LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014

dokumen-dokumen yang mirip
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO INDONESIA

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Juni 2017 RESEARCH TEAM

SEBERAPA JAUH RUPIAH MELEMAH?

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

1. Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

I. PENDAHULUAN. Inflation Targeting Framework (ITF) tidaklah cukup untuk mengatasi. krisis ekonomi dan keuangan, maka perlu adanya sebuah instrument

BAB I PENDAHULUAN. Peranan bank dalam kegiatan perekonomian sangat fundamental, setiap

Februari 2017 RESEARCH TEAM

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk simpanan. Sedangkan lembaga keuangan non-bank lebih

Kinerja CARLISYA PRO MIXED

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 1 PENDAHULUAN. bunga yang sangat tinggi. Hingga saat ini, sistem pengkreditan bank sudah merata

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

Monthly Market Update

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan tersebut semakin membaik pada akhir 2015 seiring dengan. semakin baik (Laporan Tahunan Perbankan, 2015).

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai institusi yang memberikan jasa keuangan bagi seluruh pelaku

Proyeksi beberapa Indikator Ekonomi Mohammad Indra Maulana Alumni FEB UGM

Kajian Ekonomi Regional Banten

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Sektor Properti

BAB I PENDAHULUAN. melakukan kegiatan operasionalnya. Menurut Undang-Undang RI Nomor 10

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014

Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan. Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur

SURVEI PERBANKAN KONDISI TRIWULAN I Triwulan I Perbankan Semakin Optimis Kredit 2015 Tumbuh Sebesar 17,1%

BAB I PENDAHULUAN. dengan pihak yang membutuhkan dana. Bank akan menerima dana dari. masyarakat (DPK) dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali

BAB I PENDAHULUAN. secara keseluruhan pasti melakukan kegiatan konsumsi. Kegiatan konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2015, perekonomian global secara umum melemah berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN. perantara keuangan antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus unit)

BAB I PENDAHULUAN. dalam sistem keuangan di Indonesia. Pengertian bank menurut Undang-Undang

PENDAHULUAN. memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (Halling dan Hayden, 2006).

Kinerja CARLISYA PRO SAFE

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tujuan investasi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang ekonomi secara global ini, menyebabkan berkembangnya

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

DAMPAK KRISIS EKONOMI GLOBAL TERHADAP KONDISI PERBANKAN DAN SEKTOR RIIL DI WILAYAH KERJA KBI KUPANG

PENDAHULUAN. memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi (Halling dan Hayden, 2006).

ANALISIS TRIWULANAN:

BAB I PENDAHULUAN. kredit bermasalah yang terjadi dalam suatu bank. Semakin tinggi

BAB I PENDAHULUAN. CAR (Capital Adequacy Ratio) adalah Rasio yang memperlihatkan

BAB I PENDAHULUAN. dianggap investasi tersebut menguntungkan. Menurut Tandelilin (2010) investasi

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) dana jangka

Analisis Perkembangan Industri

BAB 1 PENDAHULUAN. (Nopirin, 2009:34). Kelangkaan dana yang dimiliki dunia perbankan memicu

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Perkembangan penyaluran kredit UMKM BPD di Indonesia. mencapai 304,492 milyar rupiah atau meningkat sebesar 13,02 persen

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH

Monthly Market Update

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004

BAB I PENADAHULUAN. satunya adalah agent of trust. Agent of trust berarti dalam kegiatan usahanya bank

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (Merkusiwati, 2007:100)

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua ahli ekonomi berpendapat bahwa modal merupakan faktor yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kredit properti (subprime mortgage), yaitu sejenis kredit kepemilikan rumah

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB 7 : OUTLOOK EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. Bank adalah lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting sebagai

Analisis Perkembangan Industri

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh 19,7% tahun 2015, jauh lebih tinggi dari tahun triliun menjadi Rp triliun hingga akhir tahun.

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN II 2004

PERAN KEBIJAKAN MONETER DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN hingga tahun 2012 terlihat cukup mengesankan. Di tengah krisis keuangan


BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat

KINERJA PERBANKAN 2008 (per Agustus 2008) R e f. Tabel 1 Sumber Dana Bank Umum (Rp Triliun) Keterangan Agustus 2007

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dan mengatur kegiatan perekonomian suatu negara, termasuk pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sistem perekonomian dan sebagai alat dalam pelaksanakan kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kemerosotannya. Hal ini terlihat dari nilai tukar yang semakin melemah, inflasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Terintegrasinya perekonomian global telah menyebabkan krisis di suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan

Transkripsi:

LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014 Proses perbaikan ekonomi negara maju terhambat tingkat inflasi yang rendah. Kinerja ekonomi Indonesia melambat antara lain karena perlambatan ekspor dan kebijakan moneter ketat. Perlambatan berimbas pada penyaluran kredit bank yang pada akhirnya menekan profitabilitas. 1

EKONOMI GLOBAL PERBAIKAN TERHAMBAT, STIMULUS MONETER EKSPANSIF Resmi tappering off, suku bunga berpotensi naik. The Fed telah menghentikan program pembelian aset pada 29 Oktober 2014 lalu dan juga mengisyaratkan kenaikan suku bunga bisa terjadi lebih cepat dari ekspektasi, tergantung pada tingkat inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja Amerika Serikat. Ekonomi kuartal III-2014 tumbuh 2,3% (year-on-year) atau 3,5% (quarter-to-quarter). Tingkat inflasi terjaga di kisaran target 2%. Inflasi Oktober tercatat 1,70% (yoy), sama seperti bulan sebelumnya. Tingkat pengangguran turun dari 5,90% pada September 2014 menjadi 5,80% pada Oktober 2014. Meski begitu, penguatan nilai dolar dikhawatirkan akan menghambat ekspor. US Dollar Index meningkat menjadi 88,31 pada November 2014 dari bulan sebelumnya 86,92%. Perang terhadap deflasi masih berlanjut. European Central Bank memotong suku bunga sebagai strategi menaikan inflasi. Suku bunga acuan ECB Interest Rate turun 10 bps menjadi 0,15% sejak Juni 2014, level terendah sepanjang sejarah. Bank yang menyimpan uang di bank sentral juga dikenakakan suku bunga overnight bank sentral minus 0,1% demi mendorong kredit investasi. Konsumsi rumah tangga tercatat meningkat namun belum mampu menutup pelemahan investasi. Inflasi cenderung bertahan di level rendah. Inflasi bulan Oktober 2014 (yoy) hanya 0,4%, lebih rendah dari target sekitar 2,0%. Ekonomi kuartal III-2014 tumbuh 0,8% (yoy) dan 0,2% (qtq). 2

ECB berencana menambah stimulus moneter untuk meningkatkan inflasi dan penyaluran kredit perbankan. Jepang ditubir resesi. Ekonomi Jepang kembali berkontraksi setelah pertumbuhan kuartal III-2014 tercatat minus 1,2%. Reformasi Abenomics belum sesuai ekspektasi. Kebijakan peningkatan pajak penjualan dari 5% menjadi 8% per 1 April mendorong inflasi April 2014 mencapai 3,40%, tertinggi dalam 23 tahun terakhir. Meski begitu, inflasi cenderung bergerak turun. Inflasi September 2014 tercatat 3,20% (yoy). Defisit perdagangan pada Oktober 2014 sebesar 709,99 miliar. Ekspor naik 4,78% (month-to-month) ke posisi 6.688 miliar sementara impor naik 0,78% ke posisi 7.398 miliar. Untuk mendorong perekonomian, Bank of Japan menaikan target basis moneter dengan tambahan 10 20 triliun dan akan melakukan pembelian aset tambahan. Pemerintah juga menunda kenaikan pajak konsumsi hingga April 2017 dari rencana sebelumnya Oktober 2015. Perlambatan ekonomi memuncak. Ekonomi China pada kuartal III-2014 tumbuh 7,3% (yoy), terendah dalam lima tahun terakhir. China, yang bersama India, telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru dalam satu dekade terakhir, memerlukan reformasi struktural untuk meredam ekonomi yang overheating dan berada dalam fase resesi siklikal. Bank sentral China PBOC telah memotong suku bunga acuan kredit 1 tahun sebesar 40 bps menjadi 5,6% pada 21 November 2014. Pemotongan ini merupakan yang pertama kali dalam dua tahun terakhir. Kebijakan 3

mini-stimulus China yang diterapkan sejak April 2014 telah membantu perbaikan kinerja ekspor namun belum mampu meredam pelambatan sektor properti dan tekanan pasar finansial. Surplus perdagangan mencapai rekor tertinggi sejak 1983 pada Agustus 2014 yang mencapai US$49,83 miliar. Surplus perdagangan per Oktober mencapai US$45,40 miliar yang mana ekspor tumbuh minus 3,19% (mtm) ke posisi US$206,9 miliar sementara impor tumbuh minus 11,65% (yoy) ke posisi US$161,5 miliar. EKONOMI DOMESTIK TARGET MONETER SESUAI RENCANA NAMUN PERLAMBATAN DI BAWAH EKSPEKTASI Defisit neraca perdagangan membaik. Neraca perdagangan sepanjang Januari- September 2014 tercatat defisit US$1,67 miliar, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2013 yang mencapai US$6,40 miliar. Dalam periode tersebut, nilai ekspor turun 0,93% menjadi US$132,71 miliar. Ekspor nonmigas turun 0,81% antara lain karena larangan ekspor bahan mineral dan batu bara. Ekspor bahan bakar mineral turun 12,97%. Ekspor nonmigas ke Amerika Serikat naik 5,14% sementara ke China dan Jepang masing-masing turun 15,40% dan 10,50%. Kontribusi ketiga negara tersebut terhadap total ekspor nonmigas mencapai 32,17%. Nilai impor turun 4,26% menjadi US$134.37 miliar. Impor nonmigas turun 5,03% menjadi US$101,35 miliar sementara migas turun 1,82% menjadi US$33,02 miliar karena impor hasil minyak turun 3,42% menjadi US$20,35 miliar. 4

Hot money mendominasi neraca pembayaran. Defisit transaksi berjalan pada Januari September 2014 sebesar US$19,68 miliar, lebih rendah 20,53% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan investasi portofolio serta penurunan capital outflow dari derivatif finansial dan investasi lainnya, mendorong total neraca pembayaran Indonesia surplus US$12,84 miliar, lebih baik daripada periode yang sama tahun 2013 yang defisit US$11,74 miliar. Investasi portofolio naik 214,75% menjadi US$24,11 miliar. Rupiah Lebih fluktuatif. Investasi portofolio dan derivatif finansial rentan terhadap sentimen spekulatif. Hal tersebut mendorong rupiah bergerak lebih fluktuatif.. Rupiah terhadap dolar AS pada akhir kuartal III-2014 diperdagangkan pada harga Rp12.212 per dolar AS, terdepresiasi 0,19% (year-todate) atau 5,16% (yoy). Ratarata nilai tukar sepanjang sembilan bulan pertama 2014 tercatat Rp11.748, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pada periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp10.044. Nilai tukar rupiah pada tahun 2014 terlihat lebih fluktuatif dibandingkan tahun 2013 sebagaimana tercermin dari nilai volatilitas 0,53% berbanding 0,38%. Fluktuasi tertinggi terjadi pada bulan Juli 2014 dengan volatilitas 0,79%. Cadangan devisa pada Oktober 2014 tercatat US$111,97 miliar. Nilai tersebut naik US$809 juta atau 0,73% dari posisi September 2014. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, cadangan devisa bertambah US$14,98 miliar atau 15,44%. Rata-rata sepanjang Januari-Oktober 2014 adalah US$117,12 miliar. 5

Harga BBM menekan Inflasi. Inflasi hingga kuartal III-2014 cukup terkendali. Inflasi September 2014 tercatat 0,27% (mtm) atau 4,53% (yoy). Inflasi inti dan barang-barang yang diatur pemerintah (administered price) masingmasing tercatat 0,29% dan 0,54% (mtm) sementara barang-barang yang bergejolak (volatile) tercatat deflasi 0,22%. Inflasi Januari-September 2014 sebesar 3,71%. Target inflasi Bank Indonesia pada tahun 2014 adalah 4,00%±1%. Penyesuaian harga BBM bersubsidi rata-rata 33% per 18 November 2014 menekan inflasi yang dampaknya diperkirakan akan terasa hingga Februari 2015. Terkait hal itu, Bank Indonesia menaikan BI Rate sebesar 25 bps dari level 7,50% yang belum berubah sejak November 2013. Perlambatan di bawah ekspektasi. Ekonomi per kuartal III-2014 tumbuh 5,01% (yoy), terendah sejak kuartal III-2009. Perlambatan tersebut merupakan konsekuensi dari kebijakan moneter ketat bank sentral untuk mengatasi tekanan inflasi dan defisit transaksi berjalan. Kenaikan suku bunga acuan telah memicu pelemahan impor dan memperbaiki defisit namun juga menghambat investasi dan konsumsi. Rendahnya pertumbuhan ekonomi kuartal III tersebut antara lain karena pelemahan permintaan impor China ke Indonesia serta rendahnya harga ekspor nikel, batubara, dan timah. Perlambatan berpotensi berlanjut hingga akhir tahun ini dan bisa lebih rendah dari proyeksi BI yang sekitar 5,1% - 5,4%. 6

INDUSTRI PERBANKAN TEKANAN LIKUIDITAS MENDORONG BIAYA DANA Likuiditas perbankan tertekan. Perekonomian nasional yang belum kondusif mempengaruhi perbankan. perbankan kinerja Likuiditas sebagaimana tercermin dari M2 dan Dana Pihak Ketiga terlihat tertekan. Nilai M2 dan DPK sepanjang sembilan blan pertama tahun 2014 lebih fluktuatif dibandingkan periode yang sama tahun 2013 sebagaimana tercermin dari volatilitas M2 dan DPK yang sebesar 1,50% dan 1,74% berbanding 1,31% dan 0,93%. Rata-rata perubahan nilai M2 sepanjang Januari-September 2014 tercatat Rp31,07 triliun perbulan, sedikit lebih baik dari periode yang sama tahun 2013 yang mencapai Rp30,73 triliun. Rata-rata perubahan nilai DPK pada periode tersebut Rp36,87 triliun berbanding Rp33,44 triliun. Dana mahal mendominasi. Dana pihak ketiga per September 2014 tercatat Dana Pihak Ketiga Simpanan Sep-14 % Change (Rp triliun) QoQ YoY Giro 917 0.55% 6.98% Tabungan 1,206 0.43% 7.07% Simpanan Berjangka 1,873 0.28% 21.40% Sumber: BI/Diolah Rp3.996 triliun, naik 13.32% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang naik 15,61%. Porsi DPK terhadap sumber pendanaan naik tipis dari 89,99% menjadi 90,25%. Berdasarkan jenisnya, simpanan berjangka membukukan peningkatan signifikan sebesar 21,40% (yoy) menjadi Rp1.873 triliun sementara giro dan tabungan masing-masing naik 6,98% dan 7,07% menjadi Rp1.205 triliun dan Rp917 triliun. Sebagai perbandingan, pertumbuhan deposito berjangka, giro, dan tabungan untuk periode yang sama tahun lalu masing-masing sebesar 14,95%, 18,03%, dan 14,73%. Rasio CASA melemah dari 56,24% menjadi 53,12%. Penyaluran kredit melambat. Posisi kedit per September 2014 tercatat Rp3.561 triliun, tumbuh 13,16% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2013 yang mencapai 23,14% (yoy). Porsi kredit terhadap total penyaluran 7

dana mencapai 67,63%, lebih rendah dari porsi September 2013 yang sebesar 68,37%. Penyaluran dana untuk penempatan pada BI, penyertaan, dan CKPN meningkat signifikan masingmasing 21,91%, 30,13%, dan 14,06%. Berdasarkan jenis kredit, penyaluran kredit untuk investasi membukukan perlambatan terdalam. Kredit investasi tumbuh 16,40% menjadi Rp873 triliun, lebih rendah dari periode sebelumnya yang mampu tumbuh 33,90%. Kredit modal kerja dan konsumsi masing-masing tumbuh 13,33% dan 10,14% menjadi Rp1.708 triliun dan Rp980 triliun. Sebagai perbandingan, keduanya tumbuh 21,92% dan 17,19% pada periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan lapangan usaha, sektor listrik, gas, dan air serta sektor jasa pendidikan mengalami penguatan dari 18 kelompok sektor. Penyaluran kredit ke sektor listrik, gas, dan air sebesar Rp88 triliun atau naik 21,09%, lebih baik dari posisi September 2013 yang tumbuh 6,36%. Kredit ke sektor jasa pendidikan naik 33,13% menjadi Rp6,76 triliun. Sektor ini periode sebelumnya tumbuh 13,21%. Porsi kedua sektor tersebut terhadap total kredit masing-masing 2,47% dan 0,19%. Porsi terbesar masih berada di sektor perdagangan besar dan eceran yang mencapai Rp699 triliun atau 19,63% dari total kredit. Kredit Properti Melambat Signifikan. Untuk kredit kepada bukan lapangan usaha atau sektor rumah tangga, kredit pemilikan properti mengalami perlambatan sementara kredit pemilikan kendaraan dan kredit pemilikan rumah tangga lainnya (termasuk pinjaman multiguna) menguat signifikan. Perlambatan tersebut antara lain imbas dari pengenaaan ketentuan loan to value (LTV) KPR. Kredit pemilikan rumah tinggal naik 12,34% menjadi Rp295 triliun, jauh lebih rendah dari pertumbuhan September 2013 yang mencapai 31,73%. Hal yang sama terjadi pada kredit pemilikan flat/apartemen serta kredit pemilikan ruko/rukan yang masingmasing tumbuh 9,78% dan 3,68% menjadi Rp13 triliun dan Rp26 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu, keduanya mampu tumbuh masing-masing 32,88% dan 8

32,74%. Kredit pemilikan kendaraan tumbuh 14,97% menjadi Rp121 triliun, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun lalu yang sebesar 3,20%. Kredit pemilikan rumah tangga lainnya (termasuk pinjaman multiguna) naik 17,43% menjadi Rp319 triliun, lebih tinggi dari kinerja tahun lalu yang tumbuh 5,84%. Kredit bermasalah meningkat. Kondisi ekonomi yang kurang kondusif berdampak pada peningkatan risiko kredit. Rasio kredit bermasalah (Non- Performing Loan/NPL) per September 2014 sebesar 2,29%, meningkat dibanding September 2013 yang sebesar 1,86%. Secara nominal, NPL meningkat 39,58% menjadi Rp82 triliun. Berdasarkan jenis penggunaan, kredit modal kerja dan kredit investasi membukukan rasio NPL masing-masing 2,55% dan 2,60% sementara kredit konsumsi 1,57%. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun 2013, rasio NPL untuk ketiganya masing-masing tercatat 2,04%, 1,83%, dan 1,59%. Berdasarkan lapangan usaha, tiga sektor yang membukukan rasio NPL terbesar adalah sektor konstruksi (4,55%), sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi (3,79%), serta sektor jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan, dan perorangan lainnya (3,69%). Rasio NPL untuk kredit properti, baik pemilikan rumah tinggal, flat/apartemen, dan ruko/rukan tercatat 2,43%, sedikit lebih tinggi dari September 2013 yang sebesar 2,36%. Rasio NPL terbesar dibukukan kredit ruko/rukan dengan besaran 2,64%, disusul rumah tinggal (2,47%), dan flat/apartemen (1,10%). Kredit pemilikan kendaraan membukukan rasio NPL 1,15%, lebih tinggi dari September 2013 yang sebesar 0,84%. Tingkat profitabilitas Melemah. Tingkat penyaluran kredit yang melambat berimbas pada pendapatan bank. Pendapatan bunga bersih hingga September 2014 tercatat Rp255 triliun atau naik 12,70%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 16,12%. Rasio marjin bunga bersih (net interest margin) mengecil dari 5,48% menjadi 4,21%. Laba sebelum pajak tercatat Rp142 triliun atau naik 8,96%, periode yang sama tahun lalu tercatat naik 14,57%. Dengan kenaikan rata-rata toal aset 14,72%, rasio laba terhadap aset (return on asset) 9

sebesar 2,91% atau lebih rendah dari tahun lalu yang sebesar 3,06%. Pendapatan operasional tumbuh lebih tinggi dibanding tahun lalu, yakni dari 14,84% menjadi 18,52% ke posisi Rp435 triliun. Meski begitu, biaya operasional juga meningkat lebih tinggi, yakni dari 14,98% menjadi 21,36% ke posisi Rp331 triliun. Tingkat efisiensi pun melemah sebagaiman tercermin dari rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang sebesar 76,14%, lebih tinggi dari September 2013 yang sebesar 74,35%. Tingkat permodalan terjaga. Struktur permodalan bank relatif aman karena modal naik lebih tinggi daripada aktiva tertimbang menurut risiko terkait perlambatan kredit. Total modal per September 2014 sebesar Rp731 triliun atau naik 21,53% (yoy) sementara ATMR Rp3.741 triliun atau naik 12,67%. Rasio pemenuhan kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio) menjadi 19,53%, sedikit lebih tinggi dari periode sebelumnya yang sebesar 18,11%. Sementara itu, rasio modal inti terhadap ATMR naik dari 16,42% menjadi 17,91% karena kenaikan modal inti 22,82% menjadi Rp670 triliun. Indikator Keuangan Bank Umum Rasio Keuangan Sep-2012 Sep-2013 Sep-2014 Rasio Pemenuhan Kecukupan Modal Minimum (%) 17.41 18.11 19.53 Rasio Modal Inti terhadap ATMR (%) 15.54 16.42 17.91 ROA (%) 3.09 3.06 2.91 BOPO (%) 74.26 74.35 76.14 NIM (%) 5.45 5.48 4.21 LDR (%) 83.33 88.91 88.93 Rasio Aset Likuid (%) 18.23 15.92 16.18 Sumber: BI/Diolah 10

INDUSTRI PPROPERTI PENJUALAN PROPERTI RESIDENSIAL DI PASAR PRIMER MELAMBAT Kenaikan harga properti melambat. Pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial pada kuartal III- 2014 sebesar 178,88, tumbuh 1,46% (qtq) atau 6,53% (yoy). Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 1,69% (qtq) atau 7,40% (yoy). Faktor-faktor yang ditengarai menjadi penyebab kenaikan harga properti residensial adalah kenaikan harga bahan bangunan dan upah pekerja. Tekanan kenaikan diperkirakan masih akan berlanjut pada kuartal IV-2014. Harga rumah kecil makin mahal. Berdasarkan tipe rumah, rumah tipe kecil mengalami perlambatan kenaikan harga paling dalam secara kuartalan dengan kenaikan 1,44% (qtq) sementara berdasarkan wilayah, Makassar mengalami perlambatan terdalam, terutama untuk rumah tipe menengah. Secara tahunan, perlambatan kenaikan harga terjadi pada semua tiper rumah, kecuali rumah tipe kecil. Secara umum, semua wilayah yang disurvei menunjukan perlambatan kenaikan tahunan, kecuali Bandung dan Banjarmasin dengan perlambatan terdalam terjadi di Denpasar dan Jabodebek-Banten. Kredit perumahan melambat. Perlambatan penjualan properti juga tercermin dari penurunan penyaluran KPR dan KPA yang turun 0,03% (qtq). Penggunaan KPR masih menjadi sumber pembiayaan dominan bagi konsumen dalam pembelian properti residensial, dengan suku bunga rata-rata antara 9% - 12%. Sementara itu dari sisi developer, dana internal perusahaan yang berasal dari 11

modal disetor masih menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan properti residensial. 12