BAB II KAJIAN PUSTAKA. ditimbang segera minimal 1 jam setelah kelahiran (Kemenkes, 2010). Bayi berat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. panjang badan 50 cm (Pudjiadi, 2003). Menurut Depkes RI (2005), menyatakan salah satu faktor baik sebelum dan saat hamil yang

BAB I PENDAHULUAN. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB Ι PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan suatu proses fisiologis yang terjadi pada setiap

BAB I PENDAHULUAN. atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas normal, akibatnya dapat

BAB I PENDAHULUAN. Masa Kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya

BAB 1 PENDAHULUAN. instrumental. Orang menghargai kesehatan karena kesehatan ikut mendasari

TINJAUAN PUSTAKA Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Definisi Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPLIKASI PADA IBU HAMIL, BERSALIN, DAN NIFAS. Ante Partum : keguguran, plasenta previa, solusio Plasenta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asuhan Kebidanan merupakan penerapan fungsi dan kegiatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007)

BAB 1 PENDAHULUAN. ibu dan anak penting untuk dilakukan (Kemenkes RI, 2016) Berdasarkan laporan Countdown bahwa setiap dua menit, disuatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. hamil perlu dilakukan pelayanan antenatal secara berkesinambungan, seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berat badannya kurang dari 2500 gram disebut Bayi Berat Lahir Rendah

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang menjadi dambaan setiap

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme, karena itu kebutuhan

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak kalah penting dalam memberikan bantuan dan dukungan pada ibu. bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan (Sumarah, dkk. 2008:1).

BAB 1 PENDAHULUAN. dan atau perkembangan fisik dan mental anak. Seseorang yang sejak didalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dilahirkan dengan berat badan normal. (Depkes RI, 2005)

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikandungnya. Kehamilan merupakan suatu proses reproduksi yang perlu

Hubungan Antara Anemia Pada Ibu Hamil Dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah Di RS Pendidikan Panembahan Senopati Bantul

BAB I PENDAHULUAN. menilai derajat kesehatan. Kematian Ibu dapat digunakan dalam pemantauan

BAB I PENDAHULUAN. akibat dari berbagai perubahan anatomik serta fisiologik yang terjadi dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) tahun

Lampiran Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Kesehatan Keluarga TA 2016

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang

BAB I. sel darah normal pada kehamilan. (Varney,2007,p.623) sampai 89% dengan menetapkan kadar Hb 11gr% sebagai dasarnya.

BAB I PENDAHULUAN. tingkat nasional cukup kuat. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang No.17

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kabupaten Bonebolango dengan batas-batas sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Anemia pada ibu hamil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam masa kehamilan perlu dilakukan pemeriksaan secara teratur dan

BAB I PENDAHULUAN. proses selanjutnya. Proses kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan. Penurunan AKI juga merupakan indikator keberhasilan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka Kematian Ibu (AKI) mengacu pada jumlah kematian ibu yang terkait

KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN ANEMIA DI PUSKESMAS PANARUNG KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULAN. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berdasarkan hasil Survei

BAB I PENDAHULUAN. membandingkan keberhasilan pembangunan SDM antarnegara. perkembangan biasanya dimulai dari sejak bayi. Kesehatan bayi yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memfokuskan percepatan pencapaian target MDGs (Millenium

STATUS GIZI IBU HAMIL SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BAYI YANG DILAHIRKAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang menjadi dambaan

BAB I PENDAHULUAN. Ketidak cukupan asupan makanan, misalnya karena mual dan muntah atau kurang

BAB I PENDAHULUAN. dari pertemuan sperma dan ovum sebagai rangkaian kejadian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap saat yang dapat membahayakan jiwa ibu dan bayi (Marmi, 2011:11).

BAB I PENDAHULUAN. anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data World Health Organization

PELAYANAN KESEHATAN DASAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PERDARAHAN POSTPARTUM DI RSU PKU MUHAMMADIYAH BANTUL

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA BIDAN DESA TENTANG PELAYANAN ANTENATAL DI KABUPATEN PIDIE TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang

BAB I PENDAHULUAN. hingga kelahiran dan pertumbuhan bayi selanjutnya. (Depkes RI, 2009)

HUBUNGAN STATUS GIZI IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD DR WAHIDIN SUDIROHUSODO KOTA MOJOKERTO

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah kotamadya Salatiga. Lokasi puskesmas Sidorejo

BAB I PENDAHULUAN. Berat bayi lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh World Health

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH DI RUMAH SAKIT UMUM Dr. SOEDIRAN WONOGIRI SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. dibawah 11 gr% (Saifuddin, 2001), sedangkan menurut Royston (1993) anemia

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Menurut Manuaba (2010),

HUBUNGAN PENAMBAHAN BERAT BADAN IBU SELAMA HAMIL DENGAN KEJADIAN BBLR DI RUMAH SAKIT DR. NOESMIR BATURAJA TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. dapat terwujud (Kemenkes, 2010). indikator kesehatan dari derajat kesehatan suatu bangsa, dimana kemajuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelayanan antenatal adalah upaya untuk menjaga kesehatan ibu pada masa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator pembangunan kesehatan adalah melihat perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka Kematian Bayi (AKB). AKB menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan

SITUASI UPAYA KESEHATAN JAKARTA PUSAT

BAB I PENDAHULUAN. Di Era Globalisasi seharusnya membawa pola pikir masyarakat kearah yang

BAB I PENDAHULUAN. tahun Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

BAB I PENDAHULUAN. Masa kehamilan merupakan masa yang dihitung sejak Hari Pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB 1 : PENDAHULUAN. satu penyebab tingginya angka kematian bayi (AKB). sehingga akan berpengaruh kepada derajat kesehatan. (1-5)

Upaya Pelayanan Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dihitung dari hari pertama haid terakhir. (Prawirohardjo, 2008, p. 89).

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development

I. PENDAHULUAN. terpenting dalam pertumbuhan anak dimasa datang (Rodhi, 2011) World Health Organization (WHO) 2008, telah membagi umur kehamilan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan gizi antara lain anemia. Anemia pada kehamilan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. konsepsi, fertilisasi, nidasi, dan implantasi. Selama masa kehamilan, gizi ibu dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah

BAB I PENDAHULUAN. kontrasepsi merupakan proses fisiologis dan berksinambungan. Pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Bersatu II, yaitu Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Asuhan Kebidanan Komprehensif..., Dwi Anggun Nugraeni, Kebidanan DIII UMP, 2015

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kematian ibu dan bayi di Indonesia yang masih tinggi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), khususnya bayi kurang

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi besi, etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu hemodilusi. 1

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dengan melihat indikator yang tercantum dalam Milenium

BAB I PENDAHULUAN. Target Milleneum Development Goals (MDGs) sampai dengan tahun 2015 adalah

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bayi Berat Lahir Rendah. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat lahir < 2500 gram tanpa memperhatikan masa gestasi, dimana berat lahir ditimbang segera minimal 1 jam setelah kelahiran (Kemenkes, 2010). Bayi berat lahir rendah dibedakan atas 2 kategori yaitu BBLR karena prematur dan BBLR karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya kurang / Kecil Masa Kehamilan (KMK). Prevalensi BBLR diperkirakan sebesar 15% di seluruh dunia dan lebih dari 97% terjadi di negara berkembang. Data Riskesdas 2013 menunjukan bahwa prevalensi BBLR di Indonesia sebesar 10,2% terjadi penurunan jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2010 sebesar 11,1%. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Prvalensi BBLR tahun 2010-2013 82,5 % 85 % 11,1 % 10,2 % 6,4 % 4,8 % < 2500 gr > 2500-3999 gr >4000 gr 2010 2013 Sumber Riskesdas 2013. Gambar 2.1 Prevalensi BBLR tahun 2010-2013 7

8 Estimasi angka kematian neonatal berdasarkan SDKI 2012 19/1000 KH, Propinsi NTB merupakan propinsi dengan kematian neonatal yang cukup tinggi dengan estimasi sebesar 33/1000 kelahiran hidup jauh dari target nasional, dengan penyebab kematian terbanyak adalah BBLR. Prevalensi BBLR di Propinsi Nusa Tenggara Barat sendiri tahun 2013 sebesar 12,5% (Riskesdas, 2013). Jumlah kasus BBLR di Propinsi NTB tahun 2013 sebanyak 3730 dengan kematian sebanyak 508 (13,6%), jika dilihat dari seluruh kematian neonatal yang ada di Propinsi NTB, BBLR merupakan penyebab terbesar kematian neonatal. Kematian neonatal di Propinsi NTB tahun 2013 berdasarkan penyebabnya dapat dilihat pada gambar 2.2 Persentase Kematian Neonatal berdasarkan penyebab di propinsi NTB tahun 2013 K.Cong 11% Sepsis 3% TN 0% Ikterus 1% Lain-lain 12% Asfeksia 18% BBLR 55% Gambar 2.2 Kematian neonatal berdasarkan penyebab di Propinsi NTB tahun 2013 (Dinas Kesehatan Propinsi NTB, 2013) Propinsi NTB terdiri dari sepuluh kabupaten/kota salah satunya Kabupaten Lombok Timur. Kabupaten Lombok Timur merupakan penyumbang terbanyak kasus BBLR yang ada di Propinsi NTB. Laporan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) KIA Dinas Kesehatan Lombok Timur tahun 2013 menunjukkan dari 426

9 kematian neonatal yang ada 229 disebabkan oleh BBLR (53,8%) dengan total kasus BBLR sebanyak 875 kasus, diikuti oleh kasus lain-lain, asfiksia, cacat bawaan dan infeksi (Dinas Kesehatan Lombok Timur 2013). Kematian neonatal berdasarkan penyebab di Kabupaten Lombok Timur dapat dilihat pada gambar 2.3 ikterus 2% K.Cong 8% Sepsis 4% TN 0% Persentase kematian neonatal berdasarkan penyebab di Kabupaten lombok Timur tahun 2013 Asfeksia 19% Lain-lain 13% BBLR 54% Gambar 2.3 Persentase kematian neonatal berdasarkan penyebab Kabupaten Lombok Timur tahun 2013 (Dinas Kesehatan Lombok Timur 2013). 2.2. Bayi Kecil Masa Kehamilan (KMK) Banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa bayi KMK ini menderita gangguan pertumbuhan di dalam rahim (Intrauterine Growth Retardation/IUGR) seperti pseudopremature, small for dates, dysmature, fetal malnutrition syndrome.ada dua bentuk IUGR seperti diuraikan berikut ini. 1. Proportionate IUGR Janin yang menderita distres yang lama dimana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir sehingga

10 berat, panjang dan lingkaran kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya masih di bawah masa gestasi yang sebenarnya. 2. Disproportionate IUGR Terjadi akibat distres subakut. Gangguan terjadi beberapa minggu sampai beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkaran kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak wasted dengan tanda-tanda sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, kulit kering keriput dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang. Pada bayi IUGR perubahan tidak hanya terhadap ukuran panjang, berat dan lingkaran kepala akan tetapi organ-organ di dalam badan pun mengalami perubahan. Drillen (1975) menemukan berat otak, jantung, paru-paru dan ginjal bertambah, sedangkan berat hati, limpa, kelenjar adrenal dan thimus berkurang dibandingkan pada bayi prematur dengan berat yang sama. Perkembangan otak, ginjal dan paru-paru sesuai masa gestasinya (Wiknjosastro 2005). 2.3 Permasalahan BBLR Banyaknya permasalahan yang terjadi pada BBLR membutuhkan perhatian dan perawatan yang intensif sehingga komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian dapat dicegah. Perawatan BBLR selain melibatkan petugas kesehatan (bidan dan perawat), keterlibatan peran serta keluarga terutama ibu dan pengasuh pengganti (suami, nenek) sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan BBLR selanjutnya. Pemberian promosi kesehatan oleh petugas kepada keluarga dapat mengurangi komplikasi dan permasalahan yang terjadi pada BBLR.

11 2.3.1 Hipotermi Hipotermi terjadi akibat sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, tubuh yang relatif lebih luas dibandingkan dengan berat badan, jaringan lemak coklat yang belum cukup sehingga produksi panas berkurang serta belum berfungsinya pusat pengaturan suhu. 2.3.2 Gangguan pernapasan Gangguan pernapasan pada BBLR disebabkan oleh perkembangan imatur pada sistem pernapasan dan belum matangnya jumlah surfaktan pada paru-paru, otot pernapasan yang masih lemah dan tulang iga yang mudah melengkung. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dapat mengalami ganguan pernapasan oleh karena bayi menelan air ketuban dan masuk ke dalam paru-paru dan mengganggu pernapasan. 2.3.3 Gangguan sistem pencernaan Sistem pencernaan pada BBLR belum dapat mencerna makanan dengan baik sehingga penyerapan makanan menjadi kurang sempurna. Bayai Berat Lahir Rendah (BBLR) mudah terjadi kembung, hal ini disebabkan aktifitas otot belum sempurna sehingga pengosongan lambung berkurang. 2.3.4 Gangguan ginjal Ginjal pada BBLR belum berfungsi secara sempurna baik secara anatomis maupun fisiologis. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan eliminasi dalam membuang sisa metabolisme dan air.

12 2.3.5 Gangguan imunologik Sistem kekebalan BBLR belum matang, sehingga mudah terkena infeksi. Bayi Berat Lahir Rendah juga dapat terkena infeksi silang yang ditularkan oleh petugas maupun keluarga yang memberikan perawatan pada BBLR seperti tindakan tidak melakukan cuci tangan sebelum memberikan perawatan atau memegang bayi. 2.3.6 Perdarahan intraventrikuler Perdarahan pada BBLR dapat terjadi interaventrikuler seperti cepal hematom dan caput succedaneum. Hal ini karena pembekuan darah yang menurun. Upaya untuk mengurangi risiko perdarahan intraventrikuler pada bayi baru lahir, pemerintah membuat kebijakan pelayanan bayi baru lahir bahwa setiap bayi baru lahir wajib diberikan injeksi vitamin K dengan dosis 1 mg sebagai tindakan pencegahan (Proverawati, 2010). 2.4 Faktor yang memengaruhi BBLR Faktor penyebab terjadinya BBLR secara umum bersifat multi faktorial. Faktor yang berhubungan dengan BBLR adalah faktor ibu yaitu pendidikan, umur, paritas, jarak kelahiran, dan lain-lain. Faktor janin, faktor plasenta serta faktor lingkungan (Wiknjosastro, 2005). 2.4.1 Umur ibu Umur 20 sampai dengan 35 tahun merupakan umur yang paling optimal bagi seorang ibu untuk fungsi reproduksinya, dimana pada umur tersebut uterus telah siap untuk proses kehamilan. Secara psikologis ibu merasa siap untuk hamil dan melahirkan. Jika seorang ibu hamil pada umur < 20 tahun fungsi

13 reproduksinya belum terbentuk dan berfungsi dengan sempurna, sehingga akan mempermudah terjadinya komplikasi pada masa kehamilan dan persalinan. Demikian juga dengan seorang ibu jika hamil pada umur 35 tahun, fungsi reproduksinya mengalami penurunan, dimana kondisi tersebut dapat mengakibatkan kehamilan tidak berjalan dengan optimal. Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menujukan bahwa rata-rata umur kawin pertama perempuan di Indonesia < 20 tahun dari target 21 tahun. Pada perempuan dengan perkawinan dibawah umur, membuat panjang rentang usia reproduksi perempuan dan berdampak pada banyaknya anak yang dilahirkan, dengan panjangnya usia reproduksi pada perempuan Indonesia, peran penggunaan alat kontrasepsi menjadi sangat penting untuk mengatur kehamilan (Kemenkes RI, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa BKKBN harus terus melakukan berbagai upaya baik itu KIE (komunikasi, Informasi dan edukasi) maupun pengembangan materi-materi kesehatan reproduksi untuk penundaan usia kawin pertama atau pendewasaan usia kawin (BKKBN, 2015). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Sidoarjo bahwa ada pengaruh yang signifikan antara umur ibu terhadap kelahiran BBLR (Zain dkk, 2012). Ibu yang umurnya < 20 tahun dan > 35 tahun berisiko 34,5 kali melahirkan BBLR dari pada ibu yang umurnya antara 20 tahun sampai dengan 35 tahun. Penelitian sama yang dilakukan di RSIA Siti Fatmah Makasar menunjukkan bahwa ibu yang mempunyai umur < 20 tahun atau > 35 tahun berisiko 6,92 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan ibu umur 20 sampai

14 dengan 35 tahun dengan nilai p < 0,05 dan OR 6,924 (CI 95% 3,39-14,24) (Jaya, 2009). 2.4.2 Pendidikan Goals ke dua dari pembangunan MDGs adalah pendidikan dasar untuk semua. Tujuan ke dua MDGs bukan hanya sekedar semua anak bisa sekolah, tetapi memberikan mereka pendidikan dasar yang utuh. Dalam banyak hal perempuan Indonesia telah mengalami kemajuan pesat dalam kesetaraan gender terkait pendidikan. Pada pendidikan sekolah dasar jumlah antara laki-laki dan perempuan seimbang, tapi pada jenjang pendidikan yang lebih lanjut jumlah lakilaki lebih banyak dari perempuan (Kemenkes, 2015). Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan jumlah anggaran pendidikan untuk peningkatan jenjang pendidikan angka partisipasi murni SMP dan SMA serta pemberatasan buta aksara, dimana sekitar 6,6 juta penduduk yang buta aksara adalah perempuan yang akan menjadi calon ibu dan berdampak terhadap kesehatan. Pendidikan secara tidak langsung akan memengaruhi proses kehamilan seorang ibu salah satunya adalah terhadap kejadian BBLR. Pendidikan yang didapatkan oleh ibu berkaitan dengan tingkat pengetahuan ibu dalam perawatan selama kehamilan. Ibu hamil dengan tingkat pendidikan tinggi akan dapat memahami tentang pentingnya pemeriksaan dan perawatan kesehatan selama masa kehamilan. Pemeriksaan kehamilan pada petugas kesehatan sedini mungkin merupakan hal penting yang harus diketahui dan dilakukan oleh ibu. Ibu dengan pendidikan yang rendah sekalipun sudah mendapatkan informasi tentang hal

15 tersebut, tingkat pemahaman yang dimiliki tentunya berbeda dengan ibu yang berpendidikan tinggi. Berbagai penelitian tentang pengaruh pendidikan terhadap kejadian BBLR menunjukkan hasil yang signfikan. Hasil penelitian analisis risiko terjadinya BBLR membuktikan kaitan positif antara pendidikan ibu dan kejadian BBLR (Pramono, 2009). Ibu yang berpendidikan rendah memiliki risiko 1,6 kali melahirkan BBLR dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi. Penelitian lain yang dilakukan di RSUD Pekalongan menyebutkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu terhadap kejadian BBLR dengan OR = 1,5 (95% CI 0,73-3,05) (Nurhadi, 2006). 2.4.3 Paritas Jumlah anak lahir hidup yang dilahirkan oleh seorang ibu dapat menjadi faktor risiko BBLR. Seorang ibu jika terlalu sering melahirkan akan mengakibatkan melemahnya kandungan oleh karena adanya jaringan parut akibat kehamilan yang berulang ulang. Kandungan tidak dapat menjadi tempat yang baik bagi perkembangan janin. Seorang ibu yang terlalu sering melahirkan dapat mengakibatkan kondisi kelelahan secara fisik dan psikologis dan berpengaruh terhadap proses kehamilannya. Secara fisiologis seorang ibu membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk memulihkan kondisi kendungannya sehingga dapat merencenakan kehamilan berikutnya. Ibu hamil dengan paritas lebih dari empat tetapi dengan jarak kehamilan lebih dari 2 tahun secara fisiologis bisa mempersiapkan diri untuk kehamilan berikutnya.

16 Hasil penelitian lanjutan analisis hasil riskesdas 2007 didapatkan faktor jumlah anak mempunyai risiko protektif. Ibu yang mempunyai anak pertama kali, keempat atau lebih memiliki risiko terhadap kejadian BBLR 0,78 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mempunyai anak 2 atau 3. Risiko itu terjadi terbalik, ibu yang diperkirakan mempunyai paritas yang aman untuk tidak terjadi BBLR mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan ibu dengan paritas pertama atau empat ke atas (Pramono, 2009). Hasil penelitian lain yang dilakukan di RSUD Banyumas didapatkan hasil yang tidak bermakna antara paritas dengan kejadian BBLR (Sistiarani, 2008). 2.4.4 Jarak Kelahiran Jarak kelahiran adalah jarak antara persalinan sebelumnya dengan persalinan berikutnya. Secara fisiologis seorang wanita membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk memulihkan kondisi kandungannya. Selain itu ibu juga secara psikologis belum siap untuk hamil kembali karena anak sebelumnya masih membutuhkan pemberian ASI. Jarak kelahiran yang terlalu dekat mengakibatkan kondisi rahim belum pulih sepenuhnya sehingga dapat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam kandungan. Keadaan ibu seperti ini perlu mendapatkan perhatian dan pengawasan dari petugas kesehatan pada saat pemeriksaan kehamilan, karena kondisi ibu dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan bayi lahir kurang bulan dan BBLR. Jarak persalinan yang terlalu dekat akan mengakibatkan pertambahan jumlah penduduk semakin cepat. Data sensus penduduk tahun 2010 didapatkan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,49 maka perlu dilakukan

17 pengendalin jumlah penduduk. Prinsip otonomi daerah dalam penyelenggaraan urusan pengendalian penduduk dan Keluarga Berencana merupakan langkah konkrit untuk mengatasi rentang kendali manajemen pelayanan program KB antara pemerintah dengan pemerintah daerah khususnya di kabupaten dan kota. Hal ini tentunya dapat berjalan dengan baik apabila didukung dengan peningkatan kualitas pelayanan pengendalian penduduk dan KB kepada masyarakat, yang diindikasikan dengan adanya keberpihakan ketersediaan infrastruktur, instrumen regulasi yang mendukung penyelenggaraan program, peningkatan pengguanaan Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), penguatan P4K dan Generasi Berencana (Genre), penempatan personil tenaga penyuluh dan pelayanan KB (BKKBN, 2015). Penelitian yang dilakukan di Sidoarjo menunjukkan bahwa ibu dengan jarak kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 3,02 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang jarak kelahirannya lebih dari 2 tahun (Zain dkk, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan di University of Medical Sciences, Iran menunjukkan hasil OR 2.35, (95% CI:1.18-4.68). Ibu yang melahirkan dengan jarak terlalu dekat (< 2 tahun) memiliki risiko 2,35 kali terhadap kejadian BBLR (Chaman dkk, 2013) 2.4.5 Riwayat Antenatal Care Asuhan antenatal yang optimal dapat di capai jika layanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan ibu hamil. Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh seorang ibu hamil. Pemeriksaan kehamilan bertujuan memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi,

18 Pemeriksaan kehamilan secara rutin dan teratur, dapat mendeteksi secara dini kelainan dan komplikasi yang terjadi selama kehamilan, salah satunya adalah perkiraan berat badan bayi yang dikandung oleh ibu. Pada saat ANC berat badan bayi dapat dideteksi kemungkinan terjadinya kelahiran BBLR dengan melakukan pengukuran tinggi fundus uteri sehingga penanganan terhadap kelainan tersebut dapat dilakukan lebih dini dengan melihat faktor penyebab dari kondisi tersebut. Seorang ibu hamil harus memeriksakan kehamilannya minimal 4 kali selama kehamilan dengan sebaran 1 kali pada trimester 1, 1 kali pada trimester ke dua dan 2 kali pada trimester ke tiga dengan mendapatkan pelayanan sesuai standar yang sudah di tetapkan (Kemenkes RI, 2010). Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam penerapannya standar ANC terdiri atas: timbang berat badan dan ukur tinggi badan, ukur tekanan darah, nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas), ukur tinggi fundus uteri, tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ), skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan, pemberian tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan, test laboratorium (rutin dan khusus) mencakup pemeriksaan golongan darah, hemoglobin, protein urine dan gula darah puasa, tatalaksana kasus dan temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan. Hasil riskesdas 2010 menujukan bahwa pemeriksaan kehamilan pertama kali tanpa memandang usia kehamilan adalah 92,7% (K1 akses), sedangkan

19 pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh ibu hamil kepada petugas kesehatan umur kehamilan trimester 1 (K1-murni) adalah 72,3% dari target 95%. Adapun cakupan pemeriksaan ibu hamil minimal 4 kali selama kehamilan dengan pola 1 kali pada trimester pertama, 1 kali pada trimester ke dua dan 2 kali pada trimester ke tiga (K4) adalah 61,4% dari target 90%. Ada kecenderungan cakupan K1 dan K4 yang rendah pada kelompok ibu hamil berisiko tinggi: umur <20 tahun, dan >35 tahun, kehamilan ke 4 atau lebih, tinggal di perdesaan, tingkat pendidikan, dan status ekonomi rendah (Kemenkes RI, 2010). Secara kuantitas pelayanan ANC sudah mencapai target program tetapi secara kualitas belum memenuhi standar pelayanan yang ada. Hasil Riskesdas 2007 di Kabupaten Lombok Timur kualitas pelayanan ANC yang diberikan masih dibawah standar pelayanan yang di tetapkan, terkait dengan pemeriksaan yang berhubungan dengan kejadian BBLR antara lain pemeriksaan tinggi fundus uteri untuk memperkirakan berat badan janin hanya 81,3% dan pemeriksaan Hb untuk mengetahui status anemia ibu hamil hanya 35,5%. Untuk meningkatkan kualitas ANC yang diberikan dan meningkatkan deteksi dini terhadap kelainan dan komplikasi selama kehamilan maka dilakukan pelayanan ANC terpadu melibatkan lintas program yang ada antara lain program gizi, imunisasi, promkes dan laboratorium. Penelitian analisis lanjutan hasil Riskesdas 2010 tentang hubungan ante natal care dengan berat badan lahir bayi di Indonesia didapatkan hasil OR 1.8 (CI 95%: 1.3-2.5). Ibu yang melakukan kunjungan ante natal care lebih dari 4 kali mempunyai peluang untuk tidak melahirkan BBLR sebesar 1,8 kali

20 dibandingkan dengan ibu yang melakukan ante-natal care kurang dari 4 kali (Ernawati, 2011). Penelitian yang dilakukan di Nepal Demographic and Health Surveys (NDHS) tahun 2011 didapatkan hasil OR 2.30 ( 95% CI 1.526-3.471). Ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan tidak teratur berisiko sebesar 2,3 kali untuk melahirkan dengan BBLR (Khanal dkk, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan di Brazil didapatkan hasil OR 4.13 (95% CI 1.36-12.51). Ibu hamil berisiko 4,13 kali melahirkan BBLR jika melakukan pemeriksaan kehamilan tidak teratur dibandingkan dengan ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur (Regina dkk, 2014). 2.4.6 Penghasilan Jumlah penduduk miskin yang memiliki penghasilan dibawah garis rata-rata 17,4% atau sekitar 36,5% dari total penduduk Indonesia. Memberantas kemiskinan dan kelaparan merupakan goals pertama dari MDGs, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan anggaran untuk kemiskinan dari Rp 23 triliyun tahun 2005 menjadi Rp 70 triliyun pada tahun 2008 melalui program pemberantasan kemiskinan yang tersebesar di berbagai kementerian dan lembaga yang ada (Kemenkes, 2015). Faktor sosial ekonomi terkait dengan penghasilan dapat memberikan gambaran terhadap kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari. Pada ibu hamil dengan penghasilan rendah akan memengaruhi konsumsi makanan selama kehamilan. Konsumsi makanan yang tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan selama kehamilan dapat menyebabkan ibu hamil mengalami kekurangan gizi yang ditandai dengan KEK

21 dan anemia selama kehamilan. Bayi yang dikandungnya mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Seorang ibu hamil tidak jarang harus bekerja untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Beratnya pekerjaan yang dilakukan oleh ibu hamil mengakibatkan kebutuhan istirahat ibu hamil tidak dapat terpenuhi sehingga menyebabkan terjadinya kelahiran prematur. Pada wanita hamil dengan tingkat penghasilan rendah kemungkinan 50% melahirkan dengan BBLR. Hal ini disebabkan ketidakmampuan secara ekonomi ibu hamil dalam memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan. Hasil penelitian di Gorontalo didapatkan hasil OR 4,35 ibu dengan sosial ekonomi rendah memiliki risiko 4,35 kali melahirkan dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang sosial ekonominya baik (Amalia 2010). Penelitian yang sama di Department of Pediatrics, University Hospital Munster, Germany, didapatkan hasil OR 2.78 (95% CI 1.59-4.86), ibu dengan sosial ekonomi rendah berisiko 2,78 kali terhadap kejadian BBLR dibandingkan dengan ibu yang sosial ekonominya baik (Pfinder, 2014) 2.4.7 Lingkungan Paparan zat-zat beracun adalah paparan asap yang dihirup baik berasal dari asap rokok maupun udara yang tercemar oleh gas-gas berbahaya lainnya. a. Paparan asap rokok. Rokok memiliki komuditas jual yang sangat luas dan merata, sehingga gampang dijangkau oleh masyarakat yang berada di pedesaan. Data Riskesdas 2007 menunjukan 30,6% penduduk Kabupaten Lombok Timur merokok setiap hari dengan rata-rata rokok yang dihisap 6-12 batang per hari, dengan persentase

22 merokok di dalam rumah 87,4%. Prevalensi perokok dalam rumah lebih banyak pada laki-laki, berstatus kawin, tinggal di perdesaan, dengan pendidikan rendah yaitu tidak tamat dan tamat SD. Menurut pekerjaan, prevalensi perokok dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lebih banyak yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh diikuti wiraswasta dan yang tidak bekerja, dan cenderung meningkat dengan meningkatnya status ekonomi (Kemenkes RI, 2010). Hal ini akan memengaruhi anggota keluarga yang lain termasuk ibu hamil menjadi perokok pasif. Tingginya jumlah masyarakat yang merokok dapat mengakibatkan ibu hamil terpapar oleh asap rokok yang dihisap baik oleh suami maupun oleh keluarga lain yang berada satu rumah dengan ibu hamil. Ibu hamil yang terpapar oleh asap rokok akan memengaruhi perkembangan janin dalam kandungan, karena asap rokok yang dihirup oleh seorang ibu hamil mengandung senyawa yang berbahaya. Jika senyawa yang terkandung dalam rokok ini masuk ke dalam peredaran darah ibu hamil akan dapat mengganggu suplai oksigen dari ibu ke janinnya, maka suplai makananpun ikut terganggu. Kebutuhan janin di dalam kandungan tidak terpenuhi, kondisi ini sangat berisiko bagi ibu hamil untuk melahirkan dengan BBLR. Pelayanan ANC yang diberikan perlu dilakukan pengkajian tidak hanya permasalah yang terkait dengan kehamilan saja, tetapi pengaruh faktor lingkungan dan peran keluarga dalam kehamilan juga perlu dikaji. Upaya pelayanan ANC terpadu dengan melibatkan lintas program merupakan suatu terobosan untuk mengurangi komplikasi yang terjadi pada saat kehamilan dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

23 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya untuk memberi pengalaman belajar atau menciptakan kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat, melalui pendekatan pimpinan, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat dimana salah satu indikatornya adalah tidak ada anggota keluarga yang merokok. Data profil kesehatan Kabupaten Lombok Timur 2013 menunjukan bahwa baru 28,9% rumah tangga yang menerapkan PHBS. Upaya lain yang sudah dilakukan oleh pemerintah terkait dengan rokok adalah penerbitan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok, namun pada kenyataannya kebijakan tersebut masih banyak dilanggar karena belum ada sanksi yang berlaku sehingga masih banyak perokok yang merokok disembarang tempat. Hasil penelitian di Gorontalo didapatkan OR 5,516 ibu hamil yang terpapar asap rokok berisiko 5,5 kali terhadap kejadian BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak terpapar (Amalia, 2010). Hasil penelitian yang sama di RS Meurexa Banda Aceh tahun 2012 diperoleh nilai kemaknaan p = 0,004 (p 0,05), terdapat hubungan yang bermakna antara ibu hamil perokok pasif dengan kejadian BBLR (Ramadhan, 2012). Penelitian yang sama juga dilakukan di Sulawesi Selatan menyebutkan berat badan bayi dipengaruhi oleh jumlah batang rokok yang dihisap dan menyebabkan ibu terpapar selama kehamilan (Tamrin dkk, 2011).

24 b. Paparan asap kayu bakar dan obat anti nyamuk Faktor luar yang memengaruhi terjadinya BBLR adalah faktor lingkungan. Udara di sekitar lingkungan rumah dapat tercemar oleh asap yang ditimbulkan dari aktifitas sehari-hari di dalam rumah, seperti penggunaan kayu bakar untuk memasak dan penggunaan obat anti nyamuk bakar pada saat tidur. Penggunaan arang dan kayu bakar sebagai sumber energi terutama di pedesaan sebesar 64,2 persen diprediksi akan meningkatkan gas CO yang berpotensi menimbulkan pencemaran udara (Kemenkes RI, 2010). Penggunaan kayu bakar saat memasak dan obat anti nyamuk bakar saat tidur mengakibatkan udara tercemar oleh gas-gas beracun seperti karbonmonoksida, amoniak, aseton dll yang dapat dihirup oleh ibu hamil. Akibat penggunaan bahan bakar saat memasak dan obat anti nyamauk bakar saat tidur sangat berbahaya bagi ibu hamil. Bila gas-gas berbahaya ini dihirup oleh ibu hamil dan beredar dalam pembuluh darah akan dapat mengganggu suplai oksigen dalam darah sehingga suplai makanan dari ibu ke janin juga terganggu. Kondisi ini dapat mengakibatkan pertumbuhan janin menjadi terganggu. Hal ini dapat mengakibatkan ibu melahirkan bayi dengan BBLR. Paparan Karbonmonoksida selama kehamilan dapat menyebabkan BBLR dan menurunkan kemampuan mental anak. Hasil Penelitian yang dilakukan di Semarang menyatakan bahwa penggunaan kayu bakar ternyata tidak berpengaruh terhadap kejadian BBLR dengan nilai p > 0,05 sedangkan penggunaan obat anti nyamuk bakar selama kehamilan secara statistik bermakana terhadap kejadian BBLR p < 0,05 dengan OR 8,50 (95% CI 1,565-46,220) (Widariyana, 2002).

25 2.4.8 Status KEK Pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam kandungan sangat dipengaruhi oleh status gizi ibu pada saat hamil. Masalah gizi yang sering dihadapi oleh ibu selama hamil yaitu Kurang Energi Kronis (KEK). Kondisi KEK pada ibu hamil menunjukan konsumsi energi dan protein yang kurang dalam jangka panjang. Kekruangan energi secara kronis ini menyebabkan ibu hamil tidak memliki cadangan gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan. Jumlah total energi yang dibutuhkan selama kehamilan adalah 80.000 Kkal. Kebutuhan energi pada trimester pertama meningkat secara minimal, kemudian terus meningkat sampai akhir kehamilan. Selama trimester ke tiga tambahan energi digunakan untuk pertumbuhan janin dan placenta, jika sejak awal kehamilan ibu sudah mengalami kekurangan gizi maka kebutuhsn gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin terutama pada trimester ke tiga tidak dapat terpenuhi sehingga berisiko untuk terjadinya BBLR (Myles, 2011). Data Riskesdas 2013 menujukan Prevalensi ibu hamil KEK 23,7%, sehingga menjadi faktor risiko bagi ibu hamil untuk melahirkan BBLR. Ibu hamil KEK atau tidak, dapat dilihat dari ukuran lingkar lengan atasnya (LILA). Ukuran LILA yang normal yaitu > 23,5 cm dengan pengukuran menggunakan pita LILA yaitu alat yang sederhana dan praktis yang direkomendasikan oleh kementerian kesehatan untuk digunakan di lapangan. Ibu yang mengalami KEK selama hamil akan menimbulkan masalah baik pada ibu maupun janin. Pengaruh KEK terhadap persalinan dapat mengakibatkan proses persalinan sulit dan lama, perdarahan pasca persalinan. Ibu hamil KEK

26 dapat memengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan sehingga berisiko terhadap kelahiran BBLR. Untuk mencegah risiko KEK pada ibu hamil sebelum kahamilan Wanita Usia Subur (WUS) sudah harus memiliki gizi yang baik misalnya LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu sebelum hamil kurang dari 23,5 cm sebaiknya kehamilan ditunda dan dilakukan perbaikan gizi sehingga tidak berisiko untuk melahirkan BBLR (Sandjaja, 2009). Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang tinggi kalori dan protein dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan dengan penerapan porsi kecil tapi sering (Ekayani, 2011). Penelitian yang dilakukan di Singkawang didapatkan hasil OR 7,93 (95% CI 1,85-33,95). Ibu hamil KEK mempunyai risiko 7,9 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan ibu hamil tidak KEK (Trihardiani, 2011). Penelitian yang sama di RS Siti Fatimah Makasar didapatkan hasil OR 9,95 (95% CI 4,84-20,39) ibu hamil KEK mempunyai risiko 9,94 kali melahirkan BBLR dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK (Jaya, 2009). 2.4.9 Status Anemia Ibu hamil Anemia adalah penurunan kapasitas darah dala membawa oksigen, hal tersebut dapat terjadi akibat penurunan produks sel darah merah dan penurunan hemoglobin (Hb) dalam darah (Myles, 2011). Anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin dalam darah pada ibu hamil trimester I dan trimester ke III, dimana fungsi hemoglobin ini adalah mengangkut makanan (WHO, 2008). Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia lebih dari 70%. Selama kehamilan, volume plasma maternal meningkat secara bertahap sebanyak 50%, atau

27 meningkat sekitar 1200 ml pada saat kehamilan cukup bulan. Peningkatan sel darah merah total adalah sekitar 25% atau 300 ml. Hemodilusi relatif ini menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin yang mencapai titik terendah pada trimester kedua kehamilan dan meningkat kembali pada trimester ketiga. Hemodulusi terjadi sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya pada kehamilan 32-36 minggu. Bila hemoglobin ibu sebelum hamil berkisar 11 gr% maka dengan terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis dan Hb ibu akan menjadi 9,5-10 gr%. Perubahan ini merupakan kondisi fisiologis kehamilan yang diperlukan untuk perkembangan janin (Myles, 2011). Berdasarkan klasifikasi dari WHO kadar hemoglobin pada ibu hamil dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu : Hb > 11 gr% tidak anemia (normal), Hb 9-10 gr% Anemia ringan, Hb 7-8 gr% Anemia sedang, Hb < 7 gr% Anemia berat ( Myles, 2011). Kadar hemoglobin yang rendah akan memengaruhi kemampuan sistem maternal untuk memindahkan oksigen dan nutrisi yang cukup ke janin. Jika hemoglobin dalam darah sedikit maka dapat mengganggu suplai makanan dari ibu ke janin sehingga asupan gizi janin tidak dapat terpenuhi dan dapat mengakibatkan BBLR. Anemia pada ibu hamil juga meningkatkan risiko perdarahan ante partum (PAP) pada saat hamil, sehingga dapat terjadi bayi lahir prematur, perdarahan setelah persalinan, serta kematian ibu dan bayi. Kondisi anemia pada ibu hamil dapat terjadi sebelum ibu hamil dan anemia terjadi akibat dari proses kehamilannya. Permasalahan ini harus mendapatkan penanganan selama kehamilan dengan melaksanakan standar pelayanan kehamilan, pemberian tablet Fe minimal

28 90 tablet selama kehamilan. Pelayanan antenatal yang diberikan oleh bidan untuk membantu mencegah anemia pada ibu hamil, harus memahami bahwa anemia tidak hanya disebabkan oleh masalah medis, tetapi juga situasi sosial dan demografi yang ada di masyarakat. Ketika memberikan saran diawal kehamilan mengenai asupan zat besi, bidan perlu mempertimbangkan asupan zat besi tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, agama dan budaya. Jika kondisi ibu hamil anemia ini dibiarkan maka dapat memberikan kontribusi terhadap tingginya kejadian BBLR. Gizi yang cukup pada masa kehamilan sangat beperan dalam proses tumbuh kembang janin. Kebutuhan gizi pada saat hamil yang tidak terpenuhi dapat menghambat petumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan. Hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Wangaya Denpasar didapatkan RR 10,29 (95% CI 2,21-47,9) kejadian BBLR pada ibu hamil yang mengalami anemia pada trimester I adalah 10 kali dibandingkan ibu hamil yang tidak anemia (Labir dkk, 2013). Penelitian tentang anemia sebagai faktor risiko BBLR di Propinsi NTB didapatkan hasil OR 3,70 (95 % CI 2,33-5,88) p = 0,0001, ibu hamil yang menderita anemia memiliki risiko 3,7 kali terhadap kejadian BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak anemia (Mustika dkk, 2006).