BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan keselamatan hutan, agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat maupun generasi yang akan datang. Dalam pemanfaatan hutan diperlukan konsep pengelolaan berdasarkan prinsip berkelanjutan (Sustainable Forest Management) melalui pengendalian dan pengawasan fungsi perijinan dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Disamping melakukan pemanfaatan dan pengelolaan hutan juga harus dilakukan perlindungan terhadap hutan. Perlindungan hutan tersebut meliputi usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, hama dan penyakit. Usaha lain dalam rangka perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak masyarakat dan negara atas hutan dan hasil hutan (Murhaini, 2012). Di Indonesia, kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai hutan ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian. Hasil dari proses perencanaan tersebut menyebabkan 61 % wilayah daratan Indonesia diklasifikasi sebagai kawasan hutan. Hasil perencanaan tersebut secara kualitas masih sangat kasar, sehingga pemerintah harus melakukan klasifikasi-klasifikasi ulang terhadap 1
hutan dan melepas kawasan-kawasan yang kenyataannya sudah digunakan untuk tujuan lain atau sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan karena tidak sesuai dengan klasifikasi kawasan hutan. Departemen Kehutanan sendiri meyakini hal ini sebagai kekeliruan sistematik yang muncul pada penentuan status kawasan hutan sehingga menimbulkan konflik sosial yang hingga kini masih berlangsung (Fay dan Michon, 2005). Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air dari hulu ke hilir yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis oleh punggungan bukit dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 tahun 2004). Konsep pembangunan yang berkelanjutan, dalam konteks Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dicapai apabila kebijakan yang akan diterapkan pada pengelolaan DAS mempertimbangkan aspek ekologi, sedangkan batas administratif bukan merupakan suatu kendala. Oleh karena itu, semua aktor yang terlibat di dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya alam pada skala DAS harus saling menyadari dampak yang akan ditimbulkan oleh aktivitas yang dilakukannya (Asdak, 1995). Kerusakan ekosistem di suatu DAS terutama disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan, peladangan berpindah, pertanian lahan kering yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta penggunaan sumberdaya lahan yang tidak tepat. Kerusakan ekosistem tersebut menyebabkan 2
terganggunya kehidupan flora, fauna, sistem tata air, dan kualitas air dan tanah yang pada gilirannya akan menyebabkan timbulnya kenaikan jumlah erosi sehingga lahan menjadi kritis (Soemarwoto, 1996). Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) No. P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi DAS disebutkan bahwa masalah kependudukan baik kuantitas maupun kualitas mempunyai pengaruh penting terhadap lingkungan. Salah satu permasalahan penduduk di DAS adalah tekanan penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk akan berakibat pada permasalahan lapangan kerja, pendidikan, pangan bergizi, kesehatan, dan degradasi lingkungan. Makin besar jumlah penduduk, makin besar pula kebutuhan akan sumberdaya sehingga tekanan terhadap sumberdaya juga meningkat (Susilo, 2012). Di lain pihak, menurut Prasudjo (2005) ada beberapa faktor lain yang turut mendorong terwujudnya suatu aksi atau tindakan pengelolaan sumberdaya alam, baik tindakan yang mencerminkan sikap konservatif, eksploitatif maupun tindakan yang mempertimbangkan sustainability, di antaranya yaitu: (1) kondisi dan bentuk-bentuk dasar aturan nilai yang dihasilkan oleh budaya, agama, moral; (2) keadaan ekonomi; dan (3) intervensi kebijakan, baik berupa dukungan sumberdaya materiil maupun pengetahuan. Dukungan sumberdaya itu dapat datang dari organisasi birokrasi pemerintah, LSM (organisasi non profit), swasta (berorientasi profit) maupun organisasi masyarakat lainnya. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana tindakan 3
masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alamnya, perlu mempertimbangkan keseluruhan faktor-faktor tersebut. Hutan mempunyai peranan penting dalam mengkonversi Daerah Aliran Sungai (DAS). Dengan semakin berkurangnya hutan, maka timbul berbagai masalah dalam pengelolaan DAS, karena hutan memiliki sifat-sifat yang menguntungkan antara lain mempunyai serasah yang tebal sehingga memudahkan air meresap ke dalam tanah dan mengalirkannya perlahan ke sungai, serasahnya juga melindungi permukaan tanah dari gerusan aliran permukaan sehingga erosi pada tanah sangat rendah. Oleh karena itu hutan perlu dipertahankan, apabila hutan sudah terlanjur terbuka (terutama pada bagian DAS yang peka erosi) maka penggunaan lahannya perlu diusahakan supaya mendekati bentuk hutan (Widianto,dkk., 2004) DAS sebagai suatu unit pengelolaan merupakan suatu unit perencanaan yang terukur, dan keterkaitan antara berbagai sumber daya yang terkandung di dalamnya dan di sekitarnya dapat direpresentasikan dalam perspektif ruang (Baja, 2012). Ruang yang terbatas dan jumlahnya relatif tetap tidak berimbang dengan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk yang memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga dalam konteks ini 4
ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu dan berkelanjutan (Dardak, 2006). Untuk mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut maka ruang Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta sumberdaya alam yang ada di dalamnya perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna. Untuk itu maka pengelolaannya perlu berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Republik Indonesia. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang (Senawi, 2010). Pola ruang mempunyai 3 (tiga) jenis penggunaan ruang yang mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing agar tercipta kehidupan dinamis antara manusia dan alam. Jenis-jenis pola ruang tersebut adalah kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya. Untuk menentukan kawasan mana yang termasuk lindung, penyangga dan budidaya, maka dapat digunakan teknik analisis dengan bantuan arcgis. Dengan demikian dapat diidentifikasi perbedaan fungsi kawasan 5
hutan sesuai dengan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/8/1980 Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Hutan Lindung, No.683/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Hutan Produksi dengan kawasan hutan menurut RTRWP Sulawesi Selatan yang tertuang dalam SK Menteri Kehutanan No. 434/Menhut-II/2009 Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Sulawesi Selatan. Sub DAS Tekolabbo merupakan bagian dari DAS Pamukkulu. Sub DAS Tekolabbo terletak di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan, dengan fungsi Kawasan Lindung (Hutan Lindung, Taman Buru dan Suaka Margasatwa) dan Kawasan Budidaya (Hutan Produksi, Pemukiman, Lahan Pertanian, dan sebagainya). Penunjukkan kawasan hutan di Kabupaten Takalar dan Gowa ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan No. 434/Menhut-II/2009. Meskipun batasbatas kawasan hutan telah ditetapkan, namun masyarakat masih mengklaim kawsan tersebut sebagai hak milik dan melakukan aktiifas di dalam kawasan hutan seperti perladangan, perkebunan sebagai sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu dalam pengukuhan suatu kawasan hutan perlu mempertimbangkan masyarakat setempat, sehingga proses pemantapan kawasan hutan dapat terlaksana secara de facto dan de yure, memiliki batas yang legal secara hukum dan diakui oleh masyarakat. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan dan penyimpangan tata ruang dalam suatu DAS yang turut dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi masyarakat yang bermukim di dalam Sub DAS Tekolabbo ini mengakibatkan 6
perlunya dilakukan review tata ruang dalam penatagunaan fungsi kawasan dan pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi fisik dan kondisi sosial masyarakat dalam Sub DAS Tekolabbo. 1.2. Rumusan Masalah Pengelolaan suatu DAS/Sub DAS perlu mempertimbangkan beberapa aspek, diantaranya aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Salah satu permasalahan yang menyebabkan rusaknya ekosistem di suatu DAS adalah kegiatan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan semakin meningkatnya tekanan penduduk sementara ruang terbatas, masyarakat merambah masuk ke dalam kawasan hutan untuk berladang tanpa memperhatikan batas-batas kawasan hutan dan teknik konservasi tanah dan air. Hal ini menyebabkan terjadinya penyimpangan tata ruang dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasannya. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka dalam penelitian ini terdapat beberapa pertanyaan yang hendak dijawab, yaitu : 1. Bagaimana karakterisitik Sub DAS Tekolabbo? 2. Bagaimana fungsi kawasan pada Sub DAS Tekolabbo? 3. Bagaimana pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang bermukim di Sub DAS Tekolabbo? 7
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakterisitik Sub DAS Tekolabbo. 2. Menganalisis fungsi kawasan pada Sub DAS Tekolabbo. 3. Merumuskan bentuk pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang bermukim di Sub DAS Tekolabbo. 1.4. Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan manfaat terhadap berbagai pihak yaitu : 1. Pengembangan ilmu kehutanan terutama di bidang pengelolaan hutan berdasarkan tata ruang. 2. Sebagai informasi dalam penggunaan dan pengelolaan lahan pada Sub DAS Tekolabbo. 3. Sebagai referensi untuk penelitian yang terkait dengan penelitian ini. 8