PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN, DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1977 tanggal 16 Maret 1977

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER JILID I ( DASAR DASAR TEORI)

LEMBARAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA NOMOR : 10 TAHUN : 1996 SERI : D NO : 10 PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2000 T E N T A N G RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1994 SERI D NO. 1

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1977 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1973

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA MAGELANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG. Nomor : 3 Tahun 1985 Seri B No. 2 Pada tanggal 21 Januari 1985 S A L I N A N

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN (DICABUT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DAN LALU LINTAS TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1977

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PENGELOLAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR : 6 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009 BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 11 Tahun 2008 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

Nomor 162 Berita Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2009 WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR : 162 TAHUN 2009

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG IZIN USAHA PEMOTONGAN HEWAN, PENJUALAN DAGING HEWAN DAN USAHA PEMOTONGAN UNGGAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 06 TAHUN 2007 TENTANG USAHA PETERNAKAN DAN PENERTIBAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PAJAK POTONG HEWAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

NOMOR 6 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG ALAT DAN MESIN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH LAUT,

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

USAHA PETERNAKAN DAN PEMELIHARAAN TERNAK

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 2 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN DAN PEMOTONGAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1975 TENTANG IZIN PEMAKAIAN ZAT RADIOAKTIF DAN ATAU SUMBER RADIASI LAINNYA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 17

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 102 TAHUN 2001 SERI D.99 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 27 TAHUN 2001 TENTANG

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 1992 TENTANG OBAT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTAMADYA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA) Nomor 5 Tahun 1972 (5/1972) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTAMADYA YOGYAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II BANDUNG NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENGUJIAN MUTU KOMODITI PERTANIAN

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN HEWAN DAN PENANGANAN DAGING

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 141 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

2012, No.72 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1975 TENTANG KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN [LN 2009/84, TLN 5015]

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PEMELIHARAAN DAN PEREDARAN UNGGAS

PEMERII{TAH KOTA DUMAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA BAB I TENTANG ISTILAH-ISTILAH. Pasal 1

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA Nomor : Tahun Seri no.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 TENTANG PEMAKAIAN ISOTOP RADIOAKTIF DAN RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

Menimbang : Mengingat :

DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 21

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting dalam mencegah penularan zoonosa dan pengamanan produksi bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan lainnya, untuk kepentingan kesehatan masyarakat; b. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 dan Pasal 21 Undangundang Nomor 6 Tahun 1967 dipandang perlu mengatur kesehatan masyarakat veteriner dengan Peraturan Pemerintah; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824); 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1973 tentang Pembuatan, Persediaan, Peredaran dan Pemakaian Vaksinasi, Sera dan Bahan-bahan Diagnostika Biologis Untuk Hewan (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 23); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3101); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3102); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER.

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: a. Pengujian adalah kegiatan pemeriksaan kesehatan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan untuk mengetahui bahwa bahan-bahan tersebut layak, sehat dan aman bagi manusia; b. Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain dari pada pendinginan; c. Susu adalah cairan yang diperoleh dari kambing ternak perah sehat., dengan cara pemerahan yang benar, terus menerus dan tidak dikurangi sesuatu dan/atau ditambahkan ke dalamnya sesuatu bahan lain; d. Usaha pemotongan hewan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perorangan dan/atau badan yang melaksanakan pemotongan hewan di rumah potong hewan milik sendiri atau milik pihak ketiga atau menjual jasa pemotongan hewan; e. Telur adalah telur unggas; f. Zoonosa adalah penyakit yang dapat berjangkit dari hewan kepada manusia atau sebaliknya. g. Pengawetan adalah usaha atau kegiatan tertentu untuk mengendalikan, menghambat reaksi enzyma dan mikro organisme pembusuk, sehingga bahan makanan tersebut dapat digunakan dengan aman dalam jangka waktu yang lebih lama; h. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner. BAB II PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Pasal 2 (1) Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang. (2) Jenis-jenis hewan potong ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. (3) Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang. (4) Pemotongan hewanpotong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini, dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya.

(5) Syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, pelaksanaan pemotongan, dan cara pemeriksaan kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Menteri. Pasal 3 (1) Setiap orang atau badan yang melaksanakan: a. usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Propinsi dan ekspor harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. b. usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam suatu Daerah Tingkat I harus memperoleh surat izin pemotongan hewan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. c. usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (2) Tata cara untuk memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan ditetapkan oleh: a. Menteri sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Propinsi dan ekspor; b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II, dalam suatu Daerah Tingkat I yang bersangkutan; c. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan suatu Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan; Pasal 4 (1) Daging hewan yang telah selesai di potong harus segera diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang. (2) Daging yang lulus dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, baru dapat diedarkan setelah terlebih dahulu dibubuhi cap atau stempel oleh petugas pemeriksa yang berwenang. (3) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini, dan cara penanganan serta syarat kelayakan tempat penjualan daging diatur lebih lanjut oleh Menteri.

(4) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan daging yang tidak berasal dari pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini, kecuali daging yang berasal dari pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah ini. (5) Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat. Pasal 5 (1) Setiap perusahaan susu harus memenuhi persyaratan tentang kesehatan sapi perah, perkandangan, kesehatan lingkungan, kamar susu, tempatpenampungan susu, dan alat-alat serta keadaan air yang dipergunakan dalam kaitannya dengan produksi susu. (2) Persyaratan usaha peternakan susu rakyat diatur tersendiri oleh Menteri. (3) Tenaga kerjayang menangani produksi susu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. berbadan sehat; b. berpakaian bersih; c. diperiksa kesehatannya secara berkala oleh Dinas Kesehatan setempat; d. tidak berbuat hal-hal yang dapat mencemarkan susu; e. syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 6 Pemerahan dan penanganan susu harus: a. dilakukan secara higienis; b. mengikuti cara-cara pemerahan yang baik; c. memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 7 (1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan susu yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan susu harus mengikuti cara penanganan, penyimpanan, pengangkutan, dan penjualan susu yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Menteri menetapkan syarat kelayakan tempat usaha dan tempat penjualan susu. Pasal 8 Setiap usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner dari ternak babi, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 9 Setiap usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner dari ternak unggas, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Pasal 10 (1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan telur yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan telur harus mengikuti cara penyimpanan dan pengangkutan telur yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 11 Setiap usaha atau kegiatan pengawetan bahan makanan asal hewan dan hasil usaha atau kegiatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 12 Menteri menetapkan batas maksimum kandungan residu bahan hayati, anti biotika, dan obat lainnya di dalam bahan makanan asal hewan. Pasal 13 Setiap usaha pengumpulan penampungan, penyimpanan dan pengawetan bahan asal hewan harus memenuhi ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 14 (1) Pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner atas pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, daging, susu dan telur, pengawetan bahan makanan asal hewan, bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal hewan dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, kecuali usaha pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah ini. (2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menetapkan tata cara pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner dengan memperhatikan ketentuan Menteri. (3) Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut bidang teknis higiene dan sanitasi dilakukan oleh Dokter Hewan Pemerintah.

(4) Dokter Hewan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini ditunjuk oleh Menteri. Pasal 15 (1) Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut kepentingan suatu Daerah Tingkat II dan antar Daerah Tingkat II dalam suatu Daerah Tingkat I, dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk olehnya. (2) Pengawasan pelaksanaan ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut kepentingan antar Propinsi atau Daerah Tingkat I dan keperluan ekspor dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya. BAB III PENGUJIAN Pasal 16 (1) Dalam rangka pengawasan daging, telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan, dan bahan asal hewan apabila dipandang perlu dapat dilakukan pengujian. (2) Dalam rangka pengawasan terhadap kesehatan susu, pengujiannya dapat dilakukan setiap waktu. Pasal 17 Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya menetapkan petunjuk teknis pengujian. Pasal 18 (1) Pengujian daging, susu dan telur serta bahan asal hewan lainnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II. (2) Pemerintah Daerah Tingkat II Iimengatur lebih lanjutpelaksanaan pengujian bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan yang beredar di daerah kewenangannya masing-masing. (3) Dalam melakukan kewenangan tersebut Pemerintah Daerah harus mengindahkan petunjuk teknis pengujian yang dikeluarkan oleh Menteri. Pasal 19 Menteri mengatur pengujian bahan makanan berasal dari hewan yang diawetkan.

Pasal 20 (1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini, dilakukan di laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah Tingkat II setempat. (2) Apabila pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, tidak dapat dilaksanakan oleh laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah Tingkat II setempat, Menteri menunjuk lembaga atau laboratorium yang berwenang melakukan pengujian. BAB IV PEMBERANTASAN RABIES Pasal 21 Menteri menetapkan daerah-daerah tertentu di dalam wilayah negara Republik Indonesia, sebagai daerah bebas rabies. Pasal 22 (1) Untuk mempertahankan daerah bebas rabies, setiap orang atau badan hukum dilarang memasukkan anjing, kucing, kera dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies: a. dari negara atau bagian Negara lain yang belum diakui sebagai negara atau bagian negara yang bebas rabies ke dalam wilayah negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies; b. dari daerah yang belum dinyatakan oleh Menteri sebagai daerah bebas rabies ke daerah lain di wilayah Negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies. (2) Menteri dapat memberikan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hanya untuk kepentingan umum, ketertiban umum dan pertahanan keamanan. Pasal 23 Menteri mengatur syarat-syarat dan tata cara tentang: a. pemasukan anjing, kucing, kera dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies dari negara lain ke wilayah negara Republik Indonesia; b. pengeluaran anjing, kucing, kera dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar negeri; c. pemasukan dan pengeluaran anjing, kucing, kera dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies antar daerah di dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 24 (1) Pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing, kucing, kera dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies diatur lebih lanjut oleh Menteri. (2) Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan kerja sama dengan instansi lain. Pasal 25 Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Peraturan Pemerintah ini, pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing di bawah kewenangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilakukan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan. BAB V PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN ZOONOSA LAINNYA Pasal 26 Menteri menetapkan jenis-jenis zoonosa yang harus diadakan pencegahan dan pemberantasan. Pasal 27 (1) Pencegahan dan pemberantasan zoonosa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah ini merupakan kewajiban Pemerintah dan dilaksanakan bersama antara instansi-instansi yang langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan kesejahteraan dan kepentingan umum. (2) Menteri menetapkan petunjuk-petunjuk pelaksanaan pemberantasan zoonosa. BAB VI KETENTUAN PIDANA Pasal 28 (1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 5 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah ini dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggitingginya Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah). (2) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (5), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini dipidana berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri. (2) Peraturan yang mengatur masalah kesehatan masyarakat veteriner yang sudah ada dan berlaku sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini, masih tetap berlaku sebelum peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkanpengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 13 Juni 1983 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, TTD SUDHARMONO,SH Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 28.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER A. UMUM Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Oleh karena itu kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan yang penting dalam mencegah penularan penyakit kepada manusia baik melalui hewan maupun bahan makanan asal hewan atau bahan asal hewan lainnya, dan ikut serta memelihara dan mengamankan produksi bahan makanan asal hewan dari pencemaran dan kerusakan akibat penanganan yang kurang higienis. Fungsi kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah ini, antara lain untuk melindungi konsumen-konsumen dari bahaya yang dapat mengganggu kesehatan (foodbornediasease) akibat menggunakan baik untuk dipakai atau di makan bahan makanan asal hewan, melindungi dan menjamin ketentraman baik masyarakat dari kemungkinankemungkinan penularan zoonosa yang sumbernya berasal dari kerugiankerugian sebagai akibat penurunan nilai dan kualitas bahan makanan asal hewan yang diproduksi. Dengan demikian kiranya dapat dipahami tentang pentingnya kesehatan masyarakat veteriner, karena menyangkut aspek kesehatan dan secara tidak langsung mempengaruhi aspek ekonomi yang satu dengan lainnya mempunyai pengaruh timbal balik. Mengingat pengaruh-pengaruh itu, maka perlu bidang kesehatan masyarakat veteriner ini diatur dengan sebaik-baiknya. Pengaturan di bidang kesehatan masyarakat veteriner di Indonesia pada saat sekarang yang meliputi atau mencakup usaha-usaha yang berhubungan dengan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan serta pencegahan atau pemberantasan zoonosa belum lengkap sebagaimana yang diharapkan. Keadaan ini mempersulit dalam pembinaan teknis pelaksanaan yang dapat berakibat kurangnya pengawasan sehingga menyebabkan timbulnya kerugian baik pada konsumen maupun produsen. Dalam usaha penanganan, pembinaan dan pengembangan bidang kesehatan masyarakat veteriner, serta mengingat atau memperhatikan

kemajuan teknologi di bidang lain maka bidang kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian bagi pengembangannya. Untuk maksud tersebut diperlukan adanya Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner yang dapat memberikan kepastian dan jaminan hukum baik bagi Pemerintah maupun masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa bahan makanan asal hewan atau bahan asal hewan lainnya berhubung dengan sifatnya yang mudah rusak dan dapat menjadi sumber penularan penyakit hewan kepada manusia, maka setiap usaha yang bergerak dan berhubungan dengan bahan-bahan tersebut harus memenuhi syarat kesehatan masyarakat veteriner agar bahan-bahan tersebut tetap sehat dan dapat dikonsumsi manusia (memenuhi persyaratan kesehatan). Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya pengawasan Pemerintah terhadap usaha-usaha tersebut agar syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati. Disamping itu diperlukan pula pengujian-pengijian terhadap bahanbahan tersebut agar dapat diketahui apakah bahan-bahan tersebut benarbenar memenuhi persyaratan kesehatan. Mengenai perusahaan susu, perusahaan unggas, dan perusahaan babi sehubungan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan di Indonesia yaitu dalam rangka usaha pembangunan dan pengembangan peternakan umumnya, maka dalam pembinaan dan penerapan peraturan mengenai bidang peternakan tersebutdi atas, kepentingan-kepentingan /masalah kesehatan masyarakat veteriner wajib diperhatikan. Dengan demikian hal-hal yang menyangkut perizinan usaha peternakan harus disyaratkan sebelumnya agar syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dapat dipenuhi. Usaha pemotongan hewan juga termasuk ruang lingkup bidang kesehatan masyarakat veteriner dan dapat merupakan suatu unit usaha yang sifatnya terpadu dengan rumah potong hewan dan pengawetan daging atau bahan asal hewan. Keadaan ini sama halnya dengan usaha peternakan sapi perah atau perusahaan susu yang membutuhkan unit untuk pengerjaan atau penampungan susu (kamar susu). Pengujian merupakan bagian dari pada kegiatan pengawasan, baik pengujian terhadap bahan segar, bahan hasil pengawetan dan bahan asal hewan lain. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pengijinan ini diperlukan adanya tenaga-tenaga trampil, sarana dan peralatan yang memadai dan biaya operasional. Dengan melaksanakan pengawasan dan pengujian ini, maka semua produk bahan asal hewan yang disampaikan kepada pihak konsumen dapat dijamin kebersihan dan keamanannya, sehingga tidak menimbulkan bahaya-bahaya yang tidak diinginkan bila dikonsumsi atau digunakan oleh para konsumen.

Bidang pengujian ini cukup luas, pada pokoknya akan mencakup pengujian secara fisis, khemis dan bakteriologis dan dapat diperinci lebih lanjut tergantung pada macam atau kondisi bahan yang akan diuji dan apa yang perlu diperiksa. Pengujian bahan makanan asal hewan (daging, susu dan telur) dan bahan asal hewan lainnya, menjadi tanggung jawab Pemerintah. Khusus mengenai rabies yang merupakan zoonosa terpenting yang berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia, perlu diatur usaha penolakan, pencegahan dan pemberantasannya di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Dalam rangka penolakan rabies ke dalam wilayah atau daerah-daerah di Indonesia maka diadakan larangan untuk memasukkan anjing, kucing atau kera, dan satwa liar lainnya ke dalam wilayah daerah-daerah tertentu. Pengecualian terhadap larangan tersebut dapat diberikan kepada rombongan sirkus atau badan lain yang sama sifatnya. Daerah-daerah tersebut di atas dikenal sebagai daerah bebas rabies. Daerah bebas rabies tersebut kita pertahankan agar tetap bebas. B. PASAL DEMI PASAL Pasal 2 Pemeriksaan hewan sebelum di potong adalah untuk memperoleh daging sehat untuk konsumsi manusia. Ayat (3) Untuk memperoleh daging yang sehat pada dasarnya pemotongan hewan harus dilakukan di rumah pemotongan hewan. Namun demikian mengingat belum semua daerah mempunyai rumah pemotongan hewan maka pemotongan hewan dapat dilakukan di tempat pemotongan hewan lain yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setempat. Ayat (4) Pemotongan hewan yang dilakukan menyimpang dari ketentuan ayat (3) Pasal ini, semata-mata hanya untuk keperluan keluarka, agama, adat, dan bukan untuk mata pencaharian atau diperdagangkan.

Ayat (5) Pekerja yang dimaksud dalam ayat ini adalah tenaga-tenaga yang langsung terlibat dalam pemotongan hewan (orang yang menyembelih, orang yang menguliti dan lain-lain). Pasal 3 Pasal 4 Ayat (3) Yang dimaksud penanganan dalam ayat ini antara lain pemotongan bagian-bagian daging, pengangkutan, penyimpanan, dan menjajakan daging pada saat penjualan. Ayat (4) Ayat (5) Pasal 5 Ayat (3) Pasal 6 Yang dimaksud penanganan dalam Pasal ini antara lain pendinginan, pasteurisasi, dan sterilisasi susu. Pasal 7 Ayat (3)

Pasal 8 Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya dan kesehatan ternak babinya sendiri. Pasal 9 Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya dan kesehatan ternak unggasnya sendiri. Pasal 10 Pasal 11 Maksud dan tujuan pengawetan dalam Pasal ini adalah semua usaha/kegiatan untuk mengendalikan, menghambat reaksi enzyma dan mikro-organisme pembusuk. Sehingga bahanmakanan tersebut dapat digunakan dengan aman dalam jangka waktu yang lebih lama. Dalam usaha/kegiatan pengawetan ini termasuk penggunaan suhu rendah, suhu tinggi, proses pengeringan, dan bahan-bahan kimiawi dan zat tambahan lainnya. Syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam Pasal ini adalah syarat-syarat kesehatan tentang: bahan baku, bahan pengawet, bahan tambahan lainnya, sarana dan cara pengawetan serta cara pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan hasil usaha/kegiatan pengawetan. Pasal 12 Penggunaan bahan hayati, anti biotika dan obat-obat lainnya pada hewan dapat meningkatkan residu dalam bahan makanan asal hewan yang bersangkutan, yang pada tingkat tertentu dapat membahayakan kesehatan manusia.oleh karena itu perlu ditetapkan batas maksimum residu yang dapat diizinkan dalam bahan makanan asal hewan. Pasal 13 Syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam Pasal ini adalah syarat-syarat kesehatan tentang: tempat atau lokasi pengumpulan dan penampungan serta lingkungannya, cara-cara pengawetan dan penyimpanan serta keterangan asal dari bahan asal hewan tersebut.

Pasal 14 Bahwa tugas-tugas bidang kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan maksud Peraturan Pemerintah ini merupakan tugas pembantuan (medebewind) kepada Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Dengan demikian hanya pelaksanaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah sedangkan pembinaan dan hal-hal yang menyangkut masalah teknis tetap menjadi tanggung jawab dan sepenuhnya ditangani Pemerintah Pusat. Ayat (3) Dalam hal pelaksanaan pengawasan yang nyata-nyata menyangkut bidang teknis higiene dan sanitasi akan dilakukan oleh Dokter Hewan yang ditunjuk dan dianggap cakap dalam bidang ini. Ayat (4) Pasal 15 Pasal 16 Pengujian terhadap daging, telur dan bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal hewan dapat dilakukan bila hasil penentuan sebelumnya belum dapat memberikan keyakinan tentang kesehatan dari bahan-bahan tersebut. Pasal 17 Pasal 18 Ayat (3)

Pasal 19 Pasal 20 Apabila laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas peternakan Daerah Tingkat II setempat tidak tersedia perlengkapan yang memadai atau Dinas Peternakan setempat tidak memiliki laboratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, maka pelaksanaan pengujian dapat dilakukan di laboratorium lain yang ditunjuk oleh Menteri. Pasal 21 Pasal 22 Daerah bebas rabies dalam wilayah negara Republik Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Untuk daerah tersebut dilarang memasukkan anjing, kucing, kera dan satwa liar lainnya yang dapat menularkan rabies. Izin pengecualian untuk memasukkan anjing, kucing, kera dari daerah rabies untuk keperluan umum dan pertahaan keamanan diberikan oleh Menteri atas dasar permohonan dari yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan kepentingan pertahanan dan keamanan misalnya anjing-anjing pelacak untuk pengamanan operasi/obyek-obyek militer, anjing-anjing pelacak untuk operasi-operasi kepolisian, dan petugas/instansi Bea dan Cukai misalnya operasi narkotika dan lain-lain. Sedangkan anjing, kucing, kera dan satwa liar lainnya untuk kepentingan pribadi dari anggota Angkatan bersenjata Republik Indonesia, tidak termasuk di dalam pengecualian seabagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) ini. Pasal 23 Pasal 24

Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan kerja sama dengan instansi lain, karena disamping rabies mempunyai akibat negatif terhadap manusia yang terjangkit dan masyarakat sekitarnya, juga pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies tersebut dapat disertai dengan suatu tindakan pemusnahan terhadap milik orang lain. Pasal 25 Anjing yang berada di bawah kewenangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia antara lain ialah anjing-anjing pelacak dalam satuan Brigade Anjing dalam Dinas Provost Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, anjing pelacak yang merupakan bagian dari Satuan Satwa POLRI. Untuk usaha pencegahan adanya rabies pada anjing-anjing tersebut termasuk pelaksanaan vaksinasi dilakukan oleh unsur Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dalam hal-hal tertentu Departemen Pertahanan dapat Keamanan dapat minta bantuan kepada Dinas Peternakan bilamana tenaga teknis untuk maksud tersebut belum dapat dipenuhi. Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Pasal 30 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3253.