Sentot Harman Glendoh, Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Petra Surabaya, Maret 2001, Vol. 3 No. 1, hal.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PENERIMA

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

II. TINJAUAN PUSTAKA. kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu : 2

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

SKRIPSI Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Program Reguler Mandiri Universitas Andalas

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK. MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG. Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB III TINJAUAN UMUM. pembangunan nasional perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM JAMINAN DALAM HUKUM AGRARIA. A. Hak Tanggunan Sebagai Hukum Jaminan Tanah

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN KREDIT MACET (Studi di Bank ARTA ANUGRAH Lamongan)

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT SERTIFIKAT TANAH YANG BUKAN MILIK DEBITUR PADA PT. BPR. DEWATA CANDRADANA DI DENPASAR *

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH SEBAGAI OBYEK JAMINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan

A. Latar Belakang Masalah

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 04 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. meningkat sesuai dengan usia dan status sosialnya namun seringkali

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1.

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA PT. BPR ARTHA SAMUDRA DI KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lainnya, pengaturan mengenai Notarisdiatur dalamundangundang

Transkripsi:

1 RINGKASAN SKRIPSI JUAL BELI HAK ATAS TANAH YANG MENJADI OBYEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1. Permasalahan: Latar Belakang dan Rumusan Utang piutang dalam bidang usaha memiliki peranana sangat penting, yang dapat menunjang pembangunan bangsa terutama dalam segi ekonomi, baik utang yang menggunakan jaminan maupun utang tanpa jaminan. 1 Pemberian utang dengan jaminan merupakan hal yang telah lama dilakukan dalam sistem hukum di Indonesia, bahkan dalam sistem hukum dunia. Secara umum, ketentuan tentang pemberian jaminan diatur dalam ketentuan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disingkat KUHPerdata). 2 Peraturan perbankan memberikan definisi yang berbeda antara jaminan dan agunan. Jaminan adalah suatu keyakinan kreditur atas kesanggupan debitur untuk melunasi prestasi sesuai yang dijanjikan, sedangkan Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 3 KUHPerdata secara umum melakukan klasifikasi terhadap pranata hukum jaminan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan. 4 Jaminan perseorangan dilakukan dengan cara adanya seseorang yang sanggup untuk membayar atau memenuhi prestasi apabila debitur wanprestasi, sedangkan jaminan kebendaan adalah adanya benda tertentu yang dijadikan jaminan. 5 Salah satu jaminan yang banyak digunakan di Indonesia adalah jaminan 1 Sentot Harman Glendoh, Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Petra Surabaya, Maret 2001, Vol. 3 No. 1, hal. 3 2 Yunanto, Aspek-Aspek Hukum Jaminan, Makalah, disampaikan pada Diskusi bagian Hukum Perdata, Semarang, Univ. Diponegoro, 2003, hal. 1 3 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet. V, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2009, hal. 73 4 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 80 5 Ibid

2 menggunakan hak atas tanah melalui pembebanan hak tanggungan. Perkembangan jaminan utang dengan pembebanan hak tanggungan cukup pesat, sehingga pada tanggal 9 April 1996 dikeluarkan undang-undang yang mengatur hak atas tanah yang dikenal dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (untuk selanjutnya disingkat UUHT), yang disahkan melalui Lembaran Negara No. 42 Tahun 1996 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3632. Berdasarkan pengesahan UUHT tersebut, hak tanggungan menjadi satu-satunya lembaga jaminan atas tanah dalam hukum tertulis Indonesia. 6 Ketentuan pembebanan hak tanggungan yang sudah diatur secara khusus dalam praktik masih sering timbul beberapa masalah yang menjadi persoalan pembebanan hak tanggungan, baik dalam proses kredit, proses pendaftaran hak tanggungan, hingga proses eksekusi terhadap obyek hak tanggungan sendiri. Permasalahan kredit macet cukup banyak terjadi, baik disebabkan karena kondisi perekonomian debitur yang menurun atau karena faktor-faktor lain yang menyebabkan debitur tidak dapat memenuhi kewajiban kepada kreditur. Solusi yang diberikan oleh UUHT terhadap kasus tersebut adalah dengan melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan hak tanggungan secara langsung (parate eksekusi), namun perlu dicari solusi yang lebih tepat untuk mengatasi masalah tersebut secara kekeluargaan, agar permasalahan tersebut dapat diterima dengan baik oleh para pihak. Salah satu yang sering dijalankan di masyarakat adalah melakukan oper kredit kepada pihak lain atas utang yang menjadi tanggungan debitur kepada kreditur atau dengan cara menjual obyek jaminan hak tanggungan kepada pihak lain. Pengoperan terhadap kredit atau utang debitur kepada pihak lain secara khusus belum diatur dalam UUHT, meskipun ketentuanketentuan umum tentang hal itu telah diatur dalam KUHPerdata. Solusi kedua dengan cara menjual obyek jaminan hak tanggungan untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur, akan tetapi cukup mengandung resiko yang tinggi sebab dapat menimbulkan sengketa antara para pihak dikemudian hari, sehingga harus dilakukan secara cermat dan tertib. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka kemudian timbullah 6 Boedi Harsono, Hukum Agrari Indonesia, Jakarta, Djembatan, 1999, hal. 402

3 rumusan masalah yang diambil dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut : 1. Apakah hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan dapat dijual kepada pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur pemegang hak tanggungan? 2. Bagaimanakah kedudukan hukum pihak ketiga (pembeli) hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan apabila jual beli dilaksanakan tanpa persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan? 2. Metode Penulisan Penulisan ini menggunakan tipe yuridis normatif, yaitu penulisan yang dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan pada seperangkat norma yang telah ada, 7 berupa norma undang-undang atau peraturan perundangundangan 8 yang berupa Undang-undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disingkat UUD 1945), KUHPerdata, UUPA, UUHT, KUHD dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta beberapa peraturan lain yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan masalah statute approach. Statute approach adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan identifikasi serta membahas peraturan perundangundangan yang berlaku yang berhubungan dengan materi yang sedang dibahas dalam penulisan ini. 9 3. Hasil Pembahasan 3.1. Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Menjadi Obyek Jaminan Hak Tanggungan Kepada Pihak Ketiga Hak tanggungan merupakan bagian dari pranata hukum perikatan, yang masuk dalam kategori perjanjian dengan jaminan benda tertentu, berupa benda tidak bergerak yaitu tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Ketentuan Pasal 4 UUHT menjelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan tterbatas pada 3 (tiga) jenis, yaitu hak milik, hak guna usaha, dan 7 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. VII, Malang, Bayumedia, 2013, hal. 57 8 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung, Refika Aditama, 2009, hal. 27 9 Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 302

4 hak guna bangunan, dan Pasal 4 Ayat (2) UUPAmenentukan yang dapat menjadi objek hak tanggungan adalah Hak Pakai Atas Tanah Negara. Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) UUPA, terdapat dua unsur mutlak dari Hak Atas Tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah sebagai berikut : a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum,dalam hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferen) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas). b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan sehingga apabila diperlukan harus dapat segera direalisasi untuk membayar hutang yang dijamin pelunasannya. Obyek jaminan hak tanggungan merupakan bagian benda dalam hukum kebendaan yaitu masuk sebagai benda tidak bergerak, sedangkan pembebanan tanah dan benda-benda di atasnya ke dalam jaminan utang tertentu melalui pembebanan hak tanggungan merupakan salah satu bentuk jaminan dari hak atas tanah yang bersangkutan sebagai bagian dari hak kebendaan, dan bukan merupakan peralihan atas obyek tersebut. Jual beli atas obyek hak tanggungan pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan umum dalam jual beli, namun juga harus dilakukan secara hati-hati sebab hal itu menyangkut kepentingan pihak ketiga yang bukan sebagai penjual dan pembeli. Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang telah diatur dalam KUHPerdata, sehingga secara umum pelaksanaan jual beli termasuk jual beli atas obyek hak tanggungan juga mengikuti asas dan syarat perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Hukum perjanjian mengenal beberapa asas yang berlaku sebagai aturan, namun secara umum asas-asas perjanjian tersebut dapat disimpulkan dalam 5 (lima) asas, yaitu sebagai berikut : 10 1. Asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 10 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal. 9

5 1338 Ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2. Asas konsensualisme. Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. 11 Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah pihak. 3. Asas mengikatnya suatu perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. 4. Asas iktikad baik (Goede Trouw). Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu : 12 1. Bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. 2. Bersifat subyektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. 5. Asas kepribadian. Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 KUHPerdata tentang janji untuk pihak ketiga. Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para 11 Ibid 12 Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta, Pustaka Yustisia, 2009, hal. 45

6 pihak. Kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Kesepakatan menentukan bahwa dalam perjanjian tidak boleh ada unsur paksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 (dua puluh satu) tahun sesuai dengan Pasal 330 KUHPerdata. 3. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu disebut juga dengan obyek perjanjian. Obyek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu, atau juga biasa disebut dengan prestasi. Prestasi terdiri atas : 13 1. Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang. 2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan. 3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal. Maksud dari sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif karena berkaitan dengan subyek perjanjian serta syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif karena berkaitan dengan obyek perjanjian. Apabila syarat pertama dan 13 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 69

7 syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas. 14 Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari. Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi obyek jual beli. Berdasarkan ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, jual beli menganut asas konsensualisme sehingga perjanjian jual beli adalah sah dan dianggap telah terjadi seketika setelah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak atas benda obyek jual beli dan harganya, meskipun benda obyek jual beli tersebut belum diserahkan oleh penjual atau harga jual beli tersebut belum dibayar oleh pembeli. 15 Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 yang berbunyi sebagai berikut : jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. 16 Para pihak yang terlibat dalam jual beli adalah penjual dan pembeli. Jual beli karena merupakan perbuatan hukum maka membawa konsekwensi akan menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak-hak bagi kedua belah pihak atau pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu. 17 Secara lebih terperinci, proses terjadinya jual beli berdasarkan ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, antara lain : 18 1. Apabila kedua belah pihak telah sepakat mengenai harga dan barang, walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganyapun belum 14 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, 1982, hal. 20 15 Rahayu Hartini, Aspek Hukum Bisnis, Cet. V, Malang, UMM Press, 2007, hal. 37 16 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 2 17 CST. Cansil, Hukum Perdata I (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), Jakarta, Pradnya Paramita, 1991, hal. 238 18 Ibid

8 dibayar, perjanjian jual beli ini dianggap sudah jadi; 2. Jual beli yang memakai masa percobaan dianggap terjadi untuk sementara; 3. Sejak diterima uang muka dalam pembelian dengan pembayaran uang muka. Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap terjadi karena telah terjadi kesepakatan tentang unsur essensialia perjanjian. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur essensialia dari perjanjian jual beli tersebut dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, maka klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (KUHPerdata) atau biasa disebut unsur naturalia. 19 Berdasarkan asas konsensualisme, jual beli telah terjadi seketika setelah ada kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga. Ketentuan tersebut mengandung konsekwensi walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan (jual beli telah terjadi), namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena jual beli tersebut harus diikuti oleh proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya. 20 Penyerahan benda memiliki cara yang berbeda-beda, sesuai dengan jenis benda yang menjadi obyek jual beli, antara lain dibedakan sebagai berikut : 21 1. Benda bergerak, penyerahannya dilakukan melalui penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut. 2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh, penyerahannya dilakukan melalui sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan. 3. Benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di kantor penyimpan hipotek. Berdasarkan tinjauan definisi jual beli sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata maupun berdasarkan pendapat yang 19 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 127 20 Salim H.S., Loc.Cit 21 Ibid

9 disampaikan oleh para ahli hukum tersebut, jual beli terhadap hak atas tanah yang masih dibebani dengan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan pada dasarnya telah sah dan berlaku sejak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga, meski pembayaran atau penyerahan barang belum dilakukan. Jual beli obyek jaminan hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan ditinjau dari pendapat yang disampaikan oleh Salim HS., maka hal tersebut telah memenuhi 3 (tiga) unsur syarat terjadinya perjanjian yaitu adanya subyek hukum antara penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga, kemudian hal tersebut menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak penjual dan pembeli untuk membayar harga dan menyerahkan obyek jual beli. Kewajiban pihak pembeli setelah terjadi jual beli adalah membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat dan memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta dan sebagainya kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Setelah itu hak dari pembeli adalah menerima barang yang telah dibayarnya dari penjual. Hak dari Penjual adalah menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak, sedangkan kewajiban penjual adalah menyerahkan barang dan menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi. Penyerahan barang yang wajib dilakukan oleh penjual kepada pembeli dilakukan sesuai dengan jenis obyek jual beli, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 22 1. Penyerahan benda bergerak. Berdasarkan ketentuan Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan kebendaan bergerak kecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. 2. Penyerahan benda tidak bergerak. Ketentuan Pasal 616-620 KUHPerdata 22 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 128

10 menyatakan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Proses balik nama untuk tanah dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disingkat PPAT) dan didaftarkan pada kantor pertanahan, sedangkan balik nama untuk benda selain tanah dilakukan dengan akta notaris. 3. Penyerahan benda tidak bertubuh. Ketentuan Pasal 613 KUHPerdata menyatakan bahwa penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada debitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiaptiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen. Berdasarkan jenis-jenis penyerahan tersebut, meskipun jual beli terhadap obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan telah terjadi dengan adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga, namun proses penyerahan atas obyek jual beli tersebut belum terjadi sebelum dilakukan melalui akta PPAT. Masalah yang timbul dari jual beli tanah yang dibebani hak tanggungan adalah pada proses penyerahan, sebab penyerahan atas obyek tersebut tidak akan dapat dilakukan oleh PPAT. Masalah penyerahan atas obyek jual beli berupa tanah yang masih dibebani hak tanggungan akan mengandung resiko yang cukup besar, sebab dalam obyek tersebut masih ada hak pihak lain yaitu penerima hak tanggungan sebagai kreditur preferen. Menurut Adrian Sutadi, syarat sah jual beli tanah dibedakan dalam 2 (dua) macam yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil berisi tentang kecakapan para pihak dalam melakukan jual beli dan keabsahan obyek jual beli, sedangkan syarat formil adalah syarat yang ditentukan oleh Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 bahwa jual beli atas tanah harus dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Jual beli yang dilakukan bukan oleh dan tidak di hadapan PPAT tetap sah, karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA) dan

11 telah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan jual beli KUHPerdata. 23 3.2. Kedudukan Hukum Pembeli (Pihak Ketiga) Obyek Jaminan Hak Tanggungan Yang Dijual Belikan Tanpa Persetujuan Kreditur Hak milik atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan tetap menjadi milik debitur (pemberi hak tanggungan), dan kepemilikan hak atas tanah tersebut tidak beralih kepada kreditur (penerima hak tanggungan), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UUHT. Pendapat seperti ini disampaikan juga oleh Yunanto sebagai berikut : Dalam kaitannya dengan hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum obyek hak tanggungan apabila debitur cedera janji dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila hal tersebut dikehendaki untuk berlaku, harus dicantumkan sebagai salah satu janji mengikat bahwa penjualan obyek hak tanggungan tersebut yang merupakan milik pemberi hak tanggungan harus dilakukan sesuai dengan asas penghormatan kepada milik orang lain. Demikian pula untuk melindungi debitur, maka janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. 24 Ketentuan yang menunjukkan bahwa obyek jaminan hak tangungan masih menjadi milik pemberi hak tanggungan dan tidak beralih kepada penerima hak tanggungan diatur dalam Pasal 12 UUHT, bahkan ketentuan Pasal 12 UUHT tersebut melarang peralihan hak atas obyek jaminan hak tanggungan dari pemberi hak tanggungan kepada penerima hak tanggungan secara langsung tanpa melalui proses dan prosedur yang sah, dengan menyatakan sebagai berikut: Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek jaminan hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Ketentuan Pasal 12 UUHT ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan atas obyek yang dibebani hak tanggungan masih menjadi milik pemberi hak tanggungan, selain itu Pasal 12 juga menunjukkan bahwa UUHT juga melindungi kepentingan hukum pihak pemberi hak tanggungan dan penerima hak tanggungan secara adil dan berimbang, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 UUHT yeng 23 Wiwin Eka Emawati, Pengalihan Hak Milik Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan, Tesis, Denpasar, Univ. Udayana, 2014, hal. 85 24 Yunanto, Op. Cit., hal. 10

12 menyatakan sebagai berikut : Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitur dan pemberi hak tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek jaminan hak tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang hak tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik obyek jaminan hak tanggungan karena debitur cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang hak tanggungan untuk menjadi pembeli obyek jaminan hak tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20. Ketentuan Pasal 20 UUHT menentukan bahwa penjualan obyek jaminan hak tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) cara, yaitu obyek jaminan hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang atau dengan cara kedua yaitu atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek jaminan hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Status obyek jaminan hak tanggungan yang masih menjadi milik debitur memberikan hak bagi debitur untuk melakukan perbuatan hukum atas obyek jaminan hak tanggungan tersebut, meskipun bila dijanjikan dalam akta pembebanan hak tanggungan, debitur tidak boleh mengalihkan obyek jaminan hak tanggungan tersebut kepada pihak ketiga. Beberapa kasus yang terjadi dalam masyarakat dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur atas obyek jaminan hak tanggungan, debitur menjual obyek jaminan hak tanggungan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan, baik persetujuan tersebut dalam bentuk lisan atau persetujuan dalam bentuk tertulis. Kasus penjualan obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur kepada pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur tersebut dilakukan karena beberapa alasan, antara lain karena debitur sebagai pemberi hak tanggungan ada yang merasa tidak mampu lagi untuk memberikan atau melunasi prestasi yang harus dibayarkan kepada kreditur sebagai pemegang hak tanggungan, sedangkan setiap saat mereka didatangi dan ditagih oleh para penagih utang ( debt collector) yang datang atas perintah kreditur. Menghadapi situasi

13 seperti itu, debitur sering kali merasa tidak nyaman dan tidak mau melakukan komunikasi dengan kreditur, sehingga menjual obyek jaminan hak tanggungan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur dianggap sebagai solusi yang cepat dan tepat untuk menutup kewajiban kepada kreditur. 25 Jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur sebagai penerima hak tanggungan memberikan konsekwensi bahwa jual beli tersebut dilakukan di bawah tangan dan tidak mungkin melalui prosedur yang benar berdasarkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah yang menentukan bahwa jual beli atas tanah harus dilakukan di hadapan PPAT. Jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan. Jual beli menurut hukum perdata adalah suatu perjanjian, dimana satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya membayar harga yang telah ditentukan. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada saat pihak pemilik obyek jaminan hak tanggungan telah sepakat untuk menjual obyek jaminan hak tanggungan kepada pihak lain dengan harga tertentu, dan pihak lain tersebut telah sepakat untuk membeli obyek yang dijual oleh pemilik obyek tersebut dengan harga tertentu, pada saat itulah terjadi jual beli obyek jaminan hak tanggungan oleh debitur kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur penerima hak tanggungan. Konsekwensi dari pembelian tanah yang masih menjadi obyek jaminan hak tanggungan melalui perjanjian di bawah tangan walaupun pembelian tersebut telah dilakukan secara lunas dan sah, adalah tidak dimilikinya kepastian akan status kepemilikan tanah dan bangunan tersebut bagi pihak pembeli, karena bukti kepemilikan hak atas tanah masih terbebani hak tanggungan pada kreditur (bank), sehingga penyerahan atas obyek jual beli tersebut tidak dapat dilakukan secara yuridis. Kedudukan tidak memiliki kekuatan yuridis atas kepemilikan benda yang 25 Wawancara dengan Winanik Yuliati, Debitur Pemberi Hak Tanggungan pada BRI Unit Kartini Gresik.

14 telah dibeli tersebut, membuat pembeli (pihak ketiga) berada dalam resiko yang sangat berat, sebab bila kreditur penerima hak tanggungan menjalankan eksekusi atas obyek jual beli, pembeli (pihak ketiga) berada dalam posisi yang tidak dilindungi secara hukum. Resiko yang timbul akibat jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitur kepada pihak lain tanpa persetujuan dari kreditur juga dapat diderita oleh kreditur sebagai penerima hak tanggungan. Resiko yang dapat terjadi pada kreditur adalah kemungkinan akan mengalami suatu hambatan dalam melaksanakan eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan apabila debitur yang wanprestasi menjual objek jaminan kepada pihak lain, sedangkan pihak lain yang merasa telah membayar lunas obyek jaminan hak tanggungan tersebut tetap ingin memiliki dan tidak mau menyerahkan obyek jaminan hak tanggungan kepada debitur. Kreditur dalam hal ini sebagai penerima hak tanggungan memang memiliki hak untuk melakukan eksekusi terhadap obyek tersebut meski berada di tangan siapapun, namun perpindahan penguasaan benda tersebut tentu memberikan kesulitan baru bagi kreditur. Jual beli atas obyek jaminan hak tanggungan yang telah terjadi namun penyerahan atas oyek tersebut belum dapat dilakukan sehingga kepemilikan hak atas obyek yang belum beralih kepada pembeli, mengandung resiko yang bisa membawa dampak negatif bagi perjanjian jual beli yang dilakukan oleh para pihak. Dampak negatif yang dapat muncul adalah bahwa pembeli telah membayar harga atas obyek tersebut baik dalam jumlah sebagian atau penuh, namun dapat muncul resiko bahwa hak atas tanah sebagai obyek jual beli tidak dapat berpindah kepada pembeli karena masih dibebani dengan hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 6 UUHT, konsekwensi yuridis adalah penerima hak tanggungan memiliki hak untuk melakukan eksekusi atas obyek jaminan hak tanggungan apabila debitur tidak membayar utangnya sesuai dengan apa yang dijanjikan. Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut, kemudian hak tanggungan juga tetap membebani objek hak tanggungan di tangan siapa pun benda itu berada. Ketentuan ini menunjukkan

15 bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, walaupun telah dipindahtangankan haknya kepada pihak lain (droit de suite). Kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan ini merupakan kedudukan yang sangat istimewa yaitu dengan diberinya kedudukan yang diutamakan serta dilindungi oleh adanya sifat (droit de suite) yaitu hak tanggungan tetap melekat pada obyek jaminan hak tanggungan dalam tangan siapapun obyek tersebut berada. Upaya hukum melalui jalur litigasi yang dapat ditempuh oleh kreditur penerima hak tanggungan atas dijualnya obyek jaminan hak tanggungan adalah dengan mengajukan actio pauliana, yaitu hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan debitur yang dianggap merugikan dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur. 26 Bahwa apabila terjadi kenakalan yang dilakukan oleh debitur dengan pengalihan tanpa sepengetahuan kreditur, maka kreditur memperoleh hak untuk membatalkan segala tindakan hukum debitur yang dianggap merugikan kreditur. Dengan demikian, dalam perjanjian jaminan pihak kreditur tetap diberikan hakhak yang dapat menghindarkan dari praktik-praktik nakal debitur atau kelalaian debitur. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian hak tanggungan seorang kreditur diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi hak tanggungan, selain itu pihak kreditur dapat pula mengajukan actio pauliana dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh debitur tanpa izin kreditur. Meskipun demikian, apabila obyek telah dikuasai oleh pihak lain, tentu penerima hak tanggungan akan memerlukan tenaga dan biaya lebih untuk melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan hak tanggungan tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan langkah-langkah dan upaya-upaya secara damai yang tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Terjadinya sengketa yang timbul karena adanya itikad tidak baik dari debitur yaitu wanprestasi terhadap bank dan wanprestasi terhadap pembeli tanah yang telah 26 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 84

16 membayar lunas tanah dan rumah tersebut dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun luar pengadilan, yang lazim disebut Alternative Dispue Resolution (ADR) atau Alternatif Pengelesaian Sengketa. Pembuatan perjanjianperjanjian sehingga melahirkan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara para pihak tersebut haruslah memberikan kepastian hukum diantara mereka yang membuat perjanjian agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terkait. Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh debitur sebagai pemilik tanah dengan pembeli hanya dapat dilakukan di bawah tangan dengan tanda bukti kwitansi bukti lunas pembayaran sejumlah uang atas pembelian tanah dan rumah dapat diselesaikan apabila debitur menggunakan uang hasil penjualan tersebut untuk membayar sisa utangnya pada penerima hak tanggungan. Hal tersebut akan menyebabkan perjanjian pokok selesai sehingga hak tanggungan juga akan berakhir. Debitur/pemilik tanah bila menjual obyek jaminan hak tanggungan kemudian tidak menggunakan hasil penjualan tanah tersebut untuk melunasi utangnya, menyebabkan debitur/pemberi hak tanggungan tanah wanprestasi pada kreditur/penerima hak tanggungan. Karena perjanjian jual beli hanya dilakukan dengan dibuatnya perjanjian di bawah tangan dengan tidak terjadi dihadapan pejabat yang berwenang mengenai hal tersebut, maka hal ini tidak memiliki kekuatan serta kepastian hukum dan dianggap tidak termasuk di dalam jual beli benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak yang pada umumnya memerlukan suatu akta jual beli (Pasal 19 UUHT). Kedudukan pembeli obyek jaminan hak tanggungan yang tidak mempunyai perlindungan hukum harus disadari oleh pihak pembeli, sehingga sebelum jual beli dilaksanakan, pihak pembeli harus memeriksa berkas atau obyek jual beli secara cermat, agar tidak membeli obyek jaminan hak tanggungan secara bawah tangan sehingga tidak mengalami kerugian dikemudian hari. Akan tetapi apabila pihak pembeli yang sudah mengetahui bahwa obyek jual beli adalah obyek jaminan hak tanggungan dan dia tetap membeli obyek tersebut secara bawah tangan, maka pihak yang membeli tersebut harus rela untuk menerima eksekusi atas obyek yang telah dibelinya secara bawah tangan.

17 Jual beli obyek hak tanggungan tersebut tidak memberi kepastian hukum mengenai kedudukan pihak pembeli tanah. Berdasarkan hal tersebut, mengenai kepastian keamanan, pembeli tanah yang telah membayar lunas tanah dan bangunan berdasarkan perjanjian di bawah tangan tidak memiliki kepastian hukum di dalam kedudukannya untuk mempertahankan status tanah dan bangunan yang telah dibelinya. Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh para pihak adalah pihak pembeli harus menunjukkan itikad baik membantu debitur untuk melunasi utangnya kepada kreditur pemegang hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, debitur/pemilik tanah melepas tanggungjawabnya, pihak pembeli obyek jaminan hak tanggungan tanpa persetujuan penerima hak tanggungan benar-benar berada dalam posisi yang lemah dibanding pihak penerima hak tanggungan. Langkah untuk mengamankan posisinya, biasanya pihak pembeli tanah yang merasa posisinya terdesak bersedia untuk memikul sebagian tanggungjawab debitur/pemilik tanah. Itikad baik pembeli tanah untuk memikul sebagian tanggungjawab debitur, merupakan solusi bagi semua pihak, sebab pihak penerima hak tanggungan dapat memberikan kebijakan dengan adanya penggantian perjanjian kredit lama dengan yang baru, kemudian diikuti dengan pelaksanaan roya terhadap sertifikat hak tanggungan, dengan konsekwensi apabila pihak pembeli tanah yang bersedia membayar hutang debitur sebagian, maka dia akan mendapatkan haknya yaitu diberikan sertifikat hak atas tanah untuk menjalankan proses balik nama. Pihak ketiga sebagai pembeli obyek hak tanggungan tentu memiliki keinginan untuk menyelamatkan benda yang telah dibeli tersebut agar tidak dieksekusi oleh penerima hak tanggungan, dan salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah pihak pembeli dapat membayar lunas utang debitur kepada kreditur, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Huruf a UUHT, hak tanggungan akan hapus dengan hapusnya utang yang menjadi perjanjian pokok. Kondisi seperti itu telah diatur dalam ketentuan Pasal 1382 Ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika

18 ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 Ayat (3) bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan substansi perjanjian/kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Jika ditemukan adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maunpun dalam pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum. Adanya itikad baik pihak pembeli tanah yang bersedia membayar sebagian hutang milik debitur/pemilik tanah kepada bank, maka dalam perlindungannya tercantum dalam Pasal 1491 KUHPerdata memberikan perlindungan berupa penanggungan bahwa penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin 2 (dua) h al, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya. Itikad baik juga harus ditunjukkan oleh pihak kreditur penerima hak tanggungan, dengan melakukan cara represif guna menyelesaikan persengketaan dengan menempuh jalur kekeluargaan yaitu pendekatan-pendekatan dengan para pihak yang terkait, sehingga muncul itikad baik dari pihak pembeli tanah yang bersedia membayar hutang debitur sebagian, dan tidak dilanjutkannya proses pengeksekusian yang mengakibatkan hilangnya tanah dan bangunan yang telah dibeli pihak pembeli. Dengan demikian perlindungan terhadap kedudukan yang dapat diperoleh pihak pembeli yang telah beritikad baik berdasarkan ketentuanketentuan tersebut setelah dibayarnya sebagian hutang debitur, pihak pembeli memiliki hak untuk mendapatkan bukti sertifikat hak milik atas tanah untuk dilanjutkan dengan proses balik nama yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang; serta pihak pembeli berkedudukan sebagai kreditur (layaknya kreditur

19 konkuren karena hanya termasuk dalam perjanjian jual beli secara umum) dalam hal menuntut pengembalian uang hasil pembayaran sebagian hutang debitur/pemilik tanah kepada bank. Salah satu hal yang menjadi kendala dalam melaksanakan pembayaran utang debitur/pemberi hak tanggungan oleh pihak ketiga adalah adanya tunggakan dan bunga atau denda yang harus ditanggung oleh debitur. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, dapat dilakukan beberapa cara, salah satunya melalui negosiasi. Penyelesaian sengketa melalui negosiasi merupakan perundingan atau pertemuan langsung yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar, sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa tentunya telah berdiskusi atau bermusyawarah sedimikian rupa agar kepentingankepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan atau kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa. Intisari dari pada kredit adalah kepercayaan, maka menurut falsafah perkreditan yang asli dimana unsur kepercayaan itu sebagai benang merah untuk melintasi pertimbangan perkreditan, maka jaminan kredit bukan merupakan syarat mutlak dalam perkreditan. Penyelesaian sengketa melalui cara negosiasi yang dilakukan oleh kreditur kepada debitur dan pihak lain yang terlibat merupakan cara yang efektif untuk menyelesaikan sengketa jual beli obyek jaminan hak tanggungan dibawah tangan dan tanpa persetujuan dari kreditur, sehingga perjanjian pokok yang dijamin dengan hak tanggungan dapat diselamatkan dan hak-hak para pihak yang berkepentingan dapat terpenuhi secara kekeluargaan. Dengan demikian perjanjian kredit atau utang-piutang dan perjanjian jaminan tidak kehilangan unsur validitasnya, sedangkan adanya cara-cara efektif yang dilakukan oleh pihak kreditur telah membuktikan bahwa norma-norma yang terkandung dalam perjanjian kredit maupun utang piutang dan UUHT adalah norma yang valid untuk diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. 4. PENUTUP 4.1. Kesimpulan

20 a. Hak atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan tetap menjadi milik debitur (pemberi hak tanggungan), tidak ber alih kepada kreditur (penerima hak tanggungan). Berdasarkan ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata maupun berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para ahli hukum, jual beli terhadap hak atas tanah yang masih dibebani dengan hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan pada dasarnya telah sah dan berlaku sejak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga, meski pembayaran atau penyerahan barang belum dilakukan. Jual beli tersebut telah memenuhi 3 (tiga) unsur syarat terjadinya perjanjian jual beli, yaitu adanya subyek hukum antara penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga, kemudian hal tersebut menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak penjual dan pembeli untuk membayar harga dan menyerahkan obyek jual beli. Meskipun jual beli obyek jaminan hak tanggungan adalah sah, namun hak atas tanah tersebut tidak serta merta beralih kepada pembeli sebab proses penyerahan atas obyek jual beli tersebut belum terjadi sampai dilakukan melalui akta PPAT. b. Kedudukan hukum pihak ketiga (pembeli) hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan apabila jual beli dilaksanakan tanpa persetujuan dari kreditur pemegang hak tanggungan yakni berada dalam posisi yang sangat lemah, sebab jual beli tersebut hanya dapat dilakukan di bawah tangan dan pembeli tidak memiliki hak istimewa sehingga rawan dieksekusi oleh penerima hak tanggungan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh para pihak adalah melalui penyelesaian secara kekeluargaan atau mediasi dengan tujuan pihak pembeli harus menunjukkan itikad baik membantu debitur untuk melunasi utangnya kepada kreditur pemegang hak tanggungan. Pelunasan utang debitur kepada kreditur akan menghapus perjanjian pokok, sehingga perjanjian hak tanggungan akan ikut menjadi hapus,

21 dengan demikian dapat dilakukan roya terhadap sertifikat hak tanggungan. 4.2. Saran a. Jual beli obyek jaminan hak tanggungan harus dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak secara tertulis, sehingga hal tersebut akan memberikan kekuatan hukum baik bagi kreditur, debitur atau pihak ketiga (pembeli obyek jaminan hak tanggungan). Kekuatan hukum bagi kreditur adalah dia dapat melakukan pengawasan terhadap proses penjualan obyek tersebut, sehingga setelah proses jual beli terjadi dapat langsung diambil hasil penjualan tersebut untuk memenuhi utang debitur. Kekuatan hukum bagi pembeli adalah secepat mungkin dapat menerima penyerahan obyek dari penjual, sehingga peralihan kepemilikan atas obyek jual beli dapat terjadi tanpa menimbulkan resiko kerugian. b. Jual beli obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan tanpa persetujuan kreditur menyebabkan pihak pembeli berada dalam posisi yang sangat lemah dan beresiko besar kehilangan obyek yang telah dibayarnya. Oleh karena itu pembeli obyek jaminan hak tanggungan harus memeriksa berkas obyek yang hendak dibeli agar terhindar dari masalah sengketa dengan pihak lain. Apabila jual beli tersebut telah terlanjur dilaksanakan, pembeli harus membantu penjual (debitur) untuk segera melunasi utang kepada kreditur dan meningkatkan langkahlangkah kekeluargaan dalam menyelesaikan perkara tersebut. Pemerintah dapat membantu kedudukan para pihak dengan menerbitkan peraturan yang mengatur bahwa pengalihan obyek jaminan hak tanggungan harus dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak, serta adanya sanksi baik administratif atau pidana bagi pihak-pihak yang melanggarnya. Dengan demikian akan tercipta tertib hukum agraria secara maksimal.

22