Prolog Bandung, 1997 Cuaca sedang bersahabat siang ini. Raja siang yang biasanya menampakkan dirinya dan teriknya yang begitu luar biasa hari ini tampak malu-malu bersembunyi di balik awan. Daundaun yang biasanya mematung kali ini melambai indah ditiup angin. Awan tampak seperti gumpalan kapas di langit yang tidak ada yang tahu batasnya. Menambah pesona karya Tuhan yang luar biasa. Angin bertiup sepoi-sepoi, membuat semua orang yang sedang mendekam di dalam rumah membuka jendelanya dan menikmati hembusannya yang sejuk. Membuat siapapun yang merasakannya terbuai, tidak ingin berlama-lama membuka matanya, ingin segera memejamkan mata dan masuk kedalam dunia mimpi. Tapi tampaknya angin tak bisa merayu dua bocah berusia lima
tahun yang justru asyik berceloteh di tengah hembusan angin yang sungguh menghipnotis. Cal, gede itu umur berapa sih? tanya anak perempuan dengan rambut kepang dua di atas kasur ayun kepada temannya, seorang bocah laki-laki yang seumuran dengannya. Hah? Maksudnya? yang ditanya malah balik bertanya. Tak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan temannya. Yaa Maksudnya, kita itu kapan gedenya? gadis itu terus bertanya. Gede apaan sih? anak laki-laki itu masih tak mengerti. Iiiih Ical, gede itu lawannya kecil! gadis berkepang dua itu terlihat tak sabar, lalu mengguncang bahu temannya yang sedang tiduran di kasur ayun hingga menyebabkan kasur ayun itu berayun cepat. Kasur ayun adalah sebuah kain rajut lebar yang kuat menopang satu orang dewasa atau dua anak kecil, yang diikatkan dengan kuat di batang pohon yang ada di kanan dan kirinya. Kasur ayun yang ditempati dua bocah ini diikatkan di batang pohon akasia yang berdiri kokoh di
belakang rumah gadis berkepang dua itu. Yang menempati kasur ayun ini juga tak merasa kepanasan. Karena daun akasia yang rimbun menghalangi terik matahari. Juga ditambah oksigen yang dihasilkan pohon, memberikan kenyamanan yang luar biasa. Kalau itu aku juga tahu, Araaa, bocah laki-laki yang dipanggil Ical itu menjawab dengan tidak sabar, Tapi aku nggak ngerti maksud kamu, Ara, gadis berkepang dua tadi tersenyum, memperlihatkan giginya yang ompong, Gini, lho. Aku bingung, Cal, waktu aku minta balon ke Bunda, atau waktu aku nangis gara-gara nggak dibeliin es krim, Bunda bilang aku udah gede. Tapi waktu aku minta handphone kayak punya Kakak, Bunda bilang aku masih kecil, belum butuh handphone. Jadi, sebetulnya aku itu masih kecil atau udah gede? tanya Ara polos. Kita masih kecil, Ra. Kita kan masih suka nonton film kartun, masih suka makan permen, masih suka nangis, masih suka Ah, pokoknya kita masih kecil deh, jawab Ical. Itu tandanya kita masih kecil ya? tanya Ara lagi, masih polos.
Enggak juga, sih. Kenapa juga, sih, tanya-tanya soal gede-kecil? Aku pingin cepet-cepet gede, Cal. Kayaknya, jadi orang gede seru, deh. Aku bisa punya handphone kayak Kakak, bisa dandan kayak Bunda, bisa nyetir mobil kayak Ayah. Kita, kan cuma bisa tidur siang, ujar Ara. Tapi aku nggak mau cepet-cepet gede. Aku nggak mau kayak Mama sama Papa, jawab Ical dengan suara pelan. Raut wajahnya berubah murung. Tante sama Om kenapa? Mama sama Papa sering bertengkar, sering teriakteriak. Aku juga pernah liat Papa nampar Mama. Aku juga pingin marah, pingin teriak, tapi aku nggak boleh ngapangapain. Aku disuruh diam di kamar. Aku sedih banget waktu liat Mama nangis, Ical menjawab sambil membendung air matanya yang hampir menetes. Ara langsung mengelus pundak temannya itu, bukan karena kasihan, tapi juga ikut merasakan kesedihan temannya. Ical jangan sedih, Ara ikut sedih nih, Ara mencoba menghibur temannya itu, Kalau Tante nangis, Ical peluk aja, biar hati Tante tenang. Ara kalau lagi sedih juga dipeluk
sama Bunda, habis itu Ara nggak sedih lagi deh, Ara kembali memperlihatkan gigi ompongnya. Makasih, ya Ara, Ical memperlihatkan lagi senyumannya. Ya udah, jangan sedih terus. Kita beli es krim aja, yuk! ajak Ara semangat. Ayo! Ara udah bawa uang tabungan? tanya Ical yang dijawab anggukan oleh Ara. Di kota mereka ada sebuah kedai es krim kecil yang terkenal. Kedai itu milik sepasang suami istri setengah baya. Es krim yang dijual sangat enak dengan harga yang sangat terjangkau. Itulah yang menyebabkan Ara dan Ical sering kesana. Mereka biasanya mengumpulkan uang tabungan mereka yang biasanya recehan untuk membeli es krim. Bibi dan Paman Mukti pemilik kedai es krim juga dengan senang hati melayani dua anak kecil yang sudah jadi pelanggan tetapnya, juga karena Ara dan Ical sudah mereka anggap sebagai anak sendiri karena mereka belum mempunyai anak. Halo Ara, Ical. Masuk yuk, mau beli es krim kan? Bibi Mukti, yang sedang mengelap meja yang diletakkan di
bagian luar toko tersenyum senang melihat dua anak yang hampir setiap minggu mampir ke kedainya. Iya, Bi. Kita masuk ya, Ara langsung ngacir masuk ke kedai meninggalkan Ical yang masih menyapa Bibi Mukti. Ara tersenyum senang saat menginjakkan kakinya di dalam kedai. Ara selalu ingin masuk kedai lebih dulu, karena Ia bisa membuka pintunya. Yang paling Ia suka, jika Ia membuka pintu kedai, akan ada suara bel otomatis yang bunyi seiring terbukanya pintu. Suara bel yang semacam ucapan selamat datang. Selain itu, saat masuk kedai Ia juga akan langsung disambut udara sejuk dari pendingin ruangan dan juga aroma berbagai es krim yang berbaur, bau khas kedai ini yang sangat Ara suka. Ical sudah berada di samping Ara saat Paman Mukti menyapa mereka. Paman Mukti bekerja menyajikan es krim, selalu memakai celemek putih dan topi koki berlambangkan Mukti s Ice Cream, nama kedai es krim miliknya. Kamu ke tempat duduk, ya. Aku pesan es krim, ujar Ical. Ara langsung berlari ke meja nomor 7, meja langganan mereka. Kedai es krim ini selalu ramai, tapi meja nomor 7 selalu kosong, meja bundar dengan dua kursi berhadapan yang terletak di samping jendela yang langsung
menghadap ke jalan raya di kota mereka. Meja nomor 7 sudah seperti meja khusus untuk Ical dan Ara. Saat Ara pergi ke tempat duduk, Ical pergi ke tempat penyajian es krim. Kedai ini memakai sistem langsung pesan. Jadi, pelanggan langsung pergi ke tempat penyajian es krim, langsung memilih es krim dan toppingnya, dan setelah itu langsung membayar. Siang Paman! sapa Ical sambil melihat-lihat es krim. Siang juga, Ical, Paman Mukti, pria berusia 40 tahun dengan wajah ramah selalu menyapa pelanggannya. Keramahan Paman Mukti dan istrinya juga menjadi salah satu daya tarik pengunjung. Biasa? tanya Paman Mukti kepada Ical yang masih asyik melihat-lihat es krim. Iya, dong Paman. Biasa, jawab Ical sambil kembali melihat-lihat es krim. Ical dan Ara mempunyai pesanan tetap, yang sudah dihafal oleh Paman Mukti. Ara, dua scoop es krim bubble gum dengan topping permen gummy bear dan saus karamel. Sedangkan Ical, dua scoop es krim neapolitan dengan topping choco chip dan saus vanila.
Ini, Paman Mukti menyerahkan dua cup es krim kepada Ical. Ical merogoh kantung celananya dan menyerahkan beberapa lembar uang, Ini uangnya. Makasih Paman, Ical langsung berlari menuju Ara yang sudah menunggunya. Paman Mukti hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Ical menyodorkan es krim milik Ara. Cal, nanti kalau udah gede kamu mau jadi apa? tanya Ara sambil menyendok es krimnya. Masih ngomongin soal gede? Maksud kamu citacita? Aku sih mau jadi fotografer, jawab Ical mantap. Ooh, orang yang suka foto-foto itu bukan? tanya Ara. Polos. Iya. Kamu cita-citanya apa? tanya Ical balik. Aku mau jadi tukang gambar baju. Terus nanti bajuku dipake sama model yang cantik. Oh iya, tukang gambar baju namanya apa, sih? Aku lupa, kata Ara. Desainer. jawab Ical. Kamu juga suka gambar kan, Cal? tanya Ara.
Iya, tapi aku nggak suka gambar baju kayak kamu. Aku suka gambar desain-desain ruangan. Kayak arsitek gitu, lah jawab Ical. Saat mereka berdua sedang asyik menikmati es krim, Bibi Mukti datang sambil membawa sebuah pocket camera. Ical, Ara, kemarin Paman dan Bibi baru beli kamera. Tapi belum pernah dipakai. Kita foto yuk? ajak Bibi yang langsung dijawab anggukan riang oleh Ical dan Ara. Ical dan Ara memandang puas hasil foto mereka. Sehabis foto, Bibi Mukti langsung meminta temannya untuk mencetaknya. Dan sekarang, di genggaman Ical dan Ara masing-masing ada dua foto. Yang satu foto mereka berdua yang saling berangkulan, sedang yang satunya lagi foto mereka berdua ditambah Paman dan Bibi Mukti. Beberapa saat setelah puas memandang hasil foto tadi, Ical mengajak Ara kembali ke rumah Ara. Ke kasur ayun tepatnya. Sampai di sana, Ical merogoh sesuatu dari kantung celananya dan mengeluarkan sebuah lipatan kertas, lalu memberikannya pada Ara, Ra, kertas ini buat kamu. Tapi jangan dibuka sekarang, ya
Ini apa? tanya Ara penasaran. Nanti kamu baca kalau Aku sudah pulang. Pokoknya jangan sekarang. Oh iya, satu lagi! Ical mengeluarkan sehelai kertas lagi dari kantong celananya, Ini buat Paman dan Bibi Mukti. Besok tolong kamu kasih, ya! pinta Ical lagi. Kenapa nggak tadi? Kan tadi kita baru ketemu mereka, jawab Ara. Ical menggeleng, Nggak. Pokoknya besok, kamu yang kasih. Oke? Udah, ah. Jangan tanya terus. Nanti kamu buka aja, Iya, deh. Pak Bos. Terserah aja, Ara manyun. Hmmm Ara, kalau misalnya kita berpisah gimana? tanya Ical tiba-tiba. Ara tertegun, Maksudnya?. Ical menarik nafas panjang dan melanjutkan, Ehm, kemarin, waktu Papa sama Mama bertengkar lagi, aku lihat Mama masukin bajuku dan baju Mama kedalam tas besar. Kayak orang mau pindahan, jelas Ical. Ara menggeleng cepat, Ical nggak boleh pergi. Nanti aku sendirian, dong. Siapa yang temenin aku ke sekolah?
Siapa yang aku ajak tiduran di kasur ayun? Siapa yang nanti ke kedai es krim sama aku? Terus, kalau aku takut gelap dan asmaku kambuh, siapa yang tolongin? Kan ada Kak Arka. Makannya, kamu jangan lupa bawa inhaler kalau pergi, jadi kalau asma kamu kambuh, kamu bisa tolong diri kamu sendiri, jawab Ical. Aaah, pokoknya Ical nggak boleh pergi, Ara memasang wajah cemberutnya. Jangan cemberut gitu. Senyum, dong, ucap Ical, Makannya, nanti kamu baca surat dari aku, ya! Oh iya, kamu juga janji jangan pernah lupa sama aku kalau misalnya aku beneran pindah, lanjut Ical sambil mengangkat jari kelingkingnya. Ara, dengan enggan megaitkan jari kelingkingnya ke kelingking Ical. Dan Ical pun tersenyum lega. Ara bisa merasakan ada sebagian dari dirinya yang hilang ketika Ical pamit pulang. Esoknya, rumah Ical kosong. Tak ada kabar dari Ical. Dan sejak saat itu, Ara tak pernah bertemu Ical lagi.