KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

*37998 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 107 TAHUN 2000 (107/2000) TENTANG PINJAMAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2000 TENTANG PINJAMAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH DI KOTA GORONTALO (Studi Kasus DPPKAD Kota Gorontalo)

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi daerah, sebagaimana halnya di bidang-bidang lainnya. Usaha untuk

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak Pemerintah menerapkan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan regulasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dilakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR : 31 TAHUN 2008 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA KUASA BUPATI BURU,

QANUN PROPINSI NAGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG BANTUAN LUAR NEGERI DAN PINJAMAN PROVINSI

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini Negara Indonesia sedang berada dalam sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH

Transkripsi:

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR Oleh: WIBYCA FUISYANUAR L2D 003 379 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

ABSTRAK Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No.22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mengarahkan pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru dalam pelaksanaan sistem desentralisasi khususnya kemandirian di bidang keuangan termasuk mengenai masalah keterbatasan dana pembangunan di daerah. Salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah sebagai upaya dalam mengurangi ketergantungan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat adalah pinjaman daerah. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan (Pasal 1 PP No. 107 Tahun 2000). Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, negara donor melalui pemerintah pusat (two step loan), pasar modal dan tabungan masyarakat. Pinjaman daerah dibutuhkan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan penyediaan fasilitas yang diperlukan oleh sektor publik (masyarakat). Pinjaman daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan merupakan upaya pemerintah daerah menunjukkan kemampuan dan mendewasakan sistem perencanaan anggaran daerah secara lebih mantap dan mandiri dalam menerapkan strategi investasi. Apabila pinjaman ini tidak dikelola sebagaimana mestinya maka pemerintah daerah akan kesulitan untuk melunasi sehingga semakin membebani keuangannya. Oleh karenanya pinjaman pemerintah daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan profesionalisme kinerja perusahaan daerah, agar ke depan tidak menimbulkan beban APBD dan keuangan perusahaan daerah pada tahun berikutnya Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kapasitas Kabupaten Semarang dalam melakukan pinjaman daerah untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dengan studi kasus Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang dan Perusahaan Daerah Air Minun (PDAM) Kabupaten Semarang serta memberikan strategi kebijakan terkait dengan pengelolaan dana pinjaman. Adapun metodologi pendekatan yang digunakan dalam studi ini meliputi pendekatan fenomenologi atau kejadian di lapangan untuk dikaji secara mendalam. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara survey primer melalui wawancara dan survey sekunder (studi literatur dan survey instansi terkait). Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis kuantitatif digunakan dalam mengukur kemampuan keuangan daerah dan kapasitas Pemerintah Kabupaten Semarang untuk melakukan pinjaman yang tercermin dalam APBD serta kinerja PDAM Kabupaten Semarang. Sedangkan Teknik analisis kualitatif digunakan untuk lebih mendukung dan memahami hasil dari metode kuantitatif dengan menekankan pada penjelasan yang komunikatif sehingga lebih dapat dimengerti. Selain itu pendekatan ini juga berfungsi untuk menganalisis peluang pinjaman di Kabupaten Semarang dengan menggunakan metode SWOT sehingga dapat menghasilkan strategi-strategi yang perlu ditempuh oleh Pemerintah Daerah dalam rangka penggunaan dana pinjaman. Hasil dari penelitian ini yaitu berupa rekomendasi berupa strategi-strategi kebijakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang terkait dengan penggunaan dana pinjaman. Kata Kunci: Pinjaman daerah, pemerintah daerah, pembiayaan pembangunan, prasarana perkotaan.

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment), antara lain berasal dari dana perimbangan yang diterima oleh daerah-daerah dari pemerintah pusat. Beberapa daerah yang kaya sumber daya alam dapat menggunakan dana bagi hasil untuk membiayai belanja pembangunannya sedangkan bagi daerah-daerah miskin dan tidak memiliki sumber daya alam, belanja pembangunannya masih akan tergantung pada jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diterima pada tahun anggaran tertentu. Namun dalam pelaksanaannya sebagian besar dari jumlah DAU digunakan untuk membayar gaji pegawai daerah, sedangkan bagian DAU untuk belanja pembangunan relatif kecil sekali jumlahnya, sehingga diperlukan alternatif sumber pembiayaan pembangunan (Elmi, 2002:57). Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No.22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mengarahkan pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru dalam pelaksanaan sistem desentralisasi di bidang perekonomian, administrasi dan fiskal. Oleh karena itu pemerintah daerah diharapkan dapat mengembangkan potensi daerahnya sendiri dan menggali sumber dana yang ada dan potensial guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga masyarakatnya. Akibatnya mekanisme pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah berubah yaitu diutamakan semaksimal mungkin berasal dari potensi penerimaan asli daerah baik melalui pajak daerah, retribusi daerah maupun dari laba BUMD dan penerimaan lain yang dianggap sah serta potensi penerimaan lain yang masih belum terjangkau oleh PAD. Selain itu sebagian besar proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan kepemerintahan yang dulu ditangani dan dibiayai oleh pemerintah pusat sekarang akan menjadi beban pemerintah daerah. Dengan demikian pemerintah daerah akan menanggung beban belanja atau pengeluaran yang jumlahnya besar. Namun dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya didapat hasil bahwa hampir semua daerah di Indonesia memiliki derajat desentralisasi di bidang perekonomian yang rendah (Kuncoro, 1995:3-17; Nasara, 1997:17-25). Kondisi ini menyebabkan sebagian besar daerah mengalami masalah keuangan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah, padahal tuntutan masyarakat terhadap penyediaan fasilitas atau sarana dan prasarana umum juga semakin meningkat. Sebagai konsekuensinya pemerintah daerah dituntut untuk kreatif dalam mencari sumber-sumber pendapatan dan pembiayaan yang memadai.

2 Sumber dana pemerintah daerah sebagian besar masih berasal dari pemerintah pusat. Jika melihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing kabupaten/kota, hampir sebagian dana diperoleh dari transfer pemerintah pusat dan dirasa masih belum mencukupi. Oleh karena itu pembangunan di daerah dapat dikatakan tidak dapat berjalan bila hanya mengandalkan dari transfer pemerintah pusat, karena sebagian besar dipakai untuk membiayai pengeluaran rutin saja. Keadaan ini menggambarkan betapa pemerintah daerah sangat bergantung pada pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya menjadi sumber utama keuangan daerah masih jauh dari harapan. Hal ini terlihat dari rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah bila dibandingkan dengan besarnya transfer dari pemerintah pusat (Elmi, 2002:50). Salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan adalah pinjaman daerah. Kabupaten Semarang sebagai salah satu kota di Propinsi Jawa Tengah sudah harus mandiri dalam membiayai pembangunannya, pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan yang bersumber dari laba BUMD, dana perimbangan dan dana pinjaman. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan (PP No. 54 Tahun 2005). Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, negara donor melalui pemerintah pusat (two step loan), pasar modal dan tabungan masyarakat. Pinjaman daerah dibutuhkan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan penyediaan fasilitas yang diperlukan oleh sektor publik (masyarakat). Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 54 Tahun 2005, dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada guna menutupi kekurangan penerimaan yang berasal dari pajak dan retribusi serta bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat berupa penyediaan fasilitas di berbagai sektor-sektor yang menjadi kebutuhan dasar utilitas perkotaan dan sektor ini memerlukan dana yang cukup besar. Selain itu, Daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas Daerah. Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah memanfaatkan sumber dana pinjaman untuk proyek-proyek yang dapat menghasilkan pendapatan dengan maksud agar Pemerintah Daerah yang bersangkutan mampu mengembalikan modal pokok pinjaman beserta bunganya. Kegiatan-kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman daerah pada dasarnya merupakan

3 investasi di bidang publik berupa perbaikan dan penambahan infrastruktur sosial ekonomi. Semakin baik infrastruktur ekonomi yang disediakan pemerintah, maka akan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat dan pada akhirnya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Beberapa alasan mengapa pinjaman Pemerintah Daerah dipergunakan untuk daerah perkotaan. Pertama, sektor perkotaan dianggap banyak mempunyai kegiatan yang dimungkinkan mampu untuk melakukan pengembalian; kedua, daerah perkotaan cenderung mempunyai pendapatan daerah yang terbesar; ketiga, pihak negara donor telah sering terlibat untuk meminjamkan dana di daerah perkotaan (Devas, 1989:223). Proyek-proyek di daerah perkotaan yang biasanya mendapat bantuan adalah proyek-proyek air bersih, pengolahan limbah, perkampungan, sanitasi, pasar atau hotel dan lain sebagainya. Yang langsung menghasilkan penerimaan yang cukup bagi pemerintah daerah setelah pinjaman dilunasi. Di berbagai negara umumnya, wewenang pemerintah daerah untuk meminjam dana dibatasi. Ada tiga sebab utama yaitu pertama, pinjaman sektor pemerintah secara keseluruhan perlu dikendalikan dalam hubungan dengan kebijaksanaan moneter, terutama untuk mengendalikan inflasi. Kedua,untuk mencegah jangan sampai pemerintah daerah terjerumus ke dalam kesulitan keuangan. Untuk itu ada batas sampai sejauh mana pemerintah daerah sanggup membayar kembali hutangnya, sehingga bila pinjaman tidak terkendali, mau tidak mau pemerintah daerah bersangkutan akan berhadapan dengan berbagai kesulitan dan sebab ketiga, pemerintah pusat ingin tetap mengendalikan pola pengeluaran penanaman modal pemerintah daerah (Devas, 1989:223). Menurut PP.no. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, dasar pemberian pinjaman adalah diukur dari kemampuan daerah itu sendiri dalam menghimpun penerimaan selama periode tertentu yang didasarkan atas jumlah penerimaan asli daerah. Di Indonesia dasar penerimaan ini diatur dalam ketentuan tersendiri oleh pemerintah pusat dan rasionya adalah minimal pemerintah daerah memiliki DSCR sebesar 2,5. Pinjaman yang diberikan mempunyai tenggang waktu yang cukup lama dengan tingkat bunga yang rendah serta memiliki grace periode yang bervariasi. Sedangkan dalam hal ambang batas pelunasan hutang pinjaman yang merupakan tolak ukur yang dipergunakan oleh pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri) yaitu untuk mengendalikan jumlah pinjaman pemerintah daerah yaitu angka ambang batas untuk satu tahun dibatasi sampai 15% dari penerimaan pembangunan pemerintah daerah pada tahun yang bersangkutan. Oleh karena ketatnya aturan yang diberlakukan untuk mengadakan suatu pinjaman, maka pemerintah daerah kesukaran untuk memperoleh dana sehingga menyebabkan pemerintah daerah memiliki keterbatasan anggaran. Padahal di sisi lain Pemerintah Daerah memerlukan dana yang cukup besar untuk membangun berbagai prasarana yang mendukung kegiatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Terbatasnya anggaran menyebabkan sulitnya