BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penggunaan minyak bumi terus-menerus sebagai bahan bakar dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

BAB II LANDASAN TEORI. (Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, 1984). 3. Arang gula (sugar charcoal) didapatkan dari hasil penyulingan gula.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pengaruh Temperatur terhadap Adsorbsi Karbon Aktif Berbentuk Pelet Untuk Aplikasi Filter Air

PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK. Subtitle

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Adsorption nomenclature [4].

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI. 7 Universitas Indonesia

KIMIA TERAPAN (APPLIED CHEMISTRY) (PENDAHULUAN DAN PENGENALAN) Purwanti Widhy H, M.Pd Putri Anjarsari, S.Si.,M.Pd

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. meningkat. Peningkatan tersebut disebabkan karena banyak industri yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENGANTAR. Prarancangan Pabrik Karbon Aktif dari BFA dengan Aktifasi Kimia Menggunakan KOH Kapasitas Ton/Tahun. A.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

RANCANG BANGUN TUNGKU PIROLISA UNTUK MEMBUAT KARBON AKTIF DENGAN BAHAN BAKU CANGKANG KELAPA SAWIT KAPASITAS 10 KG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

ANALISIS GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DENGAN MEDIA ABSORBSI KARBON AKTIF JENIS GAC DAN PAC

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Karakterisasi Biobriket Campuran Kulit Kemiri Dan Cangkang Kemiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 ADSORPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam. AZT2.5 = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam +

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya jumlah kendaraan bermotor merupakan konsumsi terbesar pemakaian

Mengapa Air Sangat Penting?

Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) ISSN: X

Pemanfaatan Kulit Singkong Sebagai Bahan Baku Karbon Aktif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Selama dua dasawarsa terakhir, pembangunan ekonomi Indonesia

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat

BAB II DASAR TEORI. Pengujian alat pendingin..., Khalif Imami, FT UI, 2008

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN

PENURUNAN KADAR PHENOL DENGAN MEMANFAATKAN BAGASSE FLY ASH DAN CHITIN SEBAGAI ADSORBEN

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba untuk penentuan daya serap dari arang aktif. Sampel buatan adalah larutan

UNIVERSITAS INDONESIA PEMBUATAN KARBON AKTIF BERBAHAN BAKU AMPAS TEBU DENGAN AKTIVASI KALIUM HIDROKSIDA SKRIPSI

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMBUATAAN ARANG AKTIF DARI KULIT PISANG DENGAN AKTIVATOR KOH DAN APLIKASINYA TERHADAP ADSORPSI LOGAM Fe

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Awal Bahan Dasar Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dan Batu Bara

Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II. Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten. (Asisten)

STUDI PEMBUATAN ARANG AKTIF DARI TIGA JENIS ARANG PRODUK AGROFORESTRY DESA NGLANGGERAN, PATUK, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Online Jurnal of Natural Science, Vol.3(1): ISSN: Maret 2014

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH

PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI KULIT KACANG TANAH (Arachis hypogaea) DENGAN AKTIVATOR ASAM SULFAT

Penentuan Bilangan Asam dan Bilangan Penyabunan Sampel Minyak atau Lemak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

ARANG AKTIF DARI AMPAS TEBU SEBAGAI ADSORBEN PADA PEMURNIAN MINYAK GORENG BEKAS RIA WIJAYANTI

besarnya polaritas zeolit alam agar dapat (CO) dan hidrokarbon (HC)?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hafnida Hasni Harahap, Usman Malik, Rahmi Dewi

ITM-05: PENGARUH TEMPERATUR PENGERINGAN PADA AKTIVASI ARANG TEMPURUNG KELAPA DENGAN ASAM KLORIDA DAN ASAM FOSFAT UNTUK PENYARINGAN AIR KERUH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

PEMURNIAN MINYAK GORENG BEKAS. Korry Novitriani M.Si Iin Intarsih A.Md.Ak. Program Studi D-III Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmlaya

PEMBUATAN DAN KUALITAS ARANG AKTIF DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU JATI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan bakar minyak merupakan hasil dari proses destilasi minyak bumi (Crude

PEMISAHAN CAMPURAN proses pemisahan

Oksidasi dan Reduksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. bahan dasar seperti kelapa sawit, kelapa, kedelai, jagung, dan lain-lain. Meski

BAB I PENDAHULUAN. tropis seperti di pesisir pantai dan dataran tinggi seperti lereng gunung.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Secara Keseluruhan

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Materi 2.2 Sifat-sifat Materi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Reaksi Dehidrasi: Pembuatan Sikloheksena. Oleh : Kelompok 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Sifat Fisik Kimia Produk

Transkripsi:

19 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Adsorpsi Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap kedalam. Bila gas atau uap bersentuhan dengan permukaan padatan yang bersih, maka gas atau uap tadi akan teradsorpsi pada permukaan padatan tersebut. Permukaan padatan disebut sebagai adsorben, sedangkan gas atau uap disebut sebagai adsorbat. Semua padatan dapat menyerap gas atau uap pada permukaan. Banyak gas yang teradsorpsi yang bergantung pada suhu dan tekanan gas serta luas permukaan padatan. Padatan yang paling efisien adalah padatan yang sangat porous seperti arang dan butiran padatan yang sangat halus (Bird,T., 1993). Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Adanya gaya ini, padatan cenderung menarik molekul-molekul lain yang bersentuhan dengan permukaan padatan, baik fasa gas atau fasa larutan kedalam permukaannya. Akibatnya konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam fasa gas zat terlarut dalam larutan. Pada adsorpsi interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi pada permukaan adsorben (Tandy,E., 2012). Gambar 2.1. Ilustrasi proses Adsorpsi

20 Beberapa tahun belakangan ini proses adsorpsi banyak mendapatkan perhatian, seperti proses penyimpanan gas yang sedang banyak dikembangkan. Teknologi ini tentu dapat membantu masalah penggunaan energi terbarukan yang masih terkendala dalam hal transportasi dan penyimpanan. Pentingnya proses ini menjadi pemicu dilakukannya banyak penelitian mengenai proses adsorpsi mulai dari segi mekanisme sampai dengan pengembangan adsorben yang digunakan dalam proses adsorpsi (Sudibandriyo, 2011). 2.1.1 Jenis Jenis Adsorpsi Berdasarkan Interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibagi menjadi 2 yaitu : 2.1.1.1 Adsorpsi Fisika Adsorpsi Fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals. Pada adsorpsi fisika, gaya tarik menarik antara molekul fluida dengan molekul pada permukaan padatan (Intermolekuler) lebih kecil dari pada gaya tarik menarik antar molekul fluida tersebut sehingga gaya tarik menarik antara adsorbat dengan permukaan adsorben relatif lemah pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat dengan permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke permukaan lainnya dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Keseimbangan antara permukaan padatan dengan molekul fluida biasanya cepat tercapai dan bersifat reversibel. Adsorpsi fisika memiliki kegunaan dalam hal penentuan luas permukaan dan ukuran pori. 2.1.1.2 Adsorpsi Kimia Adsorpsi kimia terjadi karena adanya ikatan kimia yang terbentuk antara molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Ikatan kimia dapat berupa ikatan kovalen/ion. Ikatan yang terbentuk kuat sehingga spesi aslinya tidak dapat

21 ditentukan. Karena kuatnya ikatan kimia yang terbentuk maka adsorbat tidak mudah terdesorpsi. Adsorpsi kimia diawali dengan adsorpsi fisik dimana adsorbat mendekat kepermukaan adsorben melalui gaya Van der Waals / Ikatan Hidrogen kemudian melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia yang biasa merupakan ikatan kovalen (Shofa, 2012). 2.1.2 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi daya adsorpsi yaitu : 2.1.2.1 Jenis Adsorbat Ukuran molekul adsorbat Ukuran molekul adsorbat yang sesuai merupakan hal yang penting agar proses adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang dapat diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben. Kepolaran zat Adsorpsi lebih kuat terjadi pada molekul yang lebih polar dibandingkan dengan molekul yang kurang polar pada kondisi diameter yang sama. Molekul-molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul-molekul yang kurang polar yang telah lebih dahulu teradsorpsi. Pada kondisi dengan diameter yang sama, maka molekul polar lebih dahulu diadsorpsi. 2.1.2.2 Suhu Pada saat molekul-molekul adsorbat menempel pada permukaan adsorben terjadi pembebasan sejumlah energi sehingga adsorpsi digolongkan bersifat eksoterm. Bila suhu rendah maka kemampuan adsorpsi meningkat sehingga adsorbat bertambah.

22 2.1.2.3 Tekanan Adsorbat Pada adsorpsi fisika bila tekanan adsorbat meningkat jumlah molekul adsorbat akan bertambah namun, pada adsorpsi kimia jumlah molekul adsorbat akan berkurang bila tekanan adsorbat meningkat. 2.1.2.4 Karakteristik Adsorben Ukuran pori dan luas permukaan adsorben merupakan karakteristik penting adsorben. Ukuran pori berhubungan dengan luas permukaan semakin kecil ukuran pori adsorben maka luas permukaan semakin tinggi. Sehingga jumlah molekul yang teradsorpsi akan bertambah. Selain itu kemurnian adsorben juga merupakan karakterisasi yang utama dimana pada fungsinya adsorben yang lebih murni yang lebih diinginkan karena kemampuan adsorpsi yang baik. 2.1.3 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Adsorpsi 2.1.3.1 Temperatur Oleh karena proses adsorpsi adalah proses yang eksotermis, maka adsorpsi akan berkurang pada temperatur lebih tinggi. Jika terdapat reaksi antara kontaminan yang teradsorpsi dan permukaan adsorben antara 2 atau lebih kontaminan kimia tersebut maka laju reaksinya akan meningkat pada temperatur yang lebih tinggi. 2.1.3.2 Kelembapan Uap air mudah diadsorpsi oleh jenis adsorben polar sehingga kelembapan yang tinggi dapat mempengaruhi dan mengurangi kemampuan adsorben tersebut untuk mengadsorpsi kontaminan.

23 2.1.3.3 Laju Alir Pengambilan Sampel Jika terlalu tinggi laju alir dapat mengurangi efisiensi adsorpsi 2.1.3.4 Adanya Kontaminan Lain Adanya kontaminan lain dapat mengurangi efisiensi adsorpsi karena adanya kompetisi antar kontaminan tersebut pada bagian adsorpsi. Reaksi antar senyawaan juga mungkin terjadi, sehingga diperoleh hasil konsentrasi yang lebih rendah yang seharusnya (Lestari,F., 2009). 2.1.4 Adsorpsi Zat Terlarut oleh Zat Padat Penyerapan zat dari larutan, mirip dengan penyerapan gas oleh zat padat. Penyerapan bersifat selektif yang diserap hanya zat terlarut oleh pelarut. Bila didalam suatu larutan terdapat 2 buah zat ataupun lebih maka zat yang satu akan diserap lebih kuat dibanding zat yang lain. Zat yang dapat menurunkan tegangan permukaan maka lebih kuat diserap. Makin kompleks zat terlarut makin kuat diserap oleh adsorben. Makin tinggi temperatur, maka makin kecil daya serap. Namun pengaruh temperatur tidak sebesar pada adsorpsi gas (Sukardjo, 1995). 2.1.5 Isoterm Adsorpsi Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi dalam fase fluida dan konsentrasi di dalam partikel adsorben pada suhu tertentu. Ada beberapa isoterm adsorpsi yang diketahui seperti model isoterm Langmuir, Freundlich dan juga model isoterm Brunauer, Emmet, dan Teller (BET).

24 2.1.5.1 Isoterm Langmuir Pada isoterm ini secara teoritis menganggap bahwa hanya sebuah monolayer gas yang teradsorbsi, selain itu adsorpsi molekul zat terlarut terlokalisasi, yaitu sekali adsorpsi, molekul-molekul ini tidak dapat bergerak disekeliling permukaaan padatan. Selain pernyataan di atas isoterm ini juga mengasumsikan bahwa panas adsorbsi, HH adsorpsi, tidak bergantung pada luas permukaan yang ditutupi gas. Persamaan Isoterm Adsorpsi Langmuir : CC = KK + 1 qq qqqq qqqq C Dimana : C = konsentrasi zat terlarut pada saat kesetimbangan q = masa zat terlarut diadsorpsi per masa adsorben KK = Konstanta adsorpsi yang didapat dari percobaan (intersept) q o = daya adsorpsi maksimum 2.1.5.2 Isoterm Freundlich Pada Isoterm ini persamaan diturunkan secara empirik, dengan asumsi bahwa penyerapan terjadi multicomponent. Persamaan dapat diturunkan dari adsorpsi zat padat dalam air atau solid-aquos system. (Sheindorf.M., 1980). Bentuk persamaannya yaitu : XX = k mm C1/n Dimana : X = Jumlah zat yang diserap m = Berat adsorben C = Konsentrasi zat setelah adsorpsi n dan k = Konstanta yang diperoleh dari percobaan Jika persamaan diatas dilogaritmakan maka : Log XX mm = 1 nn log CC + log k

25 2.1.5.3 Isoterm BET (Brunauer, Emmet, dan Teller) Persamaan ini mengembangkan persamaan Langmuir, sehingga dapat digunakan untuk adsorbsi multi molekuler pada permukaan padatan. Bentuk persaman ini adalah: PP = 1 + (cc 1) VV(PPPP PP) VVVVVV VVVVVV x PP PPPP Dimana : Po = tekanan uap jenuh Vm = Kapasitas volume monolayer C = konstanta (Bird,T., 1993). Salah satu karakteristik karbon aktif yang berkualitas ialah memiliki luas permukaan yang tinggi. Semakin besar luas permukaan karbon aktif, semakin besar pula daya adsorpsinya. Luas permukaan suatu adsorben dapat diketahui dengan alat pengukur luas permukaan yang menggunakan prinsip metode BET. Pengukuran luas permukaan dengan model BET ini biasanya menggunakan nitrogen sebagai adsorbat. Pengukuran ini didasarkan pada data adsorpsi isotermis nitrogen pada suhu 77 K. Adsorpsi isotermis dengan prinsip BET merupakan jenis isoterm fisis ( Shofa, 2012). 2.2 Adsorben Adsorben merupakan bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada letak-letak tertentu di dalam partikelnya. Karena pori-porinya biasa kecil maka luas permukaan dalam mencapai beberapa orde besaran lebih besar dari permukaan luar dan bisa sampai 2000 m 2 /gr. Dalam kebanyakan hal komponen yang diadsorpsi melekat sedemikian kuat sehingga memungkinkan pemisahan komponen itu secara menyeluruh dari fluida tanpa terlalu banyak adsorpsi terhadap komponen lain

26 sehingga memungkinkan adsorbat yang dihasilkan dalam bentuk terkonsentrasi atau hampir murni (Tandy,E., 2012). 2.2.1 Jenis jenis Adsorben 2.2.1.1 Adsorben Tidak Berpori (Non-Porous Sorbent) Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin seperti BaSO 4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan spesifiknya kecil tidak lebih dari 10 m 2 /g dan umumnya antara 0,1 s/d 1 m 2 /g. Adsorben yang tidak berpori seperti filter karet (rubber filters) dan karbon hitam bergrafit (graphitized Carbon Black) adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai ratusan m 2 /g. 2.2.1.2 Adsorben Berpori( Porous Sorbents) Luas permukaan spesifik dsorben berpori berkisar antara 100 s/d 1000 m 2 /g. Biasanya digunakan sebagai penyangga katalis, dehidrator, dan penyeleksi komponen. Adsorben ini umumnya benbentuk granular. Klasifikasi pori menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) adalah : Pori-pori berdiameter kecil (Mikropores d < 2 nm ) Pori-pori berdiameter sedang ( Mikropores 2 < d <50 nm) Pori-pori berdiameter besar ( Makropores d > 50 nm ) 2.2.2 Kriteria Adsorben untuk Menjadi Adsorben Komersil Kriteria yang harus dipenuhi suatu adsorben untuk menjadi adsorben komersial adalah : 1. Memiliki permukaan yang besar/unit massanya sehingga kapasitas adsorpsinya akan semakin besar pula 2. Secara alamiah dapat berinteraksi dengan adsorbat pasangan

27 3. Ketahanan struktur fisik yang tinggi 4. Mudah diperoleh, harga tidak mahal, tidak korosif dan tidak beracun 5. Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi 6. Mudah dan ekonomis untuk diregenerasi ( Hendra,R., 2008). Beberapa jenis adsorben berpori yang telah digunakan secara komersial antara lain karbon aktif, zeolit, silika gel, activated alumina. Seperti pada gambar di bawah ini : SILICA GEL ZEOLIT CARBON AKTIF ALUMINA Gambar 2.2. Jenis-jenis adsorben

28 2.3 Karbon Aktif Karbon aktif secara komersial diketahui pertama kali karena penggunaannya sebagai topeng uap pada perang dunia I. Namun, pada abad ke-15 sudah diketahui bahwa karbon hasil dekompresiasi kayu dapat menyingkirkan bahan berwarna dari pada abad ke-17. Penerapan secara komersil arang kayu digunakan dalam sebuah pabrik gula di Inggris (Austin, 1996). Karbon aktif merupakan adsorben terbaik dalam sistem adsorpsi. Ini dikarenakan arang aktif memiliki luas permukaan yang besar dan daya adsorpsi yang tinggi sehingga pemanfaatannya dapat optimal. Karbon aktif yang baik harus memiliki luas permukaan yang besar sehingga daya adsorpsinya juga besar (Prabowo, 2009). Luas permukaan karbon aktif umumnya berkisar antara 300 3000 m 2 /g dan ini terkait dengan struktur pori pada karbon aktif tersebut. Karbon aktif adalah material berpori dengan kandungan karbon 87%-97% dan sisanya berupa hidrogen, oksigen, sulfur, dan material lain. Karbon aktif merupakan karbon yang telah diaktivasi sehingga terjadi pengembangan struktur pori yang bergantung pada metode aktivasi yang digunakan. Struktur pori menyebabkan ukuran molekul teradsorpsi terbatas, sedangkan bila ukuran partikel tidak masalah, kuantitas bahan yang diserap dibatasi oleh luas permukaan karbon aktif (Austin, 1996). Perbedaan antara arang dan arang aktif adalah pada bagian permukaannya. Bagian permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghalangi keaktifannya, sementara bagian permukaan arang aktif relatif bebas dari deposit dan permukaannya lebih luas serta pori pori yang terbuka sehingga dapat melakukan penyerapan. Kemampuan adsorpsi arang aktif tidak hanya bergantung pada luas permukaannya saja tetapi juga struktur dalam pori-pori arang aktif, karakteristik permukan dan keberadaan grup fungsional pada permukaan pori (Wibowo,S., 2011).

29 2.3.1 Jenis jenis Karbon Aktif Ukuran diameter pori untuk karbon fase cair umumnya mendekati atau lebih besar dari 30Å sedangkan untuk karbon fase gas umumnya diameter pori berukuran 10 sampai 25Å. Efektifitas karbon aktif biasanya ditentukan dengan test kimia yang sesuai dimana test tersebut dapat menyerap di bawah kondisi standar. Untuk fase gas biasanya digunakan CCl 4 sedangkan untuk fase cair digunakan adsorpsi iodin (Supeno,M., 2009). Berdasarkan penggunaannya, karbon aktif terbagi menjadi 2 jenis yaitu : 2.3.1.1 Karbon Aktif untuk Fasa Cair Karbon aktif untuk fasa cair biasanya berbentuk serbuk. Karbon aktif fasa cair biasanya berbentuk serbuk. Karbon aktif fasa cair biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis rendah seperti kayu, batu bara, lignit, dan bahan yang mengandung lignin seperti limbah hasil pertanian. Karbon aktif jenis banyak digunakan untuk pemurnian larutan dan penghilangan rasa dan bau pada zat cair misalnya untuk penghilangan polutan berbahaya seperti gas amonia dan logam berbahaya pada proses pengolahan air. 2.3.1.2 Karbon Aktif untuk Fasa Uap Karbon aktif untuk fasa uap biasanya berbentuk butiran/granula. Karbon aktif jenis ini biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis lebih besar seperti tempurung kelapa, batubara, cangkang kemiri, residu minyak bumi, karbon aktif jenis ini digunakan dalam adsorpsi gas dan uap misalnya adsorpsi emisi gas hasil pembakaran bahan bakar pada kendaraan seperti CO dan NO x. Pernyataan mengenai bahan baku yang digunakan dalam pembuatan karbon aktif untuk masing-masing jenis yang disebutkan bukan merupakan suatu keharusan, karena ada karbon aktif untuk fasa cair yang dibuat dari bahan yang mempunyai densitas besar seperti tulang, kemudian dibuat dalam bentuk granula dan digunakan sebagai pemucat larutan gula. Begitu pula dengan karbon aktif

30 yang digunakan untuk fasa uap dapat diperoleh dari bahan yang memiliki densitas kecil, seperti serbuk gergaji. 2.3.2 Kegunaan Arang Aktif 2.3.2.1 Untuk Gas 1. Pemurnian gas Desulfurisasi, menghilangkan gas racun, bau busuk, asap, menyerap racun 2. Pengolahan LNG Desulfurisasi dan penyaringan berbagaibahan mentah dan reaksi gas 3. Katalisator Reaksi katalisator atau pengangkut vinil klorida dan vinil acetat 4. Lain- lain Menghilangkan bau dalam kamar pendingin dan mobil 2.3.2.2 Untuk Zat Cair 1. Industri obat dan makanan Menyaring dan menghilangkan warna, bau, dan rasa yang tidak enak pada makanan 2. Minuman ringan dan minuman keras Menghilangkan warna dan bau pada arak/minuman keras dan minuman ringan 3. Kimia Perminyakan Penyulingan bahan mentah, zat perantara 4. Pembersih air Menyaring dan menghilangkan bau, warna dan zat pencemar dalam air sebagai pelindung atau penukar resin dalam penyulingan air 5. Pembersih air buangan Mengatur dan membersihkan air buangan dan pencemaran 6. Pelarut yang digunakan kembali Penarikan kembali berbagai pelarut, sisa metanol, etil asetat, dan lain-lain (Kurniati,E., 2008).

31 2.3.3 Proses Pembuatan Arang Aktif 2.3.3.1 Dehidrasi Dehidrasi merupakan proses penghilangan air yang terdapat dalam bahan baku karbon aktif dengan tujuan untuk menyempurnakan proses karbonisasi dan dilakukan dengan cara menjemur bahan baku dibawah sinar matahari/ memanaskannya dalam oven. 2.3.3.2 Karbonisasi Proses karbonisasi terdiri dari empat tahap yaitu : 1. Pada suhu 100 120 o C terjadi penguapan air dan sampai suhu 270 o C mulai terjadi peruraian selulosa. Destilat mengandung asam organik dan sedikit metanol. Asam cuka terbentuk pada suhu 200 270 o C. 2. Pada suhu 270 310 o C reaksi eksotermik berlangsung dimana terjadi peruraian selulosa secara intensif menjadi larutan piroligant, gas kayu dan sedikit tar. Asam merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti asam cuka dan metanol sedang gas kayu terdiri dari CO dan CO 2. 3. Pada suhu 310 500 o C terjadi peruraian lignin, dihasilkan lebih banyak tar sedangkan larutan pirolignat menurun, gas CO 2 menurun sedangkan gas CO dan CH 4 dan H 2 meningkat. 4. Pada suhu 500-1000 o C merupakan tahap dari pemurnian arang atau kadar karbon (Sudrajat, 1994). Karbonisasi dihentikan bila tidak mengeluarkan asap lagi. Penambahan suhu memang diperlukan untuk mempercepat reaksi pembentukan pori, Namun pembatasan suhu pun harus dilakukan. Suhu yang terlalu tinggi, seperti diatas 1000 o C akan mengakibatkan banyaknya abu yang terbentuk sehingga dapat menutupi pori-pori dan membuat luas permukaan berkurang serta daya adsorpsi menurun.

32 2.3.3.3 Aktivasi Proses aktivasi dilakukan untuk meningkatkan luas permukaan dan daya adsorpsi karbon aktif. Pada proses ini terjadi pelepasan hidrokarbon, tar, dan senyawa organik yang melekat pada karbon tersebut. Proses aktifasi terdapat 2 jenis yaitu : 1. Aktivasi Fisika Pada aktivasi secara fisika, karbon dipanaskan pada suhu sekitar 800-1000 o C dan dialirkan gas pengoksida seperti uap air air, oksigen/co 2. Gas pengoksida akan bereaksi dengan karbon dan melepaskan karbon monoksida dan hidrogen untuk gas pengoksida berupa uap air. Senyawasenyawa produk samping pun akan terlepas pada proses ini sehingga akan memperluas pori dan meningkatkan daya adsorpsi. Klasifikasi karbon dengan uap air dan CO 2 terjadi melalui reaksi bersifat endotermis berikut ini (Marsh, 2006). C + H 2 O CO + H 2 ( 117 kj/mol) C + CO 2 2 CO ( 159 kj / mol ) Sedangkan aktivasi fisika dengan oksigen melalui reaksi bersifat eksotermis berikut ini : C + O 2 CO 2 ( -406 kj / mol ) Pada aktivasi fisika terjadi pengurangan massa karbon dalam jumlah yang besar karena adanya pembentukan struktur karbon. Namun pada aktivasi fisika seringkali terjadi kelebihan oksida eksternal sewaktu gas pengoksida berdifusi pada karbon sehingga terjadi pengurangan ukuran adsorben. Selain itu, reaksi sulit dikontrol (Shofa, 2012). 2. Aktivasi kimia Pada cara ini proses aktivasi dilakukan dengan mempergunakan bahan kimia sebagai aktivating agent. Aktivasi arang ini dilakukan dengan merendam arang kedalam larutan kimia seperti NaCl, ZnCl 2, KOH, KCl, dll. Sehingga bahan kimia akan meresap dan membuka permukaan arang yang semula tertutup oleh deposit tar (Tutik, 2001).

33 Pada proses aktivasi ini karbon atau arang dipanaskan dengan suhu tinggi didalam sistem tertutup tanpa udara sambil dialiri gas inert. Saat ini terjadi proses lanjutan pemecahan atau peruraian sisa deposit tar dan senyawa hidrokarbon sisa karbonisasi keluar dari permukaan karbon sebagai akibat gas suhu tinggi dan adanya aliran gas inert, sehingga akan dihasilkan karbon dengan luas permukaan yang cukup luas atau disebut dengan arang aktif. 2.4. Kemiri Kemiri dengan nama latin aleurites moluccana merupakan salah satu pohon serbaguna yang sudah dibudidayakan secara luas didunia. Ini merupakan jenis asli Indo Malaysia dan sudah diperkenalkan ke kepulauan Pasifik sejak zaman dahulu. Pohon kemiri memiliki sifat beracun sehingga perlu kewaspadaan bila ingin menggunakan bagian-bagian pohon lainnya untuk tujuan pengobatan atau konsumsi. Kemiri (Aleurites moluccana) adalah tumbuhan yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber minyak dan rempah-rempah. Dalam perdagangan antar negara dikenal sebagai candleberry, indian walnut, serta candlenut. Pohonnya disebut sebagai varnish tree atau kukui nut tree. Minyak yang diekstrak dari bijinya berguna dalam industri untuk digunakan sebagai bahan campuran cat dan dikenal sebagai tung oil. Biji kemiri mempunyai tiga bagian, yaitu lapisan tipis pelapis biji, cangkang kemiri, dan biji dalam kemiri. Bagian biji dalam kemiri yang berwarna putih sangat banyak mempunyai manfaat diantaranya adalah sebagai bahan obatobatan tradisional, sebagai rempah-rempah, dan untuk perawatan rambut khususnya untuk memanjangkan rambut. Didalam biji banyak sekali mengandung kadar minyak, sedangkan bagian cangkang kemiri hanya menjadi sampah, tetapi sebenarnya bagian cangkang ini sangat berguna. Cangkang kemiri memang sedikit mengandung kadar minyak lemak (ketaren,1986). Menurut realita yang ada limbah yang dihasilkan dari proses pemecahan biji kemiri yang berupa cangkang kemiri ini belum terlalu banyak dimanfaatkan.

34 Sering terlihat bahwa segelintir orang memanfaatkannya untuk pengerasan jalan yang banyak terlihat di sekitar kota Berastagi, ada yang memanfaatkannya sebagai obat bahan bakar nyamuk, dan penemuan terbaru bahwa cangkang kemiri juga dapat dibuat sebagai produk karbon aktif. Cangkang kemiri yang telah lama terpendam di tanah dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk N, P dan K. Adapun komposisi arang cangkang kemiri yaitu kadar air 5,34%, volatil 8,73%, abu 9,56% dan karbon 76,31%. Gambar 2.3 cangkang kemiri 2.5 Minyak Goreng Minyak goreng memang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Makanan yang di goreng biasanya lebih lezat dan gurih, tanpa membutuhkan tambahan bumbu bermacam-macam. Dalam proses penggorengan minyak goreng berperan sebagai media untuk perpindahan panas yang cepat dan merata pada permukaan bahan yang digoreng (Yustinah, 2011). Minyak memiliki titik didih yang tinggi sekitar 200 o C maka biasa dipergunakan untuk menggoreng makanan. Sehingga bahan yang digoreng akan kehilangan sebagian besar air yang dikandungnya dan menjadi kering. Minyak dan lemak juga memberikan rasa gurih yang spesifik. Secara umum minyak dapat diartikan sebagai trigliserida yang dalam suhu ruang berbentuk cair

35 (Sudarmadji.S., 1989). Standar Nasional Indonesia untuk minyak goreng ditunjukkan pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Standard Nasional Indonesia Minyak Goreng No Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan Bau - Normal Warna - Normal 2 Kadar Air dan bahan menguap Maks.0,15 3 Bilangan Asam mg KOH/g Maks. 0,6 4 Bilangan Peroksida mek O 2 /Kg Maks. 10 5 Minyak Pelikan - Negatif 6 Asam Linolenat ( C18:3 ) dalam % Maks.2 Komposisi asam lemak minyak 7 Cemaran Logam Kadmium(Cd) mg/kg Maks. 0,2 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,1 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0/ 250,0 Merkuri(Hg) mg/kg Maks. 0,05 8 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1 Sumber : Dewan Standarisasi Nasional, 2013 2.5.1 Minyak Boreng Bekas ( Used Cooking Oil ) Selama proses penggorengan minyak mengalami reaksi degradasi yang disebabkan oleh panas, udara dan air sehingga mengakibatkan terjadinya oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi. Reaksi oksidasi juga dapat terjadi selama masa penyimpanan. Produk reaksi oksidasi minyak seperti peroksida, radikal bebas, aldehid, keton, hidroperoksida polimer dan berbagai produk oksidasi minyak yang lain dilaporkan memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan. Selama dipanaskan minyak juga mengalami reaksi polimerisasi sehingga menjadi semakin kental serta berbuih. Reaksi hidrolisis terjadi akibat interaksi antara air dengan lemak yang menyebabkan putusnya beberapa asam lemak dari minyak menghasilkan free fatty acid (FFA) dan gliserol (Yustinah, 2011).

36 2.5.2 Penentuan Angka Peroksida Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun nonenzimatik. Di antara kerusakan minyak yang sering terjadi ternyata kerusakan karena autoksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Reaksi autoksidasi melibatkan pembentukan radikal bebas yang sangat tidak stabil, yang merupakan inisiator terjadinya reaksi rantai (Azeredo, 2004). Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai angka peroksida. Besarnya tingkat oksidasi minyak dapat dinyatakan dengan perubahan peroxide value. Cara penentuan angka peroksida dapat dilakukan dengan metode Hills dan Thiel atau dengan metode iodin (Sudarmadji, 1989). 2.6 SEM (Scanning Electron Microscopy) Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda yang akan diuji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada dasarnya, SEM menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron dan dipantulkan atau berkas sinar elektron sekunder. SEM menggunakan prinsip skanning yaitu berkas elektron diarahkan pada titik permukaan spesimen. Gerakan elektron diarahkan dari satu titik ke titik lain pada permukaan spesimen. Jika seberkas sinar elektron ditembakkan pada permukaan spesimen maka sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi diteruskan. Jika permukaan spesimen tidak merata, banyak lekukan, lipatan atau lubang-lubang, maka tiap bagian permukaan itu akan memantulkan elektron dengan jumlah dan arah yang berbeda dan kemudian akan ditangkap oleh detector dan akan diteruskan ke sistem layar. Hasil yang diperoleh merupakan gambaran yang jelas dari permukaan spesimen dalam bentuk tiga dimensi.

37 Dalam penelitian morfologi permukaan dengan menggunakan SEM, pemakaiannya sangat terbatas tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 Å (Stevens, 2001).