Kinerja Birahi Kambing yang Mengalami Induksi Superovulasi dengan Anti Inhibin

dokumen-dokumen yang mirip
KINERJA REPRODUKSI KAMBING LOKAL YANG DIINDUKSI SUPEROVULASI DENGAN ANTISERUM INHIBIN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA

PROFIL HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON PADA SIKLUS BERAHI KAMBING LOKAL

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK VESIKULA SEMINALIS TERHADAP PERSENTASE BERAHI DAN KEBUNTINGAN PADA KAMBING LOKAL

Pengaruh Waktu Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :83-87 ISSN : Agustus 2009 INDUKSI ESTRUS DENGAN PMSG DAN GN-RH PADA SAPI PERAH ANESTRUS POSTPARTUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tampilan Reproduksi Kambing Lokal Hasil Induksi Superovulasi dengan Ekstrak Pituitary Sapi

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hcg pada Induk Sapi Potong

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL TAMPILAN BIRAHI KAMBING LOKAL YANG BERBEDA UMUR HASIL SINKRONISASI MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F2 DI KABUPATEN BONE BOLANGO

PENGARUH BERBAGAI DOSIS PROSTAGLANDIN (PGF2α) TERHADAP KARAKTERISTIK ESTRUS PADA DOMBA GARUT

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

BAB I. PENDAHULUAN A.

PEMACUAN KEAKTIFAN BERAHI MENGGUNAKAN HORMON OKSITOSIN PADA KAMBING DARA ESTRUS ACTIVITY INDUCTION OF YOUNG GOAT BY OXYTOCIN

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

ABSTRACT. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities

RESPON PENYUNTIKAN HORMON CAPRIGLANDIN PGF2 ERHADAP SINKRONISASI BERAHI INDUK SAPI BALI DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN


RESPON ESTRUS KUDA LOKAL DENGAN INDUKSI HORMON PGF2α DI KOTA PAYAKUMBUH

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENGGUNAAN PROGESTERON SINTETIK PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH) PENERIMA INSEMINASI BUATAN DAN DI EMBRIO SAPI MADURA

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN

Upaya Meningkatkan Intensitas Berahi Pada Kerbau Dalam Hubungannya Dengan Peningkatan Angka Konsepsi Hasil Inseminasi Buatan

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p Online at :

PEMBERIAN WHOLE SERUM KUDA LOKAL BUNTING YANG DISENTRIFUGASI DENGAN CHARCOAL TERHADAP BIRAHI DAN KEBUNTINGAN PADA SAPI POTONG

GAMBARAN ULTRASONOGRAFI OVARIUM KAMBING KACANG YANG DISINKRONISASI DENGAN HORMON PROSTAGLANDIN F 2 ALFA (PGF 2 α) DOSIS TUNGGAL

DAFTAR PUSTAKA. Bearden, J and J. W Fuquay, Applied Animal Reproduction Fourth Edition. Prentice Hall, Inc. USA

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

LAPORAN PROGRAM PENERAPAN IPTEKS

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

Pengaruh Pemberian Progesteron dan PGF2α terhadap Respon Estrus pada Kambing PE Anestrus Post Partum

RESPON ESTRUS PADA KAMBING PERANAKAN ETTAWA DENGAN BODY CONDITION SCORE

Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Brahman Cross (Bx) Heifers

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH FOLIKEL YANG MENGALAMI OVULASI TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA PADA BERAHI PERTAMA SETELAH PENYUNTIKAN PGF2,

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

PERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

PEMANFAATAN LARUTAN IODIN POVIDON SEBAGAI HORMON STIMULAN GERTAK BERAHI KAMBING SECARA ALAMIAH

POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE. Dosen Fakultas Peternakan UGM

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

BAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

M. Rizal Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon ABSTRAK

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

Nurcholidah Solihati Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung. ABSTRAK

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

LEVEL STEROID SAPI ACEH YANG DIINDUKSI DENGAN PREGNANT MARE S SERUM GONADOTROPIN (PMSG) DAN FOLLICLE STIMULATING HORMONE (FSH)

FENOMENA ESTRUS DOMBA BETINA LOKAL PALU YANG DIBERI PERLAKUAN HORMON FSH

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

IDENTIFIKASI KADAR HEMOGLOBIN DARAH KAMBING PERANAKAN ETAWAH BETINA DALAM KEADAAN BIRAHI

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

Perubahan Siklus Estrus Akibat Induksi Peningkatan Kadar Prostaglandin F 2 α (PGF 2 α) Pada Fase Luteal Kambing Peranakan Boer

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung ABSTRACT

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Agustus 2013 Vol. 1, No. 2: 40-44

KATA PENGANTAR. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI...

Sutiyono, E.T. Setiatin, Sri Kuncara dan Mayasari Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang

Anatomi/organ reproduksi wanita

STUDI HUBUNGAN KONSENTRASI HORMON PROGESTERON DENGAN JUMLAH KORPUS LUTEUM PADA KAMBING. Totti Tjiptosumirat

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F 2 Α (PGF 2 Α)

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

ONSET DAN INTENSITAS ESTRUS KAMBING PADA UMUR YANG BERBEDA. The Onset and Intensity of Goat Estrus at Various Ages

Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari

Materi 5 Endokrinologi selama siklus estrus

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

SINKRONISASI ESTRUS PADA DOMBA GARUT (Ovis aries) MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN DAN PROGESTERON AEPUL

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

RESPON KECEPATAN TIMBULNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI BALI SETELAH DUA KALI PEMBERIAN PROSTAGLANDIN F2α (PGF2α)

DIAGNOSIS KEBUNTINGAN DINI MENGGUNAKAN KIT PROGESTERON AIR SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETTAWAH (Capra hircus)

Transkripsi:

Kinerja Birahi Kambing yang Mengalami Induksi Superovulasi dengan Anti Inhibin (Estrous of Goats Undergone Superovulation Induction with Anti inhibin) TN Siregar 1* dan T Armansyah 2 1 Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. 2 Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala *Penulis korespondensi email: tongku_ns@yahoo.com Abstract. Estrous performance of goats underlying superovulation induction with anti inhibin was done using anti inhibin induction on rabbit. Twenty four goats used in this research that divided four groups namely P 0 (control), P 1 (immunization at days of 4 cycle), P 2 (immunization at days of 9 cycle) and P 3 (immunization at days of 13 cycle). Immunization on groups was done with injection of 500 μg antibody against inhibin after synchronize before that. Estrous synchronization using injection 0.5 ml cloprostenol (Estron TM, Bioveta) two times with interval 10 days. Twenty four hours after immunization, all of goats injection of cloprostenol with same doses. Estrous observation was done after injection of cloprostenol later three times a days. Collection of blood was done at estrous (to analyze of estradiol concentration) and at days of 7 cycle (to analyze of progesterone concentration). All f goats after treatment showed estrous behavior as swelling around the vulva and redness, a thin mucous discharge from vulva, social behaviors, and showed mounted. Awal of estrous on P 0, P 1, P 2, and P 3 groups were 35.00+7.01; 28.67+4,50; 27.67+4.76; and 29.67+5.86 hours, respectively and revealed no significant difference between control and treatment groups. Duration of estrous on P 0, P 1, P 2, and P 3 were 36.67+3.27; 49.33+3.20; 50.33+10.23; and 53.67+11.96 hours, respectively and revealed significant difference (P<0.05) between P 2 and P 3 with P 0 and P 1. Length of cycle on P 0, P 1, P 2, and P 3 groups were 20.33+1.75; 19.33+0.82; 19.33+2.50; and 20.83+2.56, respectively and revealed no significant difference between control and treatment groups. Key Words: anti inhibin, goats, superovulation, synchronization Pendahuluan Populasi ternak kambing di wilayah Asia dan Pasifik Selatan sampai tahun 1990 an mencapai 294,4 juta ekor dengan angka pertumbuhan hanya sekitar 0,2%. Jumlah ini merupakan 52,9% dari total populasi kambing dunia. Di Pulau Jawa, jumlah rumah tangga petani yang memelihara ternak kambing mencapai 30%. Dengan kenyataan tersebut ternak kambing memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber produk asal ternak di Indonesia (Suyadi, 2003). Salah satu upaya meningkatkan potensi reproduksi kambing adalah melalui penerapan teknologi transfer embrio. Tahapan penting dalam proses transfer embrio adalah superovulasi yang merupakan upaya manipulasi folikulogenesis sehingga jumlah ovulasi meningkat dibanding normal. Mekanisme fisiologis yang bertanggungjawab untuk membatasi perkembangan dan ovulasi pada induksi superovulasi kambing tidak sepenuhnya diketahui. Secara umum diketahui bahwa folikel dominan yang terdapat pada gelombang pertumbuhan folikel bertanggung jawab mensupresi folikel yang lebih kecil melalui hambatan sekresi FSH (McCue et al., 1992). Kambing memiliki 4 gelombang pertumbuhan folikel yaitu gelombang 1, 2, 3, dan 4 masing masing pada hari 0,6+0,3, 4,7+0,2, 9,0+0,5, dan 13,4+0,5) (Medan et al., 2003). Peningkatan level FSH dideteksi sekitar hari emergensi gelombang pertumbuhan folikel. Level FSH mempunyai korelasi negatif dengan inhibin. Peningkatan konsentrasi inhibin terjadi pada setiap gelombang folikel (Medan et al., 2003). Penurunan level FSH akan menyebabkan atresi folikel yang lebih kecil. Pemeliharaan level FSH selama fase folikuler kemungkinan akan mampu mencegah regresi atau atresi 34

folikel yang lebih kecil dan akan menghasilkan superovulasi. Sampai saat ini terdapat 2 jenis hormon gonadotropin yang paling sering digunakan untuk tujuan superovulasi yakni PMSG atau FSH. Kedua hormon ini masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak menghasilkan ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio yang dapat diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya harus berulang ulang sehingga mengakibatkan stres dan menurunkan kualitas embrio (Putro, 1996). Respon ovulasi akibat pemberian gonadotropin pada kambing telah dilaporkan banyak peneliti dengan hasil yang bervariasi, namun secara umum kualitas embrio yang dihasilkan tergolong rendah. Induksi superovulasi kambing prepuber dengan PMSG menghasilkan rata rata ovulasi sebesar 3,40+1,34 dengan kualitas embrio yang rendah (Siregar et al., 2004). Pada kambing dewasa, jumlah ovulasi hasil induksi dengan PMSG adalah sebesar 3,6+1,14 (Triana et al., 1996). Respon superovulasi pada kambing menggunakan FSH menghasilkan jumlah folikel yang berkembang lebih banyak yakni 11,90+1,87 (Selvaraju et al., 2003). Strategi alternatif untuk mengatasi kelemahan pemberian gonadotropin eksogenus untuk tujuan induksi superovulasi adalah meningkatkan FSH endogenus melalui eliminasi faktor gonad yang menghambat sekresi FSH. Inhibitor utama sekresi FSH adalah inhibin (Taya et al., 1996). Imunonetralisasi inhibin akan mengakibatkan sekresi FSH yang berlebihan dan jumlah folikel yang ovulasi akan lebih banyak dari normal. Hal inilah yang menjadi dasar alternatif superovulasi melalui imunisasi pasif menggunakan antiserum inhibin. Peningkatan konsentrasi inhibin terjadi pada setiap gelombang folikel. Pemberian imunisasi pada saat tersebut menimbulkan konsekuensi netralisasi terhadap efek supresi inhibin terhadap sintesis dan sekresi FSH (Bleach et al., 2001; Kaneko et al., 1995; Weltz et al., 2001). Terdapat perbedaan ukuran folikel dominan pada setiap gelombang pertumbuhan folikel (Medan et al., 2003). Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran folikel dominan dan produksi estrogen adalah berbeda pada tiap gelombang yang mungkin disebabkan perbedaan sekresi inhibin dan FSH. Oleh karena itu, waku induksi akan menentukan keberhasilan respon superovulasi. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu agen superovulasi adalah bahwa agen tersebut diharapkan tidak merubah performansi birahi kambing. Perubahan performansi birahi akan berdampak pada perubahan keseimbangan hormonal. Gangguan keseimbangan hormonal mempunyai pengaruh terhadap kualitas embrio yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kinerja birahi kambing lokal yang mengalami induksi superovulasi dengan anti inhibin. Metode Penelitian Materi Penelitian Dalam penelitian ini digunakan 24 ekor kambing betina dengan kriteria sehat secara klinis, sudah pernah beranak, umur 1,5 3,0 tahun dan memperlihatkan siklus reguler minimal 2 siklus dan berada pada galur kesuburan yang sama. Prosedur Penelitian Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola satu arah. Seluruh kambing dikelompokkan ke dalam 4 kelompok perlakuan, 1 kontrol dan 3 perlakuan. Pengelompokan didasarkan atas waktu imunisasi (hari ke 4, 9, dan 13 dari siklus). yaitu P 0 (kontrol), P 1 (imunisasi hari ke 4 siklus), P 2 (imunisasi hari ke 9 siklus) dan P 3 (imunisasi hari ke 13 siklus). Tiap kelompok terdiri dari 6 ekor kambing. Sebelum imunisasi, seluruh kambing disinkronisasi dengan dosis 0,5 ml cloprostenol (Estron TM, Bioveta). Penyuntikan dilakukan 2 kali dengan interval 10 hari. Setelah birahi, hewan diimunisasi dengan 500 µg antiinhibin sesuai dengan kelompok perlakuan. Empat puluh delapan jam setelah imunisasi, masing masing kambing diinjeksi kembali dengan dosis luteolitik (0,5 ml) cloprostenol secara intramuskular. Untuk kelompok kontrol, hanya diinjeksi dengan cloprostenol 2 kali 35

dengan interval 10 hari. Pengamatan estrus diamati 3 kali sehari yakni pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB secara visual dan dibantu dengan pejantan. Pengamatan estrus dilakukan setelah injeksi cloprostenol terakhir. Pengamatan didasarkan atas gejala gejala berahi yang timbul seperti pembengkakan dan kemerahan pada vulva, urinasi yang berlebihan, perubahan tingkah laku, keluarnya lendir transparan dari vulva dan diam ketika dinaiki oleh pejantan. Anti inhibin dihasilkan dari sel granulosa sesuai dengan metode yang dikembangkan oleh Siregar et al. (2005) Analisis Data Data deskripsi birahi dilaporkan secara deskriptif, sedang data kinerja birahi yang meliputi awal dan lama birahi serta lama siklus dianalisis menggunakan analisis varians satu arah (Stell dan Torrie, 1990). Hasil dan Pembahasan Semua kambing yang mendapat perlakuan imunisasi inhibin yang diikuti dengan injeksi cloprostenol memperlihatkan gejala birahi yang khas. Dari 24 ekor kambing betina 87,5% menunjukkan vulva kemerahan, 58,3% memperlihatkan pembengkakan vulva 50,0% mengeluarkan lendir transparan, 83,3% memperlihatkan perubahan tingkah laku (urinasi yang berlebihan, mengembik terusmenerus, atau gelisah) dan 100% mau dinaiki seperti yang terlihat pada Tabel 1. Timbulnya estrus adalah akibat injeksi prostaglandin dan kemungkinan tidak dipengaruhi oleh imunisasi inhibin. Injeksi tunggal prostaglandin akan menghasilkan 80% kambing birahi sedang injeksi kedua yang dilakukan 10 hari kemudian akan menghasilkan 100% estrus (Siregar, 2001). Nuti et al. (1992) juga melaporkan hal yang sama. Semua kambing memperlihatkan gejala birahi setelah pemberian PGF2α pada hari ke 12 setelah birahi akibat pemberian PGF2α pertama. Timbulnya birahi akibat pemberian PGF2α disebabkan lisisnya korpus luteum oleh kerja vasokonstriksi PGF2α sehingga aliran darah menuju korpus luteum menurun secara drastis (Toelihere, 1981). Akibatnya, kadar progesteron yang dihasilkan korpus luteum dalam darah menurun. Penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH. Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala birahi (Hafez dan Hafez, 2000). Kerja hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitivitas organ kelamin betina yang ditandai perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan (Lammoglia et al., 1998). Tingginya respon birahi pada penyuntikan kedua disebabkan PGF2α efektif untuk penyerentakan birahi mulai fase pertengahan luteal. Kambing kambing yang tidak berada pada fase ini pada penyuntikan pertama akan memasuki fase luteal pada penyuntikan kedua. Hormon PGF2α efektif dalam meregresi korpus luteum fungsional tidak pada korpus luteum yang sedang tumbuh (Partodihardjo, 1987). Tanda tanda birahi pada penelitian ini hampir sama dengan yang dilaporkan Siregar et al. (2004) yakni vulva merah dan bengkak, keluar lendir, mau dinaiki, dan perubahan tingkah laku. Tabel 1. Deskripsi birahi kambing setelah imunisasi inhibin yang diikuti dengan injeksi cloprostenol Kriteria Jumlah kambing (ekor) Persentase (%) Vulva merah Vulva bengkak Lendir Perubahan tingkah laku Mau dinaiki 21 14 12 20 24 87,5 58,3 50,0 83,3 100,0 36

TN. Siregar dan T. Armansyah/Animal Production 11 (1) 34 39 Sumoprastowo (1980) menyatakan tandatanda birahi pada kambing adalah gelisah, ekor diangkat dan digerakkan ke kiri dan ke kanan, berusaha mendekati kambing jantan, mengembik, vulva bengkak dan berwarna kemerahan, bila diraba terasa hangat serta mengeluarkan cairan yang jernih. Awal birahi pada seluruh kelompok perlakuan terlihat pada Tabel 2. Awal birahi dari 24 ekor kambing bervariasi mulai 24 42 jam. Awal birahi dihitung mulai pada saat kambing betina bersedia dinaiki pejantan pertama kali, meskipun sebelumnya telah muncul gejalagejala birahi yang lain. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat pengaruh waktu perlakuan terhadap awal birahi kambing. Awal birahi perlu diketahui untuk keberhasilan inseminasi setelah induksi terutama apabila dilakukan induksi pada ternak dalam jumlah besar. Siregar et al. (1999) melaporkan awal birahi setelah diinduksi dengan PMSG yang diikuti injeksi PGF2α pada kambing prepuber. Awal birahi kambing pada kelompok umur 4 5 dan 6 7 bulan masingmasing adalah 36,50+9,94 dan 28,17+3,48 jam. Data awal birahi lain pada kambing adalah 37+2,56 jam (Sumandia, 1988) dan 37,75+9,30 jam (Purwanti, 1989). Awal birahi pada penelitian ini bila dibandingkan dengan penelitian lain terlihat lebih singkat. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan pola pengamatan. Perbedaan awal birahi dapat juga disebabkan perbedaan individu ternak. Siregar et al. (1999) membuktikan kecenderungan perbedaan umur ternak akan mempengaruhi awal birahi. Meskipun secara statistik tidak terlihat pengaruh imunisasi dengan anti inhibin terhadap awal birahi, namun bila dilihat secara terperinci terdapat kecenderungan imunisasi akan mempercepat timbulnya awal birahi. Imunisasi kemungkinan akan menyebabkan tingginya level FSH sehingga rangsangan terhadap pertumbuhan folikel dan produksi estradiol akan cepat dicapai. Jimenez Krassel et al. (2003) membuktikan bahwa imunisasi terhadap inhibin akan menyebabkan peluang folikel yang secara fisiologis harus atresi menjadi folikel dominan dan menghasilkan estrogen menjadi besar. Pada folikel dominan, imunisasi mempunyai efek peningkatan kapasitas sel granulosa menghasilkan estradiol. Hal ini menyebabkan produksi estradiol akan lebih cepat mencapai maksimal untuk memanifestasikan gejala birahi. Hal ini telah dibuktikan oleh Medan et al. (2004), bahwa awal birahi sapi lebih cepat pada kelompok perlakuan imunisasi dibanding dengan kontrol (58,3 ± 7,9 vs 77,1 ± 5,5 jam). Lama birahi dalam penelitian ini dihitung mulai saat kambing diam waktu dinaiki oleh pejantan pendeteksi. Lama birahi bervariasi mulai 32 70 jam. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh waktu pemberian terhadap lama birahi kambing (P<0,05). Seluruh kambing memperlihatkan gejala birahi pada siklus berikutnya dengan lama siklus bervariasi mulai 16 24 hari. Tidak ada pengaruh waktu pemberian terhadap lama siklus kambing. Lama birahi yang diperoleh pada penelitian ini masih tergolong normal. Mngongo (1987) melaporkan lama birahi pada kambing Afrika Timur yang disinkronisasi dengan PGF2α adalah 32,40+3,60; Purwanti (1989) 43,75+12,27; Manu (1991) 35,18+6,80; Sunaryo (1994) 32,50+2,50; dan Uly (1997) 39,20+5,66 jam. Adanya sedikit perbedaan mungkin disebabkan oleh variasi bangsa dan umur. Toelihere (1981) menambahkan bahwa variasi lama birahi dapat disebabkan oleh variasi sewaktu observasi birahi. Selanjutnya Britt (1993) menerangkan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi lama birahi meliputi bangsa, umur, dan musim. Chemineau et al. (1992) menunjukkan bahwa lama birahi pada kambing Alpine adalah sekitar 36 jam. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh perlakuan terhadap lama birahi kambing. Kelompok kontrol memiliki lama yang lebih pendek dibanding kambing yang diimunisasi dengan inhibin 500 μg (P<0,05). 37

Tabel 2. Performansi birahi kambing setelah imunisasi dengan anti inhibin yang diikuti injeksi cloprostenol Kelompok Birahi Lama Siklus (hari) Awal (jam) Lama (jam) P 0 P 1 P 2 35,00+7,01 28,67+4,50 27,67+4,76 36,67+3,27 a 49,33+3,20 ab 50,33+10,23 b 20,33+1,75 19,33+0,82 19,33+2,50 29,67+5,86 53,67+11,96 b 20,83+2,56 P 3 a, ab Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tidak ada perbedaan lama birahi antara kontrol dengan P 1. Pengaruh imunisasi ini kemungkinan mempunyai efek yang sama dengan pemberian superovulasi dengan PMSG. Akibat level FSH yang tetap tinggi maka akan terjadi transformasi folikel yang tidak aktif menjadi folikel fase pertumbuhan dengan proliferasi sel granulosa, bertambahnya cairan folikel dalam antrum dan sekresi hormon estrogen. Level FSH yang tetap tinggi akan mengaktivasi folikel atresi sehingga lama birahi menjadi lebih lama. Kambing kambing yang memperlihatkan birahi setelah imunisasi yang diikuti dengan injeksi PGF2α seluruhnya memperlihatkan gejala birahi kembali pada siklus berikutnya dengan interval 16 26 hari. Keadaan tersebut masih tergolong normal berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Tangenvelu dan Muhkerjee (1982) yang disitasi Purwanti (1989) yang membagi 3 klasifikasi panjang siklus birahi yakni pendek (<15 hari), normal (15 28 hari), dan panjang (>28 hari). Tidak ada perbedaan panjang siklus antara kontrol dengan perlakuan. Rata rata lama siklus pada penelitian ini lebih panjang dibanding lama siklus yang diperoleh Siregar et al. (1999) yakni 17,67+1,53 hari. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan umur kambing yang digunakan. Siregar et al. (1999) menggunakan kambing yang belum dewasa kelamin sedang pada penelitian ini digunakan kambing yang sudah mencapai umur dewasa kelamin. Madrid Bury (1982) yang disitasi Purwanti (1989) menerangkan bahwa panjang siklus birahi pada betina dara akan lebih pendek dibanding betina muda, dan panjang siklus birahi betina muda (12 18 bulan) lebih pendek dibanding betina dewasa (2 6 tahun). Selain umur, panjang siklus juga dipengaruhi oleh musim. Cerbito et al. (1995) melaporkan hubungan antara panjang siklus dengan musim. Pada musim hujan, dilaporkan kambingkambing mempunyai persentase yang tinggi untuk mengalami siklus singkat. Kesimpulan Imunisasi inhibin tidak menyebabkan perubahan awal birahi dan lama siklus tetapi dapat memperpanjang lama birahi kambing. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada DP2M DIKTI atas bantuan dana melalui Dana Penelitian Hibah Bersaing XIV Tahun 2006. Selanjutnya terimakasih kepada saudara Hafizuddin, Salman, Wahiduddin, Dian dan Burdah atas bantuan tenaga sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. Daftar Pustaka Bleach ECL, RG Glencross SA Feist, NP Groome, and PG Knight. 2001. Plasma inhibin A in heifer: Relationship with follicle dynamics, gonadotrophins, and steroid during estrous cycle and after treatment with bovine follicular fluid. Biol. Reprod. 64:743 752. Britt JH. 1993. Induction and synchronization of ovulation. In Reproduction in Farm Animals. 6th. Ed. E.S.E. hafez (ed.). Lea & Febiger Co. Philadelphia. Cerbito WA, NG Natural, FB Aglibut and K Sato. 1995. Evidence of ovulation in goats (Capra hircus) with short oestrous cycle and its occurrence in the tropics. Theriogenology 43:803 812. Chemineau P, A Daveau, F Maurice and JA Delgadillo. 1992. Seasonality of oestrus and ovulation is not modified by subjecting female Alpine goats to a tropical photoperiod. Small Rumin. Res. 8:299 312. 38

TN. Siregar dan T. Armansyah/Animal Production 11 (1) 34 39 Hafez B and ESE Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 59 63. Jimenez Krassel F, ME Winn, D Burns, JLH Ireland, and JJ Ireland. 2003. Evidence for a negative intrafollicular role for inhibin in regulation of estradiol production by granulosa cells. Endocrinology 144(5):1876 1886. Kaneko H, H Kishi, G Watanabe, K Taya, S Sasamoto, and Y Hasegawa. 1995.Changes in plasma concentration of immunoreactive inhibin, estradiol and FSH associated with follicular waves during the estrous cycle of the cow. J. Reprod. Dev. 42:311 320. Lammoglia MA, RE Short, SE Bellows, MD Macneil, and HD Hafs, 1998. Induced and synchronized estrus in cattle. J. Anim. Sci. 76:1662 1670. Manu AE. 1991. Pengaruh Pemberian PGF2 Alpha terhadap Sinkronisasi Birahi pada Ternak Kambing Kacang. Skripsi. Fapet, Undana. McCue PM, NJ Carney, P. Hughes, J Rivier, W Vale, and BL Lasley. 1992. Ovulation and embryo recovery rates following immunization of mare against an inhibin alpha subunit fragment. Theriogenology 38:823 831. Medan MS, G Watanabe, K Sasaki, S Sharawy, NP Groome, and K Taya. 2003. Ovarian dynamics and their association with peripheral concentrations of gonadotrophins, ovarians steroids, and inhibin during the estrous cycle in goats. Biol Reprod 69(1):57 63. Medan MS, S Akagi, H Kaneko, G Watanabe, CG Tsonis and K Taya. 2004. Effects of reimmunization of heifers against inhibin on hormonal profiles and ovulation rate. Reproduction 128: 475 482. Mngongo FOK. 1987. Doses of prostaglandin analogue cloprostanol intravulvasubmucosal (IVSM) injection effective for the induction oestrous in goats. Anim. Reprod. Sci. 14:139 146. Nuti LC, KN Bretzlaff, RG Elmore, SA Meyers, JN Regila, SP Brinsko, TL Blahohard, and PG Weston, 1992. Synchronization of oestrus in dairy goats treated with prostaglandin F2 alpha various of the oestrus cycle. Am. J. Vet. Res. 52:935 937. Partodihardjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara, Jakarta. Purwanti M. 1989. Superovulasi dan Panen Embrio pada Kambing Kacang. Tesis. PPS UGM. Putro PP. 1996. Teknik superovulasi untuk transfer embrio pada sapi. Bul. FKH UGM XIV (1): 1 20. Selvaraju S, SK Agarwal, SD Karche, and AC Majumdar. 2003. Ovarian response, embryo production and hormonal profile in superovulated goats treated with insulin. Theriogenology 59(5 6):1459 1468. Siregar TN. 2001. Tampilan reproduksi kambing lokal yang mengalami sinkronisasi birahi dengan prostaglandin F2 alpha dan kehadiran pejantan. Agripet 2(2):8 12. Siregar TN. 2002. Pengukuran profil progesteron sebagai suatu metode diagnosis kebuntingan dini dan kelahiran kembar pada domba lokal. Med. Ked. Hewan 18(2):73 77. Siregar TN, Aulanni am, T Susilawati, G Riady, Hamdan dan T Armansyah. 2005. Karakterisasi biokimiawi protein inhibin dari sel granulosa folikel ovarium kambing. Animal Production 8(2):100 107 Siregar TN, N Areuby, G Riady, dan Amiruddin. 2004. Efek pemberian PMSG terhadap respon ovarium dan kualitas embrio kambing lokal prepuber. Med. Ked. Hewan 20(3):108 112. Siregar TN, S Hartantyo, dan Sugijanto, 1999. Induksi ovulasi kambing kacang prepuber dengan PMSG dan hcg. Agrosains 12(1):35 48. Stell RGD.dan J Torrie. 1990. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sumandia IN. 1988. Transfer Embrio pada Kambing Kacang. Tesis. PPS UGM. Sumaprastowo M. 1980. Beternak Kambing yang Berhasil. Penerbit Angkasa Bandung:56 59. Sunaryo B. 1994. Pengaruh Penggunaan PGF2 Alpha dan GnRH Sintetik untuk Optimalisasi Hasil Inseminasi Buatan pada Kambing PE. Skripsi. FKH, UGM. Suyadi. 2003. Potensi Reproduksi Ternak Kambing dan Domba. Makalah Seminar Regional Prospek Pengembangan Ternak Kambing/Domba di Indonesia di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 25 Oktober 2003. Taya K, H Kaneko, T Takedomi, H Ishi, and G Watanabe, 1996. Role of inhibin in the regulation of FSH secretion and folliculogenesis in cows. Anim. Reprod. Sci. 42:563 570. Toelihere MR, 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. Triana IN, HA Permadi, H Soehartoyo, T Hermawati, dan S Susilowati. 1996. Pengaruh hormon MSA intravaginal sponges terhadap birahi dan ovulasi pada kambing kacang. Med. Ked. Hewan 12(2):103 108 Uly K. 1997. Respon Birahi dan Angka Kebuntingan Kambing PE dengan Pemberian PGF2 Alpha secara Intramuskular dan Intravulvasub mukosal. Tesis. PPS UGM. Weltz CK, ZA Smith, DK Pauler, and JA Hall. 2001. Differential regulation of inhibin and reproductive health. J. Clin. Endocr. and Metabolism 86:2531 2537. 39