendah 0-72 Kemungkinan terpicunya api sangat rendah Sedang 73-77 Kemungkinan api terpicu pada daerah kering dan terisolasi sangat rendah Tinggi 78-82 Bahan bakaran halus (seperti alang-alang) sangat mudah terpicu api tinggi Ekstrim >83 Bahan bakaran halus sangat mudah terpicu api, kemungkinan terpicunya api sangat tinggi

Tabel 3 Kelas rawan DC dan interpretasinya Kelas Nilai Interpretasi Hari kering sebelum kekeringan* Rendah <140 Sedang 140-260 Tinggi 260-350 Kondisi musim basah,kabut asap tidak terjadi kondisi normal pertengahan musim kering, pembakaran harus dipantau Kondisi normal puncak musim kering seluruh pembakaran di atas lahan gambut, dilarang >30 16-30 6-15 Ekstrim >350 Kondisi bahaya kekeirngan, pembakaran sepenuhnya dilarang <6 *berdasarkan Field et al (2004) Hasil dan Pembahasan Mengingat data yang dimiliki merupakan data harian, yang kemungkinan masih terganggu oleh awan, maka data series difilter dengan metode sederhana yaitu peratarataan nilai 5 hari sebelum dan sesudah dari tanggal pengamatan. Pada Gambar 4 dapat dilihat nilai FFMC awal (FFMC) yang sebarannya sangat drastis meningkat atau menurun tampak lebih berpola halus setelah difilter (FFMC-f). Demikian pula dengan data DC sebelum difilter (DC) dan sesudahnya (DC-f) yang tidak terdapat banyak perubahan kecuali pada waktu hujan (Gambar 5). Gambar 4 Hasil filter data FFMC

Gambar 5 Hasil filter data DC Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi paling rawan kebakaran. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah hotspot sejak tahun 2005-2009 di beberapa provinsi rawan di Indonesia (Kementerian Kehutanan, 2011) yang menunjukkan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi yang memiliki jumlah tertinggi sepanjang periode waktu tersebut (Gambar 6). Data hotspot ini, menurut Dymond et al (2005), dapat digunakan sebagai alat kalibrasi komponen SPBK ketika data lapangan tidak tersedia. Gambar 6 Rata-rata jumlah hotspot selama tahun 2005-2009 (Sumber data: Terra/Aqua MODIS) Kebakaran yang terjadi pada lokasi studi ini kemungkinan besar merupakan kebakaran bawah tanah. Hal ini dapat diketahui dari waktu pemadaman dalam waktu yang berbeda secara berturut-turut selama hampir 1 bulan sejak awal diketahuinya kebakaran. Dari informasi lapangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Tengah diketahui bahwa titik pemadaman api dilakukan di lokasi tersebut pada tanggal 24 Juli 2011, dan bulan Agustus 2011 (tanggal 1, 3, 7, 8, 9, 10, 13, 16, 19, 20, 22, 23, dan 24).

Telah dilaporkan pula bahwa kondisi asap sangat mengganggu wilayah di sekitar kejadian. Menurut De Groot et al (1988), indikasi kondisi kekeringan pada lahan gambut, dan potesial untuk kebakaran dalam (bawah tanah) dapat diindikasikan oleh tingginya nilai DC. Bila dilihat hasil analisis DC hasil ekstraksi di lokasi kejadian kebakaran, terlihat bahwa pada awal Juni 2011 (sebelum kebakaran), nilai DC masih dalam kondisi rendah (Gambar 7). Nilai ini terus meningkat dan mencapai nilai tinggi karena diikuti oleh curah hujan yang rendah hingga akhir Juni 2011. Meskipun mengalami penurunan namun nilai DC cenderung tetap naik pada hari berikutnya hingga mencapai nilai DC tinggi pada pertengahan Juli 2011. Lingkaran hitam pada Gambar 7 menunjukkan penurunan nilai DC yang diakibatkan adanya hujan selama beberapa hari. Periode kebakaran dimulai sesudah itu, yang diikuti oleh hari kering tanpa hujan lebih dari 6 hari sepanjang periode tersebut. Nilai DC pada saat kebakaran melebihi nilai threshold 350 (Tabel 3) yang berarti kondisi bahaya kekeringan, pembakaran sepenuhnya dilarang. Kondisi serupa juga ditemukan pada FFMC, dimana sepanjang periode kebakaran kelas FFMC berada pada kondisi ekstrim (Tabel 2), yang berarti bahan bakaran halus akan sangat mudah terpicu api. Nilai FFMC cenderung lebih sensitif pada saat terdapat hujan. Namun demikian, untuk kasus di lokasi kebakaran ini, nilai FFMC cenderung terus meningkat dan turun setelah kebakaran usai yang diikuti oleh turunnya hujan di wilayah tersebut.

Gambar 7 Sebaran nilai DC, FFMC, dan curah hujan di lokasi kebakaran. Kotak merah dengan garis putus-putus merupakan waktu pemadaman kebakaran, Garis horizontal warna hijau merupakan threshold DC ekstrim sedangkan garis horizontal warna biru merupakan threshold FFMC ekstrim. Dari hasil analisis ini dapat dilihat bahwa DC LAPAN dapat menjelaskan peringatan dini terkait dengan kemungkinan kejadian asap yang cukup serius akibat kebakaran. Sedangkan FFMC LAPAN dapat dijadikan sebagai indikasi potensi untuk mulainya kejadian kebakaran dalam jumlah besar. Dari review Field et al (2004) diketahui bahwa DC dapat mengestimasi kandungan kelembaban hingga kedalaman 10-20 cm, termasuk kandungan organik dalam gambut (Lee et al, 2002) sesuai dengan lokasi kebakaran di wilayah studi. DC juga digunakan sebagai indikator kekeringan dalam waktu yang lama serta penyulutan api (McAlpine, 1990). Meskipun hasil validasi DC LAPAN yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Noviar et al (2005) menemukan tidak adanya korelasi yang baik antara DC LAPAN dan BMKG, namun kami menemukan bahwa DC LAPAN sangat baik untuk mendeskripsikan suatu kejadian kebakaran. Salah satu penyebab yang kami duga membuat DC LAPAN baik untuk mendukung informasi deteksi dini kebakaran hutan/lahan adalah mengingat input utamanya yang berasal dari curah hujan dan suhu. Menurut CKPP (2008) perilaku kebakaran di Provinsi Kalimantan Tengah lebih berkorelasi dengan curah hujan,

khususnya anomali curah hujan, dibandingkan parameter cuaca lainnya (suhu, kelembabab relatif) yang cenderung lebih konstan. Kesimpulan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran yang diadopsi dari Kanada oleh LAPAN dapat memberikan informasi yang baik untuk penanggulangan kebakaran hutan/lahan di Provinsi Kalimantan Tengah. Sistem ini diharapkan dapat membantu pemerintah setempat dalam mengantisipasi kebakaran yang kemungkinan akan terjadi dengan menampilkan tingkat kerawanan dan cara antisipasi yang harus dilakukan. Untuk selanjutnya, perlu dilakukan validasi dengan seri data dan kebakaran lapangan yang lebih banyak. Ucapan Terima Kasih Riset ini merupakan bagian dari kegiatan PKPP RISTEK yang berjudul Penguatan Kapasitas Daerah dan Sinergi Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penanggulangan Kebakaran Hutan/Lahan-Perkebunan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada PKPP RISTEK yang telah mendanai penelitian ini. Disamping itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Dody Andreas dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Provinsi Kalimantan Tengah yang banyak membantu dalam pemberian informasi lapangan. Penghargaan juga kami sampaikan kepada DR.Orbita Roswintiarti, Bapak Agus Hidayat dan DR.M.Rokhis Komaruddin atas ide dan masukannya untuk riset ini. Daftar Pustaka Barbero, R., V. Moron, M. Mangeas, M. Despinoy, and C. Hély. 2011. Relationships between MODIS and ATSR fires and atmospheric variability in New Caledonia (SW Pacific). Journal of Geophysical Research, Vol. 116, D21110, doi:10.1029/2011jd015915. CKPP (Central Kalimantan Peatlands Project). 2008. Development of a Fire Early Warning System Using Climate Information and Institutional Mapping to Enable Fire Early Response. Narrative Report On March May 2008 Activities. De Groot, W.J., Robert D. Field, Michael A. Brady Orbita Roswintiarti, and Maznorizan Mohamad. 2006. Development of the Indonesian and Malaysian Fire Danger Rating Systems. Mitigation Adaptation Strategy Global Change, 12:165 180. Dinku, T., Pietro Ceccato, Stephen J. Connor. 2011. Challenges of satellite rainfall estimation over mountainous and arid parts of east Africa. International Journal of Remote Sensing Vol. 32, Iss. 21.

Dymond, C.C., Robert D. Field, Orbita Roswintiarti, Guswanto. 2005. Using Satellite Fire Detection to Calibrate Components of the Fire Weather Index System in Malaysia and Indonesia. Environmental Management Vol. 35, No. 4, pp. 426 440. Dymond, Caren C., Orbita Roswintiarti, and Michael Brady. 2004. Characterizing and mapping fuels for Malaysia and western Indonesia. International Journal ofwildland Fire, 2004, 13, 323 334. Field, R.D., Yonghe Wang, Orbita Roswintiarti, Guswanto. 2004. A Drought-Based Predictor of Recent Haze Events in Western Indonesia. Atmospheric Environment 38,1869 1878. Guswanto dan Eko Heriyanto. 2009. Operational Weather Systems For National Fire Danger Rating. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Volume 10 Nomor 2 November 2009. Han, K.S., Alain A Viau, François Anctil. 2003. High-resolution forest fire weather index computations using satellite remote sensing. Canadian Journal of Forest Research, 33(6): 1134-1143, 10.1139/x03-014. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Sebaran Hotspot dan Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan. Siaran Pers Nomor: 389/PHM-2/2011. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/7573. [Diakses tanggal 24 September 2011]. Khomarudin, M.R., O. Roswintiarti, dan A. Tjahjaningsih. 2005. Estimasi Unsur-Unsur Cuaca untuk Mendukung Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dengan Data MODIS. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa, Surabaya, 14 15 September. LAPAN. Tugas pokok dan fungsi LAPAN. http://www.lapan.go.id/page.php?vpage=tupoksi.htm [diakses tanggal 30 Mei 2012] Lee, B.S., Alexander, M.E., Hawkes, B.C., Lynham, T.J., Stocks, B.J., Englefield, P. 2002. Information systems in support of wildland fire management decision making in Canada. Computers and Electronics in Agriculture 37, 185 198. McAlpine, R.S., 1990. Seasonal trends in the drought code component of the Canadian forest fire weather index system. Information Report PI-X-97 E/F. Forestry Canada, Petawawa, Ont., 36p. National Weather Service. National Center for Environmental Predictions. http://www.ncep.noaa.gov/ [Diakses 30 Mei 2012]. Noviar, H., M. R. Khomarudin, dan O. Roswintiarti. 2005. Operasionalisasi Sistem Peringatan Dini Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan Dengan Data NOAA-AVHRR. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa, Surabaya, 14 15 September. Page. S. E., Siegert, F., Rieley. J.O., Boehm. H. -D. V., Jaya. A. & Limin. S. H. 2002. The amount of carbon released from peat forest fire in Indonesia during 1997. Nature 420: 61-65. Vancutsem, C., Ceccato, P., Dinku, T., Connor, S.J. (2010). Evaluation of MODIS Land surface temperature data to estimate air temperature in different ecosystems over Africa. Remote Sensing of Environment, 114(2): 449-465.