BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN Latar Belakang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

this file is downloaded from

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT)

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

FOREST LANDSCAPE RESTORATION

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI KEHUTANAN DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PEMBENTUKAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB 5 RTRW KABUPATEN

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB 2 Perencanaan Kinerja

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 1985 TENTANG PENETAPAN RENCANA UMUM TATA RUANG KAWASAN PUNCAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PER

2016, No Kepada 34 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Su

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERRLINDUNGAN MATA AIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1970 TENTANG PERENCANAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU

Disampaikan Pada Acara :

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan keselamatan hutan, agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat maupun generasi yang akan datang. Dalam pemanfaatan hutan diperlukan konsep pengelolaan berdasarkan prinsip berkelanjutan (Sustainable Forest Management) melalui pengendalian dan pengawasan fungsi perijinan dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Disamping melakukan pemanfaatan dan pengelolaan hutan juga harus dilakukan perlindungan terhadap hutan. Perlindungan hutan tersebut meliputi usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, hama dan penyakit. Usaha lain dalam rangka perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak masyarakat dan negara atas hutan dan hasil hutan (Murhaini, 2012). Di Indonesia, kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai hutan ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian. Hasil dari proses perencanaan tersebut menyebabkan 61 % wilayah daratan Indonesia diklasifikasi sebagai kawasan hutan. Hasil perencanaan tersebut secara kualitas masih sangat kasar, sehingga pemerintah harus melakukan klasifikasi-klasifikasi ulang terhadap 1

hutan dan melepas kawasan-kawasan yang kenyataannya sudah digunakan untuk tujuan lain atau sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan karena tidak sesuai dengan klasifikasi kawasan hutan. Departemen Kehutanan sendiri meyakini hal ini sebagai kekeliruan sistematik yang muncul pada penentuan status kawasan hutan sehingga menimbulkan konflik sosial yang hingga kini masih berlangsung (Fay dan Michon, 2005). Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air dari hulu ke hilir yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis oleh punggungan bukit dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 tahun 2004). Konsep pembangunan yang berkelanjutan, dalam konteks Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dicapai apabila kebijakan yang akan diterapkan pada pengelolaan DAS mempertimbangkan aspek ekologi, sedangkan batas administratif bukan merupakan suatu kendala. Oleh karena itu, semua aktor yang terlibat di dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya alam pada skala DAS harus saling menyadari dampak yang akan ditimbulkan oleh aktivitas yang dilakukannya (Asdak, 1995). Kerusakan ekosistem di suatu DAS terutama disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan, peladangan berpindah, pertanian lahan kering yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta penggunaan sumberdaya lahan yang tidak tepat. Kerusakan ekosistem tersebut menyebabkan 2

terganggunya kehidupan flora, fauna, sistem tata air, dan kualitas air dan tanah yang pada gilirannya akan menyebabkan timbulnya kenaikan jumlah erosi sehingga lahan menjadi kritis (Soemarwoto, 1996). Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) No. P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi DAS disebutkan bahwa masalah kependudukan baik kuantitas maupun kualitas mempunyai pengaruh penting terhadap lingkungan. Salah satu permasalahan penduduk di DAS adalah tekanan penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk akan berakibat pada permasalahan lapangan kerja, pendidikan, pangan bergizi, kesehatan, dan degradasi lingkungan. Makin besar jumlah penduduk, makin besar pula kebutuhan akan sumberdaya sehingga tekanan terhadap sumberdaya juga meningkat (Susilo, 2012). Di lain pihak, menurut Prasudjo (2005) ada beberapa faktor lain yang turut mendorong terwujudnya suatu aksi atau tindakan pengelolaan sumberdaya alam, baik tindakan yang mencerminkan sikap konservatif, eksploitatif maupun tindakan yang mempertimbangkan sustainability, di antaranya yaitu: (1) kondisi dan bentuk-bentuk dasar aturan nilai yang dihasilkan oleh budaya, agama, moral; (2) keadaan ekonomi; dan (3) intervensi kebijakan, baik berupa dukungan sumberdaya materiil maupun pengetahuan. Dukungan sumberdaya itu dapat datang dari organisasi birokrasi pemerintah, LSM (organisasi non profit), swasta (berorientasi profit) maupun organisasi masyarakat lainnya. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana tindakan 3

masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alamnya, perlu mempertimbangkan keseluruhan faktor-faktor tersebut. Hutan mempunyai peranan penting dalam mengkonversi Daerah Aliran Sungai (DAS). Dengan semakin berkurangnya hutan, maka timbul berbagai masalah dalam pengelolaan DAS, karena hutan memiliki sifat-sifat yang menguntungkan antara lain mempunyai serasah yang tebal sehingga memudahkan air meresap ke dalam tanah dan mengalirkannya perlahan ke sungai, serasahnya juga melindungi permukaan tanah dari gerusan aliran permukaan sehingga erosi pada tanah sangat rendah. Oleh karena itu hutan perlu dipertahankan, apabila hutan sudah terlanjur terbuka (terutama pada bagian DAS yang peka erosi) maka penggunaan lahannya perlu diusahakan supaya mendekati bentuk hutan (Widianto,dkk., 2004) DAS sebagai suatu unit pengelolaan merupakan suatu unit perencanaan yang terukur, dan keterkaitan antara berbagai sumber daya yang terkandung di dalamnya dan di sekitarnya dapat direpresentasikan dalam perspektif ruang (Baja, 2012). Ruang yang terbatas dan jumlahnya relatif tetap tidak berimbang dengan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk yang memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga dalam konteks ini 4

ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu dan berkelanjutan (Dardak, 2006). Untuk mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut maka ruang Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta sumberdaya alam yang ada di dalamnya perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna. Untuk itu maka pengelolaannya perlu berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Republik Indonesia. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang (Senawi, 2010). Pola ruang mempunyai 3 (tiga) jenis penggunaan ruang yang mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing agar tercipta kehidupan dinamis antara manusia dan alam. Jenis-jenis pola ruang tersebut adalah kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya. Untuk menentukan kawasan mana yang termasuk lindung, penyangga dan budidaya, maka dapat digunakan teknik analisis dengan bantuan arcgis. Dengan demikian dapat diidentifikasi perbedaan fungsi kawasan 5

hutan sesuai dengan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/8/1980 Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Hutan Lindung, No.683/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Hutan Produksi dengan kawasan hutan menurut RTRWP Sulawesi Selatan yang tertuang dalam SK Menteri Kehutanan No. 434/Menhut-II/2009 Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Sulawesi Selatan. Sub DAS Tekolabbo merupakan bagian dari DAS Pamukkulu. Sub DAS Tekolabbo terletak di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan, dengan fungsi Kawasan Lindung (Hutan Lindung, Taman Buru dan Suaka Margasatwa) dan Kawasan Budidaya (Hutan Produksi, Pemukiman, Lahan Pertanian, dan sebagainya). Penunjukkan kawasan hutan di Kabupaten Takalar dan Gowa ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan No. 434/Menhut-II/2009. Meskipun batasbatas kawasan hutan telah ditetapkan, namun masyarakat masih mengklaim kawsan tersebut sebagai hak milik dan melakukan aktiifas di dalam kawasan hutan seperti perladangan, perkebunan sebagai sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu dalam pengukuhan suatu kawasan hutan perlu mempertimbangkan masyarakat setempat, sehingga proses pemantapan kawasan hutan dapat terlaksana secara de facto dan de yure, memiliki batas yang legal secara hukum dan diakui oleh masyarakat. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan dan penyimpangan tata ruang dalam suatu DAS yang turut dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi masyarakat yang bermukim di dalam Sub DAS Tekolabbo ini mengakibatkan 6

perlunya dilakukan review tata ruang dalam penatagunaan fungsi kawasan dan pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi fisik dan kondisi sosial masyarakat dalam Sub DAS Tekolabbo. 1.2. Rumusan Masalah Pengelolaan suatu DAS/Sub DAS perlu mempertimbangkan beberapa aspek, diantaranya aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Salah satu permasalahan yang menyebabkan rusaknya ekosistem di suatu DAS adalah kegiatan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan semakin meningkatnya tekanan penduduk sementara ruang terbatas, masyarakat merambah masuk ke dalam kawasan hutan untuk berladang tanpa memperhatikan batas-batas kawasan hutan dan teknik konservasi tanah dan air. Hal ini menyebabkan terjadinya penyimpangan tata ruang dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasannya. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka dalam penelitian ini terdapat beberapa pertanyaan yang hendak dijawab, yaitu : 1. Bagaimana karakterisitik Sub DAS Tekolabbo? 2. Bagaimana fungsi kawasan pada Sub DAS Tekolabbo? 3. Bagaimana pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang bermukim di Sub DAS Tekolabbo? 7

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakterisitik Sub DAS Tekolabbo. 2. Menganalisis fungsi kawasan pada Sub DAS Tekolabbo. 3. Merumuskan bentuk pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang bermukim di Sub DAS Tekolabbo. 1.4. Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan manfaat terhadap berbagai pihak yaitu : 1. Pengembangan ilmu kehutanan terutama di bidang pengelolaan hutan berdasarkan tata ruang. 2. Sebagai informasi dalam penggunaan dan pengelolaan lahan pada Sub DAS Tekolabbo. 3. Sebagai referensi untuk penelitian yang terkait dengan penelitian ini. 8