PEDOMAN PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI WILAYAH KOTA/KAWASAN PERKOTAAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

PEDOMAN PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (Permen PU 06/2007)

Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau. Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars.

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG TERBUKA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MENUJU SUSTAINABLE OF UNIVERSITY

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

Studi Peran & Efektifitas RTH Publik di Kota Karanganyar Isnaeny Adhi Nurmasari I BAB I PENDAHULUAN

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

RENCANA PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA, SERTA PRASARANA DAN SARANA UMUM

Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Kebutuhan Terhadap Pedoman Pejalan Kaki

Penjelasan Substansi. Dokumen Lengkap, ada pada BAB IV

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

BUPATI BANGKA TENGAH

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

HIRARKI ANTARA PERENCANAAN WILAYAH KAB/KOTA DENGAN PERANCANGAN KOTA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

V. KONSEP Konsep Dasar Pengembangan Konsep

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 4 ANALISIS

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom

PERENCANAAN BLOK PLAN

Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah:

BAB II KETENTUAN UMUM

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.

Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo. Dirthasia G. Putri

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TAHUN 2016 TENTANG

BAB V RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Pemerintah Kota Bandung dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan sosial

BUPATI SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG

Syarat Bangunan Gedung

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

BAB IV PANDUAN KONSEP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Apa saja Struktur Ruang dan Pola Ruang itu??? Menu pembangunan atau produk dokumen yang kita buat selama ini ada dibagian mana??

WALIKOTA PROBOLINGGO

terendam akibat dari naiknya muka air laut/rob akibat dari penurunan muka air tanah.

PROFIL DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA PEKANBARU TA.2017 BIDANG KAWASAN PERMUKIMAN

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

LAMPIRAN V KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KOTA MEDAN. Kualitas yang diharapkan

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

2. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak (Kamus Tata Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997).

ANALISA PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU PERKOTAAN, STUDI KASUS KOTA MARTAPURA

KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Laporan Penelitian Evaluasi Taman Kota 1 Bumi Serpong Damai Berdasarkan Green Flag Award TINJAUAN PUSTAKA. Gambar II.

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEWA DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR EKOLOGIS

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Ruang terbuka Publik berasal dari bahasa latin platea yang berarti jalur

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MERAUKE

KETENTUAN PRASARANA DAN SARANA MINIMAL

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ACUAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERUMAHAN TAPAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

ANALISIS MENGENAI TAMAN MENTENG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERENCANAAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI KOTA TIDORE KEPULAUAN DENGAN METODE PARTICIPATORY PLANNING

BAB VI KESIMPULAN. berdasarkan kebutuhan pengguna? 6.1 Penilaian Pengguna Mengenai Komponen Setting Fisik Ruang Terbuka Publik Kawasan Eks MTQ

Transkripsi:

PEDOMAN PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI WILAYAH KOTA/KAWASAN PERKOTAAN PERMEN PU NO. 12/PRT/M 2009 D i r e k t o r a t Pe n a t a a n R u a n g N a s i o n a l D i r e k t o r a t J e n d e r a l Pe n a t a a n R u a n g D e p a r t e m e n Pe ke r j a a n U m u m

LATAR BELAKANG 1. Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. 2. Mengingat pentingnya peran ruang terbuka (ruang terbuka hijau maupun ruang terbuka non hijau) dalam penataan ruang kota maka ketentuan mengenai hal tersebut perlu diatur. 3. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 31 juga diamanatkan perlunya ketentuan mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau. 4. Pada Tahun Anggaran 2008 telah ditetapkan Permen PU No. 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH). 5. Pada Tahun Anggaran 2009 ini telah ditetapkan Permen PU No. 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Wilayah Perkotaan/Kawasan Perkotaan.

DEFINISI RTH 1. Ruang Terbuka (UU 26/07) ruang yang secara fisik bersifat terbuka, dengan kata lain ruang yang berada di luar ruang tertutup (bangunan) 2. Ruang Terbuka Hijau 3. Ruang Terbuka Non Hijau (kata kunci) ruang terbuka yang ditumbuhi tanaman (UU 26/07). Sehingga ruang terbuka yang tidak ditumbuhi tanaman tidak dapat digolongkan sebagai RTH. (Pedoman RTH) ruang terbuka di bagian wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.

DEFINISI RTH 4. Kesimpulan a. Berdasarkan berbagai penjabaran dan diskusi dari berbagai pengertian di atas, berikut kesimpulan yang dapat diambil mengenai pengertian RTNH secara definitif. b. Ruang Terbuka Non Hijau: ruang yang secara fisik bukan berbentuk bangunan gedung dan tidak dominan ditumbuhi tanaman ataupun permukaan berpori, dapat berupa perkerasan, badan air ataupun kondisi tertentu lainnya (misalnya badan lumpur, pasir, gurun, cadas, kapur, dan lain sebagainya). c. Secara definitif, Ruang Terbuka Non Hijau selanjutnya dapat dibagi menjadi Ruang Terbuka Perkerasan (paved), Ruang Terbuka Biru (badan air) serta Ruang Terbuka Kondisi Tertentu Lainnya.

KEDUDUKAN PEDOMAN RTNH DALAM RTR 1. Diagram Kedudukan 2. Kedalaman

RASIONAL PENYELENGGARAAN RTNH RTH UU 26/2007 RTNH Konvensi Rio de Janeiro Kebutuhan Ekologis Kebutuhan Ruang Aktivitas Sosial Tuntutan Historis Pedoman RTH Kedudukan Sejajar Bersifat Komplementer Pedoman RTNH Pengkondisian yang lebih baik pada permukaan tanah dengan perkerasan (selain RTH), agar dapat dimanfaatkan sebagai ruang bagi aktivitas manusia Standar Penyediaan RTH Kriteria Penyediaan Vegetasi Arahan Pemanfaatan RTH Standar Penyediaan RTNH Kriteria Penyediaan Perkerasan Arahan Pemanfaatan RTNH Dengan pengaturan kriteria perkerasan maka keberadaan RTNH akan mendukung fungsi ekologis RTH

FUNGSI RTNH Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009 1. Fungsi Intrinsik RTNH 2. Fungsi Ekstrinsik RTNH 1. Fungsi Sosial Budaya a. Wadah bagi aktifitas sosial budaya masyarakat wilayah kota/kawasan perkotaan di b. Wadah bagi ekspresi budaya lokal c. Ruang bagi komunikasi warga kota d. Ruang olah raga dan rekreasi e. Ruang untuk kegiatan pendidikan, penelitian.

1. Fungsi Intrinsik RTNH 2. Fungsi Ekstrinsik RTNH 1. Ekologis a. sistem sirkulasi udara dan air secara alami berlangsung lancar (sebagai suatu ruang terbuka) dapat b. penyerap air hujan (dengan bantuan utilisasi dan jenis bahan penutup tanah), sehingga mampu ikut membantu mengatasi permasalahan banjir dan kekeringan 2. Arsitektural dan Estetika a. meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan; b. menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota; c. Pembentuk faktor keindahan arsitektural; d. menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. 3. Ekonomis a. Memiliki nilai jual dari lahan yang tersedia, misalnya sarana parkir, sarana olahraga, sarana bermain, dan lain sebagainya 4. Darurat a. RTNH harus memiliki fungsi juga sebagai jalur evakuasi penyelamatan pada saat bencana alam. b. RTNH secara fungsional dapat disediakan sebagai lokasi penyelamatan berupa ruang terbuka perkerasan yang merupakan tempat berkumpulnya massa (assembly point) pada saat bencana. Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009

MANFAAT RTNH 1. Manfaat RTNH Secara Langsung 2. Manfaat RTNH Secara Tidak Langsung manfaat yang dalam jangka panjang baru dapat dirasakan, antara lain : a. mereduksi permasalahan dan konflik sosial, b. meningkatkan produktivitas masyarakat, c. pelestarian lingkungan, d. meningkatkan nilai ekonomis lahan disekitarnya, e. dan lain-lain.

PENDEKATAN PEMAHAMAN RTNH 1. RTNH Berdasarkan Struktur & Pola Pemanfaatan 2. RTNH Berdasarkan Kepemilikan 3. RTNH Berdasarkan Fungsi 4. RTNH Berdasarkan Fisik 1. Secara Hirarkis a. RTNH skala Kabupaten/Kota b. RTNH skala Kecamatan c. RTNH skala Kelurahan d. RTNH skala Lingkungan (RW dan RT) 2. Secara Fungsional a. RTNH pada Lingkungan Bangunan Hunian b. RTNH pada Lingkungan Bangunan Komersial c. RTNH pada Lingkungan Bangunan Sosial Budaya d. RTNH pada Lingkungan Bangunan Pendidikan e. RTNH pada Lingkungan Bangunan Olahraga f. RTNH pada Lingkungan Bangunan Kesehatan g. RTNH pada Lingkungan Bangunan Transportasi

PENDEKATAN PEMAHAMAN RTNH 1. RTNH Berdasarkan Struktur & Pola Pemanfaatan 2. RTNH Berdasarkan Kepemilikan 3. RTNH Berdasarkan Fungsi 4. RTNH Berdasarkan Fisik 1. Sosial Budaya, yaitu tempat aktivitas sosial masyarakat 2. Ekologis, yaitu memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan 3. Arsitektural dan Estetika, yaitu meningkatkan estetika kawasan ( plaza, penempatan elemen-elemen pendukung RTNH) 4. Ekonomi, yaitu meningkatkan nilai RTNH dengan mengakomodasi aktivitas ekonomi (formal & informal)

TIPE-TIPE RTNH 1. Plasa 2. Parkir 3. Lapangan OR 4. Tempat Bermain 5. Pembatas/Median (Buffer) 6. Koridor

SKEMA KEDUDUKAN RTNH DI PERKOTAAN Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009 Wilayah Kota/ Kawasan Perkotaan KDB 1. Diagram 2. Pengaturan Luasan Ruang Tertutup (Bangunan Gedung) Ruang Terbuka (secara fisik) = KDB x L = (1-KDB) x L Ruang Terbuka Hijau (> 30%) KDH Ruang Terbuka Non Hijau = KDH x (1-KDB) x L = (1-KDH) x {(1-KDB) x L} 3. Pembatasan Pengaturan 4. Keterkaitan dengan Aturan Lainnya RTH Privat (> 20 %) taman kota taman pemakaman umum jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai RTH Publik (> 10 %) kebun halaman Dll Linier Pembatas/ Median Koridor Dll Koridor RT Perkerasan (Paved) Non Linier Plasa Parkir Lapanga n OR Tempat Bermain RT Biru (Badan Air) Laut Sungai Danau Waduk Situ Dll RT Kondisi Tertentu Lainnya Lumpur Gurun Cadas Kapur Dll Dll Dll

SKEMA KEDUDUKAN RTNH DI PERKOTAAN 1. Diagram 2. Pengaturan Luasan 3. Pembatasan Pengaturan 4. Keterkaitan dengan Aturan Lainnya 1. Berdasarkan skema kedudukan RTNH dalam wilayah kota/kawasan perkotaan, dapat diindikasi bahwa Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau hanya dibatasi pada pengaturan Ruang Terbuka Perkerasan (Paved). Sedangkan untuk Ruang Terbuka Biru, walaupun termasuk dalam kategori RTNH, tidak akan diatur dalam pedoman ini namun akan diatur secara terpisah oleh Direktorat Jenderal SDA. Demikian juga halnya dengan Ruang Terbuka Kondisi Tertentu lainnya, yang diindikasi sebagai RTNH alami, tidak akan diatur dalam pedoman ini karena kategori RTNH tersebut bukan merupakan RTNH binaan/buatan. 2. Pada skema kedudukan RTNH dalam wilayah kota/kawasan perkotaan batasan substansi pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTNH seperti yang digambarkan dalam persegi dengan garis putus-putus.

PENYEDIAAN RTNH DI PERKOTAAN Secara Hirarkis Secara Linier Secara Fungsional 1. Skema 2. Konteks Struktural & Pola Pemanfaatan RTNH pada Wilayah Kota/ Kawasan Perkotaan RTNH pada Kawasan Kecamatan RTNH pada Kawasan Kelurahan RTNH pada Lingkungan RW RTNH pada Jalan Arteri RTNH pada Jalan Kolektor RTNH pada Jalan Lokal RTNH pada Jalan Lingkungan Alun-alun Kota, Plaza Bangunan Ibadah, dll Alun-alun Kecamatan, Plaza Bangunan Ibadah, dll Alun-alun Kelurahan, Plaza Bangunan Ibadah, dll Taman dan Lapangan RW, dll RTNH pada bangunanbangunan fungsional di setiap skala pelayanannya (skala kota, kecamatan, kelurahan, lingkungan RW dan RT), seperti: a Bangunan Hunian b Bangunan Komersial c Bangunan Sosial Budaya d Bangunan Pendidikan e Bangunan Olahraga f Bangunan Kesehatan g Bangunan Transportasi RTNH pada Lingkungan RT Taman dan Lapangan RT, dll

PENYEDIAAN RTNH DI PERKOTAAN 1. Skema 2. Konteks Struktural & Pola Pemanfaatan 1. Penyediaan RTNH pada skala Kota/Kawasan Perkotaan (City Wide) dilakukan dengan mempertimbangkan Struktur dan Pola-Pola Pemanfaatan. 2. Secara hirarkis dari yang terendah, skala pelayanan kegiatan fungsional suatu kota dapat dimulai dari skala lingkungan, yaitu RT, RW dan Kelurahan, pada skala kawasan terdapat skala Kecamatan sampai dengan skala tertinggi yaitu Kota. Berdasarkan hirarki skala pelayanan kegiatan fungsional tersebut, RTNH disediakan berdasarkan proporsi kebutuhannya yang diindikasi berdasarkan jumlah populasi dan luas area pada setiap tingkatannya. 3. Ruang-ruang aktivitas fungsional tersebut dihubungkan oleh jaringan jalan (linkage) yang membentuk suatu hubungan kegiatan sesuai dengan hirarkinya. Pada jaringan-jaringan jalan tersebut RTNH disediakan untuk mengakomodasi kebutuhan aksesibilitas manusia dalam bentuk linier. 4. Ruang-ruang aktivitas fungsional dapat terdiri dari berbagai jenis kegiatan didalamnya, misalnya Hunian, Komersial, Sosial Budaya, Pendidikan, Olahraga, Kesehatan dan lain-lain. Dalam ruang-ruang aktivitas fungsional tersebut, RTNH disediakan sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan yang berlaku untuk menunjang keberlangsungan kegiatan yang terjadi.

PENYEDIAAN RTNH DI PERKOTAAN Keterangan Skala Pusat Kota 1. Skema 2. Konteks Struktural & Pola Pemanfaatan Skala Kawasan (Fungsi) Skala Sub Kawasan Aksesibilitas dengan hirarkinya

ARAHAN DAN KRITERIA PENYEDIAAN RTNH 1. Pada Lingkungan Bangunan 2. Pada Skala Sub Kawasan dan Kawasan 3. Pada Wilayah Kota/Perkotaan 4. Pada Fungsi Tertentu 5. Parkir 1. Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. 2. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA. 3. Pekarangan bangunan merupakan ruang terbuka yang terdiri dari RTH dan RTNH, yang masing-masing dapat diperhitungkan sesuai dengan koefisien dasar hijau (KDH) yang berlaku.

ARAHAN DAN KRITERIA PENYEDIAAN RTNH 1. Pada Lingkungan Bangunan 2. Pada Skala Sub Kawasan dan Kawasan 3. Pada Wilayah Kota/Perkotaan 4. Pada Fungsi Tertentu 1. Pada suatu lahan/kavling 100 m2, dengan KDB 60% maka luas dasar bangunan maksimal yang diperbolehkan adalah seluas 60m2, sedangkan luas ruang terbukanya adalah 40m2. 2. Bila ditentukan KDH pada lokasi tersebut adalah 30% (minimal), berikut simulasi perhitungan RTH dan RTNH 5. Parkir Berdasarkan perhitungan diatas, maka ketentuan UU 26/07 bahwa untuk lingkungan bangunan privat minimal 10% telah terpenuhi untuk kedua model pendekatan/perhitungan Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009

ARAHAN DAN KRITERIA PENYEDIAAN RTNH 1. Pada Lingkungan Bangunan 2. Pada Skala Sub Kawasan dan Kawasan 3. Pada Wilayah Kota/Perkotaan 4. Pada Fungsi Tertentu 5. Parkir Pada skala sub-kawasan dan kawasan terdapat beberapa hirarki RTNH yang disesuaikan dengan standar yang ada, yaitu : a. RTNH skala Rukun Tetangga (Lapangan RT) b. RTNH skala Rukun Warga (Lapangan RW) c. RTNH skala Kelurahan (Lapangan/Alun-Alun Kelurahan) d. RTNH skala Kecamatan (Lapangan/Alun-Alun Kecamatan)

ARAHAN DAN KRITERIA PENYEDIAAN RTNH 1. Pada Lingkungan Bangunan 2. Pada Skala Sub Kawasan dan Kawasan 3. Pada Wilayah Kota/Perkotaan 4. Pada Fungsi Tertentu Pada skala Kota, penyediaan RTNH diarahkan pada beberapa bentuk antara lain: a. Alun-Alun Pusat Pemerintahan b. Plasa Bangunan Ibadah c. Plasa Monumen/ Landmark d. Bawah Jalan Layang/ Jembatan 5. Parkir

ARAHAN DAN KRITERIA PENYEDIAAN RTNH 1. Pada Lingkungan Bangunan 2. Pada Skala Sub Kawasan dan Kawasan 3. Pada Wilayah Kota/Perkotaan 4. Pada Fungsi Tertentu Pada fungsi lain yang tertentu, RTNH disediakan dalam beberapa bentuk, antara lain: a. Jalur Pembatas (Buffer) b. Pemakaman c. Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) 5. Parkir

ARAHAN DAN KRITERIA PENYEDIAAN RTNH 1. Pada Lingkungan Bangunan 1. Luas lahan parkir (bruto) = 3% x luas daerah yang dilayani 2. Pada Skala Sub Kawasan dan Kawasan 3. Pada Wilayah Kota/Perkotaan 4. Pada Fungsi Tertentu 5. Parkir

PERENCANAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS PADA RTNH PLASA ATAU ALUN-ALUN 1. Kemudahan Percepatan 2. Estetika 3. Efektivitas Biaya 4. Fungsional/ Operasional 5. Keselamatan 6. Keberlanjutan 1. Tonggak-tonggak dan elemen lansekap : Untuk menghindari masuknya kendaraan dan peralatan ke area plasa dari jalan umum sekitar, maka direkomendasikan dipasang penghalang sepanjang batas Plasa. 2. Bak kontrol: Dihindari penempatan bak kontrol pada Plasa dan area jalan masuk, khususnya di sepanjang jalur jalan orang. 3. Perencanaan lokasi: Jalan masuk Plasa harus mempunyai kemiringan minimum 1% dan maximum 5% untuk memberi aliran air hujan di permukaan yang baik. 4. Manajemen Air: Untuk area diperkeras dekat dengan bangunan sekitar, diperlukan kemiringan minimum 2% dari garis curb, inlet atau jalur drainase ke bangunan untuk mendapatkan drainase yang positif dari air permukaan. 5. Daya simpan air: Penggunaan air harus dijaga agar rendah, khususnya pada musim kemarau dimana tingkat penguapan tinggi. Harus disediakan sumber air air mancur maupun perawatan tanaman dalam area Plasa. 6. Rak sepeda: Disarankan Plasa dilengkapi dengan rak sepeda dengan jumlah sekitar 5% dari jumlah orang di bangunan sekitar. Penyediaan tempat parkir sepeda yang baik dan aman mendorong penggunaan sepeda untuk kelestarian lingkungan.

PEMANFAATAN RTNH BERDASARKAN TIPOLOGINYA 1. Plasa 2. Parkir 3. Lapangan Olahraga 4. Tempat Bermain dan Rekreasi 5. Pembatas/ Median (Buffer) 6. Koridor 1. Fungsi utama parkir pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai aktivitas ekonomis, yaitu aktivitas yang memiliki atau memberikan nilai ekonomis tertentu. 2. Parkir dapat juga mengakomodir fungsi-fungsi pelengkap lainnya, misalnya: a. Fungsi ekologis, misalnya dengan menanami parkir dengan berbagai jenis vegetasi dengan menggunakan pot atau bak tanaman. b. Fungsi estetika, misalnya dengan melengkapi area parkir dengan berbagai ornamen fungsional ataupun estetis 3. Area parkir umumnya hanya digunakan pada siang hari (jam kerja), sedangkan pada malam hari cenderung kosong (pasif). 4. Oleh karena itu, pada saat-saat tertentu (insidentil), area parkir pada dasarnya dapat juga dimanfaatkan dengan berbagai aktivitas pelengkapnya, seperti: a. Aktivitas ekonomis, misalnya difungsikan sebagai aktivitas informal yaitu pedagang kaki lima pada malam hari atau hari libur, sehingga meningkatkan atau memperpanjang waktu (durasi) guna/manfaat dari suatu lahan. b. Aktivitas sosial budaya, misalnya difungsikan untuk aktivitas massal pada saat-saat tertentu, seperti upacara bendera, shalat idul fitri dan lain-lain. c. Aktivitas darurat, misalnya aktivitas berkumpulnya masyarakat (assembly point) dalam upaya penyelamatan diri dari bahaya bencana.

PEMANFAATAN RTNH BERDASARKAN TIPOLOGINYA Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009 1. Plasa 2. Parkir 3. Lapangan Olahraga 4. Tempat Bermain dan Rekreasi 5. Pembatas/ Median (Buffer) 6. Koridor 1. Lapangan olahraga dalam konteks RTNH ini secara khusus mengacu pada aktivitas olahraga tertentu yang spesifik dengan spesifikasi perkerasan, dimensi dan garis lapangan tertentu, misalnya lapangan basket, lapangan bulu tangkis, lapangan voli, lapangan tenis, lapangan futsal, dan lain-lain. Karena lapangan olahraga ini bersifat spesifik maka dalam pemanfaatannya pun bersifat spesifik. 2. Dalam konteks lapangan olahraga yang bersifat privat namun dimanfaatkan untuk publik dengan cara disewakan merupakan bentuk pemanfaatan yang termasuk dalam kategori fungsi ekonomis, karena mampu memberikan keuntungan ekonomis pada pemiliknya. 3. Sedangkan pada saat-saat tertentu (insidentil), lapangan olahraga dapat juga dimanfaatkan dengan berbagai aktivitas lainnya, yaitu untuk juga mewadahi berbagai aktivitas yang tergolong dalam: a. Aktivitas sosial budaya, misalnya difungsikan untuk aktivitas massal pada saat-saat tertentu, seperti upacara bendera, shalat idul fitri dan lain-lain. b. Aktivitas darurat, misalnya aktivitas berkumpulnya masyarakat (assembly point) dalam upaya penyelamatan diri dari bahaya bencana.

PROSEDUR PENYELENGGARAAN 1. penyediaan RTNH harus disesuaikan dengan peruntukan yang telah ditentukan dalam rencana tata ruang; 2. penyediaan dan pemanfaatan RTNH publik yang dilaksanakan oleh pemerintah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; 3. tahapan penyediaan dan pemanfaatan RTNH publik meliputi: a. perencanaan b. pengadaan lahan c. perancangan teknik d. pelaksanaan pembangunan RTNH e. pemanfaatan dan pemeliharaan 4. penyediaan dan pemanfaatan RTNH privat yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk pengembang disesuaikan dengan ketentuan perijinan pembangunan; 5. pemanfaatan RTNH untuk penggunaan lain seperti pemasangan reklame (billboard) atau reklame 3 dimensi, harus memperhatikan halhal sebagai berikut: a. mengikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku pada masing-masing daerah; b. tidak menyebabkan gangguan tehadap pertumbuhan tanaman misalnya menghalangi penyinaran matahari atau pemangkasan tanaman yang dapat merusak keutuhan bentuk tajuknya; c. tidak mengganggu kualitas visual dari dan ke RTNH; d. memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan pengguna RTNH; e. tidak mengganggu fungsi utama RTNH yaitu fungsi sosial, ekologis dan estetis

PERAN MASYARAKAT Perencanaan Pemanfaatan dan Pengendalian Pengambilan Keputusan RTNH Rencana Pemanfaatan Pelaksanaan Pemanfaatan Pasca Pelaksanaan Sangat Mempengaruhi Pelibatan Pelibatan Pelibatan Mempengaruhi Skala Keterlibatan

IDENTIFIKASI PIHAK TERKAIT (STAKEHOLDER) 1. Individu/ Kelompok 2. Swasta 3. Lembaga/ Badan Hukum 1. Lembaga atau badan hukum yang dimaksud merupakan Organisasi non-pemerintah, atau organisasi lain yang serupa berperan utama sebagai perantara, pendamping, menghubungkan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, dalam rangka mengatasi kesenjangan komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat serta akses masyarakat ke sumber daya. 2. Organisasi yang memiliki peran dan posisi penting dalam mempengaruhi, menyusun, melaksanakan, mengawasi kebijakan pemanfaatan ruang perkotaan, antara lain: a. DPRD b. BKPRD c. Asosiasi Profesi d. Perguruan Tinggi e. Lembaga Donor f. Organisasi Kemasyarakatan Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009

PENGHARGAAN DAN KOMPENSASI Penghargaan dan kompensasi dalam peningkatan kesadaran masyarakat terhadap RTNH dapat berupa: a. Piagam penghargaan yang di keluarkan oleh lembaga swadaya masyarakat pemerhati RTNH/lingkungan, perguruan tinggi, unsur kewilayahan seperti RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan. Instansi yang terkait dengan pengeloaan RTNH/lingkungan hidup, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. b. Pencantuman nama, baik perorangan, lembaga atau perusahaan dalam ukuran yang wajar dan tidak mengganggu keindahan, sebagai kontributor dalam penyediaan RTNH tersebut, dengan persetujuan tertulis dari instansi pengelolanya, sesuai dengan peraturan yang berlaku di wilayah tersebut.

MATRIKULASI PLASA BERDASARKAN HIRARKI WILAYAH RT RW Desa/Kelurahan/ Kota Kecil Kecamatan/ Kota Sedang Wilayah Kota/ Kota Besar Metropolitan Megapolitan Conurbation (Tidak Ditentukan) Luas min 250m2, berada pada radius <300m dari setiap rumah yang dilayani Fungsi utama aktivitas sosial masyarakat, dan fungsi tambahan ekonomi, ekologis, arsitektural, serta fungsi darurat Luas min 1.250m2, berada pada radius <1.000m dari setiap rumah yang dilayani Fungsi utama aktivitas sosial masyarakat, dan fungsi tambahan ekonomi, ekologis, arsitektural, serta fungsi darurat Luas min 9.000m2, berada pada pusat lingkungan desa/kel. (kantor desa/kel.) Fungsi utama aktivitas sosial masyarakat, dan fungsi tambahan ekonomi, ekologis, arsitektural, serta fungsi darurat Luas min 24.000m2, berada pada pusat lingkungan kecamatan (kantor kec) Fungsi utama aktivitas sosial masyarakat, dan fungsi tambahan ekonomi, ekologis, arsitektural, serta fungsi darurat Plasa pada wilayah kota/kota besar memiliki luas min 100.000m2, berada pada pusat kota/pusat pemerintahan. juga plasa monumen dengan luas tertentu (sesuai kebutuhan) yang terletak di lokasi-lokasi yang memiliki nilai historis Plasa pada wilayah kota/kota besar memiliki luas min 200.000m2, berada pada pusat kota/pusat pemerintahan. juga plasa monumen dengan luas tertentu (sesuai kebutuhan) yang terletak di lokasi-lokasi yang memiliki nilai historis Plasa pada wilayah kota/kota besar memiliki luas min 1.600.000m2, berada pada pusat kota/pusat pemerintahan. juga plasa monumen dengan luas tertentu (sesuai kebutuhan) yang terletak di lokasi-lokasi yang memiliki nilai historis Terletak di pusat kota yg merupakan bagian dari kesatuan wilayah conurbation Luas setiap area plasa disesuaikan dengan standar kebutuhan plasa setiap kota Fungsi utama sebagai ruang aktivitas sosial masyarakat

MATRIKULASI PARKIR BERDASARKAN HIRARKI WILAYAH RT RW Desa/Kelurahan/ Kota Kecil Kecamatan/ Kota Sedang Wilayah Kota/ Kota Besar Metropolitan Megapolitan Conurbation (Tidak Ditentukan) Luas 100m2 di setiap pusat lingkungan RT Fungsi utama sebagai lahan parkir komunal lingkungan RT, juga sekaligus berfungsi sebagai pangkalan sementara kendaraan angkutan publik Luas 400m2 di setiap pusat lingkungan RW Fungsi utama sebagai lahan parkir komunal lingkungan RW, juga sekaligus berfungsi sebagai pangkalan sementara kendaraan angkutan publik Luas 2.000m2 di setiap pusat lingkungan desa/kelurahan Dipisahkan dengan terminal kelurahan (seluas 1.000m2) dan pangkalan oplet/angkot seluas 200m2) Luas 4.000m2 di setiap pusat lingkungan kecamatan Dipisahkan dengan terminal kecamatan (seluas 2.000m2) dan pangkalan oplet/angkot seluas 500m2) Luas 30.000m2 (atau 3% dari luas daerah yang dilayani), terletak di pusat kota Dipisahkan dengan terminal kota dengan luas sesuai standar yang berlaku sesuai dengan sistem kota Luas 60.000m2 (atau 3% dari luas daerah yang dilayani), terletak di pusat kota Dipisahkan dengan terminal kota dengan luas sesuai standar yang berlaku sesuai dengan sistem kota Luas 480.000m2 (atau 3% dari luas daerah yang dilayani), terletak di pusat kota Dipisahkan dengan terminal kota dengan luas sesuai standar yang berlaku sesuai dengan sistem kota Luas setiap lahan parkir disesuaikan dgn standar kebutuhan parkir komunal setiap kota Masing-masing dipisahkan dengan terminal kota dengan luas sesuai standar yang berlaku sesuai dengan sistem kota

MATRIKULASI LAP OLAHRAGA BERDASARKAN HIRARKI WILAYAH RT RW Desa/Kelurahan/ Kota Kecil Kecamatan/ Kota Sedang Wilayah Kota/ Kota Besar Metropolitan Megapolitan Conurbation (Tidak Ditentukan) Lapangan olahraga untuk skala RT dapat memanfaatkan secara bersama area plasa RT yang memiliki luas minimal 250m2 Olahraga yang dapat diakomodasi yaitu bulutangkis, voli, basket atau senam Lapangan olahraga untuk skala RW dapat memanfaatkan secara bersama area plasa RW yang memiliki luas minimal 1.250m2 Olahraga yang dapat diakomodasi yaitu bulutangkis, voli, basket atau senam Lapangan olahraga untuk skala desa/kelurahan dapat memanfaatkan secara bersama area plasa desa/kelurahan yang memiliki luas minimal 9.000m2 Aktivitas olahraga lainnya yaitu jogging track, tenis, futsal atau beladiri Lapangan olahraga untuk skala kecamatan dapat memanfaatkan secara bersama area plasa kecamatan yang memiliki luas minimal 24.000m2 Aktivitas olahraga lainnya yaitu jogging track, tenis, futsal atau beladiri Lap olahraga untuk skala kota besar dapat memanfaatkan secara bersama area plasa kota besar yang memiliki luas minimal 100.000m2 Aktivitas olahraga lainnya yaitu atletik, balap motor, mobil, atau sepeda Lapangan olahraga untuk skala kota metropolitan dapat memanfaatkan secara bersama area plasa kota besar yang memiliki luas minimal 200.000m2 Aktivitas olahraga lainnya yaitu atletik, balap motor, mobil, atau sepeda Lapangan olahraga untuk skala kota megapolitan dapat memanfaatkan secara bersama area plasa kota besar yang memiliki luas minimal 1.600.000m2 Aktivitas olahraga lainnya yaitu atletik, balap motor, mobil, atau sepeda Luas setiap lapangan olahraga disesuaikan dengan standar kebutuhan lapangan olahraga setiap kota Aktivitas olahraga yang dapat diakomodasi pada area RTNH disesuaikan dengan hirarki setiap kotanya

MATRIKULASI TEMPAT BERMAIN BERDASARKAN HIRARKI WILAYAH Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009 RT RW Desa/Kelurahan/ Kota Kecil Kecamatan/ Kota Sedang Wilayah Kota/ Kota Besar Metropolitan Megapolitan Conurbation (Tidak Ditentukan) Tempat bermain untuk skala RT dapat memanfaatkan secara bersama area plasa RT yang memiliki luas minimal 250m2 Perlu dilengkapi dengan beberapa bentuk peralatan bermain sederhana Tempat bermain untuk skala RW dapat memanfaatkan secara bersama area plasa RW yang memiliki luas minimal 1.250m2 Perlu dilengkapi dengan beberapa bentuk peralatan bermain sederhana Tempat bermain untuk skala desa/kelurahan dapat memanfaatkan secara bersama area plasa desa/kelurahan yang memiliki luas minimal 9.000m2 Perlu dilengkapi dengan beberapa bentuk peralatan bermain sederhana Tempat bermain untuk skala kecamatan dapat memanfaatkan secara bersama area plasa kecamatan yang memiliki luas minimal 24.000m2 Perlu dilengkapi dengan beberapa bentuk peralatan bermain sederhana Tempat bermain untuk skala kota besar dapat memanfaatkan secara bersama area plasa kota besar yang memiliki luas minimal 100.000m2 Perlu dilengkapi dengan beberapa bentuk peralatan bermain sederhana Tempat bermain untuk skala kota metropolitan dapat memanfaatkan secara bersama area plasa kota metropolitan yang memiliki luas minimal 200.000m2 Perlu dilengkapi dengan beberapa bentuk peralatan bermain sederhana Tempat bermain untuk skala kota megapolitan dapat memanfaatkan secara bersama area plasa kota metropolitan yang memiliki luas minimal 1.600.000m2 Perlu dilengkapi dengan beberapa bentuk peralatan bermain sederhana Luas setiap taman bermain disesuaikan dengan standar kebutuhan aktivitas bermain setiap kota Aktivitas bermain yang dapat diakomodasi pada area RTNH disesuaikan dengan hirarki setiap kotanya

MATRIKULASI PEMBATAS BERDASARKAN HIRARKI WILAYAH Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009 RT Pembatas antar rumah, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan permukiman RT tertentu RW Pembatas antar lingkungan RW, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan RW tertentu Desa/Kelurahan/ Kota Kecil Kecamatan/ Kota Sedang Wilayah Kota/ Kota Besar Metropolitan Megapolitan Conurbation (Tidak Ditentukan) Pembatas antar lingkungan desa/kelurahan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan tertentu Pembatas antar lingkungan kecamatan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan tertentu Pembatas antar wilayah kota/perkotaan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan tertentu Pembatas antar wilayah kota/perkotaan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan tertentu Pembatas antar wilayah kota/perkotaan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan tertentu Pembatas antar wilayah kota/perkotaan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan tertentu

MATRIKULASI KORIDOR BERDASARKAN HIRARKI WILAYAH Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Dit. Tarunas, Ditjen. Taru, Dept. PU, 2009 RT Koridor pada skala RT dapat berupa jalur sirkulasi antar rumah, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan permukiman RT tertentu RW Desa/Kelurahan/ Kota Kecil Kecamatan/ Kota Sedang Wilayah Kota/ Kota Besar Metropolitan Megapolitan Conurbation (Tidak Ditentukan) Koridor pada skala RW dapat berupa jalur sirkulasi antar bangunan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan permukiman RW tertentu Koridor pada skala desa/kelurahan dapat berupa jalur sirkulasi antar bangunan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan permukiman RW tertentu Koridor pada skala kecamatan dapat berupa jalur sirkulasi antar bangunan, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan permukiman desa/kelurahan tertentu Koridor pada skala kota besar dapat berupa jalur sirkulasi antar bangunan atau antara satu fungsi dengan fungsi lainnya, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem lingkungan permukiman kecamatan tertentu Koridor pada skala metropolitan dapat berupa jalur sirkulasi antar bangunan atau antara satu fungsi dengan fungsi lainnya, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem kota tertentu Koridor pada skala megapolitan dapat berupa jalur sirkulasi antar bangunan atau antara satu fungsi dengan fungsi lainnya, dengan luasan dan perletakan disesuaikan dengan sistem kota tertentu Koridor terletak di setiap kota yang merupakan bagian dari kesatuan wilayah conurbation sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan sistem kotanya masingmasing

SEKIAN DAN TERIMA KASIH