Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September

dokumen-dokumen yang mirip
MODEL KONSERVASI PRIMATA ENDEMIK DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

Estimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PENGELOLAAN HUTAN LEST PENGELOLAAN HUT ARI DI AN LEST PULAU SIBERUT UNTUK MITIGASI EMISI KARBON

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

BAB IV METODE PENELITIAN

Potensi Jenis Dipterocarpaceae di Hutan Produksi Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

Oleh M. Bismark Endang Karlina PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MONITORING LINGKUNGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

West Kalimantan Community Carbon Pools

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, NOMOR : 201 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE

OWA KELAWAT (Hylobates muelleri) SEBAGAI OBYEK WISATA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

BAB III METODE PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

Kata kunci : Umur pertumbuhan, Dipterocarpaceae, mersawa, Anisoptera costata Korth

BAB III METODE PENELITIAN

III METODOLOGI Waktu dan Tempat

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

Transkripsi:

KONSERVASI PRIMATA ENDEMIK MENTAWAI : Analisis Habitat dan Populasi Primata di Siberut Utara 1) Oleh : M. Bismark 2) ABSTRAK Penelitian populasi primata endemik Mentawai dilakukan pada bulan Maret sampai April 2006 di komplek hutan Desa Tiniti Siberut Utara dan bertujuan untuk mengetahui populasi 4 jenis primata endemik, Hylobates klossii, Simias concolor, Presbytis potenziani, dan Macaca pagensis. Habitat primata yang diteliti berupa hutan bekas tebangan lebih dari 30 tahun, yaitu hutan sekunder tua yang kondisi fisiknya sudah menyerupai hutan primer. Dari 10 plot 200 m 2 yang dibuat pada lokasi tidur primata diperoleh 115 jenis pohon berdiameter 4-120 cm dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wieners 4,756. Hylobates klossii dan S. concolor di areal penelitian lebih 60 % menggunakan habitat hutan sekunder tua di areal berbukit. Kondisi ini sangat mendukung ketersediaan pohon tidur untuk keamanan, sedangkan aktivitas P. potenziani dan M. pagensis sering menggunakan habitat tepi sungai (lebih dari 40 persen). Populasi H. klossii adalah 8,14 individu per km² sedangkan populasi S. concolor, P. Potenziani, dan M. pagensis masing-masing adalah 10,94; 10,14; dan 31,56 individu per km². Kata kunci : Habitat, primata, populasi, endemik Mentawai I. PENDAHULUAN Pulau Siberut adalah pulau terbesar di antara gugusan Kepulauan Mentawai, sebelah barat Pulau Sumatera. Pulau seluas 4.480 km persegi dalam gugusan Kepulauan Mentawai, telah terpisah oleh laut dalam dari daratan Sumatera sejak 500.000 tahun lalu (Whitten, 1980). Kondisi ini telah mempertahankan bentukbentuk kehidupan primata dari daratan utamanya sehingga di Kepulauan Mentawai banyak terdapat jenis-jenis endemik, seperti 65 persen jenis mamalia merupakan jenis endemik, di antaranya empat jenis primata endemik Mentawai, Hylobates klossii (bilou), Simias concolor (simakobu), Presbytis potenziami (joja), dan Macaca pagensis (bokoi); kategori jenis tersebut dalam daftar IUCN sebagai terancam (vulnerable) (Whittaker, 2005). Habitat utama jenis ini adalah di P. Siberut di mana terdapat Taman Nasional dan Cagar Biosfer Siberut. Perubahan habitat terjadi seiring dengan adanya kegiatan pemanfaatan hutan. Inventarisasi potensi hutan di Pulau Siberut untuk kepentingan pemanfaatan kayu komersial mulai dilakukan pada tahun 1969/1970 dan tahun 1972/1973. Kondisi sekarang, Pulau Siberut terbagi dalam komposisi fungsi hutan berupa taman nasional dan hutan produksi. Taman Nasional Siberut seluas 190.500 ha ditetapkan sejak tahun 1993 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 407/KptsII/ 1993 dan hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas 42.050 ha, hutan produksi tetap 95.900 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 74.450 ha; dan kawasan ini tercakup dalam Cagar Biosfer Siberut seluas 405.170 ha. HPH yang aktif saat ini dikelola oleh Koperasi Andalas Madani (KAM) seluas 45.650 ha 1 Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. 2 Peneliti pada Kelti Konservasi Sumberdaya Alam, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor

Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 (11,3% luas Pulau Siberut) dengan SK Menhut No. 105/Kpts/II/2001. Pengelolaan hutan dalam bentuk HPH ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak terhadap kelestarian biodiversitas fauna endemik di Cagar Biosfer Siberut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi primata endemik Mentawai H. klossii, S. concolor, P. potenziani, dan M. pagensis yang sangat tergantung pada kualitas dan potensi tegakan hutan. Lokasi penelitian berada di areal bekas tebangan sekitar 30 tahun lalu di Siberut Utara. Diharapkan hasil ini dapat memberikan masukan untuk pengelolaan hutan produksi sebagai habitat primata endemik yang sesuai dengan prinsip pengelolaan cagar biosfer. II. METODE Penelitian populasi primata didasarkan pada jumlah individu atau kelompok yang tercatat dalam luasan tertentu. Jumlah individu dalam kelompok diketahui dengan pengamatan langsung melalui jalur (transek) sensus, sedangkan estimasi jumlah kelompok dalam areal penelitian secara tidak langsung diketahui dan dicatat melalui suara (Whittaker, 2005) dengan metode Fixed Point Count (Nijman dan Menken, 2005). Penentuan luas areal pengamatan dihitung berdasarkan luas lingkaran atau luas areal transek (panjang x lebar) jalur pengamatan di mana penelitian dilakukan. Berdasarkan penelitian pendahuluan dan evaluasi sebaran kelompok primata di areal penelitian sebelum melakukan sensus, diketahui bahwa kelompok keempat jenis primata dapat dideteksi berdasarkan suara pada jarak 250-300 m (Bismark, 2006) dan daerah jelajah (home range) sekitar 30 ha (Whitten, 1980). Berdasarkan ini, lebar jalur untuk penelitian populasi primata ditetapkan 300 m kiri dan 300 m kanan jalur sensus, pada jalur sensus yang relatif pendek yaitu 500 m, 600 m, dan 1.200 m. Apabila pengamatan dilakukan pada jalur sepanjang 1 km maka luas areal sensus adalah 60 ha, dalam jalur sensus ini dicatat individu kelompok yang terlihat langsung atau kelompok dan individu jenis yang terdengar atau bersuara. Pencatatan individu dan kelompok primata di luar jalur sensus dilakukan dengan metode Fixed Point Count dalam bentuk lingkaran. Areal pengamatan adalah luas lingkaran sesuai radius suara individu kelompok yang dapat terdengar dengan baik. Suara P. potenziani dapat dideteksi dengan baik dalam radius 500 m (Tenaza dan Megantara, 1986), suara H. klossii dapat terdengar dengan baik sampai jarak 750 m, suara M. pagensis dan S. concolor 300 m (Bismark, 2006). Penelitian vegetasi diadakan untuk mengetahui kualitas habitat primata dengan penekanan pada parameter keragaman jenis, jumlah pohon, dan basal area. Data ini diambil dalam 10 plot berukuran 200 m² (14,14 x 14,14 m). Penelitian ini dilakukan di Desa Tiniti, Siberut Utara pada bulan Maret sampai April 2006. III. HASIL DAN DISKUSI A. Areal Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan Desa Tiniti Siberut Utara. Areal penelitian terdiri dari dua lokasi, areal pertama komplek hutan Takungan di hulu sungai Tiniti (2 km dari pantai), kawasan berupa hutan sekunder tua bekas areal tebangan lebih dari 30 tahun lalu, di mana jalan sarad sudah tertutup vegetasi. Sebagian kecil areal berupa ladang tua dan areal yang telah mengalami penjarangan tegakan untuk keperluan papan masyarakat serta penjarangan untuk 64

Konservasi Primata Endemik Mentawai: Analisis Habitat (M. Bismak) penanaman rotan manau. Areal berbukit bertopografi ringan sampai kelerengan lebih dari 50, dan terdapat anak-anak sungai kecil. Di bagian yang landai tumbuh vegetasi hutan rawa air tawar. Areal kedua di kelompok hutan Tiniti adalah bekas tebangan dan sebagian bekas areal tebangan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK, 2004) yang sudah tidak beroperasi sejak 2005. Dengan demikian masih terdapat jalan sarad dan jalan cabang yang terbuka. Penelitian dilakukan sekitar jalan cabang sepanjang 4,7 km dan sebagian areal di tepi jalan sarad terdapat ladang masyarakat yang baru dibuka, sedangkan di jalan cabang tidak ditemukan ladang. Jalan cabang berada pada areal berbukit dengan kelerengan ringan sampai lebih dari 60. Di areal ini hanya terdapat sungai-sungai kecil. B. Habitat Dalam penelitian habitat primata diukur beberapa parameter vegetasi yang berada di sekitar pohon tempat tidur atau areal yang berpotensi dan tersedia pohon tempat tidur dan pohon pakan primata. Dari 10 plot berukuran 200 m² yang dibuat tersebar pada jalur sensus sepanjang 600 m dalam ruang pengembaraan 4 jenis primata diketahui bahwa keragaman jenis pohon cukup tinggi di mana dalam areal 200 m² terdapat 11-32 jenis pohon berdiameter 4-120 cm. Total jenis dalam 10 plot pengamatan pada areal penelitian Takungan adalah 115 jenis (total areal 2.000 m²), dan 60 persen dari jenis hanya mempunyai satu individu pohon sehingga vegetasi menunjukkan indek keragaman jenis tinggi (Indeks Shanon- Wiener 4,756). Jumlah pohon menurut kelas diameter dapat dilihat pada Gambar 1. Jenis pohon yang berdiameter di atas 50 cm adalah mancemenleleu (Hopea mengarawan), kalumanau (Hoisfieldia sp.), kapene (Gymnacranthera bancana), palalenniba (Canarium sp.), pasese (Ormosia macrodisca), kaboi (Blumedendron tokbrai), lompogulid (Alseodaphne falcata), karai (Anisoptera costata), teitei-pana (Hydnocarpus woodi), lilak (Cynometra raniflora), dan maneget (Litsea sp.). Jumlah Pohon (batang) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Diameter Gambar 1. Jumlah pohon pada berbagai diameter di komplek hutan Takungan (dalam 10 plot 200 m²) Penelitian Simbolon et al. (1997), bahwa dalam plot 30 x 30 m di desa Rokdog Siberut terdapat 54 jenis pohon yang berdiamater 4-180 cm dengan ketinggian mencapai 40 m, dan terdapat 28 jenis pohon dalam plot 10 x 30 (300 m²) di desa Madobag, jumlah jenis ini relatif rendah dari jumlah jenis pohon di habitat primata di Takungan yang mencapai 32 jenis pohon dalam areal 200 m². 65

Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 Dari segi potensi hutan, analisis dibedakan berdasarkan diameter. Diameter tegakan yang masuk kategori pohon adalah diameter 10 cm ke atas, di mana pohon yang berpotensi sebagai pohon tempat tidur hylobates adalah pohon yang berdiameter lebih dari 40 cm (Iskandar, 2006). Komposisi tegakan dengan parameter kerapatan dan basal area dari tiga kelas diameter tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Jumlah Pohon 20 18 16 13.7 14 12 10 8 6 4 2 0.06 0 17.1 0.57 3.4 4-9 10-39 > 40 Klas Diameter (cm) 1.24 Basal Area (m²) 1,40 0,70 0,07 Jumlah pohon Basal area Gambar 2. Jumlah pohon dan basal area rata-rata menurut kelas diameter pohon (dalam 10 plot 200 meter²), habitat lokasi tidur primata endemik Mentawai Pemilihan pohon tinggi sebagai pohon tidur bertujuan untuk mengurangi resiko primata dari predator termasuk ular dan burung pemangsa, sehingga anggota kelompok H. klossii tidur pada pohon terpisah kecuali induk dengan anak atau individu remaja (Whitten, 1980) dan tidak ada korelasi frekuensi penempatan pohon tidur dengan sumber pakan yang terdekat (Reichard, 1998). C. Populasi Hasil penelitian populasi 4 jenis primata endemik Mentawai disajikan dalam Tabel 1, di mana kepadatan populasi H. klossii di Siberut Utara adalah 8,14 individu per km 2. Berdasarkan daerah jelajah (home range) H. klossii seluas 33 ha, maka pada habitat hutan primer kepadatan populasinya adalah 10,5 individu per km 2 dengan besar kelompok rata-rata 3,7 individu (Whitten, 1980). Angka populasi ini berbeda dengan laporan Tenaza (1975) dan Tilson (1974) dalam Whitten (1980), di mana populasi H. klossii di hutan primer antara 25-30 individu per km 2 (home range antara 15-20 ha). Penelitian Whittaker (2005) dengan metode Fixed Point Count dalam radius 600 m (luas contoh areal 1,13 km²) menunjukkan bahwa populasi H. klossii antara 26,5-31,3 individu per km 2. Di areal penelitian Takungan dan Tiniti, luas areal contoh dengan radius 750 m (1,77 km²) populasi H. klossii rata-rata di hutan bekas tebangan 30 tahun terhitung sejumlah 8,14 individu per km 2, dan hasil penelitian IPB menunjukkan populasi 8,9 individu per km 2. Jumlah kelompok H. klossii yang didapat dari hasil penelitian Whittaker (2005) berkisar 4-15 individu atau rata-rata 10 individu per kelompok. Angka ini tidak menunjukkan umumnya kelompok Hylobatidae sebagai primata monogami yang berkelompok antara 2-6 individu. Besarnya anggota kelompok tersebut didukung 66

Konservasi Primata Endemik Mentawai: Analisis Habitat (M. Bismak) oleh perubahan perilaku H. klossii yang lebih bersifat omnivora dan tingginya sumber pakan yang tersedia (Whittaker, 2005). Hasil penelitian yang intensif menunjukkan bahwa H. klossii mempertahankan teritori yang cukup luas (65 % dari home range) untuk mempertahankan keragaman jenis pohon pakan dan buah-buahan yang tersedia menurut musim (Whitten, 1980). Meratanya sebaran sumber pakan dengan kerapatan tinggi menyebabkan kurangnya pertahanan kelompok terhadap daerah jelajah, sehingga terjadi tumpang tindih daerah jelajah yang luas (Bismark, 2006). Faktor ini menunjukkan keanekaragaman jenis pohon yang tinggi di habitat primata dan tercatat 40 jenis pohon sumber pakan (16 % dari jenis pohon yang tercatat) dari 55 jenis pohon pakan yang dilaporkan Whitten (1980). Dalam hal ini 30 persen pohon sumber pakan tercatat hanya ada satu individu dalam plot 20 x 50 m (Partomihardjo, Komunikasi pribadi). Rendahnya populasi dari masing-masing jenis pohon pakan di habitat hutan bekas tebangan menyebabkan populasi H. klosii lebih rendah dari hutan primer. Hasil penelitian IPB (2006) di hutan primer Siberut Utara, populasi S. concolor mencapai 53 individu per km² dan M. pagensis 16,2 individu. Angka ini cukup berbeda dengan hasil penelitian di Tiniti (Tabel 1 dan Tabel 2). Ini menunjukkan bahwa S. concolor tidak teradaptasi baik dengan hutan sekunder tua (10,94 individu/ km²) dengan kemungkinan tingginya tingkat perburuan. Tabel 1. Populasi primata di komplek hutan Takungan, desa Tiniti, Siberut Utara Luas areal Jumlah Jenis sampel kelompok SD individu per areal (ha) sampel (ha) per km² kelompok individu per km² H. klossii 28,3-176,7 92,06 12 2,71 1,563 3 8,14 S. concolor 28,3-78,5 41,1 7 4,05 2,09 2,7 10,94 P. potenziani 28,3-78,5 36,5 8 3,85 1,75 3 10,14 M. pagensis 28,3-78,5 48,2 9 2,63 0,97 12 31,56 Tabel 2. Populasi primata di bekas tebangan, jalan sarad, dan jalan cabang IPK 2004, desa Tiniti, Siberut Utara Jenis Luas areal Rara-rata Jumlah sampel kelompok SD individu per individu per areal (ha) sampel (ha) per km² kelompok km² H. klossii 60-176,7 114,06 5 2,18 1,05 3 6,54 S. concolor 28,3-60 38,9 3 2,90 1,07 3 8,70 P. potenziani 28,3-60 44,7 6 2,58 1,02 4 10,32 M. pagensis 28,3-72 42,5 8 3,15 1,71 10,5 33,10 Macaca teradaptasi baik dengan hutan sekunder dan ladang sehingga populasi lebih tinggi (100 %) dari hasil yang dilaporkan IPB (2006). Berdasarkan Tabel 2, terlihat adanya kemungkinan pengaruh tebangan dalam luasan kecil terhadap penurunan populasi H. klossii dan S. concolor sejumlah 20 persen, dan penurunan ini akan lebih tinggi pada areal penebangan yang lebih luas. Tingkat pemanfaatan hutan melalui kegiatan HPH intensif dapat menurunkan populasi primata. Hal ini terindikasi dari jarangnya suara H. klossii dan jarangnya ditemukan pohon dengan tinggi di atas 20 m (Kawamura dan Megantara, 1986). Di HPH KAM, dalam areal bekas tebangan 3 tahun jarang terdengar suara H. klossii dan suara terdengar dalam jarak sekitar 1,5 km (Bismark, pengamatan pribadi). Jenis yang sangat tergantung pada habitat dengan pohon tinggi adalah H. klossii dan S. concolor (Kawamura dan Megantara, 1986), sehingga kedua jenis ini sangat rentan terhadap kegiatan logging. Selain itu populasi keduanya lebih 67

Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 rendah dari populasi P. potenziani dan populasi M. pagensis. Salah satu akibat penjarangan pohon, pohon tinggi lain mudah tumbang sehingga dapat mencederai dan membunuh primata yang berada di pohon tersebut. Kasus ini terjadi saat penelitian berlangsung di mana induk P. potenziani mati terhempas akibat pohon tidurnya tumbang. Mengacu kepada dampak pengelolaan hutan dalam bentuk HPH terhadap vegetasi habitat tentunya kegiatan ini akan mempengaruhi terhadap populasi primata endemik yang menjadi acuan pengelolaan dan pelestarian hutan atau dalam pengamanan taman nasional dan cagar biosfer. Berdasarkan SK Menhut No. 252/Kpts-II/1993 tentang kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi alam Indonesia secara lestari, di antara indikatornya adalah aspek konservasi, dengan penetapan wilayah konservasi dalam areal hutan produksi. Berdasarkan angka populasi minimum primata sejumlah 250 individu (Harcourt, 1995) keberadaan populasi minimum satu jenis primata langka sejumlah 250 individu dapat dipertimbangkan untuk menentukan luas wilayah konservasi. Dalam hal ini H. klossii dan S. concolor merupakan jenis primata dengan populasi rendah dan paling tinggi tingkat ketergantungannya terhadap hutan primer dapat menjadi indikator penetapan luas tersebut. IV. KESIMPULAN 1. Kawasan hutan Tiniti, Siberut Utara adalah bekas areal tebangan lebih dari 30 tahun yang lalu telah membentuk ekosistem hutan sekunder tua dengan keanekaragaman jenis tinggi (4,756 dalam indek Shannon-Wieners). Kepadatan pohon di lokasi tidur primata berdiameter 10-39 cm mencapai 17,1 pohon per 200 m 2, sedangkan yang berdiameter >40 cm mencapai 3,40 pohon per 200 m 2. Tingginya jumlah pohon berdiameter 4-9 cm, menunjukkan tingkat regenerasi hutan berjalan baik. 2. Populasi pohon berdiameter >40 cm dengan basal area 1,243 m² per 200 m 2 menunjukkan potensi hutan sekunder tua bekas tebangan dapat mendukung penyediaan pohon tidur dan pakan primata apabila tidak terjadi gangguan penebangan liar. 3. Populasi H. klossii di hutan sekunder tua adalah 8,14 individu per km² dan S. concolor 10,94 individu lebih rendah dari hutan primer karena sangat sensitif terhadap perubahan habitat, sedangkan P. potenziani dan M. pagensis masing-masing adalah 10,14 dan 31,56 individu per km² lebih tinggi dari hutan primer. Pada areal yang mengalami tebangan ulang untuk ladang dan sebagian areal untuk IPK (kegiatan dalam tahun 2004) populasi H. klossii dan S. concolor lebih rendah 20 %. Hal ini akan berakibat lebih besar pada areal tebangan yang lebih luas seperti HPH. DAFTAR PUSTAKA Bismark, M. 2006. Populasi Primata Endemik Mentawai di Kompleks Hutan Desa Tiniti Siberut Utara. Laporan Penelitian. C.I. Jakarta. Hacourt, A.M. 1995. Population Viability Estimates: Theory and Practice for Wild Gorilla Population. Conserv. Biology 9(1) : 134-142. IPB. 2006. Siberut Conservation Program. Research, Nature Conservation and Local Economy Perspectives on Siberut. Report, Institute of Research and Community Empowerment. IPB. 68

Konservasi Primata Endemik Mentawai: Analisis Habitat (M. Bismak) Iskandar, E. 2006. Model Estimasi Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Halimun, Jawa Barat. Disertasi. IPB. (draft). Kawamura, S. and E.N. Megantara. 1986. Observation of Primates in Logged Forest on Sipora Island, Mentawai. Studies on Asian Non-Human Primates, 5:1-12. Nijman, V. and S.B.J. Menken. 2005. Assement of Census Techniques or Estimating Density and Biomass of Gibbons (Primates: Hylobatidae). The Raffles Bulletin of Zoology 53(1):169-179. Reichard, U. 1998. Sleeping Site, Sleeping Place and Presleep Behaviour of Gibbons (Hylobates lar). J. of Primatology 46:35-62. Simbolon, M.A.S. Adhikerana, J.J. Afriastini dan A. Marakarmah. 1997. Beberapa Gatra Biologis Sumberdaya Tumbuhan Ekonomis Pulau Siberut, Sumatera Barat. Dalam Pulau Siberut : Potensi, Kendala dan Tantangan Pembangunan. Eko, B., W. H. Susanto dan A. S. Adhikerana (eds). LIPI. Whitten, A.J. 1980. The Kloss Gibon in Siberut Rain Forest. PhD Disertation. Univ. Cambridge. UK. Whittaker, D.J. 2005. New Population Estimates for the Endemic Kloss s Gibbon Hylobates klossii on the Mentawai Islands, Indonesia. Oryx 39 (4) : 458-467. 69