BAB I PENDAHULUAN. jaminan kebendaan. Jaminan yang paling disukai bank adalah jaminan kebendaan. Salah satu

dokumen-dokumen yang mirip
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM HAL BENDA JAMINAN BERALIH

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

Pembebanan Jaminan Fidusia

TINJAUAN YURIDIS OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG DIRAMPAS OLEH NEGARA OLEH: YUSLINDA LESTARI D1A FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

JURNAL PENGALIHAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA OLEH DEBITUR TANPA PERSETUJUAN KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PEMBELIAN KENDARAAN BERMOTOR ANTARA DEBITOR DENGAN KREDITOR

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie.

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. lain sehingga muncul hubungan utang piutang. Suatu utang piutang merupakan

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

UNDANG-UNDANG FIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999 MEMBAWA PERUBAHAN DALAM PRANATA JAMINAN RABIATUL SYAHRIAH

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia juga. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PENERIMA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III TINJAUAN UMUM. pembangunan nasional perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi

BAB II TINJAUAN MENGENAI PENGATURAN PENGEMBALIAN PIUTANG DENGAN JAMINAN FIDUSIA. A. Ketentuan Hukum Jaminan menurut KUHPerdata dan KUH Dagang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, telah muncul sejak zaman romawi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB II FIDUSIA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN. Fidusia manurut asal katanya berasal dari fides yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

EKSEKUSI BARANG JAMINAN FIDUSIA DAN HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Istilah fidusia berasal dari bahasa belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam

BAB II TERHADAP JAMINAN FIDUSIA YANG DIDAFTARKAN PADA SAAT TERJADINYA KEMACETAN PEMBAYARAN. jaminan fidusia, pada Pasal 1 angka 1 menyatakan :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.

BAB I PENDAHULUAN. macam, yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. 1 Meningkatnya kebutuhan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengamanan pemberian dana atau kredit tersebut.jaminan merupakan hal yang

BAB I PENDAHULUAN. satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

Oleh : Made Bagus Galih Adi Pradana I Wayan Wiryawan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. meningkat sesuai dengan usia dan status sosialnya namun seringkali

BAB I PENDAHULUAN. jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. 1

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. merupakan upaya mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Untuk

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

PELANGGARAN-PELANGGARAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA Senin, 06 Desember :46

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG DIRAMPAS OLEH NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DI KUTAI TIMUR

II. TINJAUAN PUSTAKA. kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu : 2

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankan dilakukan dengan pengikatan jaminan. Secara garis besar dikenal dua macam bentuk jaminan yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan yang paling disukai bank adalah jaminan kebendaan. Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif adalah Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disingkat UUJF 1999). Dalam kaitan ini Henny Tanuwidjaja menyatakan, Dengan lahirnya UUJF 1999, obyek Jaminan Fidusia meliputi benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibebani Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat UUHT 1996). 1 Dalam pemberian kredit, unsur kepercayaan tidak terbatas pada penerima kredit, tetapi terjaganya kepercayaan akan kejujuran dan kemampuan dalam mengembalikan pinjaman itu tepat pada waktunya. Dengan kata lain seseorang atau perusahaan yang akan menentukan kredit harus mempunyai kredibilitas, atau kelayakan seseorang untuk memperoleh kredit. Kredibilitas tersebut harus memenuhi 5 (lima) syarat yang biasa dikenal dengan istilah 5C, yaitu sebagai berikut. 1. Character (watak), adalah sifat atau watak seseorang dalam hal ini adalah calon debitur. Tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan kepada Bank, bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya. 1 Henny Tanuwidjaja, Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga Hukum Notariat, Refika Aditama, Bandung, 2012, h. 57.

2 2. Capacity (kemampuan), untuk melihat kemampuan calon nasabah dalam membayar kredit dihubungkan dengan kemampuan mengelola bisnis serta kemampuan mencari laba. 3. Capital (modal), dimana untuk mengetahui sumber-sumber pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh Bank. 4. Collateral (jaminan), merupakam jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. 5. Condition of Economy (kondisi ekonomi), dalam menilai kredit hendaknya dinilai kondisi ekonomi sekarang dan untuk dimasa yang akan datang sesuai sektor masingmasing. 2 antara lain: Menurut Munir Fuady ada beberapa hal yang mendasari lahirnya Jaminan Fidusia, 1) Barang bergerak sebagai jaminan hutang 2) Tidak semua hak atas tanah dapat dihipotikan 3) Barang objek jaminan hutang yang bersifat khusus. 4) Perkembangan pranata hukum kepemilikan yang baru 5) Barang bergerak objek jaminan hutang tidak dapat diserahkan. 3 Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus jelas dalam akta Jaminan fidusia baik identifikasi benda tersebut, maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis bendanya, merk bendanya dan kualitasnya. 4 Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Oleh karena benda tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda, maka kecurangan/tindak melawan hukum kreditur pun tidak bisa dihindari. Pada era saat ini banyak kreditur yang curang karena menggadikan objek jaminan fidusia pada pihak ketiga. Tidak sedikit pula kreditur yang menggunakan objek jaminan tersebut untuk melakukan tindak kejahatan atau tindak pidana. Akibat perbuatan tersebut kreditur akan menerima sanksi sesuai dengan perjanjian fidusia yang telah disepakati bersama atau sesuai dengan hukum yang berlaku. Objek jaminan pun dapat disita oleh Negara jika kreditur 2 Kasmir, Manajemen Perbankan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 92. 3 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 2-3. 4 Ratnawati W. Prasodjo dalam Arie Sukanti Hutagalung, op.cit., h. 720-721.

3 menggunakan objek jaminan untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Hak preferent (didahulukan/diutamakan) yang dimiliki oleh penerima fidusia sebagaimana dimaksud menjadi tidak bermakna manakala benda yang dijaikan aminan fidusia itu tidak lagi berada dalam kekuasaan debitur, karena benda tersebut dirampas untuk Negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur terkait kasus illegal logging, seperti kasus yang menimpa PT. Astra Sedaya Finance. PT. Astra Sedaya Finance sebagai perusahaan pembiayaan merasa telah dirugikan akibat benda jaminan fidusia yang disita Negara dari tangan pemberi fidusia selaku debitur karena yang bersangkutan melakukan perbuatan melawan hukum kejahatan illegal logging. PT. Astra Sedaya Finance haknya telah dikesampingkan dengan pemberlakuan Pasal 78 ayat (15) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disingkat UU Kehutanan 1999) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi Undang-undang (selanjutnya disingkat UU Kehutanan 2004), yang menyatakan bahwa: Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas Negara. Berdasarkan ketentuan tersebu PT. Astra Sedaya Finance merasa dirugikan dengan disitanya satu unit truk Mitsubishi dengan Nomor Polisi: KT 8770 AJ oleh pihak Pengadilan Negeri Samarinda dan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur. Truk yang dirampas tersebut merupakan benda/barang dalam status jaminan Fidusia yang diberikan oleh Santoso Aji pada PT. Astra Sedaya Finance berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan Fidusia. Dalam UUJF 1999 sama sekali tidak mengatur tentang akibat hukum terhadap objek jaminan fidusia jika benda jaminan fidusia disita oleh Negara karena perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan benda jaminan dirampas oleh Negara.

4 Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dalam penelitian ini ditentukan 2 (dua) rumusan masalahnya, yaitu: 1) Apakah perampasan oleh Negara terhadap objek jaminan fidusia dalam kasus illegal logging bertentangan dengan droit de suite yang dimiliki penerima fidusia? 2) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap lembaga pembiayaan penerima fidusia sehubungan dengan barang bukti jaminan fidusia yang dirampas negara? Setelah ditentukan rumusan masalahnya, maka penelitian ini bertujuan: 1) Menganalisis perampasan oleh Negara terhadap objek jaminan fidusia dalam kasus illegal logging bertentangan dengan droit de suite yang dimiliki penerima fidusia. 2) Menganalisis perlindungan hukum terhadap lembaga pembiayaan penerima fidusia sehubungan dengan barang bukti jaminan fidusia yang dirampas negara. Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, manfaat penelitian ini adalah: 1) Memberikan hasil dari analisis mengenai perampasan oleh Negara terhadap objek jaminan fidusia dalam kasus illegal logging bertentangan dengan droit de suite yang dimiliki penerima fidusia. 2) Memberikan hasil dari analisis mengenai perlindungan hukum terhadap lembaga pembiayaan penerima fidusia sehubungan dengan barang bukti jaminan fidusia yang dirampas negara. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip negara hukum, yaitu: (1) Perlindungan hukum yang preventif: Perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan ( inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah menjadi bentuk yang menjadi definitif; dan (2) Perlindungan hukum yang represif: Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

5 Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan pada prinsip Negara hukum. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case Approach). Pendekatan perundang-undangan adalah, Penelitian yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 5 Dalam pendekatan perundang-undangan ini akan diteliti perundangundangan yang terkait dengan jaminan fidusia yang disita negara. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1) Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer ini terdiri dari peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut: 6 2) Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, 7 dengan demikian bahan hukum sekunder ini adalah sifatnya mendukung bahan hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: Buku-buku hukum khususnya hukum Tentang Jaminan Fidusia; Kamus-kamus hukum, tesis-tesis, disertasidisertasi, dan jurnal-jurnal hukum yang terkait mengenai hukum Jaminan Fidusia, sita jaminan, hukum hak tanggungan, dan hukum perlindungan konsumen. 5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, h. 133. 6 Ibid., h. 181. 7 Ibid.

6 Sistematika penulisan tesis ini ditulis dalam 4 (empat) bab, diawali dengan Bab I Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam Bab II dibahas mengenai droit de suite penerima fidusia atas perampasan objek jaminan fidusia dalam kasus illegal logging. Dalam bab ini dibahas mengenai status kepemilikan benda jaminan fidusia, akibat perbuatan melawan hukum yang menggunakan objek jaminan fidusia, dan perampasan oleh negara terhadap jaminan benda fidusia. Dalam Bab III dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap lembaga pembiayaan penerima fidusia sehubungan dengan barang bukti jaminan fidusia yang disita negara. Dalam bab ini dibahas mengenai hak konstitusional atas perlindungan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya dan hak untuk mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang, perampasan objek jaminan fidusia yang dipergunakan untuk illegal logging, dan perlindungan hukum terhadap lembaga pembiayaan penerima fidusia. Bab IV merupakan Bab Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

7 BAB II DROIT DE SUITE PENERIMA FIDUSIA ATAS PERAMPASAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM KASUS ILLEGAL LOGGING Sifat dari hak jaminan dapat dibedakan yakni jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap bendanya dan bertujuan memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya kepada di kreditur) terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu untuk pemenuhan piutangnya, hak kebendaaan ini mempunyai ciri khas dapat dipertahankan (dimintakan pemenuhan) terhadap siapun juga, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak, baik berdasarkan atas hak yang umum maupun yang khusus, juga terhadap pihak kreditur dan pihak lawannya dan selalu mengikuti bendanya dan haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual bendanya dan eksekusi (droit de suite; zaaksgevolg) sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lainnya yang bertujuan memberikan hak verhaal kepada kreditur terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya. 8 Sifat dari perjanjian fidusia adalah assessoir (perjanjian buntutan), maksudnya perjanjian fidusia ini tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/ membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang. Oleh karena itu konsekuensi dari perjanjian assesoir ini adalah bahwa jika perjanjian pokok tidak sah, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian assesoir juga ikut menjadi batal. 9 Dalam Pasal 2 UUJF 1999 menyatakan bahwa Undang-undang Jaminan Fidusia berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan 8 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta, 2007 (selanjutnya disingkat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II), h. 38. 9 Munir Fuady, op.cit., h. 19.

8 fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dibuat dalam Pasal 3 UUJF 1999 dengan tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia ini tidak berlaku terhadap: a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan diatas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan UUHT 1996, dapat dijadikan Objek jaminan Fidusia; b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) Meter atau lebih; c. Hipotek atas pesawat terbang; dan d. Gadai. Notaris merupakan salah satu Pejabat yang terlibat dari pendaftaran Jaminan Fidusia, hal ini disebabkan Notaris dalam Pasal 5 angka 1 UUJF 1999 dengan tegas dinyatakan bahwa pembebanan benda jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia. Dalam praktek pihak penerima fidusia, baik itu perusahaan atau perorangan mendaftarkan Jaminan Fidusia dengan cara memberikan kuasa kepada notaris untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia. Berkenaan dengan sifat melawan hukum materiel, Pompe, menyatakan pengertian melawan hukum materiel sama dengan melanggar hukum ( onrehctmatige) di dalam hukum perdata sebagaimana dalam kasus Lindebaum-Cohen (Arrest H.R. 1919). Oleh karena pengertiannya yang luas itu, maka Andi Hamzah menyatakan bahwa penerapan unsur melawan hukum materiel berarti asas legalitas di dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana disingkirkan. 10 Sehingga pada umumnya, menurut Andi Hamzah diterapkan secara negatif, artinya diambil sebagai dasar pembenar. Perbuatan tersebut jelas sudah bertentangan dengan undang-undang, namun tidak bertentangan dengan kepatutan dan kelaziman di dalam 10 Andi Hamzah, op.cit., h. 125.

9 pergaulan masyarakat. 11 Sifat melawan hukum materiel dalam arti negatif ini tercermin dari pertimbangan putusan Mahkamah Agung-RI No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam perkara terdakwa Machroes Effendi, yang menyatakan: Bahwa Mahkamah Agung pada asasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan dalam perundangundangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formiel terbukti dilakukan oleh terdakwa. Berdasarkan kasus inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut asas Materiele Wederrechtlijk-heid dalam arti negatif. Hal yang sama juga di dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 81 K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977 dalam perkara Terdakwa Otjo Danaatmadja, Mahkamah Agung-RI dalam pertimbangannya: Bahwa asas Materiele Wederrechtlijk-heid selain diakui dalam putusan-putusan Mahkamah Agung dan merupakan yurisprudensi, perundang-undangan, ialah Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang dalam penjelasannya memidanakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan secara melawan hukum dan dengan mengemukakan sarana melawan hukum dan dalam penjelasan tersebut terkandung didalamnya pengertian melawan hukum formiel maupun materiel. Bahwa terdakwa terkasasi dalam menjalankan tugas pekerjaannya, selaku insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang tidak dikurangi kemanfaatannya, dengan tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan dengan memperoleh tanah, menambah mobilitas serta untuk kesejahteraan pegawai, kepentingan umum dilayani dan negara tidak dirugikan, secara materiel tidak melakukan perbuatan melawan hukum, walaupun perbuatannya termasuk dalam rumusan delik yang bersangkutan. Dalam konsep perdata istilah melawan hukum, dalam hal ini M.A. Moegni Djojodirdjo, menjelaskan bahwa, melawan hukum melekat sifat aktif dan pasif, sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas 11 Ibid.

10 sifat aktifnya dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan lain perkataan apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia telah melawan tanpa harus menggerakkan badannya. 12 Lebih lanjut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: 1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat; 2. Perbuatan itu harus melawan hukum; 3. Ada kerugian; 4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; 5. Ada kesalahan (schuld). 13 Pengertian dari dirampas untuk negara itu sendiri kemudian terdapat pada Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pengelolaan Benda Sitaan Negera dan Barang Rampasan Negara, yang artinya barang rampasan adalah barang bukti yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dirampas untuk negara yang selanjutnya dieksekusi dengan cara: 1) Dimusnahkan; 2) Dilelang untuk negara; 3) Diserahkan kepada instansi yang ditetapkan untuk dimanfaatkan; dan 4) Diserahkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN) untuk barang bukti dalam perkara lain. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang financing, PT. Astra Sedaya Finance melakukan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fiducia yang tunduk pada UUJF 1999. Berdasarkan perjanjian fidusia tersebut, PT. Astra Sedaya Finance merasa bahwa jaminan fidusia yang telah diberikan oleh nasabahnya telah beralih hak 12 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 13. 13 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996 Mariam Darus Badrulzaman III), h. 146-147.

11 kepemilikannya pada PT. Astra Sedaya Finance. Dengan dilakukannya perampasan 1 (satu) truk Mitsubishi Nopol KT 8770 AJ yang telah digunakan untuk aktivitas penebangan liar (illegal loging) oleh pihak Pengadilan Negeri Sarmarinda dan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur telah melanggar hak kepemilikan yang telah beralih pada PT. Astra Sedaya Finance berdasarkan perjanjian fidusia. PT. Astra Sedaya Finance merasa bahwa kerugian yang diterimanya juga potensial dialaminya untuk kemudian hari karena wilayah operasi kegiatan pemohon juga mencakup pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. PT Astra Sedaya Finance berpendapat bahwa kerugian yang diterimanya tersebut diakibatkan oleh berlakunya Pasal 78 ayat (15) UU 1999 sebagaimana telah diubah berdasarkan UU Kehutanan 2004 menyatakan bahwa semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana maksud dalam pasal ini dirampas untuk negara. Dan penjelasannya yang berbunyi bahwa yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain. Pasal tersebut dianggap telah menimbulkan peluang tindakan sewenangwenang oleh aparat penegak hukum, memunculkan arahan yang keliru dari Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan yang memerintahkan agar jajaran Pengadilan Tinggi merampas seluruh barang bukti terkait illegal loging untuk negara tanpa memandang siapa pemiliknya atau si pemilik bersalah atau tidak sehingga merugikan PT. Astra Sedaya Finance.

12 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LEMBAGA PEMBIAYAAN PENERIMA FIDUSIA SEHUBUNGAN DENGAN BARANG BUKTI JAMINAN FIDUSIA YANG DIRAMPAS NEGARA Terkait dengan macam-macam hak, maka hak dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu dari segi eksistensi hak itu sendiri, dari segi keterkaitan hak itu dalam kehidupan bernegara dan dari segi keterkaitan hak itu dalam kehidupan bermasyarakat. Dari segi eksistensi hak itu sendiri, terdapat dua macam hak, yaitu hak orisinal dan hak derivatif. Dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara, terdapat hak dasar dan hak politik. Hak dasar itu sendiri dibedakan antara. hak dasar yang bersifat klasik dan hak dasar sosial. Dilihat dari segi keterkaitan antara hak itu dan kehidupan bermasyarakat, terdapat hak privat yang terdiri dari hak absorut dan hak relatif. Di samping itu masih terdapat sejenis hak yang lain yang baru menjadi perbincangan pada 1890 di Amerika Serikat, yaitu privacy. 14 Menurut ketentuan Pasal 570 KUH Perdata, hak milik adalah: Hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umurn yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Pada prinsipnya hak milik adalah suatu hak yang mengikuti bendanya ( droit de suite), sebelum suatu benda diserahkan (menurut Pasal 612, Pasal 613 dan Pasal 616 KUHPerdata), maka hak milik atas benda tersebut belumlah beralih. Sebagai pemilik, ia berhak untuk 14 Ibid., h. 158-159.

13 menuntut terhadap siapa saja yang mengganggu kepemilikan benda tersebut, agar ia dapat menguasai, memanfaatkan, dan menggunakan secara aman, nyaman dan tenteram. 15 Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga negara yang beragam. Realitas masyarakat Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Perbedaan kemampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok tertentu, tetapi karena struktur sosial yang berkembang cenderung meminggirkannya. 16 Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut, dengan sendirinya akan mempertahankan bahkan memperjauh perbedaan tersebut. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara. Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2) menyatakan Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Dari ketentuan jaminan Fidusia (berdasarkan UUJF 1999), jika debitur ingkar janji atau wanprestasi, maka barang jaminan fidusia dapat dicairkan, dan dapat dilakukan eksekusi berdasarkan title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat jaminan fidusia. Sertifikat jaminan fidusia memuat kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan title eksekutorial tersebut perusahaan 15 Ibid., h. 134. 16 Ibid., h. 14.

14 pembiayaan sebagai penerima fidusia mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menyelesaikan barang jaminan fidusia. Kedudukan kuat dari perusahaan pembiayaan sebagaimana disampaikan di atas dengan hak-hak yang dimilikinya selaku penerima jaminan fidusia menjadi tidak ada artinya dengan dirampasnya benda jaminan oleh negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur sebagai pemeberi fidusia. Kedudukan perusahaan pembiayaan menjadi lemah dan tidak berdaya ketika benda jaminan fidusia sudah tidak ada lagi dalam kekuasaan debitur, padahal benda jaminan itu menjadi satu-satunya jaminan dalam pelunasan hutang debitur. Terkait dengan status hukum benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia, sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa upaya pemberian hak pada kreditur dengan tujuan sebagai agunan. Hal ini menunjuk pada ciri umun dari hak jaminan, bahwa pengalihan hak milik terhadap suatu benda diperuntukkan sebagai agunan (jaminan). 17 Jadi di sini status hukum benda jaminan fidusia yang dirampas oleh negara tersebut adalah sebagai benda jaminan yang mempunyai sifat droit de suite. Dengan adanya sifat seperti itu perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada. Namun persoalannya, dengan dirampasnya benda jaminan fidusia itu oleh negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemberi fidusia, maka status hukumnya menjadi tidak jelas dan menghilangkan hak dari perusahaan pembiayaan sebagai kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitur wanprestasi. Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truck oleh pemilik benda dijual kepada pihak lain, maka dengan sifat droit de suite, jika debitur cidera janji Kreditur sebagai penerima jaminan fidusia sesungguhnya tetap dapat 17 Henry Subagiyo, op.cit., h. 136-137.

15 mengeksekusi benda jaminan bus-bus atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan obyek (obyek fidusia) itu. Begitu juga halnya dengan adanya benda jaminan fidusia yang dirampas oleh negara, dengan sifat droit de suite maka pihak perusahaan pembiayaan sesungguhnya dapat mengeksekusi benda jaminan yang ada di tangan negara tersebut. Dengan konsep perlindungan hukum bagi pihak pemberi Fidusia menjaga agar benda jaminan tersebut tetap berada dalam kekuasaannya. Namun kenyataannya sangat mungkin benda jaminan Fidusia berpindah tangan atau berpindah penguasaannya kepada pihak ketiga, karena dialihkan oleh debitur pemberi Fidusia. Pihak penerima fidusia sebagai kreditur akan diposisikan pada posisi tidak menguntungkan karena benda jaminan ternyata tidak lagi berada di dalam kekuasaan pemberi jaminan (debitur). Dalam praktek, tidak adanya benda dalam kekuasaan pemberi jaminan tentu dapat bermacam sebab, misalnya diperjual-belikan, musnah, hilang, digadaikan, disewakan, termasuk dirampas oleh negara. Tentu terhadap kejadian tersebut akan merugikan pihak penerima jaminan dari pelunasan piutangnya, terlebih lagi jika akan dilakukan eksekusi terhadap benda jaminan. Terhadap keadaan tersebut bisa jadi penerima jaminan tidak mendapatkan pemenuhan dari pelunasan piutangnya. Dengan demikian perlindungan hukum bagi penerima fidusia harus diperhatikan dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUJF 1999. Adapun ketentuan pasal dimaksud adalah sebagai berikut: Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima Fidusia.

16 Tindakan debitur mengalihkan benda obyek jaminan Fidusia tanpa persetujuan tertulis dari Penerima Fidusia termasuk kategori perbuatan melawan hukum, karena dilarang oleh UUJF 1999. Bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia adalah mewajibkan kepada debitur supaya mendapatkan persetujuan tertulis dalam hal penyediaan jaminan pengganti yang setara nilainya sehingga secara argumentum a contrario, maka debitur tidak dapat mengganti objek jaminan fidusia tanpa adanya persetujuan tertulis. Dari hal itu, kiranya debitur wajib menggantikan benda jaminan Fidusia, apabila benda tersebut rusak, hilang, telah beralih kepada pihak lain atau dirampas Negara dalam hal Debitur melakukan perbuatan melawan hukum. Selain hal tersebut juga mewajibkan kepada debitur (pemberi jaminan fidusia) supaya melunasi hutangnya. Hal ini dilakukan apabila debitur tidak bisa menyediakan jaminan pengganti, dan terlebih-lebih lagi bila debitur menurut penilaian perusahaan pembiayaan ada indikasi debitur sepertinya tidak akan pernah memenuhi kewajibannya. Kelalaian debitur, sehingga menyebabkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia beralih penguasaannya kepada pihak ketiga, itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitur. Sebagaimana pula disampaikan oleh Henry Subagyo, sebagai berikut: Pada perjanjian Fidusia pada intinya juga ditentukan kewajiban sebagai debitur selaku pemberi jaminan untuk memelihara agar benda jaminan yang secara fisik ada pada penguasaannya tetap dalam kondisi relative baik. Dengan demikian, debitur (pemberi fidusia) wajib mengganti benda jaminan, apabila benda tersebut rusak, hilang, atau telah beralih. Kelalaian atas benda jaminan adalah tanggung jawab debitur, termasuk jika memang debitur melakukan perbuatan melawan hukum pidana yang bisa berakibat terjadi perampasan benda jaminan oleh penegak hukum. 18 Berdasarkan dari teori perlindungan hukum menurut Satijipto Raharjo bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia 18 Henry Subagiyo, op.cit., h. 108.

17 (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 19 Negara wajib melindungi Masyarakat atau Warga Negara. Wujud perlindungan hukum oleh Negara diwujudkan melalui Peraturan Perundang-undangan terkait dalam hal ini adalah UUJF 1999. Dalam pemberian jaminan Fidusia harus melalui pendaftaran sesuai bunyi Pasal 3 UUJF 1999 dengan tujuan kepastian peringkat kreditur (kreditur yang diutamakan/preferent), maka sesuai dengan Mekanisme dari pemberian jaminan Fidusia adalah mengikuti perjanjian pokok (utama) misalkan tentang hutang piutang ada pemberian jaminan fidusia, maka barang yang dijadikan jaminan harus didaftarkan, sehingga jika terjadi pengalihan barang atau perubahan jenis barang harus melalui kesepakatan dua belah pihak kreditur dan debitur. Sehingga untuk mewujudkan bagi perlindungan dirinya sendiri (kreditur) hendaknya setiap perjanjian terkait dengan jaminan Fidusia haruslah didaftarkan. 19 Satijipto Raharjo, op.cit., h. 54.

18 BAB IV PENUTUP Kesimpulan Dan Saran Berdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut: 1) Perampasan yang dilakukan oleh Negara terhadap objek jaminan dalam kasus illegal logging tidak bertentangan dengan droit de suite ( Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada) yang dimiliki penerima fidusia. Hal ini dikarenakan dengan adanya sifat droit de suite tersebut perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia tidak kehilangan haknya untuk menuntut pelunasan utang pemberi fidusia apabila pemberi fidusia wanprestasi. 2) Perlindungan hukum bagi kreditur dalam hal benda jaminan dirampas oleh Negara, dapat diuraikan sebagai berikut bahwa, (a) debitur wajib menyediakan jaminan pengganti yang setara nilainya dengan barang yang dirampas oleh Negara; ( b) Mewajibkan kepada debitur (pemberi jaminan fidusia) supaya melunasi hutangnya. Hal ini dilakukan apabila debitur tidak bisa menyediakan jaminan pengganti, dan terlebih-lebih lagi bila debitur menurut penilaian perusahaan pembiayaan ada indikasi debitur sepertinya tidak akan pernah memenuhi kewajibannya. Berdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka dapat diberikan Saran Sebagai berikut: 1) Demi kepastian hukum dan menghindari adanya pertentangan (konflik norma) antara UUJF 1999 dengan UU Kehutanan 2004, maka hendaknya pembuat undang-undang di dalam merumuskan pasal-pasal UU Kehutanan tersebut, terutama Pasal 78 ayat (15),

19 hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip dan sifat-sifat jaminan fidusia yang dianut UUJF 1999. 2) Sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap penerima fidusia, hendaknya di dalam UUJF 1999 perlu diatur secara tegas dan jelas tentang akibat hukum dan bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada penerima fidusia sebagai kreditur dalam hal terjadi perampasan benda jaminan fidusia oleh negara karena perbuatan melawan hukum pidana yang dilakukan debitur (misalnya terkait perkara illegal logging), karena selama ini belum ada pengaturan yang khusus mengenai hal tersebut.

20

21