Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN. OLEH : Naufal Farisatrianto NIM :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Determinasi Pasien TB

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Dasar Determinasi Kasus TB

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. di daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tuberkulosis Paru (TB Paru) suatu penyakit kronis yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang bersifat aerobik, tahan

BAB 1 PENDAHULUAN. kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai,

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

Mulyadi *, Mudatsir ** *** ABSTRACT

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi, yang juga dikenal sebagai communicable disease atau transmissible

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

NILAI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS SPUTUM BTA PADA PASIEN KLINIS TUBERKULOSIS PARU DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. (Thomas, 2004). Ada beberapa klasifikasi utama patogen yang dapat

SKRIPSI. Penelitian Keperawatan Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru

ABSTRAK. Sri Ariany P, 2009, Pembimbing I : Dr. Felix Kasim, dr., M.Kes Pembimbing II: J. Teguh Widjaja, dr., Sp.P., FCCP

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kuno seperti sisa-sisa tulang belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan yang baik atau kesejahteraan sangat diinginkan oleh setiap orang.

MATERI INTI 1 INFORMASI TENTANG TB, HIV DAN KOINFEKSI TB-HIV

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FKUI-RS Persahabatan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena penularannya mudah dan cepat, juga membutuhkan waktu yang lama

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru

PENDAHULUAN. Herdianti STIKES Harapan Ibu Jambi Korespondensi penulis :

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan adalah penyakit Tuberkulosis Ekstra Paru di. bagian Ilmu Penyakit Dalam sub bagian Pulmologi

BAB I PENDAHULUAN. tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri penyebab. yang penting di dunia sehingga pada tahun 1992 World Health

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KUESIONER PENELITIAN SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN PENDERITA TENTANG TUBERKULOSIS PARU DENGAN PERILAKU KEPATUHAN MINUM OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium. mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru.

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang


BAB II KAJIAN PUSTAKA. paru,tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Mycobacterium

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

GAMBARAN KARAKTERISTIK, STATUS GIZI, DAN IMUNISASI PADA PASIEN TUBERKULOSIS ANAK DI PUSKESMAS WILAYAH KOTA TANGERANG SELATAN

Identifikasi Faktor Resiko 1

Transkripsi:

PREVALENSI OVERDIAGNOSIS TB ANAK BERDASARKAN SISTEM SKOR TB ANAK DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI PUSKESMAS WILAYAH KOTA TANGERANG SELATAN PERIODE JANUARI 2010 - AGUSTUS 2013 Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN OLEH : Naufal Farisatrianto NIM : 110103000038 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H /2013 M

KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirahim. Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Saya menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memimbing dan memberikan kesempatan kepada saya untuk menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. dr Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter dan untuk seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. dr. Mukhtar Ikhsan, SpP(K), MARS sebagai pembimbing I dan Zeti Harriyati, S.Si, M.Biomed selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan selalu membimbing serta mengarahkan dalam berjalannya penelitian ini. 4. Petugas TB dan Depkes Tangerang Selatan yang sudah berpartisipasi dan mau diajak bekerja sama dalam berjalannya penelitian ini, serta temanteman kesmas yang sudah mengarahkan dalam pelaksanaan penelitian ini. 5. Kedua orang tua tercinta, Ir. Djoko Nugroho dan Ina Dwi Ratna Prahesti yang selalu mendukung saya selama ini, memberikan doa dan semangat sepanjang waktu. 6. Nilam, Nina, Vivi, dan Aheb selaku tim riset kelompok dua yang sudah menemani dalam menyelesaikan penelitian ini dan dr. Alyya, Sp.FK selaku pembimbing terdahulu yang sudah menginspirasi dalam menentukan judul penelitian ini. 7. Seluruh mahasiswa PSPD 2010 dan juga seluruh teman-teman serta sahabat yang tentu tidak dapat saya sebutkan satu persatu. v

Saya menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan laporan penelitian ini. Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan para pembaca pada umumnya serta dapat menambah pengetahuan kita semua. Ciputat, 12 September 2013 Penulis vi

ABSTRAK Naufal Farisatrianto. Program Studi Pendidikan Dokter. Prevalensi overdiagnosis TB anak berdasarkan sistem skor TB anak dan faktor yang mempengaruhinya di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan periode Januari 2010-Agustus 2013. Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus dibandingkan TB dewasa, salah satunya adalah masalah diagnosis. Karena sulitnya mendiagnosis TB anak, sering terjadi overdiagnosis TB pada anak. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode cross-sectional. Sampel yang digunakan sebanyak 107 sampel yang diambil secara cluster sampling. Didapatkan kejadian overdiagnosis pada puskesmas kota Tangerang Selatan sebanyak 30 kasus (28%) dengan distribusi usia didiagnosis TB tertinggi adalah kelompok 0-5 tahun sebanyak 62 orang. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian overdiagnosis TB anak dengan tingkat pengetahuan petugas TB puskesmas (p 0,013), ada tidaknya formulir skoring TB anak (p 0,000), uji tuberkulin sebagai diagnosis utama (p 0,000), dan foto toraks sebagai diagnosis utama (p 0,000). Kata kunci : Tuberkulosis anak, Overdiagnosis tuberkulosis anak ABSTRACT Naufal Farisatrianto. Medical Education Program. Prevalence of overdiagnosis on pediatric tuberculosis based on pediatric TB system score and the factors that influence at Puskesmas South Tangerang City region January 2010 August 2013. Pediatric tuberculosis have a different problem than adult, one of which is a matter of diagnosis. Because of the difficulty of diagnosing, it s often occur overdiagnosis TB in children. This study was a descriptive which uses cross-sectional method. The number of samples used were 107 samples which taken by cluster sampling. There was 30 cases (28%) of overdiagnosis of pediatric tuberculosis founded with the highest age ditribution of TB is 0-5 years group which contain 62 people. Based on the result of study, There is a significant relationship between the incidence of overdiagnose on pediatric tuberculosis with TB clinic staff knowledge level (p 0,013), presence or absence of pediatric tuberculosis scoring form (p 0,000), tuberculin test as main diagnostic (p 0,000), and chest x-ray as main diagnostic (p 0,000). Keywords: Pediatric tuberculosis, Overdiagnosis on pediatric tuberculosis vii

DAFTAR ISI Halaman LEMBAR JUDUL... i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii LEMBAR PENGESAHAN... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK... vii ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 2 1.3.1 Tujuan Umum... 2 1.3.2 Tujuan Khusus... 3 1.4 Manfaat Penelitian... 3 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1 Epidemiologi Tuberkulosis... 4 2.2 Etiologi dan Cara Penularan TB... 7 2.3 Patogenesis TB... 8 2.3.1 Tuberkulosis primer... 8 2.3.2 Tuberkulosis pasca primer... 10 2.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis... 10 2.5 Gejala Klinis TB... 12 2.6 Kriteria Diagnosis TB... 14 2.7 International Standart for Tuberculosis Care (ITSC)... 17 2.8 Pengembangan Sumber Daya Manusia Progam TB... 18 viii

2.8.1 Sumber daya manusia progam TB... 18 2.9 Manajemen Laboratorium TB... 19 2.9.1 Organisasi pelayanan laboratorium TB... 19 2.9.2 Pemantapan mutu labratorium TB... 20 2.9.3 Keamanan dan keselamatan kerja di laboratorium TB 21 2.10 Kerangka Teori... 21 2.11 Kerangka Konsep... 21 2.12 Definisi Operasional... 22 Bab 3. METODE PENELITIAN... 27 3.1 Desain Penelitian... 27 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 27 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 27 3.4 Besar Sampel... 27 3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi... 28 3.6 Alat dan Bahan Penelitian... 28 3.7 Alur Penelitian... 28 3.8 Cara Kerja Penelitian... 29 3.9 Variabel Penelitian... 29 3.10 Manajemen Data... 29 3.10.1 Pengumpulan Data... 29 3.10.2 Pengolahan Data... 29 3.10.3 Analisis Data... 29 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 30 4.1 Analisis Univariat.. 30 4.1.1 Pola distribusi pasien TB anak berdasarkan kelompok usia... 30 4.1.2 Karakteristik skoring pasien TB anak... 31 4.1.3 Karakteristik diagnosis pasien TB anak berdasarkan sistem skoring... 32 4.1.4 Karakteristik parameter skoring TB anak... 33 ix

4.2 Analisis Bivariat... 34 4.2.1 Hubungan antara kejadian overdiagnosis TB anak dengan profesi dokter... 34 4.2.2 Hubungan antara antara uji tuberkulin dengan kejadian overdiagnosis TB anak... 35 4.2.3 Hubungan antara foto toraks dengan kejadian overdiagnosis TB anak... 36 4.2.4 Hubungan antara ada tidaknya formulir skoring TB anak dengan kejadian overdiagnosis TB anak... 36 4.2.5 Hubungan antara tingkat pengetahuan petugas TB dengan kejadian overdiagnosis TB anak... 37 4.3 Keterbatasan Penelitian... 38 BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN... 39 5.1 Simpulan... 39 5.2 Saran... 39 DAFTAR PUSTAKA... 40 LAMPIRAN... 42 x

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Angka prevalensi, insidensi, kematian TB di Indonesia tahun 1990 dan 2000... 4 Tabel 2.2 Kelompok-kelompok berisiko tinggi terinfeksi TB di negara maju... 5 Tabel 2.3 Sistem skor TB anak... 14 Tabel 4.1 Distribusi pasien TB anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan tahun 2013 berdasarkan kelompok usia... 29 Tabel 4.2 Karakteristik skoring TB anak... 30 Tabel 4.3 Karakteristik diagnosis pasien TB anak berdasarkan sistem skoring... 31 Tabel 4.4 Karakteristik parameter skoring TB anak... 32 Tabel 4.5 Hubungan antara kejadian overdiagnosis pada skoring TB anak dengan profesi dokter dan bukan dokter... 33 Tabel 4.6 Hubungan antara dilakukannya uji tuberkulin dengan kejadian overdiagnosis TB pada anak... 34 Tabel 4.7 Hubungan antara dilakukannya foto toraks dengan kejadian overdiagnosis TB pada anak... 35 Tabel 4.8 Hubungan antara ada tidaknya formulir skoring TB anak dengan kejadian overdiagnosis TB pada anak... 35 Tabel 4.9 Hubungan antara tingkat pengetahuan petugas TB puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan dengan kejadian overdiagnosis TB anak... 36 xi

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Grafik proporsi TB anak diantara kasus TB di Indonesia tahun 2005 triwulan II 2011... 5 Gambar 2.2 Grafik proporsi TB anak diantara kasus TB per provinsi tahun 2010-2011... 6 Gambar 2.3 Perjalanan penyakit tuberkulosis... 9 Gambar 2.4 Formulir TB.01 Rumah Sakit Fatmawati... 15 Gambar 2.5 Formulir TB.01 Puskesmas... 16 Gambar 2.4 Alur diagnosis dan tatalaksana TB anak di puskesmas... 16 xii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Surat perizinan Dinkes... 41 Lampiran 2 Form TB.01 puskesmas... 42 Lampiran 3 Form TB.01 Rumah Sakit Fatmawati... 43 Lampiran 4 Kuesioner... 44 Lampiran 5 Data hasil uji statistik... 48 Lampiran 6 Daftar riwayat hidup... 57 xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini mempunyai struktur batang, bersifat aerobik dan tahan asam yang merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteri patogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia. 1 Menurut estimasi WHO tahun 1989 bahwa setiap tahun terjadi 1,3 juta kasus baru TB muncul dan menimbulkan kematian pada 450.000 anak di bawah umur 15 tahun. Sayangnya walaupun sudah dilakukan pelaporan komprehensif TB pada orang dewasa, tidak ada pelaporan mengenai epidemiologi TB pada anak. Informasi yang kurang mengenai epidemiologi tersebut karena kurangnya metode diagnostik yang memadai untuk menangani TB pada anak. 2 Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, dan pencegahan. Gejala pada TB anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan langsung dan kultur. 3,4 Hasil positif dengan menggunakan sputum mikroskopik hanya menunjukkan sekitar 10% 15% pada anak dengan suspek TB. Pada kultur sputum menunjukkan hasil positif lebih baik yaitu sekitar 30% - 40%. 1,4 Selain itu, mengumpulkan sputum pada anak juga sulit sehingga membatasi penggunaanya untuk mendiagnosis TB pada anak di klinik. Untuk alasan ini, TB diagnosis pada anak umumnya didasarkan pada adanya gejala-gejala klinis yang mendukung. Risiko penularan TB di Indonesia dalam ARTI (Annual Risk Tuberculosis Infection) menunjukkan jumlah yang bervariasi sekitar 1-3% yang menunjukkan 10-30 orang dalam 1000 penduduk berisiko tertular TB. 1

2 Di negara berkembang dengan fasilitas tes Mantoux dan foto toraks yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit. Karena sulitnya mendiagnosis TB anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti dengan overtreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif, sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB dewasa, akibatnya penanganan TB anak kurang diperhatikan. 5 Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit pusat pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penderita TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0% - 14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%) sedangkan untuk bayi kurang dari 12 bulan didapatkan 16,5%. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh kasus TB tahun 2011 per provinsi mempunyai range 1,7% - 17,2% dengan proporsi terendah pada provinsi Sulawesi Tengah dan tertinggi pada provinsi Jawa Barat. 5,6 Karena sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak maka data TB anak sangat terbatas, termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, IDAI membuat rencana strategis TB anak dan menetapkan pedoman baru diagnosis TB anak berdasarkan sistem skoring. Dengan adanya sistem skoring ini, diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan sehingga kemungkinan overdiagnosis dapat diperkecil dan angka prevalensi pastinya dapat diketahui. Selanjutnya, untuk memperbaiki bagaimana terjadinya overdiagnosis pada TB anak diperlukan penenaman sistem skoring yang baik pada tiap puskesmas dan rumah sakit. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan pertanyaan, yaitu berapa angka kejadian overdiagnosis anak berdasarkan sistem skor TB anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan periode 2010 Agustus 2013? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum : Untuk mengetahui jumlah populasi anak yang mengalami overdiagnosis TB anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan.

3 1.3.2 Tujuan Khusus : Mengetahui distribusi umur diagnosis TB anak. Mengetahui tingkat diagnosis TB anak berdasarkan sistem skoring Mengetahui gambaran parameter sistem skoring. Mengetahui hubungan antara overdiagnosis TB anak ditinjau dari segi profesi. Mengetahui tingkat penggunaan uji tuberkulin dan foto toraks pada pasien TB anak sebagai salah satu kriteria diagnosis. Mengetahui hubungan antara ada atau tidaknya formulir skoring TB anak dengan kejadian overdiagnosis TB anak. Mengetahui hubungan antara pengetahuan petugas TB terhadap penyakit TB dan overdiagnosis TB anak dengan kejadian overdiagnosis TB anak. 1.4 Manfaat Penelitian a. Bagi Peneliti Dapat menambah wawasan dan pengalaman analisa epidemiologi TB anak. Dapat digunakan sebagai rujukan penelitian selanjutnya. Mengetahui alur perizinan penelitian ke puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan. b. Bagi Institusi Sebagai salah satu bahan untuk evaluasi diagnosis dan tatalaksana penanganan TB anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan. Dapat dijadikan bahan referensi bagi praktisi yang tertarik mempelajari tuberkulosis anak.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Tuberkulosis Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih menjadi masalah kesehatan dunia. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena kurang lebih 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat di seluruh dunia. Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan oleh: 1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju; 2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup; 3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama di negara-negara miskin; 4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter; 5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat; 6. Adanya epidemik HIV terutama di Afrika dan Asia. 7 Tabel 2.1 Angka prevalensi, insidensi, dan kematian TB di Indonesia tahun 1990 dan 2010. *) Berdasarkan tabel 2.1 pada tahun 2010, angka insidensi semua tipe TB, 450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua TB, 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB, 64.000 atau 27 4

5 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari, sedangkan angka insidensi kasus TB paru BTA positif pada tahun 2010 tidak tersedia. Tabel 2.2. kelompok-kelompok berisiko tinggi terinfeksi TB di negara maju. Infeksi Tuberkulosis Orang-orang yang lahir di negara asing dari negara-negara yang berinsiden tinggi Orang-orang miskin, terutama di kota besar Penghuni penjara sekarang atau sebelumnya Orang tunawisma Pengguna obat injeksi Pekerja perawat kesehatan yang merawat penderita berisiko tinggi Anak yang terpajan pada orang dewasa berisiko tinggi Penyakit tuberkulosis bila terinfeksi Koinfeksi dengan virus HIV Penyakit gangguan imun lain, terutama keganasan Pengobatan obat imunosupresif Bayi dan anak umur 3 tahun Gambar 2.1. Grafik proporsi TB anak diantara kasus TB di Indonesia tahun 2005 2011 (triwulan II 2011). 5 Berdasarkan gambar 2.1, proporsi pasien TB anak diantara seluruh kasus TB pada tahun 2008-2010 mempunyai range sebesar 9,4 11,2%, terendah pada tahun 2010 dan tertinggi pada tahun 2008. Bila dibandingkan antara tahun 2010

6 2011 terjadi penurunan sebesar 0,1 %. Pada tahun 2000 2007 proporsi pasien TB anak berkisar 0,6% - 0,8%. Pada tahun 2000 2007 belum semua kasus anak terlaporkan karena pencatatan dan pelaporan progam TB belum mempunyai format yang memuat variabel anak secara terinci. Berdasarkan gambar 2.2 di bawah, proporsi pasien TB anak diantara seluruh kasus TB tahun 2011 per provinsi mempunyai range 1,7% - 17,2% dengan provinsi terendah Sulawesi Tengah dan tertinggi Jawa Barat. Gambar 2.2. Grafik Proporsi TB anak diantara kasus TB per provinsi tahun 2010 2011. 5

7 Provinsi yang mempunyai angka sesuai target yang diharapkan (target sekitar 15%) sebanyak 1 provinsi (3%) yaitu Jawa Barat. Provinsi yang mempunyai angka diatas target sebanyak 1 provinsi (3%) yaitu Jawa Barat. Bila dibandingkan antara tahun 2010 dengan tahun 2011 terdapat 15 (45,5%) provinsi yang mengalami peningkatan, tertinggi Maluku (2%) dan terendah Jawa Timur dan Banten (0,1%). Provinsi yang mengalami penurunan sebanyak 18 provinsi (81,8%), tertinggi Bengkulu (1,6%) dan terendah Sumatera Utara (0,2%). 2.2 Etiologi dan Cara Penularan TB Agen tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, dan Mycobacterium africanum, merupakan anggota ordo Actinomisetales dan famili Mikobakteriaseae. Hanya biasanya yang sering menyerang manusia adalah Mycobacterium tuberculosis. Basili tuberkel adalah batang lengkung, gram positif lemah, pleomorfik, tidak bergerak, tidak membentuk spora, panjang sekitar 2 4 µm. Dinding sel kaya lipid menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan komplemen. Tanda semua mikrobakteria adalah ketahanan asamnya, kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan seperti kristal violet, karbolfukhsin, auramin, dan rodamin. Mikrobakterium tumbuh lambat, waktu pembentukannya adalah 12-24 jam. Isolasi dari spesimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan waktu 3-6 minggu, dan uji kerentanan obat memerlukan 4 minggu tambahan. Namun, pertumbuhan dapat dideteksi dalam 1-3 minggu pada medium cairan selektif dengan menggunakan nutrient radiolabel (sistem radiometrik BACTEC). 8 Cara penularan TB : Sumber penularan adalah pasien TB dengan BTA positif. Pada waktu bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan dan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

8 pemeriksaan dahak, pasien tersebut makin mudah menularkan ke orang lain. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko penularan : Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% menunjukkan 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. 2.3 Patogenesis Tuberkulosis 2.3.1 Tuberkulosis primer Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei di udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana yang gelap dan lembab, kuman dapat bertahan berhari-hari bahkan hingga berbulan-bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat maka ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberkulosis kecil yang disebut sarang primer atau fokus Ghon. Sarang ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru dan sering menyerang pada daerah apeks paru pada orang dewasa. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran KGB hilus

9 (limfadenitis regional). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi : Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5mm dan ±10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dorman. Berkomplikasi dan menyebar secara : 1) Bronkogen, menyebar ke paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. 2) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. 3) Limfogen dan hematogen, ke organ-organ lainnya. Reaksi jaringan dalam parenkim paru dan limfonodi intensif pada 2 12 minggu berikutnya terjadi karena hipersensitivitas jaringan. Bagian parenkim kompleks primer sering menyembuh secara sempurna dengan fibrosis atau kalsifikasi sesudah mengalami nekrosis perkijuan dan pembentukan kapsul. Kadang-kadang bagian ini terus membesar, menimbulkan pneumonitis dan pleuritis setempat. Jika perkijuan besar, pusat lesi mencair dan mengosongkan daerah bronkus terkait maka akan meninggalkan rongga sisa (kaverna). Gambar 2.3. Perjalanan penyakit tuberkulosis Sumber : Robbins and Cotran s Pathologic Basis of Disease.2005 9

10 2.3.2 Tuberkulosis pasca primer (tuberkulosis sekunder) Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun, seperti AIDS, malnutrisi, neoplasma, alkohol, dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru. Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang, yakni: 1) sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak memerlukan terapi lagi, 2) sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna, 3) sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga. 2.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe pasien adalah : Menentukan paduan pengobatan yang sesuai Mencegah pengobatan yang tidak adekuat Menghindari pengobatan yang tidak perlu Standarisasi proses dan pengumpulan data Menentukan prioritas pengobatan TB, dalam situasi dengan sumber daya yang terbatas Melakukan registrasi kasus dengan benar Memonitor kemajuan dan efektifitas progam secara akurat Analisis kohort hasil pengobatan, sesuai dengan klasifikasi dan tipe pasien tuberkulosis 1. Pembagian berdasarkan organ tubuh yang terkena : a) Tuberkulosis paru Tuberkulosis yang menyerang parenkim paru. Tidak termasuk pleura dan kelenjar pada hilus. b) Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ selain paru, seperti selaput otak, tulang, persendian, kelenjar limfe, dan lain-lain.

11 Pasien dengan TB paru dan TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru. 2. Pembagian berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, ditujukan terutama pada TB paru. a) Tuberkulosis paru BTA positif Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika selain OAT. b) Tuberkulosis paru BTA negatif Kriteria TB paru negatif harus meliputi : Paling tidak 3 spesimen dahak SPS dengan hasil BTA negatif Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika selain OAT, bagi pasien dengan HIV negatif Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan Catatan : pasien TB paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat diklasifikasikan sebagai BTA negatif, lebih baik dicatat sebagai pemeriksaan dahak tidak dilakukan 3. Pembagian berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya a) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 4 minggu. Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.

12 b) Kasus yang sebelumnya diobati Kasus kambuh : pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (kultur atau apusan). Kasus setelah putus berobat (default) : pasien TB yang putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Kasus setelah gagal : pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. c) Kasus pindahan Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. d) Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti : Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, kembali diobati dengan BTA negatif. Catatan : TB ekstra paru dan TB paru BTA negatif dapat mengalami kambuh, gagal, default maupun dapat menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan media spesialistik. 10 2.5 Gejala Klinis TB Keluhan pasien TB dapat bermacam-macam atau bahkan tidak mengeluh apapun. Keluhan terbanyak adalah : Demam. Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang mencapai 40 41 o C. serangan pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk ke dalam tubuh. Batuk/batuk darah. Batuk terjadi karena iritasi bronkus. Batuk ini merupakan satu bentuk pertahanan tubuh untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (tidak produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut

13 adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas paru, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. Sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. Nyeri dada. Nyeri dada akan timbul bila infiltrasi radang sudah mencapai pleura sehingga menimbulkan pleuritis yang terjadi akibat gesekan kedua pleura ketika pasien sedang bernafas. Malaise. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, keringat malam, tidak ada nafsu makan. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Penting memikirkan adanya TB paru anak bila menemukan tanda atau gejala seperti dibawah ini: 1. Seseorang anak dicurigai menderita TB paru bila: a. Mempunyai riwayat kontak erat (serumah) dengan penderita TB paru BTA positif b. Terdapat reaksi kemerahan setelah penyuntikan BCG dalam 3-7 hari c. Terdapat gejala umum TB paru 2. Gejala umum TB paru pada anak: a. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik meskipun sudah dilakukan penanganan gizi yang baik (failure to thrive). b. Nafsu makan tidak ada dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat. c. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan malaria, infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam. d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering di daerah leher, ketiak, dan lipatan paha (lingual) e. Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.

14 3. Gejala spesifik Gejala ini biasanya tergantung bagian tubuh mana yang terserang, misalnya: a. Mengenai kulit/skrofuloderma b. Mengenai tulang dan sendi : Tulang punggung (spondilitis) gibbus Tulang panggul (koksitis) Tulang kaki dan tangan Tulang lutut c. Mengenai otak dan syaraf Meningitis TB dengan gejala kaku kuduk, muntah-muntah, dan kesadaran menurun. 2.6 Kriteria Diagnosis TB Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak, batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Kesulitan dalam meninjau diagnosis TB pada anak membangkitkan berkembangnya beberapa cara diagnosis seperti sistem skor dan algoritma diagnosis. Tahun 2000, IDAI mengembangkan sistem skor TB anak untuk mengatasi masalah overdiagnosis TB pada anak. Tabel 2.3 Sistem skor TB anak Sumber: Diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis anak, 2008 4

15 Catatan : Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname). Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skor TB anak Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13) Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. Jika menemukan suatu keadaan seperti 1) foto rontgen menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura, 2) gibbus, koksitis, 3) tanda bahaya: kejang, kaku kuduk, penurunan kesadaran, atau sesak napas maka lebih baik dirujuk. Jika dijumpai sklofuroderma, pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis Rumah Sakit Fatmawati sebagai Rumah Sakit rujukan wilayah Jakarta Selatan khususnya di poliklinik anak telah menggunakan formulir TB.01 yang sudah dimodifikasi dengan ditambahkannya tabel sistem skoring TB anak pada bagian depan formulir. Gambar 2.4 Formulir TB.01 Rumah Sakit Fatmawati

16 Sedangkan pada formulir TB.01 puskesmas yang dikeluarkan oleh DepKes tidak menampilkan adanya tabel sistem skoring TB anak karena formulir tersebut secara umum digunakan untuk penderita TB, baik dewasa maupun pada anak. Gambar 2.5 Formulir TB.01 Puskesmas Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6, harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Alur tatalaksana dapat dilihat pada gambar di bawah. Gambar 2.4. Alur diagnosis dan tatalaksana TB anak di puskesmas. Sumber: Diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis anak, 2008 4

17 2.7 International Standart for Tuberculosis Care (ITSC) 10 International Standart for Tuberculosis Care (ITSC) merupakan standar yang melengkapi guideline progam penanggulangan TB nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar untuk diagnosis : Standar 1: Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis. Standar 2: Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 kali yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin. Jika mungkin paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari. Standar 3: Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan histopatologi. Standar 4: Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi. Standar 5: Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut minimal dua kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif.(termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis; dan tidak ada respon terhadap antibiotik spektrum luas. Standar 6: Pada semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks konfirmasi bakteriologis harus dilakukan dengan pemeriksaan dahak (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau induksi dahak) untuk pemeriksaan secara mikroskopik dan biakan. Jika hasil bakteriologis negatif, diagnosis tuberkulosis harus didasarkan pada kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis, pajanan pada kasus tuberkulosis yang menular, bukti infeksi tuberkulosis (uji tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan temuan klinis yang mendukung ke arah tuberkulosis. Untuk anak yang diduga menderita tuberkulosis ekstra paru, spesimen

18 dari lokasi yang dicurigai harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan histopatologi. 2.8 Pengembangan Sumber Daya Manusia Progam TB Pengembangan sumber daya manusia (SDM) adalah suatu proses yang sistematis dalam memenuhi kebutuhan ketenagaan yang cukup dan bermutu sesuai kebutuhan. Proses ini meliputi kegiatan penyediaan tenaga, pembinaan (pelatihan, supervise, kalakarya/on the job training), dan kesinambungan (sustainability). Tujuan pengembangan SDM dalam progam TB adalah tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan, dan sikap sehingga kompeten dalam pelaksanaan progam TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan progam TB nasional. 2.8.1 Sumber daya manusia progam TB Untuk terselenggaranya kegiatan penanggulangan TB di setiap saran pelayanan kesehatan dibutuhkan SDM minimal (jumlah dan jenis tenaga) : 1. Sarana pelayanan kesehatan a. Puskesmas Puskesmas rujukan mikroskopis dan puskesmas pelaksana mandiri: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB. Puskesmas pembantu: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 perawat/petugas TB. b. Rumah sakit umum pemerintah dan swasta RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter. 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.

19 RS kelas D, RSTP, dan BP4: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 2 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. c. RS swasta: menyesuaikan. d. Dokter praktek swasta, minimal telah dilatih progam penanggulangan TB. 2.9 Manajemen Laboratorium TB Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu yang lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu), dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, spesifik, murah, dan hanya dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium. Manajemen laboratorium TB meliputi: organisasi pelayanan laboratorium TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB, keamanan dan kebersihan laboratorium, monitoring, dan evaluasi. 2.9.1 Organisasi pelayanan laboratorium TB Laboratorium TB berfungsi sebagai laboratorium pelayanan kesehatan dasar, rujukan, maupun laboratorium pendidikan atau penelitian. Setiap laboratorium memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana seperti pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai pemeriksaan mutakhir menggunakan PCR. Laboratorium TB mencakup: 1) Pusat fiksasi sediaan TB di tingkat sarana pelayanan kesehatan setara PS 2) Pusat mikroskopis TB di tingkat sarana pelayanan kesehatan 3) Laboratorium rujukan cross check (uji silang) 4) Laboratorium rujukan provinsi 5) Laboratorium rujukan regional 6) Laboratorium rujukan nasional

20 2.9.2 Pemantapan mutu laboratorium TB Terdiri dari 3 hal utama, yaitu: 1. Pemantapan Mutu Internal (PMI) Kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar. Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu : Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan laboratorium, misalnya: Protap pengambilan dahak Protap pembuatan sediaan dahak Protap pewarnaan Ziehl Neelsen Protap pemeriksaan mikroskopis Protap pengelolaan limbah Protap pembuatan media Protap inokulasi Tersedianya formulir/buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan laboratorium TB. Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan tugas. Tersedianya sediaan kontrol (positif dan negatif) dan kuman kontrol. 2. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) PME mikroskopis BTA dapat dilakukan melalui: Uji silang sediaan dahak Pemeriksaan ulang sediaan dahak laboratorium sarana pelayanan kesehatan oleh laboratorium yang telah diberi wewenang melalui penilaian kemampuan yang dilakukan oleh petugas teknis yang berada pada jenjang tertinggi di wilayah jejaring laboratorium tersebut. Bimbingan teknis laboratorium TB Kegiatan ini dilaksanakan secara khusus untuk menjamin kualitas pemeriksaan laboratorium mikroskopis.

21 Uji profisiensi/panel testing, kegiatan ini bertujuan untuk menilai kerja petugas laboratorium TB tetapi hanya dilaksanakan apabila uji silang dan supervise belum berjalan dengan memadai. 3. Peningkatan mutu (Quality improvement) terintegrasi dalam PMI dan PME 2.9.3 Keamanan dan keselamatan kerja di laboratorium TB Manajemen laboratorium TB harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan pemantauan dan evaluasi secara berkala. 2.10 Kerangka Teori 2.11 Kerangka Konsep

22 2.12 Definisi Operasional No Nama Definisi Cara ukur Alat Hasil ukur Skala variabel Operasional ukur ukur Variabel dependen 1. Status TB Penderita TB Observasi TB.01 0= sakit TB Ordinal anak anak yang rekam dan 1= tidak sakit telah medik rekam TB didiagnosis medik oleh dokter ataupun petugas TB berdasarkan temuan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang mengarah pada TB. 2. Over- Seorang Observasi TB.01 0= skor <6 Nominal diagnosis penderita TB rekam dan 1= skor >6 TB anak anak yang medik rekam berdasarkan didiagnosis TB medik sistem dengan skoring TB skoring <6 anak. berdasarkan sistem skoring.

23 Variabel independen 3. Usia anak Usia anak Observasi TB.01 0= 0 tahun Ordinal terhitung dari rekam dan 5 tahun lahir sampai medik rekam 1= 6 tahun pada medik 15 tahun 15 terdiagnosis menderita TB (untuk kasus). Usia anak pd saat penelitian (untuk kontrol) 4. Kontak Seorang Observasi TB.01 0=Tidak jelas Ordinal TB penderita yang rekam dan atau tidak diketahui medik rekam tertera mempunyai medik 2= Laporan penyakit TB keluarga, yang berada di BTA negatif sekitar anak. atau tidak tahu, BTA tidak jelas, Hanya tertera lampiran nama anggota keluarga 3= BTA(+) (berdasarkan sistem skoring)

24 5. Uji Pemeriksaan Observasi TB.01 0= tidak ada, Ordinal tuberkulin yang ditujukan rekam dan tidak tertera untuk melihat medik rekam 3= positif adanya infeksi medik (berdasar- TB dan kan sistem dinyatakan skoring) positif bila indurasi > 10 mm. 6. Berat Proporsi berat Observasi TB.01 0= normal Ordinal badan badan rekam dan atau tidak seseorang medik rekam tertera dibanding medik 1= Bawah umur. garis merah (KMS) atau BB/U <80% atau hanya tertera angka pada tabel berat badan di TB.01 dengan atau tanpa pengukuran sebelumnya. 2= Klinis gizi buruk (BB/U <60%) (berdasarkan sistem skoring)

25 7. Demam Suatu tanda Observasi TB.01 0= normal Ordinal >2minggu umum yang rekam dan atau tidak menandai medik rekam tertera adanya infeksi, medik 1= ada demam lama (berdasarkan yang tidak sistem diketahui skoring) penyebabnya. 8. Batuk 3 Gejala umum Observasi TB.01 0= tidak ada, Ordinal minggu TB yang rekam dan tidak tertera berlangsung medik rekam 1= ada lebih dari 3 medik (berdasarkan minggu sistem (kronik) dan skoring) salah satu mekanisme pertahanan tubuh. 9. Pembesa- Terabanya Observasi TB.01 0= normal Ordinal ran kelenjar limfe rekam dan atau tidak kelenjar pada medik rekam tertera limfe koli, pemeriksaan medik 1= aksila, fisik. bengkak(+) inguinal (berdasarkan sistem skoring) 10. Pembeng- Pada Observasi TB.01 0= normal Ordinal kakan pemeriksaan rekam dan atau tidak tulang / fisik terlihat medik rekam jelas sendi atau teraba medik 1= kesan TB panggul, pembengkakan (berdasarkan lutut, dan pada tulang sistem falang atau skoring) persendian.

26 11. Foto Pemeriksaan Observasi TB.01 0= normal Ordinal toraks radiologi pada rekam dan 1= kesan TB dada pasien medik rekam yang ditujukan medik untuk melihat kesan TB pada anak. 12 Penge- Pemahaman Kuesioner Kuesio- 1= tinggi Ordinal tahuan responden ner atau cukup terhadap jika melebihi pernyataan rata-rata seputar 2= rendah penyakit TB jika dibawah dan kejadian rata-rata overdiagnosis TB pada anak.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik secara cross-sectional untuk mengetahui prevalensi overdiagnosis TB anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan pada bulan Juni - Agustus 2013. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi target adalah seluruh pasien anak yang didiagnosis menderita TB di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan dari bulan Januari 2010 sampai Agustus 2013. Sedangkan sampel pasien TB anak puskesmas dipilih dengan cara cluster sampling. 3.4 Besar sampel Penelitian deskriptif kategorik dengan prevalensi yang tidak diketahui N = 97 sampel Untuk menghindari drop out, maka jumlah subjek ditambah sebanyak 10%. Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan sebanyak 107 sampel. Keterangan : 27

28 3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi 1. Kriteria inklusi : Data pasien anak yang terdiagnosis TB berdasarkan kriteria TB anak Data pasien TB anak berusia < 15 tahun Data pemeriksaan penunjang pasien (uji tuberkulin, foto toraks, standar lab) Data SDM khususnya yang menangani pasien TB anak (dilihat dari data manajemen puskesmas termasuk tenaga kesehatan yang beroperasi) 2. Kriteria Eksklusi: Data pasien anak dengan TB ekstra paru Sistem skoring yang diisi selain oleh petugas TB puskesmas Data TB.01 yang tidak tertera catatan mengenai parameter pada sistem skor sama sekali atau hanya berisi evaluasi pengobatan Data TB.01 yang kurang lengkap 3.6 Alat dan Bahan 1. Alat 1. Kuesioner 2. Rekam medik dan TB.01 2. Bahan 1. Pasien TB anak 3.7 Alur Penelitian TB.01, rekam medik, dan kuesioner

29 3.8 Cara Kerja Penelitian 1. Melakukan persiapan penelitian di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Mengurus perizinan ke Dinkes Tangerang Selatan untuk mengambil data di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan. 3. Mengurus perizinan ke kepala TU puskesmas untuk bisa bertemu dengan petugas TB yang bersangkutan dan pengambilan data sekunder. 4. Mengambil data rekam medik dan TB.01 pasien TB anak yang sesuai dengan syarat penelitian kami dengan cara seleksi dari kriteria inklusi dan eksklusi sampai memenuhi besar sampel yang dibutuhkan. 5. Memberikan kuesioner kepada petugas TB. Sebelum memberikan kuesioner, peneliti melakukan validasi kuesioner terlebih dahulu. 6. Melakukan analisis data berdasarkan TB.01, rekam medik, dan hasil kuesioner. 7. Menarik kesimpulan dan pelaporan penelitian. 3.9 Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : parameter sistem skoring TB anak (uji tuberkulin & foto toraks), ada tidaknya formulir skoring TB anak, dan tingkat pengetahuan petugas TB terhadap penyakit TB. 2. Variabel terikat : kejadian overdiagnosis TB anak 3.10 Manajemen Data 3.10.1 Pengumpulan data Data yang diambil berupa data sekunder dari rekam medik dan TB.01 pasien TB anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan dari bulan Januari 2010 Agustus 2013 yang dipilih dengan cara cluster sampling. 3.10.2 Pengolahan data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 16,0. Data disajikan dalam bentuk narasi, teks, dan tabel. 3.10.3 Analisis data Analisis data dilakukan setelah mendapatkan data dari proses pengolahan data dan akan dianalisis dengan melakukan analisis univariat serta pengujian analisis bivariat menggunakan uji chi-square.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dengan cara merekap TB.01 dan rekam medik pasien TB anak dari bulan Januari 2010 sampai Agustus 2013. Data yang terkumpul sebanyak 107 sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode cluster sampling pada puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan, yaitu puskesmas Pondok Aren, puskesmas Pondok Ranji, puskesmas Pondok Betung, puskesmas Serpong I, puskesmas Serpong II, puskesmas Ciputat, puskesmas Pamulang, puskesmas Pondok Benda, puskesmas Benda Baru, puskesmas Bakti Jaya, puskesmas Setu, dan puskesmas Kranggan. 4.1 Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi variabel independen dan variabel dependen yang diteliti. Selanjutnya hasil analisis univariat akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini: 4.1.1. Pola Distribusi pasien TB anak berdasarkan kelompok usia Kejadian TB anak diketahui dari kelompok usia anak yang dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.1 Distribusi pasien TB anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan tahun 2013 berdasarkan kelompok usia. Kelompok usia (tahun) Jumlah (pasien) Persentase (%) 0-5 tahun 62 57,9 6-15 tahun 45 42,1 Total 107 100 Pada tabel 4.1 diketahui bahwa kelompok usia 0-5 tahun (57,9%) memiliki presentasi kejadian TB lebih banyak dibandingkan dengan kelompok usia 6-15 tahun (42,1%) dengan nilai median pada umur 4 tahun. Hal ini sejalan dengan Weismuller (2002) dan Talay (2008) dimana kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok usia <5 tahun. 15,16 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Anna 30

31 (2004) dimana kelompok usia terbanyak diatas 5 tahun dengan nilai median pada umur 6 tahun. 17 4.1.2. Karakteristik Skoring pasien TB anak Gambaran parameter sistem skoring TB anak di beberapa puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan bulan Januari 2010 Agustus 2013. Tabel 4.2 Karakteristik skoring TB anak Skoring TB anak Jumlah (pasien) Persentase (%) 1 8 7,5 2 3 2,8 3 14 13,1 4 4 3,7 5 1 0,9 6 31 29 7 27 25,2 8 16 15 9 2 1,9 10 1 0,9 Total 107 100 Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan proporsi tertinggi berturut-turut total skor berdasarkan sistem skoring TB anak mulai dari skor 6 (29%), skor 7 (25,2%), skor 8 (15%), skor 3 (13,1%), skor 1 (7,5%), skor 4 (3,7%), skor 2 (2,8%), skor 9 (1,9%), skor 5 dan 10 (0,9%).

32 4.1.3. Karakteristik diagnosis TB anak berdasarkan sistem skoring Tabel 4.3 Karakteristik diagnosis pasien TB anak berdasarkan sistem skoring Status diagnosis Jumlah (pasien) Persentase(%) Overdiagnosis (Skoring < 6) 30 28 Diagnosis Skoring > 6 77 72 Total 107 100 Berdasarkan tabel 4.3 diketahui dari total 107 sampel yang diperoleh, terdapat 30 kasus (28%) overdiagnosis dengan rentang skoring 1 5 dan sisanya 77 orang (72%) didiagnosis TB dengan skoring > 6. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian overdiagnosis masih terjadi dikarenakan beberapa faktor. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil beberapa faktor yang mungkin berpengaruh terhadap kejadian overdiagnosis ini, yaitu berdasarkan tingkat pengetahuan petugas TB tentang penyakit TB itu sendiri dan overdiagnosis TB anak, ada tidaknya formulir skoring TB anak, dan berdasarkan perbedaan profesi (dokter dan bukan dokter) yang akan dijabarkan pada sub-bab analisis bivariat.

33 4.1.4 Karakteristik parameter sistem skoring TB anak Tabel 4.4 Karakteristik parameter skoring TB anak Parameter Jumlah pasien Persentase (%) Skor kontak TB 0 2 3 Skor uji tuberkulin 23 59 25 21,5 55,1 23,4 0 3 Skor keadaan gizi 0 1 2 Skor demam 0 1 Skor batuk 0 1 Skor pembesaran KGB 0 1 Skor pembengkakan tulang/sendi 0 1 Skor foto toraks 0 1 58 49 20 79 8 60 47 53 54 81 26 103 4 57 50 54,2 45,8 18,7 73,8 7,5 56,1 43,9 49,5 50,5 75,7 24,3 96,3 3,7 53,3 46,7 Diketahui bahwa untuk skor kontak TB 0 sejumlah 23 pasien (21,5%), skor 2 sejumlah 59 pasien (55,1%), dan skor 3 sejumlah 25 pasien (23,4%). Menurut Diani (2011) faktor risiko pajanan yang kemungkinan berperan terhadap infeksi TB

34 pada anak yang tinggal satu rumah dengan pasien TB paru dewasa sputum BTA positif pada pasien TB paru dewasa, jumlah sumber penularan, dan kepadatan populasi / hunian. 18 Menurut Anna (2004) bahwa menurut observasi pada anak yang mempunyai riwayat kontak TB paru dewasa memiliki risiko 19 kali terinfeksi TB. 17 Berdasarkan pengamatan bahwa skor uji tuberkulin 0 didapatkan lebih banyak yaitu 58 pasien (54,2%) dibandingkan dengan skor 3 (uji tuberkulin positif) dengan 49 pasien (45,8%). Hal ini sejalan dengan Rina (2011) dimana kebutuhan uji tuberkulin sebagai alat diagnostik di Indonesia masih menjadi masalah karena belum banyak disediakan di puskesmas, terutama di daerah pedesaan. 19 Berdasarkan tabel 4.4 juga didapatkan skor keadaan gizi 0 sebanyak 20 pasien (18,7%), skor 1 sebanyak 79 anak (73,8%), dan skor 2 untuk keadaan malnutrisi sebanyak 8 pasien (7,5%). Lalu untuk parameter skoring demam didapatkan skor 0 sebanyak 60 pasien (56,1%) dan skor 1 sebanyak 47 pasien (43,9%). Pada parameter skoring batuk didapatkan skor 0 sebanyak 53 pasien (49,5%) dan skor 1 sebanyak 54 pasien (50,5%). Pada parameter skoring pembesaran kelenjar limfe didapatkan skor 0 sebanyak 81 pasien (75,7%) dan skor 1 sebanyak 26 pasien (24,3%). Pada parameter skoring pembengkakan tulang/sendi didapatkan skor 0 sebanyak 103 pasien (96,3%) dan skor 1 sebanyak 4 pasien (3,7%). Pada parameter skoring foto toraks didapatkan skor 0 sebanyak 57 pasien (53,3%) dan skor 1 sebanyak 50 pasien (46,7%). 4.2 Analisis Bivariat 4.2.1 Hubungan antara kejadian overdiagnosis TB anak dengan profesi dokter Tabel 4.5 Hubungan antara kejadian overdiagnosis pada skoring TB anak dengan profesi dokter dan bukan dokter Profesi Status overdiagnosis (%) p-value Overdiagnosis Skor > 6 Dokter 8(26,7%) 9(11,7%) Bukan dokter 22(73,3%) 68(88,3%) 0,077 Total 30(100%) 77(100%)

35 Pada tabel 4.5 diketahui bahwa skor 1 pada kolom overdiagnosis menunjukkan skoring < 6 dan skor 2 menunjukkan skoring TB anak > 6. Tabel diatas diuji dengan menggunakan uji chi-square dimana status overdiagnosis bertindak sebagai variabel terikat dan status profesi dokter dan bukan dokter sebagai variabel bebas. Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status profesi dokter dengan kejadian overdiagnosis TB anak karena nilai p > 0,05. Hal ini sejalan dengan penelitian Nastiti (2011) tentang keselarasan pembacaan hasil uji tuberkulin dimana sensitivitas dan spesifisitas uji tuberkulin perawat dibandingkan dokter umum berturut-turut adalah 94% dan 100%. Hal ini menunjukkan keseragaman bahwa profesi dokter tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian overdiagnosis TB anak dibandingkan dengan profesi bukan dokter. 20 4.2.2 Hubungan antara antara uji tuberkulin dengan kejadian overdiagnosis TB anak Tabel 4.6 Hubungan antara dilakukannya uji tuberkulin dengan kejadian overdiagnosis TB pada anak Uji tuberkulin Status overdiagnosis (%) p-value Overdiagnosis Skor > 6 0 29(96,7%) 29(37,7%) 3 1(3,3%) 48(62,3%) 0,000 Total 30(100%) 77(100%) Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan nilai p < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara uji tuberkulin dengan kejadian overdiagnosis TB anak. Secara teori, selain uji tuberkulin mempunyai skor yang besar dalam sistem skoring, uji tuberkulin merupakan alat diagnosis yang penting dalam mengevaluasi seorang pasien TB anak terutama pada negara berkembang karena sulitnya mengambil sputum pada anak.

36 4.2.3 Hubungan antara foto toraks dengan kejadian overdiagnosis TB anak Tabel 4.7 Hubungan antara dilakukannya foto toraks dengan kejadian overdiagnosis TB pada anak Foto toraks Status overdiagnosis (%) p-value Overdiagnosis Skor > 6 0 26(86,7%) 31(40,3%) 1 4(13,3%) 46(59,7%) 0,000 Total 30(100%) 77(100%) Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan nilai p <0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara foto toraks dengan kejadian overdiagnosis TB anak. Secara klinis apabila pada pemeriksaan radiologis ditemukan dengan gambaran sugestif infeksi TB maka paramedis dapat langsung mengatakan adanya infeksi TB tanpa harus memenuhi skoring TB anak, dalam hal ini memungkinkan terjadi overdiagnosis TB pada anak. 21 4.2.4 Hubungan antara ada tidaknya formulir skoring TB anak dengan kejadian overdiagnosis TB anak Tabel 4.8 Hubungan antara ada tidaknya formulir TB anak dengan kejadian overdiagnosis TB pada anak Formulir skoring Status overdiagnosis (%) p-value Overdiagnosis Skor > 6 Ada 0(0%) 45(58,4%) Tidak ada 30(100%) 32(41,6%) 0,000 Total 30(100%) 77(100%) Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan nilai p <0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara ada tidaknya formulir skoring TB anak dalam mendiagnosis dengan kejadian overdiagnosis TB anak. Secara teori, peneliti sejalan dengan hasil penelitian dikarenakan form TB.01 puskesmas yang diperoleh tidak memuat semua hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,

37 dan penunjang yang memuat isi sistem skoring TB anak sehingga adanya formulir skoring TB anak sangat membantu dalam menganalisa data yang diperoleh peneliti. 4.2.5 Hubungan antara tingkat pengetahuan petugas TB dengan kejadian overdiagnosis TB anak Tabel 4.9 Hubungan antara tingkat pengetahuan petugas TB puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan dengan kejadian overdiagnosis TB anak. Tingkat pengetahuan petugas Status overdiagn osis (%) p-value Overdiagnosis Skor > 6 Tinggi 2(40%) 6(100%) Rendah 3(60%) 0(0%) 0,013 Total 5(100%) 6(100%) Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa tingkat pengetahuan petugas TB ternyata berpengaruh terhadap status overdiagnosis TB anak. Terdapat 3 petugas TB dengan tingkat pengetahuan rendah yang ternyata lebih banyak menghasilkan kejadian overdiagnosis TB anak. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kurangnya pelatihan progam TB ataupun kurangnya media informasi yang didapat peneliti pada petugas TB bersangkutan. Hasil dari uji chi-square diperoleh nilai p = 0,013 yang berarti p < 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan bermakna antara kejadian overdiagnosis TB anak dengan pengetahuan petugas TB puskesmas terhadap penyakit TB dan overdiagnosis TB anak. Selama berjalannya penelitian, peneliti mengkaji topik islam yang berhubungan dengan salah satu analisis bivariat, yakni hubungan profesi dengan kejadian overdiagnosis TB anak. Dalam HR Bukhari : Artinya: Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah datangnya kehancuran. Walaupun tidak terdapat hubungan antara profesi dengan kejadian overdiagnosis TB anak, tetapi secara teori, kompetensi diagnosis seharusnya diserahkan kepada dokter. 4

38 4.3 Keterbatasan Penelitian 1. Belum adanya penelitian sebelumnya mengenai overdiagnosis TB pada anak sehingga tidak ada pembanding bagi peneliti dalam mengkoreksi hasil penelitian. 2. Penelitian ini masih bersifat deskriptif analitik, hanya memaparkan keadaan dan sifat masalah variabel tertentu yang erat hubungannya dengan timbulnya masalah.

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Prevalensi overdiagnosis TB anak berdasarkan sistem skoring TB anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan dari bulan Januari 2010 Agustus 2013 sebesar 28% 2. Kejadian TB anak lebih banyak terjadi pada kelompok usia 0-5 tahun, yakni sebesar 57,9%. 3. Persentasi skoring terbanyak yakni jumlah skoring sebesar enam (6) dengan total 29% dari keseluruhan skoring. 4. Terdapat hubungan bermakna antara kejadian overdiagnosis TB anak dengan ada tidaknya formulir skoring TB anak (p 0,000), tingkat pengetahuan petugas TB terhadap penyakit TB (p 0,013), uji tuberkulin (p 0,000), dan foto toraks (p 0,000). 5.2 Saran 1. Formulir skoring TB anak sebaiknya ditempel pada meja petugas TB atau di tempat yang mudah terlihat lainnya agar petugas tidak mudah lupa dan mengurangi terjadinya overdiagnosis TB anak 2. Perlunya sumber data tambahan dari Dinkes agar poin-poin penilaian data sistem skoring TB anak lebih lengkap. 3. Perlunya dokter sebagai pendamping untuk setiap petugas TB yang berprofesi selain dokter sesuai catatan Depkes IDAI 4. Adanya data mengenai kegiatan pelatihan setiap petugas TB puskesmas. 5. Form TB.01 puskesmas sebaiknya mengikuti form TB.01 Rumah Sakit Fatmawati karena sudah tertera sistem skoring TB anak pada bagian depan formulir sehingga mempermudah proses diagnosis TB pada anak. 6. Meneliti hubungan kejadian overdiagnosis TB anak dengan kemungkinan terjadinya gejala efek samping OAT pada anak 39

40 DAFTAR PUSTAKA 1. Sylvia AP, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol.2 Ed.6.Jakarta:EGC;2005. 2. Eamranond P, Jaramillo E. Tuberculosis in children: reassing the need for improved diagnosis in global control strategies. Int J Tuberc Lung Dis 2001; 5:594-603. 3. Rigouts L. Diagnosis of childhood tuberculosis. Eur J Pediatr. 2009; 168:1285-90. 4. Depkes, IDAI. Diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis anak.2008. 5. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. Laporan situasi terkini perkembangan tuberkulosis di Indonesia Juni-Juli 2011. [Cited 22 september 2012] available from http://www.tbindonesia.or.id/pdf/2011/indonesiareport2011.pdf. 6. Subdit, TB. 2010. Situasi Epidemiologi TB di Indonesia. [Cited 5 September 2013] at http://tbindonesia.or.id/pdf/data_tb_1_2010/pdf. 7. Sudoyo AW, et. al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III.ed.5. Jakarta:Interna Publishing;2009. 8. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. vol.2.ed 15.Jakarta:EGC;2000. 9. Kumar, Abas, Fausto. Robbins and Cotran s Pathologic Basis of Disease.ed 7. 2005. 10. DEPKES. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Ed.7.2007. 11. Hesseling AC, Schaaf HS, Gie RP, Starke JR., Beyers N. A Critical review of diagnostic approaches used in the diagnosis of childhood tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis.2002;6:1038-45. 12. Riduwan. Skala pengukuran variabel-variabel penelitian. alfabeta Bandung; 2002. 13. Dahlan, MS. Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. Seri 3. ed.2. Jakarta : Sagung Seto;2010. 14. Dahlan, MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. ed.4. Jakarta : Salemba Medika;2009.

41 15. Weismuller MM, et. al. Diagnosis of childhood tuberculosis in Malawi: an audit hospital practice. Int J Tuberc Lung Dis 2002:6:432-8. 16. Talay F, Kumbetli S. Risk factor affecting the development of tuberculosis infection and disease in household contacts of patients with pulmonary tuberculosis. Turkish Respiratory Journal 2008; 9:34-7. 17. Anna CCS, Santos MARC, Franco R. Diagnosis of pulmonary tuberculosis by score system in children and adolescents: A trial in reference center in Bahia, Brazil. BJID 2004; 8:305-310. 18. Diani A, Setyanto DB, Nurhamzah W. Proporsi infeksi tuberkulosis dan gambaran faktor risiko pada balita yang tinggal dalam satu rumah dengan pasien tuberkulosis paru dewasa. Sari Pediatri, 2011. Vol.3. h. 62-9. 19. Triasih R, Graham MS. Limitations of Indonesian Pediatric Tuberculosis Scoring System in the Context of Child Contact Investigation. Paediatrica Indonesiana. vol.51. No.6;2011. 20. Kaswandani N, Rahajoe NN, Kamso S. Keselarasan Pembacaan Hasil Uji Tuberkulin oleh Tenaga Kesehatan di Puskesmas. Maj Kedokt Indon. Januari 2011; 61:25-29. 21. Perez CM, Marais BJ. Current concepts tuberculosis in children. N Eng J Med 2012; 367:348-61.

42 LAMPIRAN Lampiran 1 SURAT PERIZINAN DINKES

43 Lampiran 2 FORM TB.01 PUSKESMAS

44 Lampiran 3 FORM TB.01 RUMAH SAKIT FARMAWATI

45 Lampiran 4 KUESIONER PREVALENSI OVERDIAGNOSIS TB ANAK BERDASARKAN SISTEM SKOR TB ANAK DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI PUSKESMAS WILAYAH KOTA TANGERANG SELATAN JUNI-AGUSTUS 2013 I. Karakteristik Responden Nama Puskesmas : Kecamatan : Nama Responden : Umur : Alamat tempat tinggal : Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan *) Pendidikan terakhir : Pekerjaan : *) Coret yang tidak perlu Ciputat, Agustus 2013 Peneliti Responden

46 II. Pengetahuan Untuk mengetahui pemahaman responden terhadap pertanyaan yang diajukan, berilah tanda centang ( ) pada kolom yang tersedia dan pilih sesuai keadaan yang sebenarnya. Ada lima alternatif jawaban, yaitu : 1 = Sangat tidak setuju (STS) 2 = Tidak setuju (TS) 3 = Ragu-ragu (R) 4 = Setuju (S) 5 = Sangat setuju (SS) No Pernyataan Alternatif jawaban 1 2 3 4 5 STS SS R S SS 1. TB merupakan penyakit menular yang dipengaruhi oleh suhu udara yang lembab. 2. Salah satu penyebab TB adalah jenis bakteri gram negatif. 3. TB merupakan penyakit tahunan. 4. TB merupakan penyebab kematian anak no.2 di Indonesia. 5. Batuk >3 minggu tanpa penurunan berat badan merupakan tanda terjadinya TB pada anak.

47 Alternatif Jawaban No Pernyataan 1 2 3 4 5 STS TS R S SS 6. Paru-paru bagian apeks merupakan tempat yang paling sering diserang oleh TB pada anak. 7. Menurut bapak/ibu perlukah uji tuberkulin diperlakukan untuk anak yang dicurigai menderita TB? 8. Menurut bapak/ibu pemeriksaan foto toraks sangat penting untuk menegakkan diagnosis TB anak? 9. Penemuan benjolan pada leher anak merupakan tanda terjadinya TB pada anak. 10. Demam subfebris, keringat pada malam hari, dan kerewelan yang terjadi pada anak merupakan salah satu manifestasi klinis TB anak 11. Berat badan yang tidak naik walaupun sudah diberi asupan gizi yang cukup merupakan gejala klinis TB pada anak 12. TB menyebar lewat udara 13. Kontak dengan penderita TB lain adalah salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit. 14. Manifestasi TB dapat menyebar hingga ke otak 15. TB dapat menular lewat kontak fisik 16. Salah satu pengobatan TB adalah kombipak 17. OAT (Obat Anti Tuberkulosis) terdiri dari 4 kategori (termasuk kategori anak)

48 Alternatif Jawaban No Pernyataan 1 2 3 4 5 STS TS R S SS 18. OAT untuk anak berbeda dengan dewasa 19. Salah satu kesulitan penanganan TB pada anak ialah terputusnya pemakaian obat 20. Pengobatan TB pada anak harus dilakukan selama 6 bulan 21. Pengawas obat perlu dalam pelaksanaan pengobatan TB anak 22. Pengobatan TB tidak boleh diputus walau sekalipun 23. Menurut bapak/ibu apakah pemeriksaan sputum diperlukan untuk menentukan diagnosis TB pada anak? 24. TB anak paling banyak ditemukan pada pemukiman padat 25. Overdiagnosis TB anak sering terjadi karena hasil uji tuberkulin yang positif 26. Diagnosis TB anak harus memenuhi skoring >6 27. Overdiagnosis TB anak adalah apabila didiagnosis TB dan hanya memenuhi skoring diagnosis TB anak < 6

49 Lampiran 5 DATA HASIL UJI STATISTIK Analisis univariat

50

51

52