BAB II PERJANJIAN PROTOKOL KYOTO DAN LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2004

dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini

BAB III PARTISIPASI JEPANG DALAM PENANGANAN ISU PERUBAHAN IKLIM GLOBAL (PROTOKOL KYOTO) 3.1 Isu Perubahan Iklim Global (Global Climate Change)

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

tersebut terdapat di atmosfer. Unsur-unsur yang terkandung dalam udara dan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan pemimpin politik untuk merespon berbagai tantangan dari ancaman

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya

PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara

Perspektif CDM Pada Proyek Energi Terbarukan & Efisiensi Energi. I. Latar Belakang

BAB III ISU LINGKUNGAN DAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN JEPANG DALAM PENANGGULAN ISU LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. pihak menanggung beban akibat aktivitas tersebut. Salah satu dampak yang paling

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

UPAYA JERMAN DALAM MENANGGULANGI PEMANASAN GLOBAL ( ) RESUME SKRIPSI

PENANGGULANGAN PEMANASAN GLOBAL DI SEKTOR PENGGUNA ENERGI

Perlindungan Terhadap Biodiversitas

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

SAMBUTAN KETUA DPR-RI. Pada Jamuan Makan Siang dengan Peserta International Youth Forum on Climate Change (IYFCC) Jakarta, 28 Februari 2011

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

SUMBER DAYA ENERGI MATERI 02/03/2015 JENIS ENERGI DAN PENGGUNAANNYA MINYAK BUMI

PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PBB TENTANG PERUBAHAN IKLIM

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PROTOKOL KYOTO DALAM MENGURANGI TINGKAT EMISI DUNIA MELALUI CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PBB TENTANG PERUBAHAN IKLIM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

Peningkatan Kepedulian dan Pemahaman Masyarakat akan Dampak Perubahan Iklim. oleh: Erna Witoelar *)

BAB I PENDAHULUAN. bebas dan dapat diakses dengan mudah. Globalisasi telah mempengaruhi berbagai

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2015 PENGARUH ENVIRONMENTAL PERFORMANCE DAN PENERAPAN CARBON MANAGEMENT ACCOUNTING TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM

Iklim Perubahan iklim

MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH KEHUTANAN, DAN PROSPEKNYA DI INDONESIA. Clean Development Mechanism Forestry, and Its Prospect in Indonesia

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TANYA-JAWAB Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

FENOMENA GAS RUMAH KACA

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jambi Tahun I. PENDAHULUAN

PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP

EMISI KARBON DAN POTENSI CDM DARI SEKTOR ENERGI DAN KEHUTANAN INDONESIA CARBON EMISSION AND CDM POTENTIAL FROM INDONESIAN ENERGY AND FORESTRY SECTOR

Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses


2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c

FIsika PEMANASAN GLOBAL. K e l a s. Kurikulum A. Penipisan Lapisan Ozon 1. Lapisan Ozon

Kata kunci: energi terbarukan, pengendalian, perubahan iklim. Keywords: renewable energy, control, climate change.

BAB II PEMBAHASAN. terkait dengan meningkatnya suhu di bumi : global naik sebesar 0.74 o C selama abad ke-20, dimana pemanasan

RINGKASAN UNTUK MEDIA

WWF: Paket Istimewa yang diharapkan dari Durban

Pandangan Indonesia mengenai NAMAs

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

PEMANASAN GLOBAL PENYEBAB PEMANASAN GLOBAL

PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI

KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS)

BAB I PENDAHULUAN. pada pertengahan abad ke-20 yang lalu. Hal ini ditandai antara lain dengan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROTOKOL KYOTO. dimana persoalan lingkungan hidup menjadi pusat perhatian masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

MENGURANGI EMISI GAS RUMAH KACA

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. melatar belakangi isu pemanasan global dan krisis iklim. Selain itu, dalam

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memicu terjadinya pemanasan global. Padahal konsep mengenai green accounting

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

Sosialisasi Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Tahun 2013

Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Proses AMDAL Sebagai Alternatif Penerapan Ekonomi Hijau Pada Tingkatan Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Emisi global per sektornya

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

ISU PEMANASAN GLOBAL, UNFCCC, KYOTO PROTOCOL DAN PELUANG APLIKASI A/R CDM DI INDONESIA

Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung

I. PENDAHULUAN. ini. Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca

Transkripsi:

BAB II PERJANJIAN PROTOKOL KYOTO DAN LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2004 2.1 PERJANJIAN PROTOKOL KYOTO Perjanjian Protokol Kyoto adalah sebuah instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca agar tidak menggangu sistem iklim bumi penyebab terjadinya pemanasan global (global warming). Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/ pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990, tahun 1990 ditetapkan dalam Perjanjian Protokol Kyoto sebagai acuan dasar (baseline) untuk menghitung tingkat emisi GRK 36 menjelang periode 2008-2012. Protokol ini disusun untuk mengatur target kuantitif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi bagi negara maju. Protokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. 37 Dalam sebuah protokol, para anggota terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (konvensi) menjadi lebih detail dan spesifik. Terbentuknya sebuah protokol sebagai upaya negara untuk tetap eksis dalam kancah dunia internasional untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Perjanjian 36 Gas Rumah Kaca merupakan gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang di pancarkan Bumi sehingga menimbulkan pemanasan atau peningkatan suhu bumi. 37 WWF, Sekilas tentang Perjanjian Protokol Kyoto, bisa diakses di http://www.wwf.or.id/ Protokol_kyoto diakses tanggal 20 juni 2007.

ini dilaksanakan disalah satu kota Kyoto di Jepang tanggal 11 Desember 1997, perjanjian ini terbuka untuk ditandatangani dari tanggal 16 Maret 1998 sampai 15 Maret 1999 di Markas Besar PBB, New York. Nama resmi persetujuan adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCC (Perjanjian Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan iklim). 38 Perjanjian Protokol Kyoto terdiri dari 28 pasal dengan dua lampiran yaitu: Annex A terdiri atas gasgas rumah kaca : Karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrous oksida (N2O), Hidroflourokarbon (PFCs), Sulphur heksafluorida (SF6). Sektor / sumber penghasil GRK dapat berasal antara lain: 39 Energi = Pembakaran bahan bakar Industri Energi Industri Produksi dan Konstruksi Transportasi Sektor-sektor lain Emisi Fugitif dari bahan bakar Bahan bakar padat Minyak dan gas alam. Proses Industri = Produk Mineral Industri Kimia Produksi Logam Produksi lain Produksi halokarbon dan sulfur heksafluorida Pertanian = Limbah = Fermentasi enterik Pengelolaan pupuk kandang Penanaman Padi Tanah pertanian Pembakaran padang rumput Pembakaran limbah pertanian di lapangan Pembuangan limnah padat di darat Penanganan air limbah Pembakaran Limbah 38 Ibid. 39 Daniel Murdiyaso, Perjanjian Protokol Kyoto, Op Cit., hal. 170-171.

Lain-lain. Sedangkan kelompok Annex B adalah anggota Perjanjian Protokol Kyoto yang diwajibkan untuk menrurunkan emisi sesuai ketentuan protokol (anggota-anggota Annex II dapat dilihat pada lampiran). Adapun tujuan konvensi ini seperti tercantum dalam pasal 2 Perjanjian Protokol Kyoto adalah untuk : Menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahyakan sistem iklim. 40 Untuk mencapai tujuan konvensi diperlukan sebuah prinsip, seperti tercantum dalam pasal 3, salah satu prinsip-prinsip tersebut berbunyi: Setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (Common but 41 differentiatied responsibilities). Hal ini berarti bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab yang lebih dengan menunjukkan kepemimpinannya dalam mencegah perubahan iklim dan mengatasi dampaknya. Dalam perjanjian ini kewajiban negara-negara industri dikategorikan dalam negara-negara yang tergolong di dalam Annex 42 yaitu Annex I dan Annex II konvensi perubahan iklim. Pada masa itu Annex I terdiri 41 negara (Lihat lampiran 1) yang terdiri dari 24 negara OECD 43 ditambah dengan negara-negara Eropa Timur yang ekonominya sedang dalam transisi (Countries With Econonies in Transition, CEIT). 44 Sedangkan Annex II adalah 24 negara OECD tersebut saja (lihat Lampiran2) di dalam teks Konvensi 40 Daniel Murdiyarso, Sepuluh tahun perjalanan Negosiasi,Konvensi Perubahan Iklim, KOMPAS, Jakarta, 2003, hal. 25. 41 Ibid., hal. 26. 42 Annex merupakan istilah yang digunakan dalam perjanjian ini sebagai sumber-sumber penghasil emisi (negara maju sebagai kelompok dari Annex ini penghasil emisi terbanyak). 43 OECD singkatan dari Organization of Economic Co-operation and Development merupakan Negaranegara Industri yang saat ini memasukkan Korea dan Meksiko sebagai anggota baru 44 CEIT (Countries with Economics in Transition) 25 negara Eropa Tengah dan Timur bekas Unisoviet yang sedang berubah dari ekonomi komunis yang terkendali menjadi ekonomi pasar. Empat belas diantaranya tergolong Annex I, sedang 11 lainya tergolong non-annex 1.

perubahan iklim negara-negara berkembang dikenal dengan nama non-annex I. Pada februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi. 45 Menurut data UNFCCC, sampai Juni 2007, Perjanjian Protokol Kyoto telah ditandatangani oleh 172 negara 46. Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi perubahan iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994. Sebelumnya perjanjian ini pernah dibahas dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) bumi (Earth Summit) tentang lingkungan dan pembangunan yang lebih dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, pada bulan Juni 1992. Dalam pertemuan tersebut para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi rencana-rencana besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan dengan mensejahterakan umat manusia melalui pembangunan. Melalui prosedur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) banyak negara akhirnya mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan global ini. Isu utama yang harus di tandatangani adalah bagaimana agar konsentrasi Gas Rumah Kaca dapat dikurangi dan distabilkan agar sistem iklim bumi tidak terganggu dan terus tidak memburuk, para wakil pemerintah dari berbagai negara lalu membentuk panel untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan awal tentang isu ini, setelah melalui proses panjang kerangka PBB tentang konvensi perubahan Iklim, akhirnya diterima secara universal sebagai komitmen Politik Internasional tentang perubahan iklim pada KTT bumi tentang lingkungan dan pembangunan 45 Wikipedia, Loc.Cit. 46 Maria Hartiningsih., Perjanjian Protokol Kyoto tak terhindari, Negosiasi masalah ekonomi, dapat dilihat di www.kompas.com, diakses jumat 20 juli 2007.

2. 1. 1 Latar Belakang Perjanjian Protokol Kyoto Cuaca yang berubah secara tak terkendali, kondisi pantai, kehidupan hewan liar, kesehatan manusia, produksi pangan turun atau gagal panen, kekurangan ketersediaan air bersih, naiknya permukaan air laut, dan naiknya intensitas bencana alam, seperti kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, dan gelombang panas merupakan dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca. 47 Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca. 47 Wikipedia, Pemanasan Global, Loc Cit.

Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994, Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994. Agar Konvensi tersebut dapat dilaksanakan oleh Para Pihak, dipandang penting adanya komitmen lanjutan, khususnya untuk negara pada Annex I (negara industri atau negara penghasil GRK) untuk menurunkan GRK sebagai unsur utama penyebab perubahan iklim. Namun, mengingat lemahnya komitmen Para Pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of the Parties (COP) 48 yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan Desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Perjanjian Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat Para Pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama. Perjanjian Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). 48 COP (Conference of Parties) yaitu Konferensi Para pihak Konvensi Perubahan Iklim yang merupakan pertemuan para pihak Protokol.

2. 1.2 Target Perjanjian Protokol Kyoto Target penurunan emisi gas rumah kaca dikenal dengan nama QELROS (Quantified Emission Limitation and Reduction Comitments) adalah inti dari seluruh urusan Perjanjian Protokol Kyoto. Sebagaimana diuraikan dalam pasal 3, target Kyoto memiliki beberapa implikasi sebagai berikut: 49 1. Mengikat secara hukum (Legally binding), 2. Adanya periode komitmen (Comitment period,) 3. Digunakannya rosot (Sink) untuk mencapai target Perjanjian Protokol Kyoto, 4. Adanya jatah emisi (Assign amount) setiap pihak Annex I, 5. Dimasukkannya enam jenis GRK (Basket of Gases) dan disetarakan dengan CO2. Dengan usulan yang dimulai dengan target 5% disesuaikan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan penduduk, emisi global hanya akan stabil pada tingkat emisi tahun 1990. Sifat yang mengikat mengenai kewajiban atau target penurunan emisi adalah aspek penting dari Perjanjian Protokol Kyoto. Jika para pihak yang termasuk dalam Annex I tidak memiliki ikatan, maka mereka dapat dengan mudah mengubah tindakantindakannya sehingga tujuan Perjanjian Protokol Kyoto tidak tercapai. Ketentuan dalam pasal 3 Perjanjian Protokol Kyoto menekankan agar negara-negara Annex I dapat mendemonstrasikan penurunan emisi menjelang tahun 2005. Tahun 2005 menjadi penting untuk membuktikan komitmen negara-negara maju karena banyak pihak menuntut kesungguhan itu dapat di demonstrasikan kemajuannya sejak tahun 1990. Tabel 1.1 adalah data dari perubahan emisi gas rumah kaca dari tahun 1990 sampai tahun 49 Daniel Murdiyarso, Perjanjian Protokol Kyoto, Op Cit., hal. 37.

2004 bagi beberapa negara yang merupakan bagian dari konvensi perubahan iklim seperti yang dilaporkan oleh negara Amerika Serikat. 50 Tabel 2.1 Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca sejak tahun 1990. Negara Perubahan emisi gas rumah kaca Ditandai secara objektif untuk Kesepakatan perjanjian tahun (1990-2004) tahun 2012 2008-2012 Jerman -17% -21% -8% Kanada +27% Belum meratifikasi -6% Australia +25% Belum meratifikasi Belum meratifikasi Spanyol +49% +15% -8% Amerika Serikat +16% Belum meratifikasi Belum meratifikasi Norwegia +10% Belum meratifikasi +1% New Zealand +21% Belum meratifikasi 0% Prancis -0.8% 0% -8% Mesir +27% +25% -8% 50 Wikipedia, Kyoto Protocol, dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/kyoto _protocol/htm.diakses mei 2007.

Irlandia +23% +13% -8% Jepang +6.5% Sedang meratifikasi -6% Inggris -14% -12.5% -8% Portugis +41% +27% -8% Uni-eropa -0.8% Belum meratifikasi -8% Sumber: Wikipedia, the free encyclopedia, Kyoto Protocol, dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/kyoto _protocol/htm.diakses mei 2007. Sedangkan dibawah ini data perubahan emisi CO2 dari beberapa negara yang banyak menghasilkan emisi, tetapi tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi. negara Perubahan emisi gas rumah kaca (1990-2004) Dari tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa sebagian negara pngahasil emisi telah melakukan perubahan emisi dari tahun 1990 sampai tahun 2004. China +47% India +55% Jerman telah mengurangi emisinya sebanyak 17 % dari tahun 1990 sampai tahun 2004. Negara Spanyol, Mesir, Irlandia, Inggris, dan Portugis telah mengurangi emisinya dari tahun 1990-2004, namun masih ada sebagian negara belum menjalankan kewajibanya masih dalam tahap meratifikasi, seperti jepang sedang dalam tahap meratifikasi. Amerika dan Australia masih belum menyetujui prinsip protokol dan belum mau meratifikasinya 51. Kedua negara menganggap perjanjian ini 51 Ibid.

akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi AS karena pergantian energi batubara menjadi gas relatif mahal, Cina dan India sebagai negara berpenduduk besar di bebaskan dari kewajiaban menurunkan emisi. 52 Pada gambar 2.1 diantara tingkat ekonomi dunia, ekonomi India paling sedikit menghasilkan peningkatan energy namun India telah menandatangani dan meratifikasi Perjanjian Protokol Kyoto pada bulan Agustus 2002. Gambar 2.1 Urutan Tingkat Ekonomi Dunia sumber: Wikipedia, the free encyclopedia, Kyoto Protocol, dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/kyoto / protocol/htm.diakses mei 2007 Jika diamati pada gambar 2.1 India berada pada tingkat ekonomi yang rendah serta sedikit menghasilkan emisi gas rumah kaca, tetapi memiliki kepadatan penduduk yang terbesar setelah Cina. Berdasarkan komitmen Perjanjian Protokol Kyoto India tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi namun hanya sebagai negara yang memanfaatkan Perjanjian Protokol Kyoto dalam transfer teknologi, dan investasi negara maju demi pertumbuhan ekonominya. 52 Daniel Murdiyarso, Perjanjian Protokol Kyoto, Op Cit., hal. 27.

Konsep komitmen periode (untuk tahun 2008-2012) adalah menjadikan para pihak melakukan penyesuaian pencapaian targetnya dalam suatu jangka waktu atau periode tertentu. Sebab pertama, jika karena sesuatu hal target suatu tahun tidak tercapai, maka pada tahun-tahun berikutnya (dalam periode yang sama) pihak tersebut dapat mengejar ketinggalannya. Sebaliknya jika penurunan emisinya melampaui target, maka kelebihannya dapat digunakan untuk tahun-tahun berikutnya jika tetap dalam periode yang sama. Kedua, dengan waktu yang lama tersebut terdapat kelonggaran bagi para pihak dalam hal waktu pencapaian target. Ketiga, dengan waktu yang relatif panjang juga akan memberikan waktu kepada setiap pihak yang termasuk dalam Annex I untuk mnegakumulasikan kelebihan jatah emisinya bagi kemungkinan dilakukannya perdagangan emisi. Dalam periode komitmen pertama besarnya jatah ini akan sama dengan QELROS 53. Setiap periode pelaporan, jatah tersebut dapat naik atau turun tergantung tingkat prestasi atau kegagalan pihak tersebut dalam mencapai targetnya. Perhitungan jatah emisi suatu pihak dalam Annex B dalam suatu periode komitmen dilakukan dengan menghitung jatah emisi satu tahun dikalikan lima. Contoh, emisi seluruh GRK Jepang pada tahun 1990 adalah 1.173 juta ton setara CO2 jatah emisi sesuai dengan Annex B sebesar 94%, Jepang memiliki jatah emisi tahunan dalam suatu periode komitmen pertama sebesar 1.102 juta ton setara CO2 bukan 5,9 gigaton jika tanpa Target Kyoto. 54 Target penurunan emisi yang dikenal dengan nama Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives (QELROs) yang dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4 53 QELROS (Quantified Emission Limitation and Reduction Comitments) merupakan target penurunan emisi GRK negara maju yang dituangkan dalam pasal 3 Perjanjian Protokol Kyoto dan merupakan pasal yang mengikat. 54 Daniel Murdiyarso, Perjanjian Protokol Kyoto, Op Cit., hal. 39.

Perjanjian Protokol Kyoto adalah ketentuan pokok dalam Perjanjian Protokol Kyoto. Emisi GRK menurut Annex A Perjanjian Protokol Kyoto meliputi : Carbon Dioxid (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfurhexafluoride (SF6). Tahun awal perhitungan untuk tiga gas pertama adalah 1990 (pasal 3.8). Dengan cara ini para pihak akan mendapat kebebasan berdasarkan kesiapannya untuk menurunkan emisi gas yang harus diprioritaskan. Target penurunan emisi GRK bagi negara pada Annex I Konvensi diatur dalam Annex B Perjanjian Protokol Kyoto. Ketentuan ini merupakan pasal yang mengikat bagi negara pada Annex I. Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi GRK secara bersama-sama. Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi. 2.1.3 Mekanisme Perjanjian Protokol Kyoto Perjanjian Protokol Kyoto mengatur semua ketentuan tersebut selama periode komitmen pertama yaitu dari tahun 2008 sampai dengan 2012. Perjanjian Protokol Kyoto tidak hanya mengatur target, tetapi juga mengatur mekanisme pengurangan tingkat emisi GRK. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut 2.1.3.1 Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK. Kerjasama antara sesama negara Annex I (Negara Industri Maju) dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dengan investasi

asing antar negara Annex I yang diimbali dengan unit penurunan emisi (Emission Reduction Unit-ERU). 2.1.3.2. Emission Trading (ET), mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya.yaitu jika sebuah negara maju mengemisikan GRK dibawah jatah yang diijinkan, maka negara tersebut dapat menjual volume GRK yang tidak di emisikan kepada negara maju lain yang tidak dapat memenuhi kewjibannya (perdagangan emisi). 2.1.3.3 Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme yang memungkinkan negara non-annex I (negara-negara berkembang) untuk berperan aktif membantu penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh sebuah negara maju. Nantinya kredit penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari proyek tersebut dapat dimiliki oleh negara maju tersebut. CDM juga bertujuan agar negara berkembang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan, selain itu CDM adalah satu-satunya mekanisme di mana negara berkembang dapat berpartisipasi dalam Perjanjian Protokol Kyoto. Secara umum CDM merupakan kerangka Multilateral yang memungkinkan negara maju melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. CDM merupakan satu-satunya mekanisme dalam Perjanjian Protokol Kyoto yang memungkinkan peran negara berkembang untuk membantu negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK. Namun demikian, peran CDM bukan hanya dalam mengurangi GRK seperti yang tertera dalam pasal 12 Perjanjian Protokol Kyoto, tujuan CDM adalah:

a. Membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam negara Annex I untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama konvensi perubahan iklim yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akan mengganggu sistim iklim global. b. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya. Mekanisme CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (Domestic Action). Oleh karenanya, CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme fleksibelitas (flexibility Mechanism). Dalam pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjual belikan adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi yang disebut CER (Certified Emission Reduction). CER ini di perhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Perjanjian Protokol Kyoto. Mekanisme yang ketiga ini menjadi wujud Implementasi Perjanjian Protokol Kyoto di negara-negara berkembang khususnya di Indonesia, sebagai tujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di atmosfer penyebab terjadinya perubahan iklim. 2.1.4 Struktur Kelembagaan Perjanjian Protokol Kyoto Kelembagaan Perjanjian Protokol Kyoto sama dengan kelembagaan Konvensi Perubahan Iklim, baik yang menyangkut masalah administratif maupun legislatif.

Berbeda karena implementasi Perjanjian Protokol Kyoto akan banyak melibatkan masalah legal, maka diperlukan kelembagaan baru yang akan menangani masalahmasalah teresebut. Kelembagaan dasar Perjanjian Protokol Kyoto terdiri atas CoP(Conference of Parties), Sekretariat, Badan Pembantu, dan Biro, sedangkan lembaga baru yaitu Tim Peninjau ahli, Komite Pengawas JI, Badan Pelaksana CDM, dan Komite Penataan dengan posisi seperti terlihat pada Gambar 2.2 Gambar 2.2 Struktur Kelembagaan Perjanjian Protokol Kyoto Conference of Parties (CoP) Subsidiary Body for Scientific and Teknological Advice (SBSTA) Komite Pengawas JI Subsidiary Body for Implementation (SBI) Badan Pelaksana CDM Komite Penataan Sekretariat Intergovemmental on Climate Change (IPCC) Tim Peninjau Ahli Global Environment Facility (GEF) Gambar 2.2 Struktur kelembagaan Perjanjian Protokol Kyoto yang memanfaatkan lembaga konvensi yang sudah ada dan membentuk lembaga-lembaga baru 55. 1. Cop/MoP 55 Daniel Murdiyarso, Perjanjian Protokol Kyoto dan implikasinya bagi negara berkembang, Op Cit., hal. 84.

Konferensi para pihak yang merupakan pertemuan para pihak (Conference of Parties Serving as the Meeting of Parties, COP/MoP) adalah pertemuan para pihak Perjanjian Protokol Kyoto (pasal 13.1). Lembaga ini sebagai Badan pengambil keputusan tertinggi Perjanjian Protokol Kyoto, tugas utamanya adalah mengupayakan terjadinya implementasi Perjanjian Protokol Kyoto secara efektif dengan cara : 1. Menilai implementasi Protokol berdasarkan laporan yang tesedia 2. Menilai secara periodik kewajiaban para pihak 3. Mendorong terjadinya pertukaran informasi tentang cara-cara yang dilakukan para pihak dalam mencapai komitmennya 4. Memobilisasi sumber keuangan tambahan 5. Memanfaatkan jasa dan kerjasama yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional, antar pemerintah dan non pemerintah. CoP bertanggung jawab menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan utama konvensi. CoP diselenggarakan setahun sekali, kecuali dalam kondisi tertentu jika para pihak menghendaki lain (misalnya CoP6tidak menuntaskan tugasnya, sehingga diperlukan CoP6 bagian 2 dilaksanakan 6 bulan kemudian) Hingga tahun 2002 CoP telah terselenggara 8 kali. Penentuan tempat penyelenggaraan CoP didasarkan atas tawaran yang disampaikan oleh calon tuan rumah. Jika tidak ada tawaran secara otomatis CoP dilaksanakan di Sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman, Tabel 1.2 menunjukan perkembangan CoP dengan hasil utamanya.

Tabel 2.2 Perkembangan CoP dan Hasil Utamanya CoP Tahun Tempat Dokumen Utama 1 1995 Berlin, Jerman Berlin Mandate 2 1996 Geneva, Swiss Geneva Declaration 3 1997 Kyoto, Jepang Kyoto Protocol 4 1998 Buenos Aires, Argentina Buenos Aires Plan of Action 5 1999 Bonn, Jerman Buenos Aires Plan of Action 6a 2000 Den Haag, Belanda Buenos Aires Plan of Action 6b 2001 Bonn, Jerman Bonn Agreement 7 2001 Marrakesh, Maroko Marrakesh Accord 8 2002 New Delhi, India New Delhi Declaration Sumber: Daniel Murdiarso, Sepuluh Tahun perjalanan negosiasi, Op Cit., hal. 30. 2. SBSTA (Subsidy Body for Scientific and Tecnological Advice) Yaitu badan pembantu tetap yang menangani masalah-masalah teknis dan ilmiah. Badn ini bertugas memberikan nasihat dan menjembatani Konvensi dengan sumber-sumber informasi ilmiah sehingga masalah-masalah teknis dan metodologis yang dihadapi konvensi dapat segera dipecahkan. 3. SBI ( Subsidy Body for Implementation) Merupakan badan pembantu lainnya yang berperan dalam melakukan penilaian terhadap Komunikasi Nasional dan Inventarisasi Emisi yang disamapaikan para pihak sesuai dengan komitmenya. SBI juga berperan dalam memberikan saransaran kepada CoP dalam hal mekanisme keuangan. 4. Komite Pengawas JI

Tugas utama Komite Pengawas JI adalah mengawasi jalannya verifikasi ERU (Emission Reduction) yang dihasilkan oleh JI dan bertanggung jawab dalam: 1. Melaporkan seluruh kegiatannya kepada CoP/Mop 2. Akreditasi entitas independen yang akan mengikuti proyek JI berdasarkan standar dan prosedur yang telah ditetapkan CoP/MoP 3. Meninjau dan merevisi standar dan prosedur, pedoman pelaporan, dan kriteria penentuan garis awal dan pemantauan 4. Bekerjasama dengan Badan Pelaksana CDM dalam menyempurnakan Pedoman JI agar sinkron dengan modalitas dan prosedur CDM. 5. Badan Pelaksana CDM Tugas utama Badan Pelaksana CDM adalah mengawasi pelaksanaan proyek-proyek CDM di negara berkembang dan bertanggung jawab kepada Cop/MoP. Dalam melaksanakan tugas tersebut Badan Pengawas harus: 1. Membuat rekomendasi kepada CoP/MoP tentang revisi dan Amandemen atas modalitas dan prosedur CDM jika diperlukan. 2. Mengesahkan metodologi yang berkaitan dengan penentuan garis awal, pemantauan dan batas proyek. 3. Menyederhanakan modalitas dan prosedur untuk proyek-proyek skala kecil yang dimasukkan kedalam jalur cepat. 4. Memberikan rekomendasi kepada CoP/MoP tentang akreditasi terhadap entitas operasional, standar akreditasinya, penangguhan dan pencabutannya jika ternyata setelah dilakukan peninjauan ulang ternyata tidak memenuhi standar lagi.

5. Memastikan bahwa distribusi proyek CDM tersebar merata secara geografis dan mengindentifikasi hambatannya jika hal tersebut tidak tercapai. Anggota Badan Pelaksana CDM terdiri dari 10 orang dari pihak Protokol dengan komposisi: lima orang masing-masing dari wilayah PBB, dua orang dari negara Annex I, dua orang dari negara non-annex I. Sebagai lembaga baru Badan Pelaksan CDM telah terbentuk selama CoP7 di Marrakesh. 6. Komite Penataan Komite penataan dibentuk dalam kaitannya untuk mengawasi penataan Perjanjian Protokol Kyoto, khususnya dalam kaitannya dengan pencapaian target penurunan emisi menurut pasal 3. untuk menjalankan fungsinya Komite Penataan memiliki perangkat berupa rapat pleno, Biro, dan dua cabangnya, yaitu cabang fasilitasi dan cabang Penegakan. 7. Sekretariat Fungsi utama sekretariat CoP/MoP adalah: 1. Mengatur pelaksanaan CoP/MoP dan Badan pembantunya 2. Menyiapkan lapora tentang kegiatan CoP/MoP 3. Mengumpulkan dan menyebarluaskan laporan-laporan yang diterima 4. Membantu para pihak, khususnya negara berkembang dalam menyiapkan laporan 5. Berkoordinasi dengan lembaga-lembaga internasional lainnya. 8. IPCC (Intergovemmental on Climate Change) IPCC dikenal dengan Laporan Pengkajian (Assesment Report)nya secara luas dikenal sebagai sumber informasi tentang perubahan iklim yang dapat dipercaya dan

otoritatif. IPCC memberikan masukan penting dalam proses negosiasi perubahan iklim. IPCC dibentuk oleh World Meteorogical Oganization (WMO) dan UNEP (United Nation Environment Programs) yang merupakan panel ilmuwan yang diusulkan oleh pemerintah untuk melakukan penilaian dan pembahasan yang mendalam terhadap literature teknis dan ilmiah tentang perubahan iklim dan hal-hal yang terkait. 9. Tim Peninjau Ahli Tugas dari Tim ini adalah melakukan peninjauan dan penilaian teknis secara menyeluruh terhadap informasi yang disampaikan oleh para pihak dalam Annex I kepada sekretariat dalam rangka implementasi pasal 7. 56 setiap laporan yang diserahkan kepada sekretariat akan ditinjau oleh Tim yang berbeda namun masing-masing akan menggunakan prosedur yang sama. 10. GEF (Global Environment Facility) Merupakan mekanisme keuangan untuk membiayai berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan implementasi konvensi di negara berkembang. Dana yang dikelola GEF untuk kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim berjumlah milyaran dollar dan di implementasikan oleh Bank Dunia, UNDP, dan UNEP. Pemakaian dana GEF selalu melalui keputusan CoP berdasarkan masukan dari SBI. Perjanjian Protokol Kyoto diperkirakan akan meggunakan mekanisme keuangan yang sama. 56 Pasal 7. 2 bahwa setiap pihak yang termasuk dalam Annex I setiap tahun harus menyerahkan informasi yang iisyaratkan oleh ayat 1 sebagai bagian dari komunikasi nasional pertama manurut pasal ini harus ditentukan oleh konferensi para pihak yang merupakan pertemuan para pihak protokol ini dengan memperhatikan jadwal penyerahan komunikasi nasional yang diputuskan oleh konferensi para pihak.

2. 1. 5 Manfaat Perjanjian Protokol Kyoto di Indonesia Dengan mengesahkan Perjanjian Protokol Kyoto, Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga manfaat Perjanjian ini dapat: a. Mempertegas komitmen pada Konvensi Perubahan Iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (Common but differentiated responsibilities principle). 57 b. Melaksanakan pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK diatmosfer sehingga tidak membahayakan iklim bumi. c. Membuka peluang investasi baru dari negara industri ke Indonesia melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). d. Mendorong kerjasama dengan negara industri melalui MPB untuk memperbaiki dan memperkuat kapasitas, hukum, kelembagaan, dan alih teknologi penurunan emisi GRK. e. Mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan. f. Meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK. 57 Masing-masing negara memiliki tanggung jawab yang lebih dengan menunjukkan kepemimpinannya dalam mencegah perubahan iklim dan mengatasi dampaknya, akibat pengaruh yang merugikan tehadap lingkungan dan kehidupan manusia sehingga perlu dikendalikan sesuai prinsip dan tanggung jawab bersama yang dibedakan dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tiap-tiap negara.

2.2 LATAR BELAKANG PENGESAHAN UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2004. Sesuai dengan penjelasan bab sebelumnya bahwa Perjanjian Protokol Kyoto dipandang penting dalam mengatasi perubahan iklim, oleh karena peraturannya yang bersifat mengikat anggota-anggotanya secara hukum. Sebagai wujud komitmen para anggota diisyaratkan untuk mengadopsi perjanjian dan meratifikasinya melalui undangundang yang sah, negara-negara yang telah meratifikasi dipandang layak untuk berpartisipasi dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam hukum internsional konvensi berada pada posisi utama, dan protokol sebagai penyempurna konvensi sebelumnya. Masalah perubahan iklim telah dibahas seelumnya dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-undang No. 6 tahun 1994 pada masa rejim Soeharto namun pada konvensi tersebut anggota belum terikat secara tegas. Dengan munculnya kesepakatan baru seperti Perjanjian Protokol Kyoto yang tujuannya sama dengan konvensi sebelumnya dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Protokol ini jauh lebih bersifat mengikat para anggotanya untuk menjalankan kewajiaban dibanding dengan konvensi sebelumnya. Selanjutnya Indonesia juga turut meratifikasi perjanjian ini melalui Undang-undang No.17 tahun 2004 pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri di sahkan pada tanggal 28 juli 2004. Pengesahan ini memiliki berbagai pertimbangan-pertimbangan yang mendorong Indonesia meratifikasinya yaitu: Pertama, bahwa Indonesia dengan Undang-undang No.6 tahun 1994 telah meratifikasi konvensi perubahan iklim perlu menetapkan Perjanjian Protokol Kyoto. Kedua, bahwa perubahan iklim bumi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menimbulkan pengaruh merugikan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan

(common but differentiated responsibilities) dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tiap-tiap negara. Ketiga, bahwa sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan laut. Keempat, bahwa sebagai negara yang sedang membangun, Indonesia perlu mengembangkan industri dengan teknologi bersih khususnya yang rendah emisi. Kelima, bahwa sebagai negara tropis yang memiliki hutan terluas kedua di dunia, Indonesia memiliki peranan penting dalam mempengaruhi iklim bumi. Keenam, bahwa Perjanjian Protokol Kyoto mengatur emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia agar konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tersebut Indonesia perlu mengesahkannya melalui peraturan Undang-undang. Secara hukum ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindaklanjuti dengan pengesahan Protokolnya, itu adalah hak negara tersebut karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal yang merugikan. Dengan kata lain perlu tidaknya pengesahan adalah kedaulatan setiap negara yang didasari berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-pertimbangan politik, hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan bisnis. Secara konstitusional, pengesahan Perjanjian Protokol Kyoto sebenarnya dapat dilakukan dengan keputusan presiden (Keppres) (UUD 1945 pasal 11), demikian juga kovensinya (Konvensi Perubahan Iklim) telah diratifikasi dengan UU No.6 tahun 1994. Namun demikian, menurut UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, diamanatkan bahwa untuk pengesahan perjanjian internasional tentang lingkungan hidup harus dilakukan dengan UU. Pilihan antara UU dan Keppres sering dipertanyakan

masyarakat menyangkut kekuatan dan aspek praktis perangkat-perangkat hukum tersebut. Undang-undang jelas memiliki kekuatan hukum yang lebih besar dan aplikasi yang lebih luas mengingat implementasi Perjanjian Protokol Kyoto akan lintas sektoral menyangkut keberadaan pemerintah di daerah. Sementara itu, keppres tidak memiliki perangkat implementasi seperti PP. Keppres dapat diimplementasikan melalui keputusan menteri, tetapi kemungkinan untuk mengiimplementasikannya di daerah akan banyak tantangannya.oleh karena itu, dengan undang-undang akan lebih efektif. Penyerahan status pengesahan kepada Sekretaris Jendral PBB dapat dilkakukan dengan berbagai instrumen, diantaranya ratification, acceptance, dan approval. 58 Kekuatan dan implikasi masing-masing instrumen dan hukum internasional adalah sama artinya instrumen yang satu tidak lebih penting disbanding dengan yang lain. Bedanya adalah ratification dan approval digunakan ketika suatu negara sudah mengadopsi perjanjian tersebut (Indonesia telah mengadopsi Perjanjian Protokol Kyoto), sementara accession dan acceptance digunakan bila negara yang bersangkutan bukan merupakan pihak dalam perjanjian diatasnya (UNFCC/ United Nation Framework on Climate Change). Secara singkat dengan berbagai alasan dan latar belakang tidak semua lapisan masyarakat di banyak negara berkembang dan mungkin juga di Indonesia menyetujui ratifikasi, tetapi tidak sedikit pula yang melihat peluang-peluang baru dalam dunia bisnis dan usaha. 59 58 Daniel murdiyarso, Perjanjian Protokol Kyoto dan implikasinya bagi negara berkembang, Op Cit., hal. 113-114. 59 Ibid.