BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas dari tax

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Untuk menekan pemborosan pajak dalam pemenuhan kewajiban. perusahaan dapat diminimalkan guna memperoleh laba dan likuiditas yang

BAB II LANDASAN TEORI. manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas dari tax manajemen

02FEB. Manajemen Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan bagi negara untuk

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

Daftar Kuesioner. Peranan Perencanaan Pajak. ( Variabel X ) Menerapkan Peraturan Perpajakan. Dengan Benar

Manajemen Perpajakan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara harus menjalankan pemerintahan dan pembangunan

DAFTAR ISI ABSTRAK.. KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara harus melakukan kegiatan pembangunan demi kemajuan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Mardiasmo ( 2006 ) mendefinisikan, Pajak adalah iuran rakyat

PELATIHAN PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA USAHA KECIL

ANALISIS PERENCANAAN PAJAK ATAS PEROLEHAN ALAT BERAT SERTA PENGARUHNYA TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPh TERUTANG (STUDI KASUS PADA PT APMS)

BAB I PENDAHULUAN. karena setiap orang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pajak. Pajak merupakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Modul ke: Manajemen Perpajakan. Samsuri, SH, MM. Fakultas FEB. Program Studi Akuntansi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemerintah dalam mencapai tujuan yang bermanfaat untuk mendorong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pajak dapat didefinisikan sebagai iuran rakyat kepada kas negara

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama di Indonesia

BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai

KONSEP DAN KERANGKA MANAJEMEN PERPAJAKAN (Disampaikan pada Pra Perkuliahan M2B Program Pascasarjana UPI, 25 Agustus 2007)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional agar

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia,

MANAJEMEN PAJAK. Amanita Novi Yushita

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Pajak Ada beberapa pengertian atau definisi pajak yang dikemukakan

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari rakyat. Oleh karena itu diperlukan partisipasi dari setiap warga negara

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984

BAB IV PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK MENGEFISIENKAN BEBAN PAJAK PADA PT BPR WS

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

diterima atau diperoleh dapat dianggap sebagai biaya (cost) atau beban (expense),

Bab 10 PERUSAHAAN MODAL ASING (PMA) YANG MENGGUNAKAN BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional.

PENGARUH PERENCANAAN PAJAK TERHADAP EFISIENSI BEBAN PAJAK PENGHASILAN. Bardjo Sugeng (Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan) ABSTRAK

Berdasarkan data penghasilan karyawan selama setahun pada tabel 4.1 dan tabel

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA. dengan direktur bernama FENNY PHITOYO yang beralamat di jalan HR.

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dalam negeri 1.071,1 triliun. Penerimaan tahun lalu didominasi oleh

Workshop Perpajakan Manajemen Risiko Perpajakan & Tax Planning Pasca Tax Amnesty. Dr. Nur Hidayat, SE, ME, Ak, CA, BKP

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan membangun negara untuk lebih berkembang dan maju, termasuk

RUGI LABA BIAYA FISKAL

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan Negara dari perpajakan dalam APBN selalu meningkat, misalkan dalam

Abstrak ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BABl PENDAHULUAN. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara Wajib Pajak

KEPUTUSAN PEMBIAYAAN AKTIVA TETAP MELALUI LEASING DAN BANK KAITANNYA DENGAN PENGHEMATAN PAJAK

BAB IV PEMBAHASAN. CV Scala Mandiri akan memperoleh beberapa manfaat, antara lain: 1. Dapat menyusun laporan keuangannya sendiri.

BAB IV PEMBAHASAN. Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT.

ANALISIS PENERAPAN TAX PLANNING ATAS BIAYA KESEJAHTERAAN KARYAWAN SEBAGAI UPAYA PENGHEMATAN PEMBAYARAN PAJAK PADA PT GORONTALO CEMERLANG

ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI BERDASARKAN SAK ETAP DAN SAK IFRS ATAS PEROLEHAN ASET TETAP DAN KAITANNYA DENGAN ASPEK PERPAJAKAN.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

BAB II TELAAH PUSTAKA. jawab atas kewajiban pembayaran pajak berada pada masyarakat sendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Sementara fungsi sebagai pengaturan dimaksudkan untuk

lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

AKUNTANSI PERPAJAKAN KELOMPOK : IV APRIDA DEWI DEVI JUNIANTY ( ) TASLIM GOTAMI

BAB II LANDASAN TEORI

PERPAJAKAN II. Penyajian Laporan Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. 48 PENURUNAN NILAI AKTIVA

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM.

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

BAB I PENDAHULUAN. dan sejalan dengan sikap sosial dari masyarakat tersebut. Menurut Warren (2008:2),

BAB III METODOLOGI ANALISIS

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT

3) Penundaan atau Perpanjangan Penyampaian SPT

PERSANDINGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

ANALISIS PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPh 21 SEBAGAI UPAYA PENGHEMATAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN BADAN (STUDI KASUS PADA PT Z)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan

Aspek Perpajakan atas Aktiva Tetap

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. digunakan oleh bangsa Indonesia adalah self assysment system, dalam sistem

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2011). Pajak

Oleh : Imam Nazarudin Latif Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Andi Kantono Mahasiswa Fakultas Ekonomi ABSTRACT

PERENCANAAN PAJAK UNTUK EFISIENSI PEMBAYARAN PAJAK PADA PT KALTIM LESTARI UNGGUL

Transkripsi:

20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perencanaan Pajak 1. Pengertian Perencanaan Pajak Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas dari tax manajemen tergantung instrumen yang dipakai. Legalitas baru dapat diketahui secara pasti setelah ada putusan pengadilan. Dalam buku Mohammad zain (2006 : 67) pengertian perencanaan pajak adalah sebagai berikut: Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan di transfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyeludupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiskal yang tidak akan di toleransi. Walaupun kedua cara tersebut kedengarannya mempunyai konotasi yang sama sebagai tindak kriminal, namun suatu hal yang jelas berbeda disini bahwa penghindaran pajak adalah perbuatan legal yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, sedang penyeludupan pajak jelas-jelas merupakan perbuatan illegal yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak.

21 Jika tujuan perencanaan pajak adalah untuk merekayasa agar beban pajak (tax burdens) serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang maka perencanaan pajak disini sama dengan tax avoidance karena secara hakekat ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk di inventasikan kembali. Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Ukuran yang digunakan dalam mengukur kepatuhan perpajakan wajib pajak, adalah: 1. Tax saving, yaitu upaya wajib pajak mengelakkan hutang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk produk yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar. 2. tax avoidance, yaitu upaya wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang dikenakan pajak atau upaya-upaya yang masih dalam kerangka ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terhutang.

22 3. Tax evasion, yaitu upaya wajib pajak dengan penghindaran pajak terhutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Apabila implementasi tax planning pada perusahaan dilakukan secara baik dan benar, hal tersebut akan memberikan beberapa manfaat bagi perusahaan yang diantaranya, adalah: 1) Penghematan kas keluar, pajak dianggap sebagai unsur biaya yang dapat diminimalisasi dalam proses operasional perusahaan. 2) Mengatur aliran kas, dengan tax planning yang dikelola secara cermat, perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat, mengestimasi kebutuhan kas terhadap pajak dan menentukan waktu pembayarannya, sehingga tidak terlalu awal atau terlambat yang mengakibatkan denda atau sanksi. 2. Tahapan dalam Membuat Perencanaan Pajak (Tax Planning) Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang makin tajam seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan juga harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun internasional, maka agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang di harapkan, maka perencanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut:

23 a. Analysis of the existing data base (Analysis informasi yang ada) Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efesien. Adalah juga penting untuk memperhitungkan kemungkinan besarnya penghasilan dari suatu proyek dan pengeluaran-pengeluaran lain diluar pajak yang mungkin terjadi. Untuk itu seorang manajer perpajakan harus memperhatikan faktor-faktor baik dari segi internal maupun eksternal yaitu: 1) Fakta yang relevan 2) Faktor pajak 3) Faktor non pajak lainnya b. Design of one more possible tax plans (Buat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak) Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih tindakan berikut: 1) Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. 2) Pemilihan dari negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari negara tersebut. 3) Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.

24 c. Evaluating a tax plan (Evaluasi pelaksanaan rencana pajak) Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategik perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak. Perbedaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan. Variable-variabel tersebut akan dihitung seakurat mungkin dengan hipotesis sebagai berikut: 1) Bagaimana jika rencana tersebut tidak dilaksanakan 2) Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik 3) Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan tapi gagal Dari ketiga hipotesis tersebut akan mengeluarkan hasil yang berbeda. Kemudian berdasarkan hasil tersebut barulah dapat ditentukan apakah perencanaan pajak tersebut layak untuk dilaksanakan atau tidak. d. Debugging the tax plan (Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak) Hasil suatu perencanaan pajak harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang di buat. Keputusan terbaik perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentuk perencanaan pajak yang di inginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan peraturan perpajakan. Tindakan perubahan harus tetap dijalankan, walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilan sangat kecil. Sepanjang masih besar penghematan pajak (tax saving) yang bisa diperoleh, rencana tersebut harus tetap

25 di jalankan. Karena bagaimana pun juga kerugian yang ditanggung merupakan kerugian minimal. Jadi tetap akan sangat membantu jika pembuatan suatu rencana disertai dengan pemberian gambaran/perkiraan berapa peluang kesuksesan dan berapa potensial laba yang akan diperoleh jika berhasil maupun kerugian potensial jika terjadi kegagalan. e. Updating the tax plan (Mutakhirkan rencana pajak) Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, namun juga masih perlu memperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang maupun pelaksanaannya di negara dimana aktivitas tersebut dilakukan yang mungkin mempunyai dampak terhadap komponen dari suatu perjanjian, yang berkenan dengan perubahan yang terjadi diluar negeri atas berbagai macam pajak maupun aktivitas informasi bisnis yang tersedia sangat terbatas. Pemuktahiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat yang dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.

26 3. Strategi Perpajakan Menurut Erly Suandy (2007:118) Dalam memilih strategi yang sesuai, seorang manajer perusahaan harus memahami keadaan faktor eksternal (lingkungan dari perpajakan) yang terjadi di dalam praktik antara lain: a. Target Ada tiga point utama yang jelas akan dilaksanakan adalah: 1) Tekanan yang utamanya adalah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penarikan pajak dengan menggunakan peraturan pajak yang sudah ada. 2) Ada tidaknya rencana untuk mengeluarkan ketentuan perpajakan yang baru yang dapat meningkatkan tarif pajak yang berlaku karena kurang bagi investor asing. 3) Pemberlakuan insentif hanya akan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. b. Pemeriksaan Pajak Secara teori pemeriksaan pajak oleh direktorat pajak tujuannya adalah jelas untuk memasukkan bahwa wajib pajak: 1. Telah membayar pajak dengan benar,dan 2. Tidak menyalahgunakan system self assessment c. Hak mengajukan keberatan Meski pun hak untuk mengajukan keberatan diperbolehkan undangundang tapi tingkat efektivitasnya bagi wajib pajak adalah terbatas. Mohammad Zain (2006 : 70) Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi pajak, maka langkah-langkah yang harus mendapat perhatian dalam penyusunan perencanaan pajak dan merupakan komponen-komponen sistem manajemen, adalah: 1. Menetapkan sasaran atau tujuan manajemen pajak, meliputi: a) Usaha-usaha mengefisienkan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b) Mematuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan sanksi-sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi

27 pidana, seperti bunga, kenaikan, denda, dan hukuman kurungan atau penjara. c) Melaksanakan secara efektif segala ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran, pembelian dan fungsi keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan pajak (PPh pasal 21, pasal 22, dan pasal 23). 2. Situasi sekarang dan identifikasi pendukung dan penghambat tujuan, yang terdiri dari: a) Identifikasi faktor lingkungan perencanaan pajak jangka panjang. Faktor ini umumnya memiliki sifat yang permanen yang secara eksplisit terdapat dan melekat pada ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Faktor tersebut merupakan parameterparameter yang berpengaruh terhadap perencanaan jangka panjang. b) Etika kebijakan perusahaan dan ketentuan yang jelas mengenai fungsi dan tanggung jawab manajemen perpajakan serta memiliki manual tentang ketentuan dan tata cara manajemen perpajakan yang berlaku bagi seluruh personil perusahaan. c) Strategi dan perencanaan pajak yang berintegrasi dengan perencanaan perusahaan, baik perencanaan perusahaan jangka pendek maupun jangka panjang. 3. Pengembangan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai tujuan, dilakukan antara lain dengan cara mengadakan: a) Sistem informasi yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaian perencanaan pajak kepada para petugas yang memonitor perpajakan dan kepastian keefektifan pengendalian dan pajak-pajak lainnya yang terkait, seperti pencantuman masalahmasalah perpajakan dalam setiap kontrak bisnis, sehingga tidak terjadi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal-hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sistem akuntansi perusahaan. b) Mekanisme monitor, pengendalian, dan penyesuaian sedemikian rupa sehingga setiap modifikasi rencana dan tindakan dapat dilakukan tepat waktu. Hasrat untuk melakukan perencanaan pajak pada dasarnya didorong oleh dua ketentuan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu : 1. Ketentuan pertama menyangkut masalah pajak penghasilan itu sendiri yang bukan merupakan biaya yang fiskal dapat dikurangkan dalam menentukan penghasilan kena pajak (pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh). Sebagai

28 konsekuensinya, apabila terdapat pengurangan pembayaran PPh, maka tidak akan terjadi penurunan dalam jumlah biaya fiskal yang dapat dikurangkan dan oleh karena itu juga tidak akan menimbulkan kenaikan penghasilan kena pajak. Pengurangan pembayaran PPh tersebut, yang juga merupakan jumlah pajak yang dapat dihemat hanya dapat meningkatkan laba setelah pajak. Berbeda dengan aktivitas mencari laba/menambah penghasilan, suatu perencanaan pajak hanya akan memberikan keuntungan yang sama sekali tidak termasuk dalam ruang lingkup pengenaan PPh. 2. Ketentuan kedua menyangkut kemungkinan dapat dikurangkannya biaya yang ada kaitannya dengan penentuan besarnya pajak yang terutang, yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan disebut sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf a uu PPh) oleh karena perencanaan pajak terkait dengan penentuan besarnya pajak yang terutang, maka biaya yang dikeluarkan untuk perencanaan pajak tersebut, merupakan biaya yang fiskal dapat dikurangkan. Biaya netto rancangan perencanaan pajak, yang dapat dihemat atau dengan perkataan lain biaya setelah pajak (after tax cost) dari suatu perencanaan pajak dapat dinyatakan sebagai berikut: Tabel II.1 Biaya Setelah Pajak ATC=BTC X (1- MTR) ATC=After Tax Cost BTC=Before Tax Cost MTR=Marginal Tax Rate

29 Contoh: Misalkan perusahaan A dan B sama-sama mempertimbangkan untuk menaikkan gaji para karyawannya yang berjumlah secara keseluruhannya Rp. 25.000.000. bagi perusahaan A dan B biaya langsung atau biaya sebelum pajak (Before tax cost) adalah sama besarnya, akan tetapi biaya setelah pajaknya akan berbeda-beda tergantung kepada tarif marjinalnya. Apabila diasumsikan tarif marjinal perusahaan adalah 10%, sedang B menanggung beban pajak atas dasar tarif marjinal 30%, maka kenaikan beban pajak ke dua perusahaan tersebut tidak akan sama. Pajak yang dapat dihemat perusahaan A hanyalah 10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000 sedang perusahaan B dapat menghemat sebesar 30% x Rp 25.000.000 = Rp 7.500.000 Dengan demikian berarti, bagi perusahaan A jumlah biaya setelah pajaknya (After tax cost) adalah (Rp 25.000.000 Rp 2.500.000) = Rp 22.500.000 dan perusahaan B berjumlah (Rp 25.000.000 Rp 7.500.000) = Rp 17.500.000 Atau secara singkat dapat terlihat pada perhitungan berikut ini: Uraian Tarif marjinal Biaya sebelum pajak (Akibat kenaikan gaji) Pajak yang dapat dihemat A Rp 10 % 25.000.000 2.500.000 B Rp 30% 25.000.000 7.500.000 Biaya setelah pajak 22.500.000 17.500.000

30 Melihat ilustrasi tersebut diatas, terlihat bahwa untuk kepentingan pengambilan keputusan perlu adanya pembedaan antara tarif pajak rata-rata (Average tax rate) dan pajak marjinal (Marjinal tax rate). Tarif pajak rata-rata memperlihatkan perbandingan (rasio) antara jumlah pajak terutang dengan penghasilan kena pajak, sedang tarif pajak marjinal merupakan tarif pajak atas rupiah terakhir dari penghasilan yang dikenakan pajak. Apabila ingin diketahui berapa besar jumlah tambahan pajak yang harus dibayar atau yang harus dihindarkan akibat suatu transaksi yang spesifik, maka tarif pajak marjinallah yang ada relevansinya dan bukan tarif pajak rata-rata. Tarif pajak rata-rata mewakili tarif pajak yang akan dikenakan pada setiap segmen penghasilan, sepanjang setiap segmen tersebut dikenakan tarif seragam. Apabila kedua ketentuan tersebut diatas, dikaitkan dengan rancangan perencanaan pajak, terbukti kemudian bahwa rancangan tersebut akan menghasilkan keunggulan ekonomis, bila dibandingkan dengan kegiatan mencari laba, (profit-seeking activities). Evaluasi atas seluruh proyek investasi, didasarkan kepada perbandingan antara keuntungan setelah pajak (after tax benefits) terhadap biaya setelah pajak (after tax cost). Khususnya bagi proyek perencanaan pajak, hasilnya akan bebas dari pengenaan pajak, sehingga dengan demikian untuk kegiatan perencanaan pajak tersebut yang dibandingkan adalah antara keuntungan sebelum pajak (pre-tax benefits) dan biaya setelah pajak (after tax cost).

31 4. Kerangka Dasar Perencanaan Pajak Dalam rangka mendesain suatu perencanaan pajak, ada beberapa alternatif pendekatan yang sistematis yang dapat dilakukan tetapi kesemuanya itu bertitik tolak kepada formula umum perhitungan pajaknya, seperti misalnya formula umum perhitungan pajak penghasilan pada Tabel II.2. Oleh karena sasarannya adalah mengefisienkan beban pajak (pajak terutang) yang berada pada lapisan bahwa dari perhitungan tersebut diatas maka secara aritmatika untuk memperoleh lapisan bahwa yang minimal tersebut, pengaturan harus dilakukan dengan melibatkan semua komponen yang diatasnya secara maksimal, sehingga dengan demikian berarti bahwa perencanaan pajak mencakup hal-hal seperti meminimalkan tarif pajak dan memaksimalkan biaya fiskal yang dapat dikurangkan serta memaksimalkan penghasilan yang ditangguhkan atau dikecualikan dari pengenaan pajak. Komponen-komponen dari formula umum tersebut kita sebut sebagai variable-variabel perencanaan pajak dan hampir seluruh komponen-komponen yang terdaftar pada nomor genap formula tersebut merupakan variable kritis (critical variables) yang akan di olah dalam perencanaan pajak. Table II.2:Formula umum Perhitungan Pajak Penghasilan 1 2 (-) 3 (=) 4 (-) Jumlah seluruh penghasilan Penghasilan tidak objek pajak penghasilan Penghasilan bruto Biaya fiskal boleh dikurangkan Koreksi: Biaya fiskal tidak boleh dikurangkan Pasal 4 ayat (1) Pasal 4 ayat (3) (1-2) pasal 6 ayat (1) pasal 11 pasal 11 A pasal 9 ayat (1) dan ayat (2)

32 5 6 7 8 9 10 11 (=) (-) (-) (=) (x) (=) (-) Penghasilan neto Kompesasi kerugian Penghasilan tidak kena pajak (wajib pajak orang pribadi) Penghasilan kena pajak Tarif Pajak penghasilan terutang Kredit pajak 12 (=) Pajak penghasilan kurang bayar/lebih bayar/nihil bayar (3-4) pasal 6 ayat (2) pasal 7 ayat (1) (5-6-7) pasal 17 (8x9) pasal 21 (WP orang pribadi pasal 22,23,24,25) (10-11) pasal 28,28A,29 Setelah mengetahui komponen-komponen dari formula perhitungan pajak, tindakan selanjutnya adalah mencari peluang penghindaran pajak yang tercantum dalam Undang-undang Repuplik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Memaksimalkan penghasilan yang dikecualikan, adalah usaha memaksimalkan pajak penghasilan berdasarkan pada variabel penghasilan yang bukan objek pajak. Peluang ini tercantum dalam pasal 4 ayat (3) yang mengatur tentang penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. 2. Memaksimalkan biaya-biaya fiskal, tindakan berupa tindakan yang dilakukan dengan meningkatkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan atau dialihkan, peluang ini tercantum dalam pasal 6 ayat (1). Sedangkan pasal 9 ayat (1) mengatur biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan.

33 3. Meminimalkan tarif pajak, tindakan ini dapat dilakukan dengan upaya pengenaan pajak dengan tarif seminimal mungkin. Hal ini dapat ditempuh antara lain dengan mengalokasikan penghasilan dalam beberapa tahun atau dalam beberapa perusahaan yang masih satu grup. Menurut Mohammad Zain (2006 : 79) Untuk membantu pengolahan variable kritis tersebut ada beberapa petunjuk yang dapat digunakan, antara lain: 1. Usahakan agar terdapat penghasilan yang stabil untuk menghindarkan pengenaan pajak dari kelas penghasilan yang tarifnya tinggi (top rate brackets) 2. Percepat atau tunda beberapa penghasilan dan biaya-biaya untuk memperoleh keuntungan dari kemungkinan perubahan tarif pajak yang tinggi atau rendah, seperti penangguhan pengenaan PPN yang ditanggung oleh pemerintah dan seterusnya. 3. Sebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak, seperti pembentukan group-group perusahaan. 4. Sebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kelas penghasilan yang tarifnya tinggi dan tunda pembayaran pajaknya, seperti penjualan cicilan, kredit, dan seterusnya. 5. Transformasikan penghasilan biasa menjadi capital gain jangka panjang. 6. Ambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan mengenai pengecualian-pengecualian dan potongan-potongan. 7. Pergunakan uang dari hasil pembebasan pengenaan pajak untuk keperluan perluasan perusahaan yang mendapatkan kemudahankemudahan. 8. Pilihlah bentuk usaha yang terbaik untuk operasional usahanya. 9. Dirikanlah perusahaan dalam satu jalur usaha sedemikian rupa sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tariff pajak, potensi menghasilkan, kerugian-kerugian dan asset yang dapat dihapus.

34 Faktor pajak yang terlibat dalam setiap situasi sangat terbatas sekali dan apabila misalnya diinginkan suatu beban pajak penghasilan yang efesien, maka perencana pajak sebaiknya: 1. Usahakan penghasilan tersebut tidak termasuk pengertian penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan atau penghasilan kena pajak di ganti dengan penghasilan yang tidak kena pajak atau pengenaan pajaknya di tangguhkan. 2. Tingkat biaya-biaya yang dapat di kurangkan atau biaya tertentu yang tidak dapat di kurangkan dari penghasilan kena pajak di kurangi dan dialihkan ke biaya-biaya yang dapat di kurangkan. 3. Perpanjang jangka waktu pengenaan pajak atas penghasilan atau perpendek jangka waktu biaya-biaya yang dapat dikurangkan. 4. Pertimbangkan antara naiknya penghasilan dengan beban pajak yang meningkat, atau naiknya biaya tertentu dengan berkurangnya beban pajak, dan hasil akhir (neto) harus memperbesar laba setelah pajak penghasilan. B. Perencanaan Pajak Untuk Menentukan Jumlah Pajak Terutang Sistem perpajakan menganut prinsif substansi mengalahkan bentuk formal (substance over form rule). Walau perusahaan telah memenuhi kewajiban secara formal, tetapi kalau ternyata subtansi menunjukkan lain atau motivasi rekayasa tidak sesuai dengan jiwa dari ketentuan perpajakan, administrasi pajak (fiskus) dapat menganggap bahwa wajib pajak kurang patuh dalam memenuhi

35 kewajiban perpajakannya. Apabila terjadi perbedaan interpretasi fakta perpajakan maka lembaga peradilan pajak yang akan memutuskan. Menurut Erly Suandy (2007 : 119) Langkah-langkah praktis yang dapat dijabarkan dari ketiga langkah tersebut yang bertujuan untuk mengefisienkan beban pajak dalam perencanaan pajak perusahaan adalah: 1. Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (legal entity) yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan jenis usaha. Bila dilihat dari perspektif perpajakan kadang pemilihan bentuk badan hukum (legal entities) bentuk perseorangan, firma dan kongsi (partnership) adalah bentuk yang lebih menguntungkan dibanding perseroan terbatas yang pemegang sahamnya perorangan atau badan tetapi kurang 25%, akan mengakibatkan pajak atas penghasilan perseroan dikenakan dua kali yakni pada saat penghasilan diperoleh oleh pihak perseroan dan pada saat penghasilan dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham perseorangan atau badan yang kurang dari 25%. Sebagai contoh: pemilihan bentuk usaha perseorangan akan lebih menghemat pajak karena terhindar dari pengenaan pajak berganda seperti yang terjadi pada bentuk usaha perseroan terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: PT.X PEMILIHAN BENTUK USAHA BENTUK USAHA PERSEORANGAN Penghasilan kena pajak Rp.250.000.000,00 Hutang PPh (Tarif Pasal 17): 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00 Total Hutang PPh Rp. 57.500.000,00 Laba Setelah Pajak Rp. 192.500.000,00 Untuk Badan usaha Berbentuk perseorangan, tidak dikenakan lagi PPh untuk penghasilan pribadi. BENTUK USAHA PERSEROAN TERBATAS Penghasilan Kena pajak Rp. 250.000.000,00 Hutang PPh (Tarif Pasal 17): 10% x 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00 Total Hutang PPh Rp. 57.500.000,00 Laba Setelah Pajak Rp. 192.500.000,00 Apabila diasumsikan bahwa pemegam saham perusahaan tersebut hanya 2 (dua) orang saja, maka penghasilan yang mereka terima masing-masing adalah : Rp. 192.500.000/2 = Rp. 96.250.000,00 PPh yang terutang atas penghasilan mereka masing-masing adalah: 5% x Rp. 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00 10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp. 46.250.000,00 = Rp 6.937.500,00 Total Rp 10.687.500,00 Atau pada saat tersedianya keuntungan tersebut untuk dibagikan, terhutang PPh Pasal 23 masing-masing sebesar: 15% x 96.250.000,00 = Rp 14.375.500,00

36 2. Memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan. Umumnya pemerintah memberikan semacam insentif pajak/fasilitas perpajakan khususnya untuk daerah tertentu (Misalnya di Indonesia bagian Timur), banyak pengurangan pajak penghasilan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 undang-undang No.17 Tahun 2000. disamping itu juga diberikan fasilitas seperti peyusutan dan amortisasi yang dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama. Misalnya: perusahaan memperluas usahanya dengan mendirikan perusahaan baru didaerah terpencil di Indonesia bagian Timur. Oleh karena daerah tersebut memiliki potensi ekonomi yang layak dikembangkan namun sulit dijangkau, maka pemerintah memberikan beberapa keringanan dalam pajak seperti izin untuk mengurangkan natura dan kenikmatan (fringe benefit) dari penghasilan bruto seperti yang diatur dalam SE-29?Pj.4/1995 Tanggal 5 Juni 1995. 3. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin dari berbagai pengecualian, potongan atau pengurangan atas penghasilan kena pajak yang diperbolehkan oleh undang-undang. Sebagai contoh jika diketahui bahwa penghasilan kena pajak (laba) perusahaan besar dan akan dikenakan tarif pajak tinggi/tertinggi, maka sebaiknya perusahaan membelanjakan sebagian laba perusahaan untuk hal-hal yang bermanfaat secara langsung untuk perusahaan, dengan catatan tentunya biaya yang dikeluarkan adalah biaya yang dapat dikurangkan (deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak. Sebagai contoh: biaya untuk riset dan pengembangan, biaya pendidikan dan latihan pegawai, biaya perbaikan kantor, biaya pemasaran dan masih banyak biaya lainnya yang dapat dimanfaatkan. Hal ini tergantung kepada jenis usaha dan peraturan pajak yang berlaku. Misalnya perusahaan mengeluarkan sejumlah biaya untuk pendidikan karyawan dengan tujuan untuk mengurang pendapatan kena pajak seperti dalam tabel berikut:

37 PT.X BIAYA PENDIDIKAN KARYAWAN Tidak melakukan pendidikan karyawan Melakukan pendidikan karyawan Pendapatan usaha Rp 4.666.556.800 Biaya usaha langsung (Rp 3.378.605.000) Laba kotor Rp 1.287.951.800 Biaya usaha tidak langsung: Biaya pemasaran (Rp 22.462.000) Biaya Adm. & Umum (Rp 584.664.000) Biaya keperluan kantor (Rp 162.645.000) Biaya pemeliharaan (Rp 96.666.000) Biaya penyusutan (Rp 179.465.000) Laba operasi Rp 242.049.000 Pendapatan biaya lain-lain: Pendapatan lain-lain Rp 20.151.500 Biaya lain-lain (Rp 201.500) Penghasilan kena pajak Rp 261.999.800 Hutang PPh (tarif pasal 17) 10 % x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000 15 % x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 30 % x Rp 161.999.800 = Rp 48.599.840 Total hutang PPh (Rp 61.099.840) Laba Bersih set. Pajak Rp 200. 899.960 Total hutang PPh Rp 61.099.840 Pendapatan usaha Rp 4.666.556.800 Biaya usaha langsung (Rp 3.378.605.000) Laba kotor Rp 1.287.951.800 Biaya usaha tidak langsung: Biaya pemasaran (Rp 22.462.000) Biaya Adm. & Umum (Rp 584.664.000) Biaya keperluan kantor (Rp 162.645.000) Biaya pemeliharaan (Rp 96.666.000) Biaya penyusutan (Rp 179.465.000) Laba operasi Rp 242.049.000 Pendapatan biaya lain-lain: Pendapatan lain-lain Rp 20.151.500 Biaya lain-lain (Rp 201.500) Biaya pendidikan (Rp 9.850.000) Penghasilan kena pajak Rp 252.149.800 Hutang PPh (tarif pasal 17) 10 % x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000 15 % x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 30 % x Rp 152.149.800 = Rp 45.644.940 Total hutang PPh (Rp 58.144.940) Laba Bersih set. Pajak Rp 194.004.860 Total hutang PPh Rp 58.144.940 Maka selisih hutang pajak yang dapat dihemat (Rp 61.099.840 Rp 58.144.940 = Rp 2.954.900) atau sebesar 4,83% 4. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha (corporate company) sehingga diatur mengenai penggunaan tarif pajak yang paling menguntungkan antara masing-masing badan usaha (business entity). Hal ini bisa dilakukan mengingat bahwa banyak negara termasuk Indonesia mengatur bahwa pembagian dividen antar corporate (inter corporate dividend) tidak dikenakan pajak. Adapun cara kerjanya sebagai salah satu contoh: PT. A pabrik CPO, PT. B pabrik Minyak Goreng dan PT. C adalah distributornya, maka antar mereka dapat diatur sejumlah keuntungan (margin) yang sekiranya dapat meringankan pajak mereka. Setelah itu baru dibagikan dalam bentuk dividen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

38 PT.X MENDIRIKAN PERUSAHAAN DALAM SATU JALUR USAHA KEGIATAN DILAKUKAN OLEH SATU PERUSAHAAN PT. X DIVISI PABRIK CPO Penghasilan kena pajak Rp 309.915.000 PT. X DIVISI PABRIK M. GORENG Penghasilan kena pajak Rp 513.529.000 PT. X DIVISI DISTRIBUSI Penghasilan kena pajak Rp 123.731.000 MENDIRIKAN PERUSAHAAN DALAM SATU JALUR USAHA PT. A PABRIK CPO Penghasilan kena pajak Rp 309.915.000 Hutang PPh (tarif pasal 17): 10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000 15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 30% x Rp 209.915.000 = Rp 62.974.500 Total Rp 75.474.500 Penghasilan bersih Rp 234.440.500 Total penghasilan kena pajak Rp 947.175.000 Hutang PPh (tarif pasal 17): 10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000 15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 30% x Rp 847.175.000 = Rp 254.152.500 Total hutang PPh Rp 266.652.500 Penghasilan bersih Rp 680.522.500 PT. B DIVISI PABRIK M. GORENG Penghasilan kena pajak Rp 513.529.000 Hutang PPh (tarif pasal 17): 10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000 15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 30% x Rp 413.529.000 = Rp 124.058.700 Total hutang PPh Rp 136.558.700 Penghasilan bersih Rp 376.970.300 PT. X DIVISI DISTRIBUSI Penghasilan kena pajak Rp 123.731.000 Total penghasilan kena pajak Rp 947.175.000 Hutang PPh (tarif pasal 17): 10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000 15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 30% x Rp 23.731.000 = Rp 7.119.300 Total hutang PPh Rp 19.619.300 Penghasilan bersih Rp 104.111.700 Total penghasilan bersih dari ketiga perusahaan adalah: Rp 234.440.500 + Rp 376.970.300 + Rp 104.111.700 = Rp 715.522.500 Total PPh terutang dari ketiga perusahaan adalah: Rp 75.474.500 + 136.558.700 + 19.619.300 = Rp 231.652.500 Maka selisih penghasilan bersih yang dapat dibagikan apabila mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha adalah sebesar Rp 715.522.500 Rp 680.522.500 = Rp 35.000.000 dan pajak yang dapat dihemat (Rp 266.652.500 Rp 231.652.500 = Rp 35.000.000) atau sebesar 13,12% 5. Mendirikan perusahaan ada yang sebagai profit center dan ada yang hanya berfungsi sebagai cost center. Dari hal tersebut dapat diperoleh manfaat dengan cara menyebarkan penghasilan menjadi pendapatan dari beberapa wajib pajak didalam satu grup begitu juga terhadap biaya sehingga dapat diperoleh keuntungan atas pergeseran pajak (tax shifting) yakni menghindari tarif paling tinggi/maksimum. Tentunya proses ini dapat dijalankan apabila sistem tarif pajak yang berlaku progresif dan penghasilan kena pajak sudah melewati tarif yang paling rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membagi perusahaan dalam beberapa divisi, dimana ada divisi yang

39 menghasilkan laba yang besar dan ada divisi yang hanya berfungsi sebagai pusat biaya seperti pada contoh tabel berikut: PT.X PERUSAHAAN SEBAGAI PROFIT CENTER DAN COST CENTER PERUSAHAAN SEBAGAI PROFIT CENTER DAN COST CENTER PT. X DIVISI A Laba usaha Rp 309.915.000 PT. X DIVISI B Laba (Rugi) usaha (Rp 113.529.000) PT. X DIVISI C Laba usaha Rp 26.731.000 PT. X DIVISI D Laba (Rugi) usaha (Rp 52.389.000) Penghasilan kena pajak Rp 170.728.000 Hutang PPh (tarif pasal 17): 10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000 15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 30% x Rp 70.728.000 = Rp 21.218.400 Total hutang pajak Rp 33.718.400 Laba setelah pajak Rp 137.010.000 PERUSAHAAN HANYA SEBAGAI PROFIT CENTER Dalam kegiatan usahanya perusahaan tidak ada yang berfungsi sebagai cost center atau sebagai factor pengurang laba atau hanya memperhitungkan divisi yang menghasilkan laba dalam hal ini yaitu PT. X DIVISI A dan DIVISI C. PT. X DIVISI A Laba usaha Rp 309.915.000 PT. X DIVISI C Laba usaha Rp 26.731.000 Penghasilan kena pajak Rp 336.646.000 Hutang PPh (tarif pasal 17): 10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000 15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 30% x Rp 236.646.000 = Rp 70.993.800 Total hutang pajak Rp 83.493.800 Laba setelah pajak Rp 253.152.200 Pada perhitungan tersebut jelas terlihat bahwa dengan hanya membuat profit center memang laba setelah pajak yang dihasilkan jauh lebih besar disbanding dengan membuat profit center dan cost center yaitu sebesar Rp 116.142.200, namun yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah biaya yang dikeluarkan digunakan untuk kepentingan peningkatan perusahaan seperti untuk biaya pendidikan karyawan, biaya pemeliharaan, dan lainlain. Disamping itu dengan membuat perusahaan sebagai cost center dapat berfungsi untuk memperkecil laba sebelum pajak sehingga dapat menghemat pajak. Dalam perhitungan tersebut selisih hutang pajak yang dapat dihemat (Rp83.493.800 Rp 33.718.400 = Rp 49.775.400) atau sebesar 59,61% 6. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang atau natura dan kenikmatan (fringe Benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum (shif to lower bracket). Karena pada dasarnya pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefit) dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi pegawai yang menerimanya.

40 Sebagai contoh, perusahaan memberikan tunjangan pajak kepada karyawan dan memperhitungkan tujuan tersebut sebagai tambahan penghasilan karyawan dengan asumsi bahwa Tuan Y adalah wajib pajak belum kawin seperti yang terlihat dalam tabel berikut: PT.X PEMBERIAN TUNJANGAN PAJAK PENGHASILAN PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PAJAK PENGHASILAN DIGANTI PERUSAHAN TUNJANGAN PAJAK Gaji Rp 1.000.000 Iuran asuransi kecelakaan kerja Rp 25.000 Iuran asuransi kematian Rp 25.000 Penghasilan bruto Rp 1.050.000 Potongan: a. Biaya jabatan Rp 50.000 b. Iuran pensiun Rp 25.000 c. Iuran THT Rp 10.000 RP 85.000 Penghasilan neto sebulan Rp 965.000 Penghasilan neto setahun Rp 11.580.000 Penghasilan tidak kena pajak Rp 2.880.000 Penghasilan kena pajak Rp 8.700.000 Hutang PPh (tarif pasal 17): 5% x Rp 8.700.000 = Rp 435.000 pajak penghasilan 1 bulan Rp 36.250 Penghasilan bruto ( 1 bulan ) Rp 1.050.000 Pajak penghasilan ( 1 bulan ) Rp 36.250 Biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan Rp 1.086.250 Biaya yang diperkenankan pajak Rp 1.050.000 Gaji Rp 1.000.000 Iuran asuransi kecelakaan kerja Rp 25.000 Iuran asuransi kematian Rp 25.000 Tunjangan pajak Rp 36.250 Penghasilan bruto Rp 1.086.250 Potongan: a. Biaya jabatan Rp 50.000 b. Iuran pensiun Rp 25.000 c. Iuran THT Rp 10.000 RP 85.000 Penghasilan neto sebulan Rp 1.001.250 Penghasilan neto setahun Rp 12.015.000 Penghasilan tidak kena pajak Rp 2.880.000 Penghasilan kena pajak Rp 10.135.000 Hutang PPh (tarif pasal 17): 5% x Rp 10.135.000 = Rp 506.750 pajak penghasilan 1 bulan Rp 42.250 Penghasilan bruto ( 1 bulan ) Rp 1.050.000 Pajak penghasilan ( 1 bulan ) Rp 36.250 Biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan Rp 1.086.250 Biaya yang diperkenankan pajak Rp 1.086.250 7. Pemilihan metode penilaian persediaan. Ada dua metode penilaian yang dizinkan oleh peraturan perpajakan, yaitu metode rata-rata (average) dan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Dalam kondisi perekonomian yang cenderung mengalami inflasi, metode rata-rata (average) akan menghasilkan harga pokok yang lebih tinggi dibanding dengan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Harga pokok penjualan (HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih kecil. Sebagai contoh: 1 Januari 200x persediaan awal 100 satuan @ Rp 9,00 5 Januari 200x pembelian 100 satuan @ Rp 12,00 10 Januari 200x pembelian 100 satuan @ Rp 11,25 15 Januari 200x penjualan 100 satuan 20 Januari 200x penjualan 100 satuan PERHITUNGAN NILAI PERSEDIAAN DENGAN METODE RATA-RATA

41 Tanggal Pembelian Penjualan Sisa/Persediaan 1/1/200x 100@Rp.9 =Rp.900 5/1/200x 100@Rp.12=Rp.1200 200@Rp10,50=Rp.2100 10/1/200x 100@Rp.11,25=1.125 300@Rp.10,75=Rp.3.225 15/1/200x 100@Rp.10,75=Rp.1.075 200@Rp.10,75=Rp.2150 20/1/200x 100@Rp.10,75=Rp.1.075 100@Rp10,75=Rp.1075 PERHITUNGAN NILAI PERSEDIAAN DENGAN METODE FIRST IN FIRST OUT Tanggal Pembelian Penjualan Sisa/Persediaan 1/1/200x 100@Rp.9 =Rp.900 5/1/200x 100@Rp.12=Rp.1200 100@Rp.9 =Rp.900 100@Rp.12=Rp.1200 10/1/200x 100@Rp.11,25 =1.125 100@Rp.9 =Rp.900 100@Rp.12=Rp.1200 100@Rp.11,25 =1.125 15/1/200x 100@Rp.9 =Rp.900 100@Rp.12=Rp.1200 100@Rp.11,25 =1.125 20/1/200x 100@Rp.12=Rp.1200 100@Rp.11,25 =1.125 8. Untuk pendanaan aktiva tetap dapat mempertimbangkan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) di samping pembelian langsung karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan pembayaran leasing dapat dibiayakan seluruhnya. Dengan demikian, aktiva tersebut dapat dibiayakan lebih cepat dibandingkan melalui penyusutan jika pembelian dilakukan secara langsung. Sebagai contoh: perusahaan mempertimbangkan untuk pengadaan sebuah mesin seharga Rp. 1.000.000.000,00 dengan cara pembelian langsung atau dengan leasing dengan asumsi discount rate yang berlaku adalah 20%, apabila dengan leasing maka tingkat bunga yang belaku adalah 22% dan nilai opsi Rp. 100.000.000,00 dengan jangka waktu leasing selama 4 tahun dan umur aktiva tersebut adalah 8 tahun apabila dibeli secara langsung. Perbandingan antara harga perolehan dan penghematan pajak antara pembelian langsung dengan leasing dapat dilihat dalam tabel berikut: (perhitungan dalam lampiran)

42 PERBANDINGAN ANTARA MEMBELI LANGSUNG AKTIVA TETAP DENGAN LEASING Keterangan Leasing dengan bunga 22% Beli secara Tunai Nominal Pv (disc rate 20%) Nominal Pv (disc rate 20%) Harga perolehan: Lease fee Nilai opsi Harga mesin Jumlah Biaya yang boleh dibiayakan: Lease fee Biaya penyusutan Jumlah PPh 30% 1.361.062.562,52 100.000.000,00 1.461.062.562,00 1.361.062.562,52 100.000.000,00 1.461.062.562,52 438.318.768,76 947.345.315,65 100.000.000,00 1.047.345.315,65 947.345.315,65 27.290.875,01 974.636.190,66 292.390.857,20 1.000.000.000,00 1.000.000.000,00 1.000.000.000,00 1.000.000.000,00 300.000.000,00 Penghematan pajak dalam nominal : Rp 438.318.768,76 Rp 300.000.000 = Rp 138.318.368,76 Penghematan pajak dalam Pv : Rp 292.390.87,20 Rp 169.771.075,25 = Rp 122.619.781,95 1.000.000.000,00 1.000.000.000,00 565.903.584,16 565.771.075,25 169.771.075,25 9. Melalui pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan perpajakan yang berlaku. Jika perusahaan mempunyai prediksi laba yang cukup besar maka dapat dipakai metode penyusutan yang dipercepat (saldo menurun) sehingga atas biaya penyusutan tersebut dapat mengurangi laba kena pajak dan sebaliknya jika diperkirakan pada awal-awal tahun investasi belum bisa memberikan keuntungan atau timbul kerugian maka pilihannya adalah menggunakan metode penyusutan yang memberikan biaya yang lebih kecil (garis lurus) supaya biaya penyusutan dapat ditunda untuk tahun berikutnya. Contoh penggunaan metode garis lurus dan metode saldo menurun: Sebuah mesin yang diperoleh tanggal 2 januari 200x dengan harga perolehan Rp. 1.000.000.000,00 dan masa manfaatnya 4 tahun, maka penyusutannya adalah sebagai berikut tabel: Tahun Metode Penyusutan Garis Lurus Saldo Menurun 1 2 3 4 250.000.000 250.000.000 250.000.000 250.000.000 500.000.000 250.000.000 125.000.000 125.000.000 Akumulasi Penyusutan 1.000.000.000 1.000.000.000 Tahun 1 2 3 4 Besar biaya penyusutan dan present valuenya-nya dengan discount factor 20% Metode Penyusutan Garis Lurus Saldo Menurun Nominal PV PV Nominal PV PV 250.000.000 208.333.333,3 500.000.000 416.666.666,7 250.000.000 173.611.111,1 250.000.000 173.611.111,1 250.000.000 144.675.925,9 125.000.000 72.337.963,0 250.000.000 120.563.271,6 125.000.000 60.281.635,8 1.000.000.000 647.183.642,2 1.000.000.000 722.897.376,6 d.f.20% 0,833333 0,694444 0,578703 0,482253

43 Besarnya penghematan pajak antara metode garis lurus dengan saldo menurun Keterangan Garis Lurus Saldo Menurun Harga perolehan Biaya penyusutan PPh 30% Nominal PV PV (d.f.20%) Nominal PV PV (d.f.20%) 1000.000.000 1.000.000.000 1.000.000.000 1.000.000.000 1.000.000.000 674.183.641,20 1.000.000.000 722.897.376,60 300.000.000 194.155.092,60 300.000.000 216.869.212,80 10. Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada transaksi yang bukan objek pajak. Sebagai contoh: untuk jenis usaha yang PPh Badannya dikenakan pajak secara final, maka efesiensi PPh pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pembelian natura bukan merupakan objek pajak PPh Pasal 21. 11. Mengoptimalkan kredit pajak yang di perkenankan, untuk ini wajib pajak harus jeli untuk memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan. Sebagai contoh PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari pertamina bersifat final jika pembeliannya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran Migas, tetapi bila pembeliannya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang pabrikan maka PPh pasal 22 tersebut dapat dikreditkan dengan PPh Badan. Perkreditan ini lebih menguntungkan ketimbang dibebankan sebagai biaya. Keuntungan yang dapat diperoleh sebesar 70% dari nilai pajak yang dikreditkan (dengan asumsi penghasilan kena pajak telah mencapai jumlah yang dikenakan tarif 30%) 12. Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara melakukan pembayaran pada saat mendekati tanggal jatuh tempo. Khusus untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak sampai batas waktu yang diperkenankan khususnya atas penjualan kredit. Perusahaan dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan penyerahan barang (kep. Dirjen pajak No: 53/PJ/1994) 13. Menghindari pemeriksaan pajak, periksaan pajak oleh Direktorat jenderal pajak dilakukan terhadap wajib pajak yang: a. SPT lebih bayar b. SPT rugi c. Tidak memasukkan SPT atau terlambat memasukkan SPT d. Terdapat informasi pelanggaran e. Memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen pajak Menghindari lebih bayar dapat dilakukan dengan cara: a. Mengajukan pengurangan pembayaran lumpsum (angsuran masa) PPh pasal 25 ke KKP yang bersangkutan, apabila diperkirakan dalam tahun pajak berjalan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak.

44 b. Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor apabila perusahaan melakukan impor. Pengajuan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 harus melampirkan: 1) Proyeksi impor setiap bulan selama tahun yang bersangkutan. 2) Proyeksi perhitungan Laba/Rugi tahun yang bersangkutan. 3) Proyeksi perhitungan PPh Badan yang terutang dan Angsuran PPh pasal 25, serta PPh Pasal 22 yang menunjukkan lebih bayar apabila dilakukan pembayaran PPh Pasal 22. 4) Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan. 14. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang berlaku. C. Aspek kebijakan Akuntansi dalam Perencanaan Pajak Menurut Erly Suandy (2007 : 39) untuk dapat melaksanakan kewajiban perpajakan berdasarkan self assement itu, pembukuan mempunyai peranan penting dalam perpajakan. Wajib pajak yang belum mampu melaksanakan pembukuan untuk tujuan perhitungan pajak, penghasilan nettonya akan berdasarkan norma perhitungan, dimana dalam norma perhitungan itu tanpa memperhatikan realistis bisnis, norma perhitungan selalu memberi hasil usaha yang positif (laba). Karena tidak merefleksikan keadaan yang sebenarnya dari wajib pajak pemakai norma perhitungan, dapat terjadi bahwa persentase perhitungan neto yang dihitung berdasarkan norma itu lebih tinggi dari pada jumlah yang dapat dicapai oleh wajib pajak. Selain itu, karena norma perhitungan selalu memberikan angka penghasilan positif, maka wajib pajak tidak mungkin menikmati kompensasi kerugian. Walaupun secara teknis proses penyajian laporan tidak teratur secara rinci dalam ketentuan perpajakan, pengukuran dan penilaian suatu fakta sangat dipengaruhi oleh ketentuan perpajakan. Dengan

45 demikian apabila terjadi kekurangsesuaian antara ketentuan perpajakan dan praktik atau standar akuntansi yang berlaku umum, undang-undang mempunyai prioritas untuk di patuhi di atas praktik dan kelaziman akuntansi. Keengganan mematuhi ketentuan ini dapat membawa kerugian material bagi perusahaan. Perbedaan antara kebijakan akuntansi komersial dengan akuntansi pajak untuk perhitungan laba kena pajak antara lain meliputi: 1. Sistem pengakuan penghasilan dan beban 2. Sistem penilaian persediaan 3. Metode penyusutan 4. Penilaian kembali aktiva tetap 5. Sewa guna usaha Maka laporan keuangan komersial, ketentuan perpajakan juga mengikuti pandangan yang lebih menitikberatkan kepada substansi ekonomis dari bentuk formal dari setiap transaksi atau fakta bisnis. Namun, ketentuan perpajakan dalam kasus tertentu terkadang lebih mengutamakan bentuk formal dibandingkan dengan substansi ekonominya, misalnya sewa guna usaha. 1. Sistem pengakuan penghasilan dan beban. Seperti halnya akuntansi, dasar pembukuan yang diakui oleh direktorat jenderal pajak adalah basis akrual dan basis kas yang dimodifikasi. Pada basis akrual pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat timbulnya hak dan kewajiban, meski pun uangnya belum diterima atau di bayar.

46 Sedangkan pada basis kas pendapatan dan biaya di catat dan di laporkan pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang. Basis kas yang dimodifikasi dalam rangka menghitung PPh badan adalah sebagai berikut: a. Perhitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai baik pun yang bukan. b. Biaya-biaya yang boleh di bebankan adalah biaya-biaya yang telah di bayar. c. Dalam perolehan harta yang dapat di susutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya yang boleh di bebankan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. Jadi perbedaan antara basis akrual dan basis kas yang dimodifikasi menurut versi perpajakan terletak pada biaya administrasi dan umum. Pada basis akrual biaya admistrasi dan umum di bebankan pada saat timbulnya kewajiban, sedangkan pada basis kas biaya tersebut baru dapat di bebankan pada saat terjadinya pembayaran. Dengan demikian dari sisi efesiensi beban pajak lebih menguntungkan memilih basis akrual. Stelsel Kas Ada beberapa wajib pajak yang bersikap sangat cermat dan jeli dalam penggunaan stelsel kas, misalnya dengan mudah akan menghindarkan diri dari pengenaan pajaknya dengan cara mengganti penerimaan tunai atas jasa yang telah dilakukannya ke dalam penerimaan yang berbentuk non-cash property atau penggeseran penerimaan pada akhir periode akuntansi yang bersangkutan ke

47 periode berikutnya, apabila dilihatnya pemajakan tersebut hanya di dasarkan pada penerimaan tunai saja. Keunggulan stelsel kas Walaupun penggunaan stelsel kas akan mengakibatkan terbatasnya penguasaan wajib pajak terhadap penghasilan yang merupakan haknya, namun sebaliknya dengan menggunakan stelsel kas wajib pajak dapat mengawasi dengan hampir sempurna atas semua pengeluaran yang dapat di kurangkan dari penghasilannya. Wajib pajak tidak akan membukukan penghasilannya sebagai penghasilan sampai saat penghasilan tersebut betul-betul diterimanya. Oleh karena itu, apabila wajib pajak tidak menginginkan penghasilan tesebut diterimanya dalam suatu tahun tertentu, maka wajib pajak dapat menunda melakukan penagihan terhadap langganan atau kliennya. Sebaliknya, pengeluaran-pengeluaran wajib pajak tidak akan dikurangkan dari penghasilannya sampai saat pengeluaran tersebut betul-betul dibayar. Wajib pajak yang menggunakan stelsel kas akan dapat melakukan seleksi terhadap bonbon pengeluaran yang akan di bayar pada akhir tahun atau menundanya sampai tahun depan. Sebagai tambahan, apabila pada akhir tahun terdapat pengeluaranpengeluaran yang masih harus di bayar, wajib pajak dapat pula melakukan pembayaran lebih dulu atas pengeluaran tersebut dengan tujuan agar terdapat pengeluaran yang cukup besar dalam tahun yang bersangkutan dan dengan demikian dapat pula mengurangi beban pajaknya.

48 Kendala yang terdapat pada stelsel kas Jarang sekali terjadi bahwa penerimaan dan pengeluaran kas yang betulbetul telah diterima dan telah dibayar tersebut, mencerminkan penghasilan yang sesungguhnya dari usaha tahun yang bersangkutan dan malahan sering terjadi bahwa penghasilan yang dihitung berdasarkan stelsel kas ini memperlihatkan penghasilan yang jauh berbeda dengan penghasilan yang benar-benar merupakan penghasilan tahun yang bersangkutan. Apabila kita kurang hati-hati mengamatinya, maka penggunaan stelsel kas ini akan dapat mengakibatkan distorsi penghasilan dari tahun ke tahun. Kadangkadang terjadi bahwa pembayaran pajak yang dilakukan dalam tahun yang bersangkutan melebihi jumlah pajak yang seharusnya dibayar oleh karena penerimaan yang bukan merupakan penghasilan dari tahun yang bersangkutan yang diterima lebih dulu akan meningkatkan pembayaran pajak dalam tahun tersebut. Meratakan penghasilan Salah satu cara yang paling efektif untuk meratakan penghasilan sampai wajib pajak tersebut siap dan merasa mampu untuk membayar pajaknya. Tampaknya hal ini tidak merupakan masalah yang sulit bagi wajib pajak yang yang menggunakan stelsel kas, karena adanya ketentuan tentang pengertian penghasilan yang betul-betul sudah di terima saja yang akan di laporkan. Stelsel akrual Stelsel akrual sebaiknya digunakan apabila bisnis wajib pajak tersebut terdiri dari berbagai transaksi yang kompleks sepanjang tahun yang bersangkutan.

49 Stelsel ini mencerminkan penghasilan yang lebih akurat dibandingkan dengan stelsel kas dan dalam banyak hal penghasilan dan pengeluaran wajib pajak dapat dicocokkan satu sama lainnya dan hal ini akan lebih mendekati kebenarannya apabila wajib pajak menggunakan natural business year Keunggulan stelsel akrual Pengawasan atas penghasilannya dapat dilakukan dengan cara menentukan kapan suatu penghasilan tersebut dianggap sebagai penghasilan. Misalnya penghasilan atas jasa diakui sebagai penghasilan apabila sudah dibuat fakturnya dan hasil penjualan diakui sebagai penghasilan apabila sudah ada penyerahan, sehingga wajib pajak dapat mengatur pengenaan pajaknya sesuai dengan keinginannya dengan cara menetapkan tanggal pembuatan fakturnya atau tanggal penyerahannya. Banyak pula diantara wajib pajak yang menggunakan stelsel akrual melaporkan penghasilannya sesuai dengan jumlah pembuatan fakturnya dan pada akhir tahun kadang-kadang memasukkan pula semua nilai barang/jasa yang belum diserahkan/dibuat fakturnya. Untuk melaksanakan hal ini biasanya wajib pajak membukukannya dalam suatu perkiraan yang disebut perkiraan barang dalam pengerjaan akan mengeliminir jumlah distorsi yang cukup besar. Apabila digunakan periode waktu lebih kurang sama setiap tahunnya dan lebih sama pula tarifnya, maka penghasilan setiap tahunnya lebih kurang identik pula. Hendaknya diperhatikan bahwa apabila terdapat jumlah beban yang besar yang belum terselesaikan pada awal satu tahun, dianjurkan untuk tidak menggunakan stelsel akrual dan perusahaan yang baru akan dapat melaksanakan