PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Karakterstik Wilayah Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi

Bab 4 P E T E R N A K A N

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

Gambar 3. Peta Sulawesi Utara

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing kacang adalah ras unggulan kambing. dikembangkan di Indonesia. Kambing kacang merupakan kambing lokal

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

Sejarah Kambing. Klasifikasi Kambing. Filum : Chordota (Hewan Tulang Belakang) Kelas : Mamalia (Hewan Menyusui)

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur

II. TINJAUAN PUSTAKA. berkuku genap dan memiliki sepasang tanduk yang melengkung. Kambing

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak Geografis dan Astronomis Indonesia Serta Pengaruhnya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

I. PENDAHULUAN. Permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi. adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk

Ekonomi Pertanian di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

DENGAN RAHMAT TUHAN YA NG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GAMBARAN UMUM. Wilayah Sulawesi Tenggara

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabupaten Sleman terbentang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN DESEMBER 2015

POTENSI KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK KAMBING LOKAL INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

OLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA

BANGSA-BANGSA KAMBING PERAH

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN NOPEMBER 2012

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PENGANTAR. Latar Belakang. khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JANUARI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS 2014

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN Latar Belakang

MACAM-MACAM LETAK GEOGRAFI.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali (Jateng)

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN MEI 2015

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

TINJAUAN PUSTAKA Kambing Kambing Perah

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. sangat populer di kalangan petani di Indonesia. Devendra dan Burn (1994)

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN NOVEMBER 2016 SEBESAR 104,23

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN AGUSTUS 2012

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN JAGUNG UNTUK PAKAN DI INDONESIA

BERITA RESMI STATISTIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan kambing tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu (tipe

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN FEBRUARI 2013

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya genetik ternak pada saat ini menghadapi tantangan ganda. Pada satu sisi, permintaan produk peternakan meningkat di negara berkembang, seperti diestimasikan oleh Food Agriculture Organization (FAO), bahwa permintaan susu dan daging asal ternak semakin meningkat dua kali lipat. Di sisi lain sumberdaya genetik ternak semakin terancam keberadaannya di seluruh dunia. Sejak 15 tahun lampau hingga kini, 300 dari 6000 breed yang diidentifikasi oleh FAO mengalami kepunahan (Ruane et al. 2006). Banyak breed lokal yang penting untuk ketahanan pangan tidak diperhatikan dan ditingkatkan pemanfaatannya secara berkesinambungan sehingga berada dalam bahaya kepunahan atau tersingkirkan oleh perkawinan silang atau crossbreeding. Perlindungan dan pengembangan breed lokal sangat penting disebabkan karena breed lokal ini dapat memanfaatkan pakan mutu rendah serta lebih tahan terhadap stress lingkungan dan penyakit. Selain itu, mereka sangat baik beradaptasi terhadap lingkungan, dengan sumberdaya alam yang sangat terbatas dan manajemen yang sangat rendah. Hewan secara genetik menyesuaikan diri dengan kondisi ini yang diharapkan menjadi lebih produktif dengan biaya yang relatif rendah, mendukung pangan, pertanian dan keragaman budaya, dan menjadi efektif untuk mendukung tujuan dari ketahanan pangan lokal. Keadaan yang sama juga akan berdampak pada jenis kambing lokal (kambing kacang) di Indonesia. Dengan keinginan untuk mempercepat produktivitasnya, dilakukan kawin silang dengan breed jenis lain yang diimpor dari luar. Kondisi ini diperparah dengan minimnya penelitian genetik pada kambing di Indonesia. Di Indonesia, kambing kacang memiliki nilai ekonomi yang penting dan disukai oleh masyarakat dan tersebar luas di tangan petani penggarap. Kenyataan ini menunjukkan peranan yang sangat penting dari ternak kambing untuk petani penggarap. Kontribusi dari ternak kambing dari total pendapatan pertanian untuk ruminansia kecil sangat substansial. Produksinya juga memegang peranan penting

2 untuk menumbuhkan aktivitas pendapatan sebagian besar petani kecil disamping menjadi sumber protein hewani yang menunjang ketahanan pangan nasional. Hampir 50.3% populasi kambing di Indonesia terdapat di pulau Jawa. Dari 13 182 064 ekor kambing di seluruh Indonesia, sekitar 6 626 653 ekor kambing berada di pulau Jawa (Ditjen Peternakan 2005). Di luar Jawa, provinsi yang memiliki populasi kambing terbanyak adalah Lampung (868 133 ekor), Sumatera Utara (72 858 ekor), Nangroe Aceh Darussalam (655 242 ekor), Sulawesi Selatan (511 895 ekor) dan sisanya 3 798 283 ekor tersebar di provinsi lainnya. Apabila dibandingkan dengan domba, populasi kambing jauh lebih tinggi. Namun data yang berkenaan tentang kambing sangat minim, padahal data ini sangat diperlukan dalam rangka pelaksanaan usaha pemuliaan serta pengembangannya. Disamping itu, pengaruh iklim, topografi maupun vegetasi menyebabkan penampilan kambing yang dipelihara di satu wilayah dengan wilayah lain berbeda. Perbedaan ini diperbesar dengan terjadinya kawin silang dengan kambing jenis yang berbeda (misalnya etawah maupun peranakan etawah) maupun frekwensi pemindahan antar pulau kambing lokal pada wilayah yang pulaunya sangat berdekatan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan performance ternak kambing kacang di beberapa pulau yang mempunyai karakter sangat beragam seperti di provinsi Maluku Utara yang dikenal sebagai Provinsi Kepulauan. Provinsi Maluku Utara yang terbentuk dengan Undang-Undang No.46 tahun 1999 adalah daerah kepulauan yang terdiri atas 395 pulau besar kecil, sebanyak 64 pulau dihuni dan 331 pulau tidak berpenghuni, dengan luas 33 278 km 2 (23.73%) yang tersebar di atas perairan seluas 106 977.32 km 2 (76.27%). Luas wilayah seluruhnya 140 255.36 km 2 dengan hamparan topografi yang berbukit dengan bergunung-gunung dengan ketinggian tempat yang bervariasi antara 25 sampai 1000 di atas permukaan laut (dpl). Mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah bertani tanaman pangan, berkebunan dan nelayan dan sebagian lainnya melakukan kegiatan usaha sampingan seperti memelihara ternak sapi, kambing dan unggas (ayam buras, ras dan itik). Populasi kambing kacang tahun 2005 di provinsi Maluku Utara adalah 101 962 ekor (Badan Pusat Statistik Maluku Utara 2006) dan seluruhnya berpola peternakan rakyat ekstensif dan diusahakan secara tradisional. Pemeliharaan

3 ternak secara tradisional ini menggunakan ketrampilan yang sederhana dan menggunakan bibit lokal dalam jumlah dan mutu yang relatif terbatas. Ternak kambing digembalakan di padang penggembalaan umum, pinggir jalan dan sawah, pinggir sungai, atau tegalan. Kalau siang hari ternak dibiarkan mencari makan sendiri dan diberi minum dan dimandikan seperlunya, lalu dimasukkan ke dalam kandang pada sore hari. Pemeliharaan dengan cara ini dilakukan setiap hari dan dikerjakan oleh anggota keluarga peternak dengan jumlah kepemilikan ratarata 5-10 ekor ternak kambing. Persoalan mendasar yang dijumpai adalah pengetahuan dan ketrampilan peternak yang masih rendah, akibatnya mereka mengalami kesulitan mengadopsi teknologi baru, yang konsekuensinya adalah rendahnya produktivitas ternak kambing di Maluku Utara. Sehubungan dengan berbagai permasalahan di atas, studi untuk mengamati dan mempelajari karakterisasi, produktivitas dan dinamika populasi ternak kambing kacang di provinsi Maluku Utara perlu dilakukan sehingga diperoleh data dasar yang dapat digunakan untuk landasan bagi pengembangan program pemuliaan kambing kacang di wilayah ini. Dengan demikian usaha pelestarian sumber genetik ternak asli khususnya ternak lokal dapat dilakukan dengan tetap memanfaatkannya secara optimal. Tujuan Penelitian Merancang pola pemuliaan dan pengembangan ternak kambing kacang di provinsi Maluku Utara. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilakukan untuk: 1. Memahami karkateristik petani-ternak khususnya peternak kambing di Maluku Utara sebagai informasi dasar untuk pengembangan program pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara 2. Melakukan karakterisasi kambing kacang meliputi karakterisasi fenotip kualitatif, karakterisasi fenotip kuantitatif dan karakterisasi genotip dengan tujuan untuk menentukan tingkat keragaman dan jarak genetik dalam populasi pada masing-masing wilayah sebagai database genetik untuk menentukan arah pengembangan program pemuliaan kambing kacang di wilayah tersebut.

4 3. Mengkaji penampilan produktivitas kambing kacang serta pola pertumbuhan anak kambing dengan umur tetua yang berbeda yang dikawinkan secara acak (tanpa melihat umur serta bobot ) dan tetua yang terseleksi dan dikawinkan tidak secara acak (terpilih) baik pada ternak kambing yang dipelihara di stasiun percobaan maupun yang di pelihara secara tradisional di pedesaan untuk mendapatkan pola pertumbuhannya. 4. Mempelajari dinamika populasi kambing kacang yang meliputi struktur populasi, gambaran tentang sifat-sifat dasar kambing kacang, tingkat mortalitas untuk menentukan besaran populasi secara berkesinambungan. 5. Menentukan pola dan program pemuliaan yang berkelanjutan untuk menghasilkan ternak kambing unggul di Maluku Utara. Manfaat Penelitian 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan peternakan kambing khususnya berkaitan dengan upaya pelestarian plasma nutfahnya di Maluku Utara. 2. Diharapkan hasil penelitian ini juga akan memberi petunjuk bagi pengembangan suatu model dalam rangka pemeliharaan dan pembinaan kelestarian sumberdaya genetik ternak kambing kacang dalam lingkungan pedesaan di Provinsi Maluku Utara yang bersifat aplikatif bagi peternak.

Gambar 1. Kerangka berpikir dalam penelitian ini. 5 Kondisi Saat ini - Populasi relatif tinggi - Produksi daging saja - Pemeliharaan tradisional - Jarang menggunakan kandang - Sebagai usaha sambilan - Sering dijangkiti penyakit menular - Ternak dibiarkan cari makan sendiri - Tidak ada program pemuliaan Peluang - Sumberdaya lahan tersedia - Ketersediaan pakan tinggi - Adanya political will pemerintah daerah - Keragaman breed tinggi - Sosial budaya masyarakat mendukung Kambing kacang merupakan plasma nutfah ternak potensial Tantangan - Kondisi geografis provinsi kepulauan - SDM peternak rendah - Skala usaha kecil dan menyebar - Kualitas dan mutu bibit rendah - Perkawinan inbreeding - Tidak jelas pola pengembangan - Data dasar molekuler tidak ada Keadaan Umum : - Peternak - Kelembagaan - Aspek sosial DINAMIKA POPULASI - Struktur Populasi - Sifat-sifat dasar Populasi ASPEK GENETIK - Karakt. Fenotipe - Karakt. Genotip Produktivitas dan Pola Pertumbuhan PROGRAM PEMULIAAN TERNAK KAMBING

6 TINJAUAN PUSTAKA Karakterstik Wilayah Penelitian Geografi dan Wilayah Administratif Provinsi Maluku Utara merupakan hasil pemekaran dari wilayah provinsi Maluku. Ibukota Provinsi Maluku Utara yang definitif adalah di Sofifi. Mempertimbangkan berbagai aspek daya dukung prasarana dan sarana pemerintahan yang ada di Sofifi belum memadai untuk menjalankan pemerintahan, maka dalam rangka menjalankan roda pemerintahan provinsi, untuk sementara ditempatkan di kota Ternate dan berjalan sampai dengan saat ini. Secara geografis wilayah Provinsi Maluku Utara berada pada posisi koordinat 3 0 Lintang Utara sampai 3 0 Lintang Selatan dan 124 0 sampai 129 0 Bujur Timur, dengan batas batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Halmahera Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Maluku Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram (Maluku). Luas total wilayah provinsi Maluku Utara mencapai 140 255.36 km 2, dengan luas wilayah perairan 106 977.32 km 2 (76.27%), dan daratan seluas 33 278 km 2 (23.73 %). Terdiri dari 395 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu, sebanyak 64 pulau telah di huni, sedangkan 331 pulau lainnya tidak dihuni. Jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 910 656 jiwa, rata-rata laju pertumbuhan sebesar 2.16% per tahun. Sebagai wilayah kepulauan, provinsi Maluku Utara terdiri dari pulau besar dan pulau kecil. Pulau yang tergolong relatif besar ialah Pulau Halmahera (18 000 km 2 ), Pulau-pulau yang relatif sedang besar ialah Pulau Obi (3 900 km 2 ), Pulau Taliabu (3 295 km 2 ), Pulau Bacan (2 878 km 2 ) dan Pulau Morotai (2 325 km 2 ) dan pulau pulau yang relatif kecil antara lain pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, Kayoa, Gebe dan sebagainya.

7 Secara administratif pemerintahan, provinsi Maluku Utara terdiri dari 6 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Kabupaten Halmahera Tengah, Kota Ternate, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan (Tabel 1). Tabel 1 Luas wilayah kabupaten/kota di provinsi Maluku Utara No. Kabupaten/Kota Jumlah Jumlah desa/kelurahan Luas wilayah kecamatan Desa Kelurahan (km 2 ) 1 2 3 4 5 6 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Halmahera Tengah Kota Ternate Halmahera Barat Halmahera Utara Halmahera Selatan Kepulauan Sula Halmahera Timur Tidore Kepulauan 3 4 5 9 9 6 4 6 31-130 174 194 86 41 21-63 - - - - - 20 2 276.65 1 122.98 2 897 575 10 493.73 8 977 497 4 977 497 6 506.20 1 797.18 Total 45 676 83 140 255.36 Sumber : Bappeda Provinsi Maluku Utara (2006) Geologi dan Fisiografi Berdasarkan struktur dan tektonik serta litologinya, geologi sebagian besar Provinsi Maluku Utara bagian Tengah dan Utara merupakan daerah pegunungan dengan bahan induk bervariasi. Bagian Utara dan Timur Laut semenanjung Halmahera didominasi oleh pegunungan, semenanjung Utara disusun oleh formasi gunung api (Andesit dan bahan batuan beku Andesit). Pada semanjung Timur Laut ditemukan batuan beku asam, basa, dan ultra basa serta bahan sedimen. Di semenanjung utara Halmahera terdapat barisan gunung api aktif dengan bentuk dan struktur yang sangat khas. Pada bagian ini, dataran alluvial tidak ditemukan, tetapi memasuki daerah Kao ditemukan dataran alluviasi yang luas pada daerah pedalaman, dataran vulkanik yang berombak dan dataran berawa secara lokal. Pulau Morotai memiliki banyak kesamaan dengan Pulau Halmahera bagian Utara dan Timur yang dicirikan oleh gunung-gunung yang berkembang dari batuan sediment dan batuan beku basa. Pada semenanjung bagian Selatan Halmahera lebih didominasi oleh daerah gunung yang terutama berkembang dari

8 bahan-bahan sedimentasi dan batu gamping, dimana bagian ini terbentang dataran sempit alluvial arah Timur-Barat. Kawasan sepanjang pantai Barat Halmahera terbentang sejumlah pulaupulau besar dan kecil yang dimulai dari pulau Ternate bagian Utara sampai Obi di bagian Selatan. Pulau-pulau kecil di bagian Utara umumnya merupakan daerah vulkanik yang tersusun dari bahan andesit, dan batuan beku basaltik dengan lereng curam (30 45 %) sampai sangat curam (> 45%). Kelompok pulau-pulau Bacan mempunyai bentangan lahan pegunungan yang sama dengan Halmahera Utara yaitu batuan beku basa dan batuan metamorfik. Batuan metamorfik walaupun menyebar secara lokal tetapi merupakan batuan induk dominan pada daerah ini. Sepanjang pesisir terdapat dataran pantai yang sempit, dan bagian tengah dari pusat pulau Bacan dibentuk oleh daratan alluvial. Bentang lahan pulau Obi mengikuti pola yang sama, dimana bagian tengah didominasi oleh daerah pegunungan dengan bahan penyusunnya batuan beku basa dan diapit oleh deretan perbukitan dari batuan sediment. Kelompok kepulauan Sulabesi mempunyai struktur yang sama tetapi memiliki susunan bahan induk yang berbeda sebagian besar pulau. Taliabu dan Pulau Sanana merupakan daerah pegunungan dengan puncak tajam dan lereng yang curam, berkembang terutama dari batuan metamorfik. Bagian Barat pulau Sanana juga ditemukan bahan induk granit. Topografi Provinsi Maluku Utara dibentangkan oleh relief-relief besar dimana palung Oceanis dan punggung pengunungannya saling bergantungan dengan kemiringan lahannya. Sebagian besar bergunung gunung dan berbukit bukit yang terdiri dari pulau pulau Vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian lainnya merupakan hamparan dataran. Pulau Halmahera mempunyai banyak pegunungan yang rapat mulai dari teluk Kao, teluk Buli, teluk Weda, teluk Payahe dan Dodinga. Di setiap daerah terdapat punggung gunung yang merapat ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar teluk Buli, pesisir barat mulai dari

9 teluk Jailolo ke Utara dan teluk Weda ke Selatan ditemui daerah hamparan dataran yang luas. Pada bagian lainnya terdapat deretan pegunungan yang melandai dengan arah pesisir. Pulau pulau yang relatif sedang (Obi, Morotai, Taliabu dan Bacan) umumnya memiliki dataran luas yang diselingi pegunungan yang bervariasi. Jenis Tanah Tanah yang terdapat di wilayah provinsi Maluku Utara menunjukkan sifat sifat yang berbeda, mulai dari pulau Morotai di bagian Utara sampai pulau Sulabesi di bagian selatan perbedaan ini disebabkan oleh faktor klimatologi (curah hujan, suhu dan angin ) yang tinggi. Selain itu, yang membedakan sifat-sifat tanah adalah tipe batuan/bahan induk dan kemiringan lereng yang berkorelasi dengan kedalaman efektif perakaran serta vegetasi dimana tanah itu berkembang. Selain iklim dan vegetasi, kompleks geologi provinsi Maluku Utara sangat erat hubungannya dengan penyebaran sifat-sifat tanah. Keadaan geologi dibarengi pula dengan proses pelapukan dan pencucian di bawah kondisi suhu dan curah hujan yang bervariasi. Oleh karena itu, tanah di daerah Maluku Utara berada dalam suatu perkembangan dan kedalaman yang bervariasi dengan drainasi baik, tekstur tanah halus, kesuburan yang relatif rendah pada daerah-daerah perbukitan dan pegunungan yang berlereng curam sampai sangat curam dengan penutupan vegetasi yang jarang. Ini secara relatif juga mempengaruhi erosi permukaan, sehingga sering ditemukan tanah-tanah dengan kedalaman solum dangkal sampai sedang dengan tingkat perkembangan lemah sampai sedang. Adapun jenis tanah yang tersebar di daerah Maluku Utara antara lain, adalah: 1. Jenis tanah mediteran terdapat di pulau Morotai bagian Barat, Timur dan Selatan, pulau Doi, dan kecamatan Loloda. 2. Jenis tanah podsolik merah kuning terdapat di pulau Halmahera dari Utara ke Selatan, Tobelo, Ibu, Obi, bagian Timur, Sanana, pulau Taliabu, Oba, Weda, Patani dan Maba.

10 3. Jenis tanah kompleks terdapat di pulau Morotai bagian Barat dan Timur,Obi bagian tengah, pulau Halmahera bagian Tengah sampai Timur. 4. Jenis tanah latosol terdapat di Loloda, Jailolo bagian Selatan, Gane Timur, Gane Barat, Bacan, Oba, Wasile, Weda dan Maba 5. Jenis tanah regosol terdapat Loloda, Galela, Sahu, Kao, pulau Ternate, pulau Makian, Pulau Obi di pesisir Utara. 6. Jenis tanah alluvial terdapat di pulau Obi bagian Barat, pulau Taliabu, bagian Utara dan Tenggara, Oba, Wasile, Weda, Patani dan Maba. Klimatologi Secara Umum iklim di kepulauan Maluku Utara hampir sama. Temperatur rata-rata tahunan yang diukur dari stasiun Duma Galela, Ternate dan Tobelo antara 25.6 0 C 26.1 0 C dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 2.138 mm 3.693 mm. Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Oleh karena itu iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah, yaitu Halmahera Utara, Halmahera Tengah/Barat, Bacan dan Kepulauan Sula. a. Daerah iklim Halmahera Utara terdiri atas dua musim yaitu : Musim hujan pada bulan Desember sampai Februari Musim kemarau pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember, yang diselingi pancaroba pada bulan November Desember. b. Daerah iklim Halmahera Tengah/Barat yang dipengaruhi oleh dua musim yaitu : Musim Utara pada bulan Oktober Maret dan musim pancaroba pada bulan April. Musim Selatan pada bulan April September yang diselingi angin Timur dan pancaroba pada bulan September. c. Daerah iklim Bacan yang dipengaruhi oleh dua musim yaitu : Musim Utara pada bulan Oktober Maret yang diselingi angin Barat dan pancaroba pada bulan April.

11 Musim Selatan pada bulan September diselingi angin Timur dan pancaroba pada bulan September. d. Daerah iklim kepulauan Sula yang terdiri dari dua musim yaitu : Musim Utara pada bulan Oktober Maret diselingi angin barat dan pancaroba pada bulan April. Sebagaimana umumnya daerah Maluku Utara yang didominasi wilayah laut. Kota Ternate sangat dipengaruhi oleh iklim laut karena mempunyai tipe iklim tropis yang terdiri dari dua musim (Utara-Barat dan Timur-Selatan), yang seringkali diselingi dengan dua kali masa pancaroba disetiap tahunnya. Temperatur rata bulanan 26.96 C (maksimum 30.68 C minimum 24.12 C), dengan rata-rata kelembaban 86.42 % dan penyinaran matahari 54.42 % dengan kecepatan angin 4.25 km/jam. Berdasarkan klasifikasi iklim Schimdt dan Ferguson, daerah Maluku Utara umumnya bertipe iklim B, dengan rata-rata curah hujan per tahun 1869.4 mm. Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih tinggi atau sama dengan 1000 mm dan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan lebih rendah atau sama dengan 600 mm. Bulan November dan bulan Agustus adalah bulan dengan curah hujan yang tertinggi selain itu bulan April juga bulan dengan curah hujan yang tinggi yaitu 293.3 mm (Tabel 2). Periode curah hujan rendah berlangsung pada bulan September dan Oktober dengan curah hujan terendah 50.8 mm pada bulan September lihat Tabel 3. Adapun curah hujan di propinsi Maluku Utara adalah sebagai berikut : Curah hujan antara 1000 2000 mm, meliputi Pulau Tobelo, Pulau Mangole, Pulau Sulabesi, Pulau Obi dan sekitarnya, Pulau Bacan dan sekitarnya dan Pulau Halmahera bagian Selatan. Curah hujan antara 2500 3000 mm, meliputi Pulau Halmahera bagian Utara, sebagian Kecamatan Ibu, Galela dan Loloda. Sedangkan lainnya adalah curah hujan antara 2000 2500 mm per tahun.

12 Tabel 2 Curah hujan, bulan basah dan bulan kering di provinsi Maluku Utara Kabupaten Curah Hujan per Tahun Pola Tipe Iklim Bulan Hujan Kota Ternate 3000-4000 Berfluktuasi Basah CH 100 = 0 mm/bln CH 100-150 = 0 mm/bln CH 150-200 = 2 mm/bln CH > 200 = 9 12 mm/bln Kota Tidore Kepulauan 2000-3000 Ganda (double wafe) Basah CH 100 = 4 mm/bln CH 100-150 = 4 mm/bln CH 150-200 = 5 mm/bln CH > 200 = 6 8 mm/bln Kabupaten Halmahera Barat 3000-4000 Berfluktuasi Basah CH 100 = 0 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 150-200 = 2 mm/bln CH > 200 = 9 12 mm/bln Kabupaten Halmahera Utara 1000-2000 Berfluktuasi (multiple wafe) Kabupaten Halmahera Timur 1000-2000 Berfluktuasi (multiple wafe) Kabupaten Halmahera Tengah 2000-3000 Ganda (double wafe) Kabupaten Halmahera Selatan 2000-3000 Ganda (double wafe) Kabupaten Kepulauan Sula 1000-2000 Berfluktuasi (multiple wafe) Sumber : Badan Pusat Statistik Maluku Utara (2006) Kering Kering Basah Basah Kering CH 100 = 0 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 150-200 = 2 mm/bln CH > 200 = 9 12 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 150-200 = 2 mm/bln CH > 200 = 9 12 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 150-200 = 2 mm/bln CH > 200 = 9 12 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 150-200 = 2 mm/bln CH > 200 = 9 12 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 100 = 0 mm/bln CH 150-200 = 2 mm/bln CH > 200 = 9 12 mm/bln

13 Tabel 3 Suhu udara, kelembaban dan rataan penyinaran matahari pada stasiun meteorologi Babullah Ternate 2005 No. Bulan Suhu Udara ( O C) Maks Min Rataan Kelembaban (%) Penyinaran Matahari Rata-rata (Jam) 1. Januari 30.1 24.9 26.9 83 41 2. Pebruari 30.5 23.9 26.5 84 62 3. Maret 31.4 24.5 27.2 82 68 4. April 30.6 24.3 26.9 85 56 5. Mei 31.3 24.0 27.0 84 61 6. Juni 30.8 24.1 27.0 83 59 7. Juli 30.0 24.0 27.0 82 41 8. Agustus 31.1 24.0 27.0 77 59 9. September 31.4 23.7 27.1 77 71 10. Oktober 30.8 23.9 26.9 90 49 11. Nopember 30.0 24.0 27.0 86 44 12. Desember 27.0 30.2 27.0 86 37 Sumber : Badan Pusat Statistik Maluku Utara (2006) Keadaan Umum Peternakan Provinsi Maluku Utara Pembangunan pertanian termasuk didalamnya sub sektor peternakan sebagai bagian integral dari Pembangunan Daerah mempunyai peranan yang strategis dalam pemulihan ekonomi daerah. Peranan strategis tersebut khususnya adalah dalam peningkatan pendapatan daerah, penyediaan pangan, penyediaan bahan baku industri, peningkatan ekspor, penyediaan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan masyarakat. Namun di era pasca konflik yang bernuansa sara diikuti dengan krisis moneter yang dialami bangsa Indonesia, kondisi subsektor peternakan di wilayah Maluku Utara terkena imbasnya yang mengakibatkan rusaknya sarana prasarana peternakan baik milik pemerintah maupun aset-aset peternakan yang dimiliki masyarakat di daerah ini. Puluhan ribu ternak hilang, baik ternak ruminansia ( sapi dan kambing), maupun ternak unggas (ayam ras, buras dan itik). Hal ini dapat dilihat dari jumlah populasi ternak dari tahun 1999 2007 di Maluku Utara pada Tabel 4.

14 Tabel 4 Populasi ternak tercatat (ekor) pada 1999 2007 di provinsi Maluku Utara No Jenis Ternak Populasi (ekor) 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Sapi Potong 2 650 13 631 16 760 20 000 20 212 40 537 41 685 41 115 42 842 2 Sapi Perah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 Kerbau - - - - 78 89 89 16 16 4 Kambing 3 220 24 31 151 648 113 700 82 402 99 982 101 962 159 981 184 778 5 Domba 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 Babi 421 736 1 288 1 630 1 950 41 236 12 491 20 600 21 012 7 Kuda 30 30 30 30 30 32 33 28 28 8 Ayam Buras 13 800 10 620 8 710 7 120 400 000 600 205 486 742 533 658 656 399 9 Ayam Ras 64 750 44 366 40 151 35 908 80 212 84 325 520 922 290 451 698 935 10 Itik - - - - 14 205 17 620 31 097 46 545 76 519 Sumber : data sekunder rangkuman berbagai sumber (-) data belum diketahui

15 Dari data populasi pada Tabel 4 terjadi pertambahan populasi yang signifikan pada ternak sapi tahun 2004, hal ini disebabkan beberapa program pemerintah untuk pengadaan ternak sapi di tahun 2003 melalui program peningkatan ketahanan pangan melalui sub kegiatan Inpres No. 6 tahun 2003 dan Program Peningkatan kesejahteraan petani di provinsi Maluku Utara. Hal yang sama juga dilakukan terhadap ternak kambing pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2003, ternak unggas (ayam ras, buras dan itik) terjadi pertambahan populasi yang sangat signifikan pada tahun 2003. Jumlah populasi ternak sapi dan kambing terendah terjadi pada tahun 1999, hal ini disebabkan karena konflik yang terjadi di masyarakat, dimana pada tahun 1998 untuk ternak sapi di Maluku Utara sebanyak 86 213 ekor, sedangkan ternak kambing sebayak 133 261 ekor, penurunan populasi yang sangat drastis terjadi di tahun 1999 untuk kedua jenis ternak ini disebabkan karena peternak membiarkan ternak sebagian masuk ke hutan dan sebaian besar dibawa ke provinsi Sulawesi Utara. Tingkat pertumbuhan populasi pertahun dari masing-masing ternak di provinsi Maluku Utara dapat disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat pertumbuhan populasi ternak (2000-2005) No. Jenis Ternak Tingkat Pertumbuhan pertahun (%) 1. Sapi potong 25.05 2. Kambing 33.2 3. Babi 76.17 4. Ayam Buras 114.8 5. Ayam Ras 63.6 Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Prov. Maluku Utara (2006) Tingkat pemotongan untuk beberapa komoditas ternak yang tercatat pada tahun 2004-2006 disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Pemotongan ternak tercatat (ekor) tahun 2004-2006 No. Jenis Ternak Pemotongan tercatat 2004 2005 2006 1. 2. 3. Sapi Potong Kambing Babi 4 370 8 056 2 491 4 768 6 887 2 702 5 006 7 231 2 837 Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Prov. Maluku Utara (2006)

16 Sedangkan untuk tingkat produksi/hasil peternakan pada tahun 2005 dapat di lihat pada Tabel 7. Tabel 7 Produksi hasil ternak di Maluku Utara (2005) No. Jenis Produksi Jumlah (kg) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Daging Sapi Daging kambing Daging Ayam Buras Daging Ayan Ras Telur Ayam Ras Telur Ayam Buras Telur Itik 978 751 344 350 705 776 3 334 943 57 672 204 432 145 532 Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah (2006) Pola peternakan di wilayah Maluku Utara untuk semua komoditas ternak sebagian besar (80-90 persen) masih bertahan dalam bentuk usaha rakyat. Pola peternakan rakyat ini mempunyai ciri-ciri antara lain (Yusdja 2004), tingkat pendidikan rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif sangat kecil, penggunaan tenaga kerja keluarga, penguasaan lahan hijauan makanan ternak (HMT) yang terbatas. Kambing Liar dan Kambing Domestikasi Kambing tergolong genus Capra. Ellerman dan Morrison-Scott (1951) yang dikutip oleh Devandra dan Burns (1970) membagi genus ini atas lima spesies yaitu Capra hircus (termasuk bezoar), Capra ibex, Capra caucasica, Capra pyrenaica (Ibex Spanyol) dan Capra falconeri. Menurut Herre dan Rohrs (1973) yang dikutip oleh Devendra dan Nozawa (1976) kambing liar (Capra aegagrus) yang hidup dan menyesuaikan diri terutama di lingkungan pegunungan dan lingkungan yang agak kering (semi-arid) dapat dibagi atas tiga spesies yaitu: - Bezoar atau Psaang (C.a.aegagrus) yang hidup liar di Asia Barat,- Ibex (C.a..ibex) hidup di Asia Barat, Afrika Timur dan Eropah, - Markhol (C.a.falconeri) hidup liar di Afganistan dan Kashmir Karakorum. Tiap spesies terdiri dari beberapa

17 sub spesies karena terpisah secara geografik, namun persilangan antar sub spesies adalah subur. Menurut Murtidjo (1993), umumnya kambing merupakan hewan yang hidup di lereng-lereng pegunungan, bukit-bukit yang curam ataupun tempattempat yang curam, selain tempat yang tandus dan sedikit ditumbuhi rumput atau tanaman. Kambing yang kita kenal sekarang merupakan hasil domestikasi manusia yang diturunkan dari tiga jenis kambing liar, yaitu: Capra hircus, merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah sekitar perbatasn Pakistan- Turki; Capra falconeri, merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah sepanjang Kashmir, India; Capra prisca, merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah sepanjang Balkan. Dari ketiga jenis kambing liar tersebut, kini dikenal beberapa bangsa kambing yang tersebar di seluruh dunia, seperti: kambing Kacang, kambing Etawah, kambing Saanen, kambing Kashmir, kambing Angora, kambing Toggenburg, Nubian dan lain-lain. Penyebaran Kambing ke Asia Tenggara Devendra dan Nozawa (1976) mengemukakan bahwa kambing piara dari Asia Barat menyebar ke Timur melalui dua jalan utama. Pertama, dari Persia dan Afganistan melalui Turkestan ke Mongolia atau Cina Utara, yang dinamakan lintasan sutera, yang terjadi pada sekitar 2000 tahun sebelum Masehi. Kedua, kearah anak benua India melalui Khyber Pass. Jalan ini sangat tua, yaitu sejak orang Indo-Aryan mengetahuinya pada sekitar 2000 tahun sebelum Masehi. Dengan demikian, Mongolia, Cina dan India menerima kambing piara dari Barat dengan perantaraan para pengembara. Gambar 2 menunjukkan jalan migrasi kambing asli Asia dari wilayah penjinakan. Jalan ini diduga atas konfirmasi dari peninggalan-peninggalan lama dari hasil penelitian. Dari anak benua India, kambing piara ini menyebar ke pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Philipina dan terus ke Jepang. Thailand menerima kambing piara dari Utara. Perkembangan selanjutnya, kambing pendatang ini menjadi kambing asli di wilayah penyebarannya dan di Indonesia

18 kita kenal dengan kambing kacang tersebar di pulau-pulau Indonesia terutama Jawa dan Sumatera. Kambing-kambing asli yang sekarang terdapat di Negara di kawasan Asia Tenggara berasal dari turunan bangsa kambing yang sama dapat dilihat terutama dari kesamaan morfologinya, terutama warna bulu. Warna bulu coklat dengan garis punggung berwarna hitam (ciri dari Bezoar) dan warna bulu hitam merupakan jumlah terbanyak dari kambing asli di Malaysia Barat dan Timur (Shotake et al. 1976). Hal yang serupa juga terdapat di Philipine, di Tahiland dan Taiwan. Penelitian yang dilakukan oleh Abdulgani et al. (1981) di Sumatera Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kambing yang berwarna bulu coklat dan hitam merupakan jumlah terbanyak. Murtidjo (1993) menyatakan bahwa kambing kacang merupakan bangsa kambing lokal asli Indonesia. Tubuh kambing kacang relatif kecil, kepala ringan dan kecil, telinga pendek dan tegak lurus mengarah ke atas depan. Kehidupannya sangat sederhana, memiliki daya adapasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat dan reproduksinya dapat digolongkan sangat tinggi. Jenis kambing ini juga terdapat di Filipina, Myanmar, Thailand, Malaysia dan sekitarnya. Kambing tipe kecil yang disebut kambing kacang merupakan kambing pendatang pertama di Malaysia dari India dan akhirnya menjadi kambing asli Malaysia (Devendra 1966). Selanjutnya dikatakan bahwa kambing yang tipenya serupa telah menyebar di bagian lain dari Asia Tenggara sampai Taiwan dan kepulauan Jepang bagian Selatan. Imigrasi orang-orang Pakistan ke Thailand menyertakan kambing tipe dwiguna sehingga menyebabkan variabilitas genetik yang tinggi pada kambing-kambing asli Thailand, namun tidak dapat dikesampingkan kemungkinan telah terjadi persilangan dengan bangsa-bangsa kambing Eropah seperti Seaanen atau lainnya.

19 Gambar 2 Postulat penyebaran kambing piara ( ) ke Asia Timur dan Tenggara Sumber Devendra dan Nozawa (1976) Klasifikasi Bangsa Kambing De Haas dan Horst (1979) mengelompokkan kambing atas tiga tipe berdasarkan tinggi pundak dan bobot badan hidup (Tabel 8). Tabel 8 Klasifikasi bangsa kambing (dewasa) menurut tinggi Pundak dan Bobot badan Hidup Tipe kambing Tinggi pundak (cm) Bobot badan hidup (kg) Besar Sedang Kecil (dan Kerdil) 65 50-65 50 30-60 20-45 9-30 Sumber : De Haas dan Horst (1979) Fungsi utama kambing tipe kecil adalah penghasil daging, tipe sedang untuk penghasil daging dan susu, sedangkan tipe besar ditujukan untuk penghasil

20 susu. Tipe kerdil (dwarf) sama sekali tidak ideal sebagai penghasil daging karena pertumbuhannya yang sangat lambat. Chai (1961) dikutip Gunawan (1982) menyatakan bahwa peningkatan bobot badan dapat dilakukan melalui kawin silang dengan bangsa lainnya yang superior karena gen-gen yang mengendalikan ukuran-ukuran badan yang lebih besar dominant terhadap gen-gen yang mengendalikan ukuran-ukuran badan yang lebih kecil. Berdasarkan tinggi pundak dan bobot badan Devendra dan Burns (1970) menyimpulkan bahwa kambing yang tergolong tipe besar diantaranya adalah Jamnapari, Beetal, Barbari, Malabar, Damascus, Syrian Mounain, Sardinian, Benadir, Angora, Sahel, Maradi, Mudugh, Sudanese Nubian, Sudanese Shukria, Soviet Mohair dan Moxoto; yang tergolong tipe kecil diantaranya adalah Ma T ou, kambing kacang, Kigezi, Arab angora, Melteze dan Moxoto; yang tergolong tipe kerdil (dwarf) di antaranya adalah, South China, Bengal, East African, South Sudan, Congo dwarf, West African Dwarf dan Kosi. Selanjutnya dinyatakan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap ukuran-ukuran serta bobot badan kambing. Dengan demikian suatu bangsa kambing yang tergolong tipe besar pada suatu lokasi akan tergeser ke tipe kecil pada lokasi lainnya, atau suatu bangsa kambing yang tergolong tipe kecil pada suatu lokasi akan tergeser ke tipe kerdil (dwarf) pada lokasi lainnya. Beberapa Ciri Kambing Kacang Menurut Murtidjo (1993), kambing kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia. Tubuh kambing kacang relatif kecil, kepala ringan dan kecil, telinga pendek dan tegak lurus mengarah ke atas depan, dengan kehidupan yang sederhana, memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat dan reproduksinya dapat digolongkan sangat tinggi. Jenis kambing ini juga terdapat di Filipina, Myanmar, Thailand, Malaysia dan sekitarnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kambing kacang memiliki warna tunggal, yakni: putih, hitam dan coklat, serta adakalanya warna campur dari ketiga warna tersebut. Kambing Kacang kelamin jantan maupun betina mempunyai tanduk 8

21 10 cm. Berat tubuh kambing kacang dewasa rata-rata sekitar 17 30 kg. Betina umumnya memiliki bulu pendek pada seluruh tubuh, kecuali pada bagian ekor dan dagu. Gambaran beberapa ciri kambing kacang dapat disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 Jenis kambing kacang (Sumber dok: Hoda 2006) Damshik (2001) mengemukakan bahwa kambing kacang berbadan relatif kecil dengan tinggi pundak dewasa rata-rata 50 cm dan bobot badan 30 kg. Bila dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya maka kepala mempunyai proporsi yang sangat baik dan seimbang; ukuran telinga sedang, selalu bergerak, tidak tergantung tetapi tegak. Tanduk terdapat baik pada yang jantan maupun pada betina dan ukurannya relatif pendek. Janggut tumbuh dengan baik pada kambing jantan, namun juga terdapat pada yang betina dewasa walaupun tidak begitu lebat. Leher pendek dan memberi kesan tebal dan tegap. Punggung lurus dan pada beberapa kasus terlihat agak melengkung dan memeberi kesan makin kebelakang makin tinggi sampai pinggul. Devendra dan Burns (1970) menyatakan bahwa profil kambing kacang berbentk lurus. Ekor kelihatan kecil dan tegang. Ambing kecil dengan konformasi baik dengan puting yang besar. Bulu pendek serta kasar pada yang betina, tetapi pada yang jantan lebih panjang. Kambing kacang tahan hidup pada keadaan kondisi lingkungan yang sangat beragam dan sanggup beradaptasi pada metode manajemen yang berubah-ubah dan sangat beragam. Umur ketika mencapai pubertas sekitar enam bulan pada yang jantan. Umur beranak pertama dicapai ketika umur 12 13 bulan.

22 Siklus Reproduksi Ternak Kambing Pada umumnya, ternak kambing mulai dewasa kelamin pada umur 5 10 bulan. Dewasa kelamin sangat tergantung dari rasa tau tipe, jenis kelamin dan lokasi pemeliharaan. Kambing tipe kecil lebih cepat mengalami dewasa kelamin dibandingkan kambing tipe besar. Perkawinan induk kambing betina sebaiknya dilakukan pada umur 9 12 bulan, karena pada umur ini secara fisik kambing sudah tumbuh dewasa sehingga mampu memproduksi susu dan menjalani masa kebuntingan. Menurut Devendra dan Burns (1970) menyatakan bahwa kebanyakan bangsa kambing daerah tropis biasa melahirkan pada umur satu tahun dan dapat digunakan sebagai produsen anak sampai kambing berumur 5 6 tahun. Umur dini pada beranak pertama mengurangi biaya pemeliharaan calon induk dan meningkatkan pendapatan ekonomi, serta menunjang perbaikan genetik yang cepat, dan oleh karenanya hal itu sangat diinginkan. Siklus birahi seekor kambing betina antara 20 24 hari. Masa birahinya berlangsung selama 1 2 hari. Kambing betina tidak akan bunting bila dikawinkan dalam keadaan tidak sedang birahi. Kambing yang sedang bunting tidak mengalami masa birahi lagi. Mishra dan Biswas (1966) yang mempelajari penyebaran birahi pada kambing lokal di India, yang melibatkan 12 081 ekor kambing betina, menunjukkan bahwa rata-rata lama birahi sekitar 38 jam. Pretorius (1977) mempelajari usap vagina dari induk kambing Angora yang sedang mengalami siklus birahi dan yang tidak (anestrus) mencirikan perubahan yang terjadi. Selama birahi, terjadi aliran lendir jernih dan encer yang membentuk pola kristalisasi seperti pakis. Setelah ovulasi dan pada fase birahi akhir, lendir tersebut menjadi masa putih yang kental, mengandung banyak elemen sel bertanduk, sedangkan pada fase luteal dan anestrus ditandai dengan sekresi lender yang sedikit dan tidak membentuk pola kristalisasi. Kambing pejantan bisa dikawinkan pada umur 10 bulan tetapi tidak dibiarkan melayani lebih dari 20 ekor induk betina sebelum umurnya genap satu tahun. Pada tenggang waktu dua bulan itu, kambing jantan hanya kawin 16 20 kali atau maksimal dua kali kawin dalam seminggu. Pejantan dapat digunakan sebagai pemacek sampai umur 7 8 tahun. Penjelasan mengenai perkembangan

23 reproduksi ternak kambing jantan telah banyak dilakukan. Skinner (1975) menyembelih pejantan kambing boer pada berbagai interval dari saat lahir sampai berumur 196 hari. Selama waktu itu, berat testis meningkat secara lambat 1.3 g pada saat lahir menjadi 9.9 g pada umur 84 hari, dan selanjutnya secara cepat menjadi 25 g pada umur 140 hari, ketika spermatozoa untuk pertama kali tersedia melalui saluran eferens. Spermatogenensis mulai pada umur 84 hari dan pada umur 120 hari, spermatozoa ada dalam epididimis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama bunting pada kambing ditemukan agak konstan sekitar 146 hari, meskipun kisaran yang dilaporkan antara 143 153 hari. Otchere dan Nimo (1975) mengatakan bahwa lama bunting pada kambing kerdil Afrika Barat dilaporkan rata-rata 141,3 ± 4.7 hari. Shelton (1978) menduga bahwa lama bunting yang singkat merupakan ciri bangsa kambing kecil. Penyebab keragaman dalam periode bunting tidak diketahui secara rinci, tetapi seperti pada spesies hewan lainnya, hal itu dipengaruhi oleh jenis kelamin janin, kondisi habis beranak, dan keragaman lingkungan lainnya, khususnya makanan, dan oleh faktor keturunan. Mishra et al. 1979 menemukan bahwa lama bunting rata-rata 146,42 ± 0.24 hari, dan berkorelasi secara kuat dengan berat lahir anak (0.33) dan berat induk saat dikawinkan (0.41). Periode perkawinan merupakan faktor penentu interval beranak yang paling penting karena beda dalam lama bunting kecil dan manfaat praktisnya sedikit. Lama periode perkawinan ini tergantung pada seberapa cepat induk tersebut bunting lagi setelah beranak, yang pada gilirannya tergantung pada timbulnya siklus birahi. Kondisi ini dipengaruhi oleh bangsa kambing dan oleh beberapa faktor lingkungan. Kondisi hewan yang buruk, makanan yang tidak memadai, atau sebab lain yang dapat menunda timbulnya birahi setelah melahirkan. Devendra(1962) melaporkan bahwa periode perkawinan pada kambing Anglo-Nubia murni di Malaysia rata-rata 327 hari, sedang pada kambing lokal (kacang) rata-rata 92 hari. Mengawinkan kambing sesuai dengan waktunya, baik waktu kelahiran, penyapihan, serta mengawinkan kembali, perlu dilakukan pengaturan siklus reproduksi ternak seperti pada Gambar 4 berikut ini.

24 beranak kawin beranak 3 bulan 5 bln 8 bulan lahir Sapih 2-3 bln Dewasa kelamin 6-8 bln Birahi Kawin 8-12 bln Bunting 5 bulan beranak Gambar 4 Siklus reproduksi kambing betina agar dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun atau beranak setiap 8 bulan (Mulyono 2004). Produktivitas Ternak Kambing Produktivitas semua bangsa hewan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan hidup ternak bersangkutan (Johansson et al. 1968 yang disetir Abdulgani 1981). Bersama-sama dengan kedua faktor di atas, peranan peternak dalam mengelola ternaknya menentukan pula tinggi rendahnya produksi yang akan dicapai. Beberapa literatur umumnya dinyatakan bahwa pelaksanaan manajemen untuk meningkatkan keefisienan produksi ternak antara lain : (1) berusaha agar kondisi badan serta kesehatannya baik, (2) bebas dari gangguan penyakit, (3) pelaksanaan flushing (pemberian makanan yang cukup dan bermutu menjelang dan selama masa birahi), (4) berusaha agar dikawinkan pada umur muda dan tepat waktunya, (5) lekas dikawinkan kembali setelah beranak, dan (6) cukup tersedia pejantan unggul yang selalu dijaga kondisi makanannya (Ray dan Smith 1966; Guha et al. 1967; Turner dan Young 1969 dikutip Abdullgani (1981). Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam bidang pemuliaan ternak, usaha untuk meningkatkan keefisienan produksinya dilakukan dengan cara menyeleksi ternak-ternak yang tingkat kesuburannya tinggi, menyisihkan ternak-ternak yang memiliki sifat produksi buruk, dan cara-cara perkawinan yang tepat. Menurut Devendra dan Nozawa (1976), usaha peningkatan produktivitas ternak kambing di suatu wilayah perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) penggunaan bibit ternak yang baik mutunya; (2) peningkatan banyaknya cempe

25 yang dilahirkan serta memperpanjang kehidupan induk yang produktif; (3) usaha pengendalian terhadap banyaknya ternak yang dipelihara; (4) meningkatkan penggunaan bibit ternak yang telah terbukti keunggulannya; (5) manajemen yang lebih efisien, terutama dalam hal pemberian bahan makanannya; (6) usaha pengendalian penyakit; (7) penelitian terhadap ternak bersangkutan serta penerapannya dalam praktek melalui pendidikan. Untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat produktivitas ternak kambing adalah dengan menghitung banyaknya cempe yang lahir dalam kelompok kambing tersebut selama waktu tertentu, selang beranak atau interval kelahiran, umur mulai dikawinkan, masa bunting, umur beranak pertama, bobot lahir cempe, bobot kambing pada umur tertentu, bobot badan kambing dewasa, tingkat kematian dan heritabilitasnya. Jumlah Anak Kambing yang Lahir per Kelahiran (Litter Size) Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah anak lahir perkelahiran (litter size) pada ternak kambing diantaranya umur induk, tingkat nutrisi maupun pengaruh lingkungan lainnya. Astuti (1984) melaporkan bahwa rataan jumlah anak lahir per kelahiran kambing Peranakan Etawah di Yogyakarta sebesar 1.7 relatif tinggi bila dibanding pengamatan Setiadi et al. 1984 di Bogor yakni sebesar 1.3 ekor. Wilson (1983) yang mengamati kambing lokal di Sudan dan Mali mendapatkan jumlah anak lahir per kelahiran sebesar 1.52 di Sudan dan 1.21 di Mali. Astuti (1984) melaporkan bahwa pada Kambing Kacang di Imogiri Jogyakarta, rata-rata banyaknnya cempe per kelahiran adalah 1.73 ekor. Data kelahiran kambing di fakultas peternakan IPB selama periode 1954-1973 rata-rata menunjukkan banyaknya cempe per kelahiran adalah 1.49 ± 0.07 ekor. Jumlah anak lahir per kelahiran pada ternak kambing bervariasi baik dalam satu bangsa maupun antar bangsa kambing. Dari 3 914 ekor anak kambing Beetal di India, 24 persen lahir tunggal, 63 persen kembar dua, 11.5 persen kembar tiga dan 1.5 persen kembar empat dan dilain pihak pada kambing Beetal

26 di Zambia, lahir kembar dua jarang terjadi dan hanya kelahiran tunggal yang sering terjadi (Mc Dowell dan Bove 1977). Umur Beranak Pertama Umur beranak pertama sangat erat hubungannya dengan umur mulai dikawinkan yang bergantung pada kondisi badan atau makanan ternak bersangkutan. Kambing dara yang masak dini akan lebih cepat beranak pertama daripada yang masak lambat. Ini berarti bahwa bangsa kambing yang tergolong masak dini akan lebih cepat mampu menyumbangkan hasil produksinya bagi masyarakat. Budihardi (1972) melaporkan bahwa umur beranak pertama pada kambing kacang di Imogiri Jogyakarta, adalah 1.5 tahun. Di fakultas Peternakan IPB ratarata umur beranak pertama adalah 979.50±115.85 hari (29 bulan). Pengaruh keadaan lingkungan tempat kambing hidup dan berkembang diperlihatkan oleh adanya perbedaan dalam mencapai umur beranak pertama. Galeon (1951) yang dikutip Abdulgani (1981) melaporkan bahwa kambing di Pilipina rata-rata umur beranak pertamanya adalah 459.75 hari. Kambing Saanen yang diternakan di Israel beranak pertama pada umur 2 tahun (masak lambat). Bobot Lahir Cempe Bobot lahir adalah salah satu faktor penting di dalam dunia peternakan, karena merupakan titik awal pengukuran perkembangan selanjutnya. Epstein dan Herz (1964) dan Scott (1970) disetir Setiadi (1987) menyatakan bahwa bobot lahir dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap perkembangan setelah lahir. Banyaknya anak per kelahiran dan jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir. Setiadi (1987) melaporkan bahwa bobot lahir kambing Peranakan Etawah (PE) di pedesaan sebesar 2.5±0.6 kg. Bobot lahir anak jantan lebih berat dari betina, yaitu 2.6 kg vs 2.2 kg. Selanjutnya Singh et al.(2002) melaporkan bahwa bobot lahir kambing Jamnapari jantan sebesar 2.92±1.06 kg dan betina sebesar 2.68±1.06 kg. Jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir, dimana

27 bobot lahir anak jantan lebih tinggi daripada bobot lahir anak betina seperti disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Pengaruh jenis kelamin terhadap bobot lahir beberapa bangsa kambing Bangsa Bobot lahir (kg) Peneliti Jantan Betina Parbatsar Jamnapari Black Bengal Malabari Pashmina Kambing Kacang 2.40 ± 0.25 2.92 ± 1.06 1.82 ± 0.03 1.89 ± 0.03 2.34 ± 0.70 1.50 2.03 ± 0.32 2.68 ± 1.06 1.66 ± 0.03 1.69 ± 0.004 2.25 ± 0.80 1.40 Mittal dan Ghosh (1985) Singh et al. (1984) Malik et al. (1986) Mukundun et al. (1981) Mazumder dan Mazumder (1983) Devendra (1966) Sumber : Abdulgani (1981) Mittal (1979) menyatakan bahwa faktor musim berpengaruh terhadap bobot lahir anak kambing (Tabel 10). Penelitiannya meliputi dua bangsa kambing dengan dua faktor musim yaitu musim panas (summer) dan musim dingin dan hujan (monsoon). Anak-anak kambing yang tetuanya kawin pada musim dingin dan hujan mempunyai bobot lahir lebih tinggi dari anak-anak kambing yang tetuanya kawin pada musim panas. Hal ini berlaku pada kedua bangsa, baik yang terlahir tunggal maupun yang terlahir kembar. Tabel 10. Pengaruh musim kawin terhadap bobot lahir anak kambing Bangsa Musim Panas (Summer) Musim Dingin (Winter) Jantan Betina Jantan Betina Barbari Tunggal Kembar Dua Jamnapari Tunggal Kembar dua 1.98 ± 0.30 1.84 ± 0.16 2.69 ± 0.04 2.32 ± 0.02 1.80 ± 0.18 1.72 ± 0.17 2.38 ± 0.09 2.12 ± 0.08 2.41 ± 0.09 2.38 ± 0.04 3.46 ± 0.13 3.20 ± 0.02 2.18 ± 0.04 1.98 ± 0.11 2.94 ± 0.14 2.85 ± 0.12 Sumber : Mittal (1979) Mittal (1979) juga menyatakan bahwa umur induk berpengaruh terhadap bobot lahir anak kambing. Ada kecendrungan bahwa makin tua umur induk maka makin besar pula bobot lahir anaknya, baik pada tipe kelahiran tunggal maupun pada tipe kelahiran kembar dua Tabel 11.

28 Tabel 11 Pengaruh umur induk terhadap bobot lahir kambing Bangsa Tipe Kelahiran Jenis Umur Induk (tahun) Kelamin 2 2-4 4-6 Barbari Jamnapari Tunggal Kembar dua Tunggal Kembar dua Jantan Betina Jantan betina Jantan Betina Jantan Betina 2.22 ± 0.30 1.89 ± 0.13 1.75 ± 0.23 1.53 ± 0.12 3.02 ± 0.13 2.79 ± 0.07 2.98 ± 0.13 2.51 ± 0.06 2.20 ± 0.12 2.05 ± 0.13 2.11 ± 0.23 1.77 ± 0.24 3.28 ± 0.07 2.88 ± 0.03 3.12 ± 0.20 2.66 ± 0.08 2.38 ± 0.17 2.28 ± 0.11 2.01 ± 0.32 1.71 ± 0.10 3.44 ± 0.12 2.80 ± 0.06 3.14 ± 0.08 2.58 ± 0.15 Sumber : Mittal (1979) Potensi Ekonomi Ternak Kambing di Indonesia Peternakan kambing di Indonesia yang masih berskala kecil perlu diusahakan secara komersial. Hal ini perlu dikembangkan karena adanya pertumbuhan penduduk sekitar 2% dan kenaikan tingkat daya beli masyarakat. Kebutuhan daging saat ini belum mencukupi permintaan. Dengan jumlah penduduk tahun 2005 mencapai sekitar 220 juta jiwa dengan rata-rata konsumsi daging sekitar 1.75 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan daging domestik mencapai sekitar 384.81 ribu ton. Sementara itu total produksi daging dalam negeri hanya mencapai 271.84 ribu ton sehingga masih ada kekurangan sekitar 112.97 ribu ton atau 29.36% dari total kebutuhan dalam negeri (Ditjend Peternakan 2005) Selain pertimbangan di atas, ternak kambing juga mempunyai potensi ekonomi yang baik. Potensi ekonomi ternak kambing ini antara lain menurut Mulyono (2004): 1) Ternak Kambing mempunyai badan yang relatif kecil dan pertumbuhan yang cepat sehingga tingkat reproduksi dan produksi lebih tinggi, 2) ternak kambing tidak memerlukan lahan yang luas, apalagi dapat dilakukan kemitraan dengan pihak pengadaan pakan hijauan, 3) suka bergerombol sehingga dalam hal tenaga kerja, sistem pengembalaan lebih efisien, 4) skala usaha pembibitan ternak kambing yang dianjurkan adalah 8-12 ekor induk dengan harapan setiap kali melahirkan akan diperoleh anak sapih sekitar 12 18 ekor.

29 5) memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap bermacam-macam hijauan pakan ternak, 6) memiliki daya adaptasi yang baik terhadap berbagai keadaan lingkungan sehingga dapat diternakkan dimana saja dan dapat berkembangbiak sepanjang tahun. Jumlah ternak kambing di Indonesia dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya pada tahun 2005 relatif lebih banyak Tabel 12 dan untuk populasi ternak kambing per provinsi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 12 Populasi Ternak Tahun 2001-2005 (000 ekor) No Tahun Jenis Ternak 2001 2002 2003 2004 2005 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. 2. 3. 4. 5. Sapi potong Sapi perah Kerbau Kambing Domba 11 137 347 2 333 12 464 7 401 11 298 358 2 403 12 549 7 641 10 504 374 2 459 12 722 7 811 10 533 364 2 403 12 781 8 075 10 680 374 2 428 13 182 8 307 Sumber : Dirjen Peternakan (2005)

30 Tabel 13 Populasi kambing tahun 2003-2007 per provinsi di Indonesia Provinsi Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 NAD 637 188 647 089 655 242 787 708 894 199 Sumut 712 566 717 196 721 858 643 86 712 753 Sumbar 256 230 195 176 148 467 223 334 259 058 Riau 231 757 203 999 215 793 238 043 250 527 Jambi 126 863 132 369 138 114 137 989 155 169 Sumsel 436 607 435 504 453 926 463 72 582 534 Bengkulu 166 589 108 619 112 964 102 855 106 969 Lampung 810 456 824 235 868 133 798 816 846 122 DKI Jakarta 5 351 6 971 7 313 9 333 10 373 Jabar 930 066 1 144 102 1 235 973 1 148 547 1 393 190 Jateng 2 984 845 2 993 138 3 007 593 3 165 040 3 193 842 DIY 241 007 256 417 258 981 280 182 282 984 Jatim 2 334 554 2 359 375 2 382 969 2 414 350 2 457 059 Bali 61 958 44 418 44 418 70 785 70 833 NTB 282 500 300 280 315 294 376 13 394 937 NTT 435 151 462 101 490 721 496 766 509 23 Kalbar 96 360 99 010 104 960 107 762 118 54 Kalteng 23 160 37 398 37 398 41 046 43 098 Kalsel 84 442 91 911 96 507 107 873 111 733 Kaltim 74 335 72 071 73 512 53 105 54 167 Sulut 45 910 44 234 44 375 42 759 43 399 Sulteng 161 920 163 090 163 948 188 362 171 723 sulsel 555 927 403 505 511 895 433 495 543 672 Sultra 73 927 82 160 90 080 97 976 102 645 Maluku 156 406 168 719 171 755 149 405 152 394 Papua 41 969 55 069 57 066 37 226 41 822 Babel 11 377 2 450 2 499 3 561 3 846 Banten 522 380 566 716 564 463 681 253 817 732 Gorontalo 137 879 92 944 131 618 96 568 111 098 Malut 82 402 70 695 74 229 139 981 149 776 Kepri - - 21 558 20 238 20 643 Irjabar - - 12 923 11 708 13 163 Sulbar - - 209 694 220 179 254 286 Total 12 722 082 12 780 961 13 182 064 13 789 954 14 873 516 Sumber: Dirjen Peternakan (2008)