PENDAHULUAN Inspektorat Kota Salatiga adalah badan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja

dokumen-dokumen yang mirip
MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

PEDOMAN EVALUASI AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA,

INSPEKTORAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PETUNJUK PELAKSANAAN EVALUASI AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

REFORMASI BIROKRASI. Pengantar

PETUNJUK TEKNIS EVALUASI SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH BAB I P E N D A H U L U A N

BUPATI SOPPENG BUPATI SOPPENG,

INSPEKTORAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 91 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN BUPATI BERAU

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 55

PEDOMAN EVALUASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA MAHKAMAH AGUNG DAN PENGADILAN TINGKAT BANDING SELURUH LINGKUNGAN PERADILAN BAB I PENDAHULUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas d

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2011 NOMOR : 50

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PEDOMAN EVALUASI TERHADAP LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG

2011, No Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2

PEDOMAN EVALUASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI

PETUNJUK TEKNIS EVALUASI SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

PEDOMAN TEKNIS EVALUASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG

PEDOMAN EVALUASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SIAK. PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 11.a TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. (government) menjadi kepemerintahan (governance). Pergeseran tersebut

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indon

PETUNJUK PELAKSANAAN EVALUASI ATAS IMPLEMENTASI SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BUPATI PAMEKASAN PERATURAN BUPATI PAMEKASAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

PEDOMAN EVALUASI INTERNAL ATAS LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) SKPD DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG

INSPEKTORAT SEKRETARIAT KABINET REPUBLIK INDONESIA

S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 91 TAHUN No. 91, 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 20 SERI E

EVALUASI AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (AKIP) 1

PEDOMAN EVALUASI AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 2015, No Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja U

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tamba

PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN EVALUASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP)

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

oaaaimahmaiffli^^ PT?PTrmcT?iTiTTTTV?m[n]m;V.'/ii um _ GHIQIIDma3!ZESEC] /MoatiiMDnnani

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

2016, No Lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentan

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI BANJAR NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PEDOMAN PENYUSUNAN SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP) DI LINGKUNGAN BADAN STANDARDISASI NASIONAL

Umum Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi. transparan, akuntabel, efisien dan efektif terhadap

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP-SKPD) TAHUN 2015

LAKIP LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH TAHUN 2014 INSPEKTORAT KOTA BANDUNG JL. TERA NO. 20 BANDUNG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG

Disampaikan dalam Persiapan Asistensi Sakip Barenlitbang Kota Malang Malang, 11 April Oleh : Sugeng Widodo, AP, MM Inspektorat Kota Malang

BAB I PENDAHULUAN. dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik,

PENDAHULUAN. pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, serta untuk meningkatkan

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR : KEP. 12 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BMKG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH INSPEKTORAT TAHUN 2015

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 216 Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 5584); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tah

2014, No639 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme

PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. KEMEN-ESDM. SAKIP. Evaluasi. Juklak. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan sumber daya

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

-5- Kerangka kerja evaluasi atas implementasi SAKIP secara umum digambarkan sebagai berikut:

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG

LAPORAN HASIL EVALUASI LAKIP DEPUTI BIDANG KOORDINASI PENGELOLAAN ENERGI, SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2015

MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA SEKRETARIAT INSPEKTORAT JENDERAL TAHUN 2016

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT ITWASDA

Jambi, Januari 2017 INSPEKTUR KOTA JAMBI, Drs. H. HAFNI ILYAS. Pembina Utama Muda. NIP

2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan L

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

KATA PENGANTAR BUPATI BARRU, TTD. Ir. H. ANDI IDRIS SYUKUR, MS.

INSPEKTORAT KOTA BANDUNG KATA PENGANTAR

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. Dalam Modul Pembentukan Auditor Ahli yang berjudul Akuntabilitas

PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 169 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK TEKNIS EVALUASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP)

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan akan adanya perubahan pada organisasi sektor publik yang

PEDOMAN MEKANISME KERJA PENILAIAN MANDIRI PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI SEKRETARIAT JENDERAL DAN BADAN KEAHLIAN DPR RI

MENTERI DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG

RINGKASAN EKSEKUTIF RINGKASAN EKSEKUTIF

BAB. I PENDAHULUAN. Dalam konsep New Public Management (NPM) birokrasi pemerintah sebagai pemberi

Transkripsi:

PENDAHULUAN Inspektorat Kota Salatiga adalah badan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah dengan tugas pokok melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintah daerah dan pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah. Salah satu program pengawasan komperhensif yang dilaksanakan adalah melaksanakan evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) di lingkungan kota Salatiga. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah aktivitas analisis kritis, penilaian yang sistematis, pemberian atribut, pengenalan permasalahan serta pemberian solusi untuk tujuan peningkatan kinerja dan Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dimaksudkan untuk membantu Instansi Pemerintah untuk mengukur dan mengevaluasi capaian kinerjanya, serta mempermudah atasan instansi untuk melakukan evaluasi (Menpan Deputi Akuntabilitas Aparatur,2005). Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan memberikan saran perbaikan dalam meningkatkan kinerja dan penguatan akuntabilitas instansi pemerintah dan unit kerja sesuai dengan prioritas program pemerintah saat ini (Menpan dan RB,2012). Dilihat dari beberapa fenomena yang dipaparkan oleh media cetak dan artikel ditemukan bahwa kementerian atau lembaga atau pemerintah daerah masih mendapatkan hasil penilaian evaluasi LAKIP dari Kementerian PAN-RB dengan hasil yang tidak memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa realita yang tercantum di media cetak atau artikel dibawah ini: Manajemen Kinerja:Peningkatan Kualitas Penyusunan LAKIP. Tulisan karya Suhartanto, Ak.MM yaitu: Hasil evaluasi SAKIP yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Pemerintah dan Reformasi Birokrasi masih tetap menunjukkan hasil nilai CC (nilai 50 65) yang mengindikasikan nilai Cukup (memadai), perlu banyak perbaikan yang tidak mendasar. Penyebabnya 1

hasil penilaian yang tidak memuaskan dari evaluasi AKIP yang dilakukan Kemen- PAN RB masih terdapatnya pelaksanaan evaluasi yang belum tepat dan akurat, seperti para evaluator AKIP yang belum menerapkan prinsip evaluasi partisipasi dan coevaluation dengan pihak yang dievaluasi dan pelaksanaan evaluasi yang dilakukan lebih banyak melakukan evaluasi terhadap dokumen. Akuntabilitas Kinerja Jauh dari Target. Nasional kompas (Sutisna, 2012) yaitu: Jakarta, Kompas - Hasil evaluasi akuntabilitas kinerja pemerintah masih jauh dari target. Sangat sedikit pemerintah daerah yang mendapat nilai memadai dalam laporan evaluasi akuntabilitas kinerja pemerintah. Hasil evaluasi 11 pemprov dan 92 pemkab/pemkot mendapat nilai agak kurang dan perlu banyak perbaikan mendasar (C). Adapun 65 pemkab/pemkot lain mendapat nilai kurang dan perlu banyak sekali perbaikan mendasar (D). Hanya 17 pemprov dan 22 pemkab/pemkot yang mendapat nilai memadai dan dianggap perlu banyak perbaikan tidak mendasar (CC). Nilai baik dan perlu sedikit perbaikan (B) diraih dua pemprov, yaitu Jawa Tengah dan Kalimantan Timur, serta satu pemkot, yakni Sukabumi. Tidak ada daerah yang mendapat nilai sangat baik (A), apalagi memuaskan (AA). Kondisi senada juga ditulis oleh Margaretha Hendriani Y, Peneliti Studi Kasus Pada Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul serta Mahasiswa Akuntansi UAJY, dalam tulisan Evaluasi Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Pada Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yaitu penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Di dinas pendidikan dasar kabupaten bantul, dalam setiap elemen SAKIP yaitu perencanaan strategis, pengukuran kinerja dan penyajian informasi dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah telah sesuai dengan kriteria yang disebutkan dalam pedoman umum evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang diterbitkan oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia. Penelitian Supartini (2010) di Kabupaten Kotawaringin Barat mengidentifikasi adanya beberapa kendala dalam penyusunan LAKIP SKPD yaitu Kurangnya komitmen pimpinan instansi untuk pelaksanaan SAKIP disamping 2

masalah fungsi pengawasan dan monitoring oleh Inspektorat Kabupaten yang lemah, terbatasnya alokasi anggaran untuk pelaporan dan penyusunan laporan kinerja instansi, terbatasnya SDM dan lemahnya koordinasi antar bidang pada masing-masing SKPD. Fenomena yang dipaparkan beberapa media cetak dan artikel diatas terjadi juga di lingkungan Pemeritah Daerah Kota Salatiga. Hasil Evaluasi LAKIP oleh Inspektorat berdasarkan MENPAN dan RB belum menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan. Hal ini dikarenakan hasil nilai yang diperoleh dari 23 SKPD belum memuaskan, hasil perolehan nilainya yaitu B (>65-75) Baik, perlu sedikit perbaikan dan C (>30-50) Kurang, perlu banyak perbaikan, termasuk perubahan yang mendasar. Penyebabnya dikarenakan masih terdapat beberapa kriteria yang tidak dapat dinilai di tingkat SKPD dan pelaksanaan evaluasi yang dilakukan lebih banyak melakukan evaluasi terhadap dokumen. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang proses evaluasi LAKIP terkait aktivitas serta kriteria evaluasi yang ada dalam peraturan terkait serta bagaimana implementasinya oleh inspektorat sebagai evaluator SAKIP pada pemerintah daerah. Adapun rumusan persoalan penelitian adalah Apakah aktivitas dan kriteria Evaluasi LAKIP sudah ditindak lanjuti oleh Inspektorat Kota Salatiga? Penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan proses evaluasi serta membandingkan proses tersebut dengan panduan secara nasional yang terdapat dalam berbagai modul dan peraturan terkait. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya tentang proses Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dengan metode Criteria Referenced Test. Sedangkan bagi Inspektorat Kota Salatiga dapat membantu untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan proses evaluasi yang dilaksankan. 3

TELAAH TEORITIS Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Setiap instansi pemerintah secara periodik wajib mengkomunikasikan pencapaian tujuan dan sasaran strategi organisasi kepada para stakeholder, yang dituangkan melalui Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah media akuntabilitas yang dapat di pakai oleh instansi pemerintah untuk melaksanakan kewajiban menjawab pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Media akuntabilitas yang dibuat secara periodik memuat informasi yang dibutuhkan oleh pihak yang memberi amanah atau pihak yang memberi delegasi wewenang, melalui media inilah secara formal dapat dilakukan pertanggungjawaban dan bahan untuk menjawab berbagai permasalahan yang diminta. Oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menentukan fokus perbaikan kinerja yang berkesinambungan. Penyusunan LAKIP, dalam SAKIP dilakukan melalui proses penyusunan rencana strategis, penyusunan rencana kinerja, serta pengukuran kinerja dan evaluasi kinerja. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) di bangun dan dikembangkan dalam rangka perwujudan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pokok dan fungsi serta pengelolaan sumber daya pelaksanaan kebijakan dan program yang di percayakan kepada setiap instansi pemerintah, berdasarkan suatu sistem akuntabilitas yang memadai (Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2006). Lingkup pelaporan AKIP yang dituangkan dalam laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) adalah kinerja instansi pemerintah dalam arti keberhasilan dan kegagalan pencapaian sasaran dan tujuan instansi pemerintah. laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) secara lebih lengkap meliputi pengungkapan mengenai apa yang diemban instansi, perencanaan strategi,perencanaan kinerja,pengukuran kinerja instansi, evaluasi kinerja, dan analisis akuntabilitas kinerja. Dalam rencana strategi disajikan gambaran singkat mengenai visi,misi,tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, cara mencapai tujuan dan sasaran, serta kebijakan dan program. Sedangkan dalam rencana kinerja diungkapkan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai sasaran sesuai dengan 4

program untuk tahun yang bersangkutan. Dalam pengungkapan akuntabilitas kinerja instansi, selain dipaparkan hasil pengukuran kinerja evaluasi kinerja dan analisis akuntabilitas kinerja, juga diuraikan secara sistematis keberhasilan atau kegagalan, hambatan atau kendala, dan permasalahan yang dihadapi serta langkah-langkah antisipasif yang akan diambil oleh instansi. Selain itu, lingkup pelaporan AKIP juga meliputi akuntabilitas keuangan yang menyajikan alokasi dan realisasi anggaran bagi pelaksana tupoksi atau tugas-tugas lainya, termasuk analisis mengenai capaian indikator kinerja instansi. untuk lebih memfokuskan pelaporan AKIP ini maka substansi yang dilaporkan hendaknya lebih ditekankan pada kinerja unit utama atau program-program utama dari organisasi. Dengan tidak mengurangi pentingnya unit-unit yang bersifat penunjang dan programprogram penunjang maupun aktivitas penunjang, pelaporan kinerja unit utama dan program utama hendaknya mendapat perhatian yang lebih besar dari pimpinan instansi yang menyusun Laporan Akutabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) (Pusdiklatwas BPKP-2007). Pusdiklatwas BPKP-2007, Laporan Akutabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang disampaikan oleh pemerintah antara lain bermanfaat untuk: Meningkatkan akuntabilitas, kredibilitas instansi yang lebih tinggi dan akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap instansi. Umpan balik untuk peningkatan kinerja instansi pemerintah, antara lain melalui perbaikan penerapan fungsi-fungsi manajemen secara benar, mulai dari perencanaan kinerja hingga kepada evaluasi kinerja, serta pengembangan nilai-nilai akuntabilitas di lingkungan instansi tersebut. Mengetahui dan menilai keberhasilan dan kegagalan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab instansi. Mendorong instansi pemerintah untuk menyelenggarakan tugas umum pemerintah dan pembangunan secara baik, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijakan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. 5

Menjadikan instansi pemerintah yang akuntabel, sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif dan responsif terhadap aspirasi masarakat dan lingkungan. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Pelaksanaan evaluasi atas kegiatan atau program suatu instansi pemerintah merupakan tugas para pejabat publik yang diberikan wewenang, untuk itu evaluasi sama pentingnya dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya yaitu perencanaan, pengorganisasian atau pelaksanaan, pemantauan (monitoring) dan pengendalian. Evaluasi adalah proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis yang diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan, (GAO, 1992:4). Evaluasi akan menghasilkan umpan balik dalam kerangka efektivitas pelaksanaan kegiatan organisasi. Pengertian lain dikemukakan oleh Peter H, Rossi (1993:5) menyebutkan bahwa evaluasi merupakan suatu aplikasi penilaian yang sistematis terhadap konsep, desain, implementasi dan manfaat aktivitas dan program dari suatu instansi pemerintah. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan untuk menilai dan meningkatkan cara-cara dan kemampuan berinteraksi instansi pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerjanya. Fungsi dari evaluasi atau penilaian kinerja di antaranya: a. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan kinerja organisasi. b. Untuk memberikan masukan dalam mengatasi masalah yang ada, dengan kata lain penilaian kinerja mempunyai dua fungsi utama yaitu: Untuk mengetahui apakah kinerja organisasi berhasil atau gagal dalam mencapai target atau tujuan yang telah ditemukan sebelumnya. Penilaian kinerja berfungsi untuk memberikan masukan dalam mengatasi masalah yang dapat menyebabkan kinerja organisasi gagal dalam mengatasi masalah yang dapat menyebabkan kinerja organisasi gagal dalam mencapai tujuannya (BPKP dan LAN,2000). Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah aktivitas penilaian yang sistematis, pemberian atribut, pengenalan permasalahan serta pemberian solusi untuk tujuan peningkatan kinerja dan 6

akuntabilitas instansi pemerintah. Evaluasi LAKIP ini bermanfaat dalam mengarahkan instansi pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan mencapai visi dan misi instansi pemerintah. Menurut Pusdiklatwas BPKP 2010, Dalam pelaksanaan Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), tujuan pelaksanaan evaluasinya adalah : 1. Mendapatkan informasi mengenai implementasi sistem AKIP pada evaluatan meliputi: gambaran tentang implementasi SAKIP, identifikasi kendala atau hambatan dan kelemahan implementasi SAKIP dan informasi mengenai keterkaitan antara resentra dan LAKIP. 2. Untuk memberikan penilaian terhadap implementasi sitem AKIP. 3. Untuk memberikan saran perbaikan terhadap implementasi sistem AKIP yang digunakan untuk peningkatan kinerja organisasi instansi dan peningkatan akuntabilitasnya. Menurut Pusdiklatwas BPKP 2010, Alasan perlunya evaluasi dalam suatu proses implementasi akuntabilitas adalah: 1. Untuk meningkatkan mutu pelaksanaan pengolaan aktivitas organisasi yang lebih baik. 2. Untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja organisasi. 3. Untuk memberikan informasi yang lebih memadai dalam menunjang proses pengambilan keputusan. 4. Meningkatkan pemanfaatan alokasi sumber daya yang tersedia. 5. Sebagai dasar peningkatan mutu informasi mengenai pelaksanaan kegiatan organisasi. 6. Mengarah pada sasaran dan memberikan informasi kinerja. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/135/M.PAN/9/2004 fokus evaluasi LAKIP dapat diarahkan sesuai tujuan evaluasi,yaitu: Evaluasi atas proses atau penerapan Sistem AKIP. Evaluasi atas keluaran (output). Evaluasi atas hasil dan manfaat keluaran (Outcome). Evaluasi atas dampak (Impact) 7

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/135/M.PAN/9/2004 menetapkan bahwa evaluasi atas penerapan sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dilakukan dengan meneliti setiap elemen dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yaitu: Evaluasi atas Perencanaan Strategis. Evaluasi yang dilakukan atas perencanaan strategis meliputi evaluasi perumusan visi, misi, tujuan, sasaran, cara mencapai tujuan dan sasaran serta pemanfaatan rencana strategis. Evaluasi atas Sistem Pengukuran Kinerja. Evaluasi yang dilakukan terhadap sistem pengukuran kinerja meliputi evaluasi atas indikator kinerja, perencanaan kinerja dan cara pengukuran kinerja. Evaluasi atas Penyajian Informasi dalam LAKIP. Evaluasi atas penyajian informasi dalam LAKIP dapat dilakukan dengan menelaah dokumen LAKIP dan menggali informasi mengenai penggunaan informasi dalam LAKIP. Evaluasi ini menitik beratkan pada format penyajian laporan dan isi informasi yang dilaporkan dalam LAKIP. Metode Evaluasi LAKIP Metode adalah suatu cara yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian tujuan merupakan faktor utama dalam menentukan baik tidaknya penggunaan suatu metode. Metode yang dipakai dalam evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) disesuaikan dengan tujuan evaluasi dan mempertimbangkan kendala yang ada.oleh karena itu metode yang dipakai dalam evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) lebih merupakan metode yang pragmatis. Langkah pragmatis ini di ambil agar dapat lebih cepat menghasilkan rekomendasi hasil evaluasi yang memberikan petunjuk untuk perbaikan implementasi SAKIP dan peningkatan akuntabilitas kinerja instansi. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) pada dasarnya adalah evaluasi yang dilakukan baik secara 8

pragmatis maupun secara ilmiah terapan yang dilakukan secara mendalam ( Menpan Deputi Akuntabilitas Aparatur,2005). Berdasarkan Menpan Deputi Akuntabilitas Aparatur (2005), evaluasi atas implementasi SAKIP merupakan salah satu hal yang dilaksankan dalam mengevaluasi LAKIP dapat menggunakan beberapa metode yaitu logic model atau program dan criteria referenced test. Dua metode ini dapat dilaksankan dalam rangka mengidentifikasi apa yang ada dan kemudian membandingkannya dengan yang seharusnya. Mengevaluasi LAKIP baik isi substansi maupun bentuk atau format penyajian dan pengungkapannya dapat dilakukan dengan metode Criteria Referenced Test. Metode ini merupakan metode yang banyak digunakan dan mudah digunakan dalam melakukan evaluasi diberbagai bidang. Metode criteria refrenced test merupakan metode yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan evaluasi LAKIP. Dalam penerapannya metode ini harus dilaksankan dengan tepat sehingga kesalahan metodelogi dalam evaluasi dapat dihindarkan. Adapun beberapa kelebihan dari metode ini adalah dapat membantu proses evaluasi menjadi lebih cepat karena menggunakan penilaian acuan patokan (PAP), dari segi biaya lebih murah dan metode ini lebih banyak digunakan jika yang akan dievaluasi oleh pihak evaluator tidak hanya satu jenis kategori LAKIP. Evaluasi LAKIP dengan metode ini dapat dikategorikan kedalam kelompok besar berdasarkan apa yang akan dievaluasi,yaitu evaluasi atas penyajian dan pengungkapan informasi dalam LAKIP, evaluasi tas sistem AKIP dan evaluasi kinerja instansi dari kebijakan, program dan kegiatannya (Menpan Deputi Akuntabilitas Aparatur,2005). Pemakaian metode ini dapat dilakukan dari yang sederhana dengan kriteria yang sedikit sampai pada yang rumit dan bertingkat-tingkat. Metode ini dapat digunakan untuk menilai secara bertahap langkah demi langkah (Step by step assessment) setiap komponen AKIP ataupun penilaian secara keseluruhan (Overall assessment) dengan kriteria masing-masing komponen yang telah ditetapkan sebelumnya. Kriteria evaluasi sebagaimana tertuang dalam Lembar Kriteria Evaluasi (LKE) akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. 9

Evaluasi dengan metode ini mencakup 2 (dua)yaitu perancangan dan penilian SAKIP, langkah-langkah atau tahap-tahap ini sebagai berikut : 1) Perancangan penilaian SAKIP. Dalam langkah perancangan struktur yang harus diperhatikan adalah apa yang dinilai, apa kriterianya, bagaimana penghitungan, pembobotan setiap kriteria, dan petunjuk atau uraian setiap kriteria. Pada tahap perancangan terdapat 4 (empat) langkah yaitu sebagai berikut : a. Mengidentifikasi apa yang harus dinilai atau diukur. Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi yang akan dinilai atau diukur yaitu: Dalam Evaluasi LAKIP yang dinilai atau di ukur adalah komponenkomponen sistem AKIP, kegiatan, program dan kebijakan. Menentukan struktur yang akan dinilai dari yang terkecil (paling rinci) yaitu Sub komponen sampai komponen besar. b. Menetapkan nilai (score) untuk setiap hal yang dinilai. Pada tahap menetapkan nilai terdapat 2 tahap yang dilaksankan yaitu: Pemilihan continumn nilai tertentu. Pemilihan score ini juga harus dikaitkan dengan klasifikasi hasil penilaian. Jika klasifikasi yang dibuat hanya perlu penggolongan (pengkatagorian) yang sedikit maka pertimbangan yang dilakukan pihak penilai semakin berat. Akan tetapi jika penggolongan itu banyak, dengan kata lain rentangnya panjang maka akan lebih mudah untuk memberikan nilai. misalnya: 0,1 1,2,3 1,2,3,4 dst Pemilihan rentang nilai. Pemilihan rentang nilai ini juga harus dikaitkan dengan tujuan penilaian. Adapun hal-hal yang perlu di perhatikan dalam menentukan rentang nilai adalah : Membahas rentang nilai diantara para perancang evaluasi. 10

Mempertimbangkan perhitungan secara kuantitatif, sehingga dapat ditentukan dan dipenuhi atau tidak suatu kriteria. Penilaian ini juga harus mengarah kepada simpulan hasil assessment terhadap yang dinilai. Pemberian nilai untuk setiap kriteria akan berbeda-beda baik unsur bukti pemenuh kriteriannya maupun proses pengumpulan bukti tersebut, kelengkapannya serta keyakinan penilai. c. Merancang Agregasi untuk menyimpulkan hasil penilaian. Dalam merancang agresi ini tersedia 2(dua) kemungkinan yaitu: Dilakukan agresi secara rata-rata. Pada kemungkinan pertama ini dilakukan secara menyeluruh yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu rata-rata sederhana (simple average) atau rata-rata terimbang (weighted average). Jika menggunakan rata-rata terimbang maka diperlukan pembobotan pada setiap kriteria yang dinilai. Memberikan judgment berdasarkan unsur kriteria yang penting, kemudian mengungkapkannya. Berdasarkan setiap sub komponen akan dibagi kedalam beberapa pertanyaan yang sebagai kriteria pemenuh sub-komponen tersebut. Untuk pertanyaan-pertanyaan yang langsung dapat dijawab sesuai dengan pemenuhan kriteria tidak memerlukan judgement seperti ya/tidak, sedangkan untuk a/b/c/d/e merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan judgement dari evaluator. d. Memberikan interpretasi nilai. Pada tahap memberikan interpretasi nilai, evaluator memberikan interpretasi dari proses agregasi. Interpretasi ini menyangkut tafsir, sehingga tafsiran berarti menilai obyek evaluasi dan menentukan dampak penilaian tersebut. Interpretasi nilai dan penggunaannya harus diatur dalam sebuah petunjuk evaluasi, sehingga evaluator dapat menarasikan dalam Laporan Hasil Evaluasi (LHE). LHE di susun dengan tujuan mengungkapkan hal-hal penting bagi perbaikan kinerja organisasi pemerintah yang dievaluasi. Permasalahan atau temuan hasil evaluasi dan saran perbaikannya harus diungkapkan secara jelas dan 11

dikomunikasikan kepada pihak yang dievaluasi untuk mendapatkan konfirmasi ataupun tanggapan secukupnya. 2. Penilaian SAKIP Unit Kerja. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan riviu beberapa komponen yang dianggap penting. terdapat 5 komponen penting dalam SAKIP yang di evaluasi yaitu: 1. Perencanaan Kinerja. 2. Pengukuran Kinerja. 3. Evaluasi Kinerja. 4. Pelaporan Kinerja. 5. Capaian Kinerja. Masing-masing kelompok dapat diteliti lebih mendalam lagi seperti, evaluasi sub komponen,dokumen dan kriteria yang dipakai dalam menilai masingmasing komponen yang perlu dievaluasi dan diambil dari berbagai sumber (Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012). Adapun Langkahlangkah penilaian sebagai berikut: a. Memberi skor bobot pada setiap komponen dan sub-komponen. b. Setiap sub-komponen dibagi kedalam beberapa pertanyaan sebagai criteria pemenuh sub-komponen. c. Setiap pertanyaan diberi nilai dengan memberikan jawaban yang sesuai dengan kriteria pemenuh sub-komponen. Dalam memberikan jawaban terdapat 2 tipe jawaban yang sesuai dengan kriteria pemenuh sub-komponen,yaitu: Setiap jawaban YA nilainya 1, sedangkan jawaban Tidak maka nilainya 0. Untuk jawaban a/b/c/d/e penilaian didasarkan judgment evaluator dengan kriteria yang sudah titetapkan. d. Penyimpulan atas hasil review terhadap AKIP yang dilakukan dengan angka tertimbang. e. Setelah setiap pertanyaan diberikan nilai maka melakukan penyimpulan. 12

Nilai hasil akhir dari penjumlahan komponen komponen akan disimpulkan sesuai dengan kategori yang telah ditetapkan. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus merupakan metode yang sesuai bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan apa, mengapa atau bagaiman, bila penulis hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan bila fokus penelitiannya terletak pada fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata (Yin 2006). Oleh karena itu metode studi kasus sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini karena penulis ingin mengetahui proses evaluasi LAKIP baik terkait aktivitas serta kriteria evaluasi yang dilaksankan oleh Inspektorat Kota Salatiga. Data penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data adalah sebagai berikut : 1. Wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait langsung dalam kegiatan evaluasi LAKIP oleh Inspektorat pada Bagian Auditor yakni: a) Ketua tim audit Inspektorat. Wawancara terhadap Ketua tim audit Inspektorat dilakukan dengan pertimbangan bahwa bagian Ketua tim audit inspektorat merupakan penanggung jawab fungsi pelaksanaan evaluasi LAKIP yang bertugas melakukan koordinasi dalam pelaksanaan dan pelaporan evaluasi LAKIP di lingkungan Inspektorat Salatiga. b) Anggota tim audit. Wawancara terhadap anggota tim audit dilakukan karena merupakan pihak yang secara teknis bertugas sebagai pelaksana evaluasi LAKIP yang dimulai dengan pengumpulan data dan pengolaan data, penyusunan data sampai dengan pelaporan LAKIP ke Bagian sekretariat Inspektorat Salatiga. 2. Pengumpulan informasi melalui data atau arsip. Penulis mengumpulkan informasi dengan cara membaca beberapa dokumen atau data atau arsip yang terkait yaitu Peraturan Permenpan dan 13

Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Deputi Akuntabilitas Aparatur 2005 tentang beberapa tehnik evaluasi, Lembar kriteria evaluasi, Template kertas kerja evaluasi, Lembar kertas kerja evaluasi sasaran (KKE2), Laporan Hasil Evaluasi LAKIP dengan tujuan dapat membantu penulis dalam menarik kesimpulan dalam masalah penelitian yang telah dirumuskan. Adapun langkah analisis penelitian mencakup : 1. Identifikasi proses evaluasi LAKIP dengan metode criteria referenced test berdasarkan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. 2. Identifikasi proses evaluasi LAKIP dengan metode criteria referenced test di Inspektorat Salatiga. 3. Membandingkan Praktek evaluasi LAKIP oleh Inspektorat Kota Salatiga dengan Panduan dalam berbagai dokumen terkait. 4. Identifikasi penyimpangan dan penyebabnya. ANALISIS DAN BAHASAN ANALISIS DATA Gambaran Umum Objek Penelitian. Inspektorat Kota Salatiga dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Salatiga, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011. Sebagai lembaga pengawasan yang bertanggung jawab kepada Walikota, Inspektorat mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintah daerah dan pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah.inspektorat berperan dalam mewujudkan Good Local Governance melalui pengawasan intern. Struktur Organisasi Inspektorat. Sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Pasal 26 disebutkan bahwa susunan organisasi perangkat daerah inspektorat terdiri dari 1(satu) sekretariat yang terdiri dari 14

3(tiga) subbagian, 4(empat) inspektur pembantu dan kelompok jabatan fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, terhitung bulan September 2012, jabatan kasi pengawas pemerintah (elsoen IV) dihapus dan dialihkan menjadi jabatan fungsional yaitu pejabat pengawas pemerintah urusan pemerintah daerah (P2UPD). Struktur Organisasi Inspektorat dapat dilihat pada gambaran berikut: Gambar 4.1 Struktur Organisasi Inspektorat Salatiga. Sumber : Inspektorat Kota Salatiga. Tugas Pokok Dan Fungsi Inspektorat. Berdasarkan Peraturan Walikota Salatiga Nomor 55 Tahun 2011 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat Struktural pada Lembaga Teknis Daerah dan Satuan dijabarkan sebagai berikut: Kelompok Jabatan Fungsional. Tugas pokoknya: melaksanakan kegiatan yang menunjang pelaksanaan tugas pokok. Fungsinya: sesuai dengan keahlian bidang masing-masing dari inspektorat. Sumber Daya Manusia. Sumber daya manusia yang dimiliki Inspektorat Kota Salatiga adalah 36 (tiga puluh enam) orang dengan rincian sebagai berikut: 15

Tabel 4.1 SDM Inspektorat Salatiga. No Uraian Jumlah 1. Menurut Tingkat Pendidikan 49 2. Pegawai Berdasarkan Pangkat 35 3. Pejabat Fungsional 17 Sumber Inspektorat Kota Salatiga. Manfaat Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan Laporan pertanggung jawaban yang diperoleh dari hasil pengukuran kinerja yang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut hasil wawancara dengan ketua tim audit inspektorat, mengatakan: Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) ini bentuk laporan pertanggung jawaban. Fungsinya bagi kami maupun SKPD tidak hanya alat ukur kinerja tetapi juga untuk hubungan kerja antar tim tiap bagian karenakan untuk menyusun LAKIP harus ada komunikasi tiap bagian untuk memperoleh informasi. Untuk tujuan dari LAKIP ini sendiri tentunya untuk pertanggung jawaban dan untuk mewujudkan akuntabilitas serta perbaikan di kedepannya. Beliau juga menjelaskan: Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, untuk menyusun LAKIP itu ada acuannya, jadi acuan atau pedomannya itu sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010 tentang pedoman penyusunan penetapan kinerja dan Pelaporan AKIP. Untuk menyusun LAKIP beberapa dokumen yang dibutuhkan seperti Dokumen Rencana Strategis, Dokumen Penetapan Kinerja, Analisis Capaian Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan. 16

Sedangkan Untuk sistematika penyusunan LAKIP yang digunakan adalah sebagai berikut: Gambar 4.2 Sistematika Penyusunan LAKIP Sumber: Inspektorat Kota Salatiga. Beliau berkata: Ya jadi dengan menyusun dan melaporkan LAKIP itu ada manfaat ya dek bagi Instansi pemerintah. salah satunya untuk menilai kinerja program 17

yang dilaksanakan setiap instansi. Tetapi balik lagi dari masing-masing instansi itu sendiri apakah LAKIP sudah bermanfaat bagi mereka, jika cuma dianggap sebagai bentuk laporan saja, ya bisa dibilang LAKIP belum memiliki manfaat bagi Instansi tersebut. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Ruang Lingkup Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Mengevaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) baik isi substansi maupun bentuk atau format penyajian dan pengungkapan dapat dilakukan dengan metode criteria refrenced test. Berdasarkan Menpan deputi akuntabilitas aparatur tentang beberapa tehnik evaluasi evaluasi (2005) Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dengan metode ini dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) kelompok besar yang akan di evaluasi yaitu: (1) evaluasi atas penyajian dan pengungkapan infromasi, (2) evaluasi atas sistem AKIP, dan (3) evaluasi kinerja instansi dilihat dari segi kebijakan, program dan kegiatannya. Melihat luasnya lingkup evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), maka evaluator harus menentukan prioritas sesuai kelompok mana yang akan dievaluasi. Dalam Pelaksanaannya, evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) unit kerja yang dilaksanakan oleh Audit Inspektorat Kota Salatiga pada tahun 2013 masih seperti tahun sebelumnya, yaitu difokuskan evaluasi atas SAKIP. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh ketua tim audit inspektorat berikut ini, Fokus evaluasi yang kami laksanakan itu hanya evaluasi atas penerapan SAKIP dan menyusun hasil pemeringkatan saja yang sudah ditetapkan oleh Permenpan dan RB Nomor 25 tahun 2012. 18

Beliau menambahkan, untuk evaluasi atas penyajian dan pengungkapan infromasi dan evaluasi kinerja instansi dilihat dari segi kebijakan, program dan kegiatannya itu tidak kami evaluasi karena tingkat kota. Pada prakteknya evaluasi SAKIP yang dilaksanakan oleh Inspektorat dilakukan secara mendalam dan rinci atau hanya merivew beberapa komponen yang terkait. Beberapa komponen penting dalam SAKIP yang dievaluasi dapat dibagi menjadi 5 (lima) kelompok yaitu: perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja dan pencapaian sasaran atau kinerja organisasi (Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012). Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa 5 (lima) komponen tersebut tidak semuanya dievaluasi pada tingkat SKPD namun hanya 3 (tiga) komponen saja yaitu Evaluasi Perencanaan kinerja, Evaluasi Pengukuran kinerja, Evaluasi Pelaporan Kinerja. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh ketua tim audit inspektorat berikut ini, mengevaluasi 3 (tiga) komponen saja, karena yang dapat dinilai sesuai dengan tingkat SKPD, sedangkan kalau tingkat kota memang menilai ke 5 (lima) komponen. Jadi disesuaikan dengan kondisi SKPD, kalau tidak seusai kondisi SKPD jadi tidak bisa dinilai. Misalnya di peraturan harus menilai IKU, tapi karena belum di berlakunya IKU di SKPD maka kami tidak bisa menilai IKU. Evaluasi LAKIP yang dilaksanakan Inspektorat hanya mencakup 3 (tiga) komponen saja yaitu Evaluasi Perencanaan kinerja, Evaluasi Pengukuran kinerja dan Evaluasi Pelaporan Kinerja. Karena disesuaikan dengan kondisi yang dapat dinilai di tingkat SKPD. 19

Langkah-langkah evaluasi SAKIP dengan criteria referenced test. 1. Perancangan penilaian SAKIP. Mengevaluasi SAKIP dengan metode criteria referenced test membutuhkan perancangan struktur yang akan dinilai dan kriterianya. Pada langkah perancangan, terdapat 4 (empat) tahap yang perlu diperhatikan yaitu (1) mengidentifikasi yang dinilai atau diukur, (2) menetapkan nilai (score) untuk yang dinilai, (3) merancang agregasi untuk menyimpulkan hasil penilaian, dan (4) memberikan interpretasi dari nilai yang didapat dari proses agregasi (Menpan deputi akuntabilitas aparatur tentang beberapa tehnik evaluasi evaluasi 2005). Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa tahap perancangan yang ada di Inspektorat. hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara terkait dengan langkah-langkah perancangan berikut ini: a. Mengidentifikasi komponen yang akan dinilai atau di ukur. Mengidentifikasi komponen yang akan dinilai atau di ukur adalah langkah pertama dalam perancangan yang harus dilaksanakan. Pada tahap ini terdapat 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan yaitu menetapkan komponen-komponen, menetapkan struktur penilaian dari sub-komponen sampai komponen besar, menetapkan bobot nilai dan menetapkan kriteria nilai (Kementrian pendayagunaan aparatur negara deputi akuntabilitas aparatur,2005). Sedangkan pada prakteknya, Inspektorat belum melaksankan tahap perancangan ini. Hal ini diperjelas pada wawancara berikut ini, menetapkan komponen ya, itu belum terlaksana di Inspektorat. Karena kan udah ada di Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012 kriterianya dan komponen serta sub-komponen yang dinilai. Kalaupun ada perubahan komponen di kertas kerja evaluasi ya yang mengetahui BPKP. Beliau menambahkan, ya sebenarnya perlu mengidentifikasi komponen, tujuannya agar bisa disesuaikan juga dengan kondisi SKPD. Kan tidak semua komponen bisa 20

dinilai di SKPD salatiga. Salah satunya ya ketika belum berlakunya IKU, padahal sesuai peraturan kan harus dinilai, otomatis tetap dinilai tapi hasilnya jelek karena belum di berlakukan. Contoh lain ketika ada perubahan komponen kami kurang tahu penyebab perubahan, karena Cuma ikut peraturan saja, coba kalau merancang pasti hasinya akan lebih berbeda. Ya karena ada beberapa kondisi-kondisi yang tidak mendukung seperti tidak disahkannya peraturan yang menyangkut bahwa kami juga ikut serta dalam pelaksanaan perancang atau modul perancangan yang dapat kami gunakan. Sehingga yang kami harus laksankan hanya pada penilaian saja. b. Menetapkan nilai (score) untuk yang dinilai. Pada tahap ini untuk menyedikan nilai atau skor perlu menentukan continium nilai dan pemilihan rentang nilai agar sesuai dengan tujuan dari penilaian (Kementrian pendayagunaan aparatur negara deputi akuntabilitas aparatur,2005). Pada prakteknya audit Inspektorat dalam tahap perancangan melaksanakan tahap ini. hal tersebut dikarenakan continium nilai yang digunakan baik dari segi rentang nilai dan opsi jawaban penilaian ditetapkan oleh audit Inspektorat di KKE. Hal ini diperjelas dalam wawancara dengan Anggota tim audit inspektorat berikut ini, kami menetapkan tahap ini juga,tapi langsung pada proses perhitungan yang kami laksankan pada kertas kerja evaluasi (KKE) yang digunakan. Dalam memberi nilai yang perlu diingat adalah range atau rentang nilainya. Pemberian nilai setiap kriteria akan berbeda-beda baik unsur bukti pemenuh kriterianya maupun proses pengumpulan bukti tersebut, kelengkapanya serta keyakinan penilainya (Menpan deputi akuntabilitas aparatur tentang beberapa tehnik evaluasi evaluasi 2005). Pada prakteknya, tahap perancangan ini telah dilaksankan oleh audit Inspektorat baik dari segi pemberian nilai setiap kriteria yang disesuaikan dengan unsur bukti pemenuh kriterianya maupun proses pengumpulan bukti. Hal tersebut terungkap dalam wawancara dengan Anggota tim audit inspektorat berikut ini, 21

Tahap ini kami lakukan, pemberian nilai setiap kriteria kami sesuaikan dengan unsur bukti pemenuh kriterianya serta proses pengumpulan buktinya, setelah itu kami sesuaikan dengan kriteria evaluasinya. Beliau menambahkan, misalnya, di dalam komponen perencanaan kinerja di sub komponen pemenuh renstra, unsur bukti pemenuh kriteriannya adalah dokumen renstra SKPD telah ada, dokumen renstra SKPD memuat visi,misi,tujuan dkk. Proses pengumpulan buktinya dilihat dari apakah telah memuat keseluruhan substansi komponen tersebut.kemudian hasil presentase yang dihasilkan disesuaikan dengan rentang nilai yang telah ditetapkan berdasarkan kriteria evaluasi. c. Merancang agregasi untuk menyimpulkan hasil penilaian secara kuantitatif. Dalam merancang agregasi ini tersedia dua kemungkinan yaitu, pertama, dilakukan agregasi secara rata-rata dan kedua, memberikan judgment berdasarkan unsur kriteria yang penting saja. Pada kemungkinan pertama, bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu rata-rata sederhana (simple average) atau rata-rata tertimbang (weighted average). Untuk rata-rata tertimbang maka diperlukan pembobotan pada setiap kriteria yang dinilai (Menpan deputi akuntabilitas aparatur tentang beberapa tehnik evaluasi evaluasi 2005). Pada pelaksanaannya untuk tahap merancang agregasi untuk menyimpulkan hasil penilaian secara kuantitatif belum dilaksanakan oleh Inspektorat baik dari segi agregasi maupun judgment. Hal tersebut dapat dilihat dari wawancara dengan Anggota tim audit inspektorat berikut ini, Kalau agregasi itu dapat dilihat di templet kertas kerja evaluasi (KKE) itu sudah menggunakan rata-rata tertimbang untuk setiap bobot yang 22

ditetapkan sesuai criteria. Karenakan juga penilaian yang digunakan sederhana tidak terlalu mendalam, Cuma melihat ada tidaknya dokumen sehingga tidak perlu pakai rumusan perhitungan lain. Kemudian untuk judgment biasa kami gunakan untuk pertanyaan yang tidak dapat langsung dijawab, contohnya ya jawaban untuk opsi a/b/c/d/e. Ini dilakukan hanya untuk melihat keselarasan saja dengan dokumen. d. Memberikan interpretasi dari nilai yang didapat dari proses agregasi. Interpretasi ini menyangkut tafsiran. Tafsiran berarti menilai obyek evaluasi dan menentukan dampaknya (Menpan deputi akuntabilitas aparatur tentang beberapa tehnik evaluasi evaluasi 2005). Pada tahap interpretasi yang dilakukan oleh Inspektorat dilaksanakan setelah hasil perhitungan yang kemudian di tulis dalam laporan hasil evaluasi. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan Anggota tim audit inspektorat berikut ini, Interpretasi setelah penilaian semua komponen, kemudian dilihat sekornya dan disesuaikan kriteria katagori range yang ditetapkan, kemudian memberikan saran atau masukan yang kemudian dinarasikan di laporan hasil evaluasi. Berdasarkan dari beberapa pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa langkah perancangan di inspektorat belum seluruhnya terlaksana. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa tahap yaitu mengidentifikasi komponen yang akan dinilai atau di ukur dan merancang agregasi untuk menyimpulkan hasil penilaian secara kuantitatif belum terlaksana. Sedangkan dua tahap lainnya seperti tahap menetapkan nilai (score) untuk yang dinilai dan memberikan interpretasi dari nilai yang didapat dari proses agregasi telah dapat terlaksana dan sesuai dengan kriteria evaluasi yang telah ditetapkan dalam Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Anggota tim audit inspektorat berikut ini, 23

jadi belum dapat terlaksana secara keseluruhan, karena sudah ada yang ditetapkan atau dirancang oleh peraturan dan faktor tidak adanya pedoman berupa modul perancangan sebagai acuan kami, sehingga yang sudah terlaksana hanya ada dua saja. Pada tahap assessment dan interpretasi nilai. 2. Penilaian SAKIP Unit Kerja. Tahap selanjutnya adalah penilaian. penilaian dengan menggunakan metode ini memerlukan perhitungan, pembobotan setiap criteria dan petunjuk atau uraian setiap kriteria. Pada tahap ini terdapat beberapa langkah yang harus dilaksanakan baik secara step by step assessment maupun overall assessment yang meliputi perhitungan, pembobotan setiap kriteria yang dapat dilihat dari lembar kriteria evaluasi (LKE) (Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012). Pada tahap penilaian yang dilaksankan oleh inspektorat dilaksanakan secara step by step maupun overall assessment terhadap 5(lima) komponen yang dinilai. Hal tersebut diungkapkan oleh Anggota tim audit inspektorat berikut ini, Step by step assesment dari dokumen-dokumen terkait, kemudian sub komponen sampai komponen besarnya yang disesuaikan dengan criteria evaluasi yang bersumber dari buku, modul dkk. Sedangkan yang overall assessment dari komponen besarnya ketika sudah melaksankan perhitungan keseluruhan. Pada tahap penilaian SAKIP terdapat 4 (empat) langkah penilaian yang harus dilaksanankan yaitu memberi skor bobot pada setiap komponen dan subkomponen. Setiap sub-komponen dibagi kedalam beberapa pertanyaan sebagai kriteria pemenuh sub-komponen, setiap pertanyaan diberi nilai dengan memberikan jawaban yang sesuai dengan kriteria pemenuh sub-komponen dan penyimpulan atas hasil review terhadap AKIP yang dilakukan dengan angka tertimbang (Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012). 24

a. Memberi skor bobot pada setiap komponen dan sub-komponen. Komponen dan sub-komponen penilaian di beri skor. Berdasarkan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012 alokasi nilai yang diberikan setiap komponen dapat dilihat dari tabel berikut ini: Tabel 4.2 Komponen Penilai. No Komponen Bobot Sub-Komponen 1 Perencanaan Kinerja 35% 2 Pengukuran Kinerja 20% 3 Pelaporan Kinerja 15% 4 Evaluasi Kinerja 10% 5 Capaian Kinerja 20% Rencana Strategis (12,5%) 1. Pemenuh Renstra. 2. Kualitas Renstra. 3. Implementasi Renstra Perencanaan Kinerja Tahunan (22,5%) 1. Pemenuh Perencanaan Kinerja Tahunan (4,5%) 2. Kualitas Perencanaan Kinerja Tahunan (11,25%) 3. Implementasi Perencanaan Kinerja Tahunan (6,75%) Pemenuhan Pengukuran (4%) Kualitas Pengukuran (10%) Implementasi Pengukuran (6%) Pemenuh Pelaporan (3%) Penyajian Informasi Kinerja (8%) Pemanfaatan Informasi Kinerja (4%) Pemenuhan Evaluasi (2%) Kualitas Evaluasi (5%) Pemanfaatan Hasil Evaluasi (3%) Kinerja yang di laporkan (output) (5%) Kinerja yang di laporkan (Outcome) (5%) Bencchmark kinerja (5%) Kinerja Dari penilaian Stakeholder (5%) Sumber: Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. Pada prakteknya pada tahap memberi skor bobot pada setiap komponen dan sub-komponen belum dapat sesuai dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012, hal tersebut dikarenakan hanya memberi skor pada 3 (tiga) komponen yaitu perencanaan kinerja, pengukuran kinerja dan pelaporan kinerja. Sedangkan komponen evaluasi kinerja dan pencapaian kinerja tidak diberi skor dikarenakan tidak sesuai dengan penilaian tingkat SKPD. Hal 25

tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dari masing-masing komponen dan sub-komponen penilaian anggota tim audit Inspektorat berikut ini, 1) Komponen Perencanaan Kinerja. Bobot komponen perencanan kinerja yang diberikan oleh audit Inspektorat untuk masing-masing komponen dan sub-komponen masih terdapat perbedaan dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012, hal tersebut dikarenakan sub-komponen yang dijabarkan berbeda dengan kertas kerja evaluasi (KKE) yang digunakan audit Inspektorat sehingga bobot yang digunakan di sesuaikan penjabaran dari komponen tersebut. Hal tersebut diperjelas dari hasil wawancara dengan anggota tim audit Inspektorat berikut ini, kami ini pakai format tahun lalu, jadi bobot sesuai format lama. Format lama yang kami gunakan penjabaran sub-komponennya berbeda dengan yang tahun 2012. Tapi total keseluruhan bobot komponen itu tetap sama. jadi menurut kami format tahun 2012 itu juga tidak berpengaruh bagi penilaian, mungkin bedanya format lebih ringkas penyusunannya, karena ada penggbungan sub komponen saja. Sehingga bobotnyapun berbeda, tapi tetap yang dokumen-dokumen yang dinilai didalamnya sama. 2) Komponen Pengukuran kinerja. Bobot komponen pengukuran kinerja yang diberikan oleh audit Inspektorat untuk masing-masing komponen dan sub-komponen penilai telah sesuai dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. Hal tersebut dapat dilihat dari kertas kerja evaluasi (KKE) yang digunakan audit Inspektorat untuk kedua komponen ini bobot yang digunakan tidak berbeda. 3) Komponen Pelaporan Kinerja. Bobot komponen pengukuran kinerja yang diberikan oleh audit Inspektorat untuk masing-masing komponen dan sub-komponen penilai telah sesuai dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. Hal tersebut dapat dilihat dari kertas kerja evaluasi (KKE) yang digunakan audit Inspektorat untuk kedua komponen ini bobot yang digunakan tidak berbeda. 4) Evaluasi Kinerja. Bobot komponen evaluasi kinerja dan komponen pelaporan kinerja yang diberikan oleh audit Inspektorat untuk masing-masing komponen dan subkomponen penilai belum sesuai dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. Hal tersebut dikarenakan evaluasi kinerja tidak dapat 26

digunakan untuk menilai pada tingkat SKPD sehingga tidak diberi bobot oleh Inspektorat. 5) Komponen Capaian Kinerja. Bobot komponen capaian kinerja dan komponen pelaporan kinerja yang diberikan oleh audit Inspektorat untuk masing-masing komponen dan subkomponen penilai belum sesuai dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan anggota tim audit Inspektorat berikut ini, karena penilaian kami Cuma 3 (tiga) komponen, maka bobot Cuma 70%. Sedangkan bobot yang harus dilaporkan itu 100%. Jika Cuma 70% kan tidak bisa dilihat hasilnya, maka kami untuk menjadikan bobot 100%, Kami memilih menilai komponen ke 5(lima) yaitu komponen capaian kinerja. Beliau menambahkan, Padahalkan komponen ke 4 dan 5(lima) seperti evaluasi kinerja dan pencapaian kinerja tidak dapat digunakan untuk menilai tingkat SKPD, tetapi dari ke 2 (dua) komponen tersebut realnya masih ada yang bisa dinilai buat tingkat SKPD yaitu komponen pencapain kinerja. Tapi tidak semua sub-komponen, Cuma output dan outcome. Jadi bobotnyakan jadi dibuat 15% buat output dan 15% buat outcome. Bobot keseluruhan buat komponen ini 30%. Berdasarkan beberapa hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa pada tahap pemberian bobot pada setiap komponen dan sub-komponen masih terdapat perbedaan dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa kondisi seperti pertama, penggunaan kertas kerja evaluasi (KKE) format lama yang mencantumkan bobot yang berbeda dengan format tahun 2012, hal ini dapat dilihat dari kertas kerja evaluasi (KKE) yang digunakan Inspektorat di komponen perencanaan kinerja. 27

Kedua, karena penilaian audit Inspektorat hanya meliputi 3 (tiga) komponen yaitu perencanaan kinerja, pengukuran kinerja dan pelaporan kinerja, bobot yang dinilai hanya sebesar 70%. Sehingga dilakukannya penambahan komponen penilaian yaitu pencapaian kinerja dengan bobot yang tidak sesuai dengan format tahun 2012 yaitu 30%, hal ini dapat dilihat dari kertas kerja evaluasi (KKE) yang digunakan Inspektorat di komponen pencapaian kinerja. Kedua, adanya beberapa kriteria yang belum dapat dinilai di tingkat SKPD sehingga belum dapat dinilai secara keseluruhan sesuai dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. b. Setiap sub-komponen dibagi kedalam beberapa pertanyaan sebagai criteria pemenuh sub-komponen. Pada parakteknya Inspektorat Salatiga membagi beberapa pertanyaan yang disesuaikan dengan kriteria evaluasi yang ditentukan sesuai dengan kriteria masing-masing komponen di Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012. Hal tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini: Gambar 4.3 kriteria pemenuh sub-komponen Sumber: Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012 28

Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota tim audit juga menjelaskan bahwa pertanyaan yang dibagi setiap sub-komponen di sesuaikan dengan kriteria pada tabel diatas. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan anggota tim audit Inspektorat berikut ini, Pertanyaan ya dari kriteria tiap dokumen, jadi kami sesuaikan saja tanpa harus membuat sendiri per sub-komponen. Dan pertanyaan tersebut dengan cara wawawancara langsung dengan SKPD. Biasanyakan ada yang membagi pertanyaan dalam bentuk kwesoner, nah kalau kami tidak buat kwesioner karena menurut kami itu tidak terlalu efisien sehingga kami memilih menggunakan tehnik wawancara langsung. Pertanyaannya Cuma cakup keselarasan antar dokumen saja. c. Setiap pertanyaan diberi nilai dengan memberikan jawaban yang sesuai dengan kriteria pemenuh sub-komponen. Setiap pertanyaan akan dijawab dengan ya/tidak atau a/b/c/d/e. Jawaban ya/tidak diberikan untuk pertanyaan-pertanyaan yang langsung dapat dijawab sesuai dengan pemenuh kriteria. Jawaban a/b/c/d/e diberikan untuk pertanyaanpertannyaan yang membutuhkan judgement dari evaluator yang terkait dengan sub komponen tertentu (Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012). Jawaban yang sesuai dengan kriteria tiap komponen tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.3 Jawaban ya/tidak JAWABAN NILAI Ya 1 Tidak 0 Sumber: Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012 29