MENTERI DALAM NEGERI

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 5 TAHUN 1974 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1974 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 5 TAHUN 1974 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN

MENTERI DALAM NEGERI

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: Mengingat:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1973 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH

MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 1975 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI TATA CARA PEMBEBASAN TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1994 TENTANG PENGHUNIAN RUMAH OLEH BUKAN PEMILIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1960 TENTANG PENGUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 1957 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR: 3 TAHUN 1979 TENTANG


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL AGRARIA NOMOR 3 TAHUN 1968 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDIUM KABINET NOMOR 5/PRK/1965 DIREKTUR JENDERAL AGRARIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 44 TAHUN 1994 T E N T A N G PENGHUNIAN RUMAH OLEH BUKAN PEMILIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK (LNRI. No. 38, 1977; TLNRI No. 3107)

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Tentang : Pelaksanaan Undang Undang No. 11 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1994 TENTANG PENGHUNIAN RUMAH OLEH BUKAN PEMILIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PD. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 1972 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN HAK ATAS TANAH MENTERI DALAM NEGERI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 1976 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA. Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1996 TENTANG KAWASAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK DAN GOLONGAN KARYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI

PENUNJUKAN BADAN-BADAN HUKUM YANG DAPAT MEMPUNYAI HAK MILIK ATAS TANAH Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tanggal 19 Juni 1963

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 Tahun 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEPARTEMEN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL AGRARIA. Nomor : Ba. 12/10812/75 Jakarta,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1974 TENTANG PERUSAHAAN UMUM "PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL" PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya begitu pula

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 1960 TENTANG LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1989 TENTANG KAWASAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1988 Tentang : Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal Di Daerah

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1960 TENTANG PERUNTUKAN DAN PENGGUNAAN TANAH ANCOL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG P E N G A I R A N DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEKANISME PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PERUMAHAN/PEMUKIMAN ZAIDAR, SH,MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1982 TENTANG IRIGASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG PEREMAJAAN PEMUKIMAN KUMUH YANG BERADA DI ATAS TANAH NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1980 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DI ATASNYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1981 TENTANG ASURANSI SOSIAL PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1978 TENTANG PERUSAHAAN UMUM POS DAN GIRO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1989 TENTANG KAWASAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 1980 TENTANG KEBIJAKSANAAN MENGENAI PENCETAKAN SAWAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN-PERATURAN DAN TINDAKAN-TINDAKAN MENGENAI TANAH-TANAH PERKEBUNAN KONSESI Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1956 tanggal 31 Desember 1956

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1979 TENTANG PENGUSAHAAN KELISTRIKAN. Presiden Republik Indonesia,

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 Tentang : Rumah Susun

BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH. yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Turun temurun dan dapat beralih.

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN BERSAMA ATAS RUMAH SUSUN KLENDER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1975 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1975/1976

Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun

MENTERI AGRARIA PERATURAN MENTERI AGRARIA NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PELAKSANAAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA MENTERI AGRARIA,

NOMOR 8 TAHUN 1953 TENTANG PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK DAN GOLONGAN KARYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK DAN GOLONGAN KARYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

Transkripsi:

MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1974 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan khususnya PELITA II, perlu digariskan kebijaksanaan dan ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan, baik yang diselenggarakan dengan maupun tanpa fasilitas-fasilitas penanaman modal sebagai yang diatur dalam Undang-Undang No. 1) dan Undang- Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (L.N. 1968 No. 33); b. bahwa tanah merupakan salah satu modal pokok Bangsa Indonesia dan adalah satu unsur utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila; c. bahwa berhubung dengan itu kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan sebagai yang dimaksudkan di atas harus dapat menciptakan suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi untuk menunjang kegiatankegiatan pembangunan, dengan tujuan agar pada satu pihak kebutuhan pengusaha akan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan dan pada pihak lain sekaligus terselenggara tertib penguasaan dan pengunaan tanah berdasarkan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku, hingga tanah yang tersedia benar-benar dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya. Mengingat : a. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3; b. Garis-garis Besar Haluan Negara, sebagai yang ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973; c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (L.N. 1960 No. 104); d. Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 (L.N. 1967 No. 1); e. Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 (L.N. 1968 No. 33); f. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972; g. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973. M E M U T U S K A N MENETAPKAN : Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan. BAB I SASARAN, LANDASAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN

- 2 - Pasal 1 1. Kebijaksanaan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan, baik yang diselenggarakan dengan maupun tanpa fasilitasfasilitas penanaman modal sebagai yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (L.N. 1967 No. 1) dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (L.N. 1968 No. 33), ditetapkan dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan khususnya PELITA II dan mempunyai sasaran untuk menciptakan suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi bagi kegiatan-kegiatan pembangunan, dengan tujuan agar pada satu pihak kebutuhan pengusaha akan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan dan pada pihak lain sekaligus terselenggara tertib penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku, hingga tanah yang tersedia benar-benar dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya. 2. Landasan kebijaksanaan sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3, Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai yang ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (L.N. 1960 No. 104). 3. Dalam melaksanakan kebijaksanaan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan-perusahaan itu, maka selain segi-segi ekonomis dan yuridis daripada perusahaan yang bersangkutan, perlu mendapat perhatian juga segi-seginya yang menyangkut aspek-aspek sosial, politis, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dan Wawasan Nusantara sebagai yang dicantumkan di dalam BAB II Garis-garis Besar Haluan Negara. BAB II HAK-HAK ATAS TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN DAN PERSYARATANNYA Bagian 1 : Umum Pasal 2 1. Dengan mengingat bidang usaha, keperluan dan persyaratannya yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang bersangkutan, kepada perusahaan dapat diberikan sesuatu hak atas tanah Negara sebagai berikut: a. Jika perusahaannya berbentuk badan hukum: hak pengelolaan, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. Jika perusahaannya merupakan usaha perorangan dan pengusaha berkewarganegaraan Indonesia: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. 2. Selain apa yang disebut pada ayat 1 pasal ini, perusahaan dapat pula menggunakan tanah pihak lain atas dasar sewa atau bentuk lainnya menurut peraturan perundangan agraria yang berlaku, kecuali jika dalam peraturan yang bersangkutan hal itu tidak diperbolehkan. Pasal 3 Dengan mengubah seperlunya ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas tanah Negara dan Ketentuanketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya, hak pengelolaan sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat 1 huruf a berisikan wewenang untuk: a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; c. menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang wewenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah, sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku.

- 3 - Pasal 4 Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah Negara adalah hak-hak yang dimaksudkan dalam pasal 20, 28, 35 dan 41 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (L.N. 1960 No. 104) dan diberikan menurut ketentuan peraturan perundangan agraria yang berlaku. Bagian 2: Khusus Pasal 5 Perusahaan Pembangunan Perumahan 1. Dalam melaksanakan kebijaksanaan mengenai penyediaan dan pemberian tanah menurut Peraturan ini, yang dimaksud dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar, di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan permukiman, yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat yang menghuninya. 2. Yang dapat diberi tanah untuk usaha di bidang pembangunan perumahan sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini adalah badan-badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dengan ketentuan bahwa jika badan itu bermodal asing, maka harus berbentuk suatu perusahaan campuran dengan modal nasional, memenuhi persyaratan sesuai dengan kebijaksanaan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. 3. Kepada Perusahaan Pembangunan Perumahan yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat diberikan tanah Negara dengan hak pengelolaan, hak guna bangunan atau hak pakai menurut kebutuhan, sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku. 4. Kepada Perusahaan Pembangunan Perumahan yang didirikan dengan modal swasta dapat diberikan tanah Negara dengan hak guna bangunan atau hak pakai menurut kebutuhan, sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku. 5. Usaha pembangunan perumahan yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini tidak boleh diselenggarakan dengan menggunakan tanah pihak lain. 6. Perusahaan Pembangunan Perumahan berkewajiban antara lain untuk: a. mengajukan kepada Pemerintah dengan perantaraan Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan rencana proyek yang akan dibangunnya, yang antara lain meliputi pembiayaannya, areal tanah yang diperlukan, jenis-jenis rumah dan bangunan serta prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang dibangun, jangka waktu diselesaikannya pembangunan dan rencana penjualan rumah-rumah yang sudah selesai dibangun; b. mematangkan tanah yang diberikan kepadanya dan membangun di atasnya jenisjenis rumah sebagai yang disebutkan di dalam rencana proyek tersebut; c. membangun dan memelihara selama waktu yang ditentukan prasarana-prasarana lingkungan dan faslitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuni lingkungan yang dibangun itu, seperti jalan-jalan lingkungan, saluran-saluran pembuangan air, persediaan air minum, listrik, telepon, tempat peribadatan, tempattempat rekreasi/olah raga, pasar, pertokoan, sekolahan dan lain sebagainya; d. menyerahkan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang telah dibangun itu kepada Pemerintah/Pemerintah Daerah, setelah dipelihara oleh Perusahaan selama jangka waktu yang ditentukan; e. menyimpan sebagian modal kerjanya di dalam Bank yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai jaminan, bahwa Perusahaan akan benarbenar melaksanakan proyeknya sebagaimana tercantum di dalam rencana yang telah mendapat persetujuan dari Pemerintah, sepanjang Perusahaan tersebut didirikan dengan modal swasta. 7. Atas dasar peruntukan dan penggunaan tanah yang sudah ditetapkan maka: a. tanah-tanah yang dikuasai oleh Perusahaan Pembangunan Perumahan dengan hak pengelolaan, atas usul Perusahaan tersebut oleh pejabat yang berwenang sebagai

- 4 - yang dimaksud dalam pasal 3 dapat diberikan kepada pihak-pihak yang memerlukannya dengan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai berikut rumahrumah dan bangunan-bangunan yang ada di atasnya menurut ketentuan dan persyaratan peraturan perundangan agraria yang berlaku; b. tanah-tanah yang dikuasai oleh Perusahaan Pembangunan Perumahan dengan hak guna bangunan atau hak pakai, dapat dipindahkan haknya berikut rumah-rumah lain yang memerlukannya, menurut ketentuan dan persyaratan peraturan perundangan agraria yang berlaku, kecuali apabila Perusahaan tersebut bermodal swasta, maka pemindahan hak tersebut merupakan suatu kewajiban. 8. Dengan adanya kewajiban tersebut pada ayat 6 huruf d dan apa yang disebutkan dalam ayat 7 huruf b pasal ini, maka pada waktunya akan putuslah hubungan hukum antara Perusahaan yang bersangkutan dengan proyek yang dibangunnya itu. 9. Penyerahan tanah kepada pihak lain yang memerlukan sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 7 pasal ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan sudah selesai dibangun sesuai dengan rencana pembangunan proyek yang sudah disetujui oleh Pemerintah tersebut pada ayat 6. Pasal 6 Industrial Estate 1. Dalam melaksanakan kebijaksanaan mengenai penyediaan dan pemberian tanah menurut Peraturan ini yang dimaksudkan dengan Industrial Estate adalah suatu Perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengadaan dan pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha industri, termasuk industri pariwisata, yang merupakan suatu lingkungan yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana umum yang diperlukan. Menurut perkembangannya usaha tersebut dapat meliputi selain penyediaan tanahnya, juga bangunan-bangunan yang diperlukan oleh para pengusaha industri yang bersangkutan. 2. Yang dapat diberi tanah untuk usaha Industrial Estate adalah badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. 3. Industrial Estate yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah atau dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat berbentuk Perusahaan Umum (PERUM), Perusahaan Perseroan (PERSERO) atau bentuk lain menurut peraturan perundangan yang berlaku. 4. Industrial Estate yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah Daerah harus berbentuk Perusahaan Daerah, yang dibentuk dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan. 5. Kepada Industrial Estate yang dimaksudkan dalam ayat 2 pasal ini dapat diberikan tanah Negara dengan hak pengelolaan, hak guna bangunan atau hak pakai menurut kebutuhan, sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku. 6. Atas dasar rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang sudah ditetapkan, maka: a. tanah-tanah yang dikuasai oleh Industrial Estate yang bersangkutan dengan hak pengelolaan, atas usul Perusahaan tersebut oleh pejabat yang berwenang yang dimaksudkan dalam pasal 3 dapat diberikan kepada para pengusaha industri/pihakpihak yang memerlukannya dengan hak guna bangunan atau hak pakai, menurut ketentuan dan persyaratan peraturan perundangan agraria yang berlaku; b. tanah-tanah yang dikuasai oleh Industrial Estate yang bersangkutan dengan hak guna bangunan atau hak pakai, dapat dipindahkan haknya kepada para pengusaha industri/pihak-pihak lain yang memerlukannya, menurut ketentuan dan persyaratan peraturan perundangan agraria yang berlaku. 7. Penyediaan dan pemberian tanah untuk Industrial Estate yang diusahakan oleh badan hukum yang bermodal swasta, akan diatur kemudian, jika dalam perkembangan pembangunan dan penyelenggaraan Industrial Estate usaha yang demikian itu diizinkan oleh Pemerintah.

- 5 - BAB III PENETAPAN LOKASI PERUSAHAAN DAN LUAS TANAH YANG DIPERLUKAN Pasal 7 Penetapan Lokasi Perusahaan 1. Lokasi perusahaan yang akan dibangun dan letak tanah yang diperlukan untuk itu ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah, Bupati/Walikota Kepala Daerah, dengan memperhatikan planologie Daerah yang bersangkutan. 2. Jika perusahaan yang bersangkutan meminta fasilitas penanaman modal dalam rangka Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 atau Undang-Undang No. 6 Tahun 1968, maka penentuan lokasi yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini menunggu diperolehnya persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat. 3. Dalam menetapkan lokasi tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka: a. sejauh mungkin harus dihindarkan pengurangan areal tanah pertanian yang subur; b. sedapat mungkin dimanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif; c. dihindarkan pemindahan penduduk dari tempat kediamannya; d. diperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran bagi daerah lingkungan yang bersangkutan. Pasal 8 Penetapan Luas Tanah yang Diperlukan 1. Luas tanah yang boleh dikuasai dan dipergunakan oleh Perusahaan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, sesuai dengan batas-batas pembagian kewenangan sebagai yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972. 2. Penetapan luas tanah yang boleh dikuasai dan dipergunakan oleh Perusahaan sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah atas pertimbangan yang diberikan oleh Departeman atau pejabat yang mewakili Departemen atau pejabat yang mewakili Departemen yang bidangnya membawahi usaha Perusahaan yang bersangkutan, dengan mengingat kebutuhan yang nyata untuk menyelenggarakan usaha tersebut dan kemungkinan perluasannya di kemudian hari. 3. Jika perusahaan yang bersangkutan meminta fasilitas penanaman modal dalam rangka Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 atau Undang-Undang No. 6 Tahun 1968, maka penetapan luas tanah yang diperlukannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah setelah diperoleh pemberitahuan dari Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, bahwa permohonan investasinya telah disetujui dan beberapa luas tanah yang benar-benar akan diperlukan. BAB IV TATA CARA PENYEDIAAN DAN PENGUASAAN TANAH YANG DIPERLUKAN Pasal 9 Dalam penyediaan dan penguasaan tanah yang diperlukan perusahaan maka pertama-tama harus diperhatikan, bahwa segala sesuatunya harus diselenggarakan dan diselesaikan menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dan dalam batas-batas kewenangan para Pejabat sebagai yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 serta harus dicegah dan dihindari terjadinya ketegangan-ketegangan dalam usaha dan kegiatan untuk memperoleh tanah yang diperlukan itu. Pasal 10 1. Selama belum diperoleh izin usaha dari Instansi yang berwenang, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam BAB II atau jika Perusahaan yang bersangkutan meminta fasilitas penanaman modal dalam rangka Undang-Undang no. 1 Tahun 1967 atau Undang-Undang No. 6 Tahun 1968, selama belum diperoleh persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, maka perusahaan atau calon Investor tidak diperbolehkan melakukan pembelian, penyewaan,

- 6 - pembebasan hak ataupun lain-lain bentuk perbuatan yang mengubah penguasaan tanah yang bersangkutan, baik secara phisik ataupun yuridis, baik langsung ataupun tidak langsung untuk kepentingan perusahaan atau calon Investor. 2. Sementara menunggu diperolehnya izin usaha atau persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, jika diperlukan tanah yang luas, maka Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan: a. dapat mencadangkan tanah yang diperlukan untuk kepentingan perusahaan/calon Investor, seluas yang akan benar-benar diperlukan untuk penyelenggaraan usaha yang direncanakan; b. menyampaikan pertimbangan kepada Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat baik mengenai lokasi perusahaan maupun kemungkinan penyediaan tanahnya. Tembusan pertimbangan tersebut disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Pasal 11 1. Seteleh diperoleh izin usaha sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 10 atau persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat dalam hal diminta fasilitas penanaman modal, maka perusahaan/calon Investor baru boleh melakukan pembelian, penyewaan atau pembebasan hak dan penguasaan tanah yang diperlukannya, menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundangan agraria yang bersangkutan. 2. Jika diperlukan tanah yang luas maka untuk melakukan hal-hal tersebut pada ayat 1 pasal ini diperlukan adanya izin lebih dahulu dari Gubernur Kepala Daerah, dalam izin mana antara lain ditetapkan jangka waktu dalam mana pembelian atau pembebasan haknya harus diselesaikan dan hal-hal lain yang harus diperhatikan. 3. Pelaksanaan pembelian atau pembebasan hak serta penguasaan tanah-tanahnya dilakukan atas dasar musyawarah dengan pihak-pihak yang mempunyai, di bawah pengawasan Bupati/Walikota Kepala Daerah yang bersangkutan. Jika dalam pelaksanaannya dijumpai kesulitan, maka Bupati/Walikota Kepala Daerah memberikan bantuan untuk mengatasinya, dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. 4. Setelah selesai dilakukan pembelian maka segera harus dilakukan pendaftaran pemindahan haknya menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (L.N. 1961 No. 28) atau jika dilakukan pembebasan hak harus segera diajukan permohonan hak baru kepada pejabat yang berwenang, menurut ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuanketentuan mengenai tata-cara pemberian hak-hak atas tanah. 5. Jika pembelian, penyewaan atau pembebasan hak atas tanahnya tidak dilakukan menurut cara yang semestinya dan/atau tidak diselesaikan dalam waktu yang ditentukan, maka setelah diberi peringatan seperlunya oleh Bupati/Walikota Kepala Daerah, izin usahanya akan dibatalkan. Pasal 12 1. Oleh Bupati/Walikota Kepala Daerah diadakan pengawasan agar: a. perusahaan yang bersangkutan memenuhi kewajibannya sebagai yang dicantumkan pada pasal 11 ayat 4; b. tanah yang telah dikuasai oleh perusahaan benar-benar digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan izin yang diberikan; c. perusahaan yang bersangkutan memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 5, 6 dan 7. 2. Jika perusahaan ternyata lalai dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, maka setelah diberi peringatan seperlunya, oleh Bupati/Walikota Kepala Daerah hal itu dilaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, dan jika perusahaan tersebut memperoleh fasilitas penanaman modal, tembusan laporan disampaikan kepada Ketua Badan Koordonasi Penanaman Modal Daerah, untuk diambil tindakan oleh Instansi yang berwenang.

- 7 - BAB V PEMBERIAN IZIN BANGUNAN DAN IZIN UNDANG-UNDANG GANGGUAN Pasal 13 Izin bangunan dan Izin Undang-Undang Gangguan (S. 1926 No. 226) baru boleh diberikan setelah selesai dilakukan pembelian tanah dan dimintakan pendaftarannya menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, dan jika dilakukan pembebasan hak, setelah diajukan permohonan hak yang baru kepada pejabat yang berwenang menurut ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 ataupun jika digunakan tanah pihak lain, setelah ada perjanjian dengan yang mempunyai tanah yang dibuat menurut peraturan yang berlaku. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 14 1. Pemberian izin, pertimbangan dan lain-lainnya yang merupakan kegiatan dalam rangka menyelesaikan permohonan-permohonan yang bersangkutan dengan penyediaan dan pemberian sesuatu hak atas tanah untuk keperluan perusahaan yang diatur dalam Peraturan ini, wajib diselesaikan oleh Instansi yang berwenang dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 2. Kepada pemohon tidak boleh dibebankan biaya-biaya dan pungutan-pungutan selain yang ditetapkan dengan peraturan perundangan yang sah. Pasal 15 Perusahaan-perusahaan dan badan-badan yang berbentuk hukum apapun yang menguasai tanah Negara untuk keperluan penyelenggaraan usahanya diwajibkan untuk: a. dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mengikuti dan melaksanakan ketentuanketentuan yang tercantum di dalam Peraturan ini; b. menyampaikan pelaporan kepada Menteri Dalam Negeri tentang pelaksanaan apa yang dimaksudkan dalam huruf a di atas, dengan tembusan kepada Gubernur Kepala Daerah dan Bupati/Walikota Kepala Daerah yang bersangkutan. Pasal 16 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, maka Peraturan ini akan dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 5 Mei 1974 MENTERI DALAM NEGERI, Ttd (Amirmachmud)