Bagaimana SESA Seharusnya



dokumen-dokumen yang mirip
PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mempersiapkan Program Pengurangan Emisi dalam Kerangka Skema Carbon Fund

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Sintesis Pengaman Sosial dan Lingkungan (SES) TFCA Kalimantan

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

DANA INVESTASI IKLIM

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

21 Maret Para Pemangku Kepentingan yang Terhormat,

Panggilan untuk Usulan Badan Pelaksana Nasional Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Indonesia November 2014

DRAFT UNTUK BAHAN DISKUSI Membangun Kebijakan Kerangka Pengaman REDD+ di Indonesia

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Kalimantan Timur Dipersentasikan Oleh: Dr. Fadjar Pambudhi

Terjemahan Tanggapan Surat dari AusAID, diterima pada tanggal 24 April 2011

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

Dewan Kehutanan Nasional dan UN-REDD Programme Indonesia. Disusun dari hasil konsultasi dengan multi pihak pemangku kepentingan

Pandangan Indonesia mengenai NAMAs

Masalah untuk Konsultasi Tahap 3 Pendahuluan CODE

TINJAUAN DAN PEMBARUAN KEBIJAKAN PENGAMANAN BANK DUNIA RENCANA KONSULTASI

MENUJU KERANGKA KERJA STRATEGIS MENGENAI PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN UNTUK KELOMPOK BANK DUNIA RANGKUMAN

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Belajar dari redd Studi komparatif global

KFCP Penerapan dan Verifikasi Safeguards Sosial dalam Pengelolaan Kegiatan di Tingkat Desa

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

REDD+: Selayang Pandang

KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1

Penanggungjawab : Koordinator Tim Pelaksana

Kebijakan APRIL Group dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Juni 2015

Ringkasan Eksekutif. Inisiatif Tata Kelola Kehutanan Indonesia. Proses dan Hasil Penelitian Kondisi Tata Kelola Kehutanan Indonesia.

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dr. Ir Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc

Forest Stewardship Council

Inisiatif Accountability Framework

Implementasi Mekanisme REDD+

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

Kebijakan Pelaksanaan REDD

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

KEMAJUAN PENYIAPAN ARSITEKTUR REDD+ INDONESIA: SISTEM INFORMASI SAFEGUARDS (SIS) REDD+ INDONESIA

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA

Peran Dan Tanggung Jawab Masyarakat Pelaksanaan Sistem Monitoring Karbon Hutan di Provinsi Maluku

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

ASSALAMU ALAIKUM WAR, WAB, SALAM SEJAHTERA BAGI KITA SEKALIAN,

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

SELAMAT TAHUN BARU 2011

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

WG Strategy Materi Sosialisasi Februari Strategi Nasional & Pendekatan Umum Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Propinsi

Pertemuan Koordinasi GCF

DANA INVESTASI IKLIM. 7 Juli 2009 DOKUMEN RANCANG UNTUK PROGRAM INVESTASI HUTAN, PROGRAM YANG DITARGETKAN BERDASARKAN DANA PERWALIAN SCF

Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN DI SUMATERA BARAT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

REDD+ dan Tata Kelola Pemerintahan

MEMBANGUN INKLUSIVITAS DALAM TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Pedoman Penyusunan Rencana Aksi yang Transparan dan Partisipatif

LEMBAR DATA SAFEGUARDS TERPADU TAHAP KONSEP

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP

Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth

Rekomendasi Kebijakan Penggunaan Toolkit untuk Optimalisasi Berbagai Manfaat REDD+

Bab 1: Konteks Menganalisis Lingkungan Indonesia

LEMBAR DATA PENGAMANAN TERPADU TAHAP KONSEP

Deklarasi Dhaka tentang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Ringkasan Eksekutif Kamis 2 Mei 2013, jam 9.00 s/d Kantor Sekretariat Pokja, Grand Kebon Sirih, Jakarta Pusat

Standar Sosial & Lingkungan REDD+

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 68/Menhut-II/2008 TENTANG

HELP A B C. PRINSIP CRITERIA INDIKATOR Prinsip 1. Kepatuhan hukum dan konsistensi dengan program kehutanan nasional

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

Draft Dokumen Panduan: Kebijakan Keterlibatan Stakeholder Untuk Satgas Iklim dan Kehutanan [Governors Climate and Forest (GCF) Task Force]

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

KITA, HUTAN DAN PERUBAHAN IKLIM

Outline Presentasi. PRB dan API dalam Draft Sasaran Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015 dan HFA II. Proses Penyusunan SDGs. Proses Penyusunan SDGs

BRIEF Volume 10 No. 05 Tahun 2016

Kajian Tengah Waktu Strategi Menjawab Tantangan Transformasi Asia dan Pasifik

KEADILAN IKLIM: PERBAIKAN TATA

Strategi Nasional REDD+

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages

KOMENTAR UMUM NO. 2 TINDAKAN-TINDAKAN BANTUAN TEKNIS INTERNASIONAL Komite Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya PBB HRI/GEN/1/Rev.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

Mendorong Kesiapan Implementasi REDD+ di Indonesia

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN. Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan

PEMBANGUNAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN

Muhammad Zahrul Muttaqin Badan Litbang Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Komitmen APP dalam Roadmap menuju kepatuhan terhadap Kebijakan Asosiasi FSC (Policy for Association / PfA)

DEKLARASI BANGKOK MENGENAI AKTIVITAS FISIK UNTUK KESEHATAN GLOBAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Transkripsi:

Bagaimana SESA Seharusnya Isi Pengantar...3 Latar Belakang...5 a. Antara SESA dan PRISAI...5 a.1. SESA... 5 a.2. PRISAI...7 b. Perbedaan antara Safeguards dan Standar...8 Proses SESA Saat Ini... 9 Hasil Diskusi Publik atas SESA...13 Bagaimana SESA Seharusnya...14 Lampiran 1: Presentasi dalam acara diskusi 13-14 Desember 2012...15 Lampiran 2: Notulensi Diskusi 14 Desember 2012...15

GLOSSARY: Singkatan COP DKN ESMF FCPC FMT FPIC KEMENHUT OMS PADIATAPA PC PRISAI REDD R-PP SATGAS SESA STRANAS UNFCCC UKP4 Kepanjangan Conference of Parties Dewan Ketahanan Nasional Environment and Social Management Framework Forest Carbon Partnership Facility Facility Management Team Free, Prior, Informed Consent Kementerian Kehutanan Organisasi Masyarakat Sipil Persetujuan dengan Informasi Awal tanpa Paksaan Participants Committee Prinsip Kriteria, Indikator Safeguards Indonesia Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Readiness Preparation Proposal Satuan Tugas Social and Environmental Strategic Assessment Strategi Nasional Nasional United Nations Framework Convention on Climate Change Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan

Pengantar Kerangka pengaman atau Safeguards merupakan salah satu isu kunci dalam skema REDD+. Menurut keputusan COP UNFCCC ke 16 di Cancun dan COP 17 di Durban, safeguards seharusnya dipromosikan agar REDD+ dibangun di atas partisipasi, menghormati hak masyarakat, mendukung kesetaraan gender, mengubah wajah tata kelola kehutanan dan berbagai aspek sosial lainnya. Safeguards menjadi sentral dalam usulan skema REDD+ dipicu oleh berbagai kekuatiran di tingkat tapak. REDD+ dipandang oleh banyak komunitas adat maupun masyarakat lokal sebagai skema yang bisa merepetisi watak skema serupa di masa lalu yang secara brutal merampas tanah dan penghidupan mereka atas hutan. Kekuatiran ini mempunyai akar yang kuat secara historis. Banyak skema konservasi seperti Taman Nasional dan hutan lindung yang ditetapkan pemerintah secara sepihak dan semena-mena sehingga mengakibatkan tercerabutnya hak masyarakat atas wilayah itu. Padahal secara historis mereka berdiam dan mempunyai klaim yang sangat melekat di wilayah tersebut. Kekuatiran inilah yang coba dijembatani oleh isu safeguards. Dalam hal ini, safeguards bisa dipandang sebagai jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kelompok yang menolak keras skema REDD+ dengan kelompok lain yang masih percaya sesuatu yang positif bisa datang dari REDD+. Secara historis, safeguards berkembang dalam kebijakan operasional internal dari lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk memandu staf mereka dalam pelaksanaan proyek yang mereka danai. Safeguards muncul setelah tekanan dari berbagai kelompok lingkungan hidup dan isu sosial pada tahun 1980an yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari pengaruh buruk kegiatan yang didanai lembaga keruangan multilateral dengan mengacu pada kesepakatan internasional, sekalipun perlindungan tersebut tidak secara eksplisit tersedia dalam hukum nasional negara peminjam. 1 Safeguards adalah upaya dini untuk membuat sebuah kebijakan, program maupun proyek tidak membawa bencana bagi lingkungan dan manusia. Dalam kaitannya dengan REDD+, safeguards memastikan bahwa kegiatan REDD+ tidak hanya mengurangi pelepasan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan tetapi pada saat yang sama melindungi individu atau komunitas yang berkaitan dengan proyek REDD+. Dalam perjalanan selanjutnya, safeguards tidak hanya berkembang dalam ruang negosiasi antara para pihak dalam UNFCCC. Berbagai organisasi lain juga mengembangkan program untuk meracik fomat dan isi dan proses safeguards sendiri. Bank Dunia adalah salah satunya. Sebagai pemain global utama dalam isu-isu pembangunan, Bank Dunia mempunyai sumber daya untuk mendorong negara-negara pemilik hutan merespons skema-skema iklim dengan bangunan yang disiapkan oleh Bank Dunia. Salah satu bangunan tersebut adalah safeguards. Di Indonesia dan beberapa negara berhutan lainnya, skema yang dikembangkan Bank Dunia antara lain adalah FCPF (Forest Carbon Partnership Facility). Salah satu pilar FCPF adalah SESA (Social and Environmental Strategic Assessment) yaitu sebuah proses untuk membangun REDD+, termasuk membentuk safeguards. Dewan Kehutanan Nasional (DKN) yang mempunyai karakter multi-pihak diminta sebagai pelaksana proses SESA. Meski demikian, peran DKN ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan proses multi-pihak yang sudah berjalan sejak 2010 oleh Bappenas, Kemenhut hingga Satgas REDD+ dan UKP4. 1 http://www.brettonwoodsproject.org/art-565324, diunduh tanggal, 29 November 2010

Kajian ini berupaya untuk memetakan kembali posisi SESA dalam proses nasional persiapan REDD+ yang sudah berlangsung, terutama pembentukan safeguards nasional yang disebut PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguards REDD+ Indonesia). Pemetaan ini sangat penting untuk memberi pertimbangan bagi prakarsa SESA agar tidak mengabaikan proses yang sudah berjalan. Tetapi, justru memberikan dukungan terhadap proses tersebut melalui berbagai aktivitas yang memperkaya referensi analisa sosial dan lingkungan sehingga kelak bisa memberikan pertimbangan berarti bagi implementasi PRISAI. Draft

Latar Belakang a. Antara SESA dan PRISAI a.1. SESA Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang efektif berlaku pada bulan Juni 2008,mengeluarkan memorandum yang salah satunya mengatakan bahwa semua perangkat safeguards yang relevan akan diberlakukan dalam proses kesiapan (readiness process) REDD, termasuk proses konsultasi dan penilaian dampak untuk Memastikan agar aktivitas dan strategi tidak akan mengakibatkan dampak buruk bagi sosial dan lingkungan. 2 Memorandum tersebut juga menyebutkan bahwa dalam readiness process tersebut, pemerintah yang mengajukan proposal FCPF harus menyiapkan Kerangka Acuan untuk penilaian dampak sosial dan lingkungan (SEA). Kemudian, Facility Management Team (FMT) mengusulkan bentuk proses SEA yang dimaksud di rapat Participants Committee bulan Juni 2008, dan pada bulan Oktober 2008 mengeluarkan draft panduan SESA. Strategic Environment and Social Assessment(SESA) yang dibentuk oleh FCPF adalah sebuah instrumen untuk memastikan bahwa masalah-masalah sehubungan dengan lingkungan (khususnya hutan) harus diintegrasikan dalam Strategi Nasional REDD, dan kegiatan-kegiatan persiapan REDD dalam FCPF mematuhi aturan Safeguards Bank Dunia. Bali Action Plan memutuskan agar, REDD dijalankan secara bertahap: 1) Tahap persiapan (preparedness), 2) tahap Implementasi dan 3) tahap kinerja. Bank Dunia kemudian menyambut keputusan ini melalui tahapan-tahapan FCPF dan SESA yang dikembangkan di bawah Tahap persiapan REDD. FCPF mendefinisikan SESA sebagai: A number of analytical and participatory approaches in order to integrate environmental and social considerations into policies, plans and programs and evaluate their interactions with economic and institutional considerations (Sejumlah pendekatan analisa dan partisipatoris dalam rangka mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dan sosial dalam kebijakan, perencanaan dan program serta mengevaluasi interaksi mereka dengan pertimbangan ekonomi dan institusi.) Menerapkan SESA dalam formulasi Strategi Nasional REDD+ bukan berarti harus melewati prosedur dan persyaratan baru, tapi merupakan lanjutan dari proposal persiapan (R-PP = Readiness Preparation Proposal) yang sudah dibuat sebelumnya. Karena itu, beberapa aspek dalam proses SESA seharusnya sudah dimulai sejak pembuatan R-PP, sebelum disetujui oleh Participants Committee (PC) FCPF. Antara lain misalnya, pengaturan kelembagaan, analisa para pihak dan rencana pelibatan para pihak, analisa awal mengenai resiko yang mungkin akan terjadi, juga gap analysis dalam mengidentifikasi reformasi kebijakan. Jadi, SESA merupakan proses persiapan yang dibangun untuk menyusun safeguards REDD+. Dalam perundingan REDD+ di UNFCCC, safeguards merupakan salah satu elemen yang paling penting. Dari proses SESA ini, nantinya akan menghasilkan disain Environment and Social Management Framework atau ESMF. 2 Lihat FCPF Information Memorandum di link http://www.forestcarbonpartnership.org/fcp/sites/forestcarbonpartnership.org/files/documents/pdf/fcpf_info_ Memo_06-13-08.pdf, download, 4 Januari 2013

Secara garis besar, panduan SESA yang dibuat oleh FCPF menjabarkan prosesnya sebagai berikut: 3 a. Mengidentifikasi dan menentukan prioritas penyebab deforestasi dan isu-isu kunci sehubungan dengan sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan deforestasi, termasuk yang berhubungan dengan Kebijakan Safeguards Bank Dunia. Dalam hal ini termasuk juga isu land tenure, benefit sharing, akses terhadap sumber daya, dan dampak sosial dan lingkungan dari opsi-opsi strategi REDD+. b. Melakukan kerja diagnosa terhadap aspek-aspek legal, kebijakan dan institusional dari kegiatan readiness REDD+ c. Menilai kapasitas dan gap untuk menjawab tantangan isu-isu sosial dan lingkungan yang sudah teridentifikasi d. Membuat draft strategi REDD+ dengan memasukkan isu-isu diatas e. Membangun kerangka kerja untuk memitigasi dan mengelola resiko dari opsi strategis yang ditawarkan untuk dimasukkan dalam Environmental and Social Management Framework (ESMF) f. Membangun mekanisme outreach,, komunikasi dan konsultasi dengan pemangku- kepentingan terkait untuk tiap-tiap tahap diatas. Konsultasi SESA harus teritegrasi dengan konsultasi proses persiapan REDD. 3 Dapat dilihat di R-PP Template V. 6: (Apr. 2012: (Template with Guidelines, Country Submission Template without Guidelines, and Annexes)

a.2. PRISAI Saat ini, Pemerintah Indonesia melalui UKP4/SATGAS REDD+ sudah menyusun safeguards sebagai inisiatif awal untuk membentuk safeguards nasional REDD+ yang disebut dengan PRISAI (Prinsip Kriteria, Indikator Safeguards Indonesia). PRISAI disusun dengan mempertimbangkan pengalaman berbagai standar yang telah ada, kerangka hukum nasional dan internasional serta melalui proses partisipatif dan konsultatif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (Pemerintah, Bisnis, LSM, Masyarakat, Lembaga Pendanaan, Pengembang). Setidaknya, terdapat 10 Diskusi Terfokus (FGD) dan dua konsultasi publik telah dilakukan sejak awal Januari hingga April 2012 sebagai arena mendiskusikan PRISAI. Sebelum seri diskusi dan konsultasi publik, telah didesain konsep awal PRISAI yang mengacu pada standar yang telah ada maupun berbagai diskusi informal. Desain ini dikerjakan atas dukungan UN- REDD+. Ketika SATGAS REDD+ tahap II dibentuk, desain awal ini segera diintegrasikan ke dalam Working group Funding Instrumentdi UKP4 yang diberi mandat mengerjakan safeguards REDD+. PRISAI awalnya mempunyai sembilan prinsip yang mengacu pada standar maupun safeguards yang ada, juga dengan mempertimbangkan hukum nasional dan internasional. Masukan atas PRISAI menghasilkan beberapa prinsip dasar safeguards sosial dan lingkungan: 10 PRISAI Sosial dan Lingkungan 1. Memastikan status hak atas tanah dan wilayah 2. Melengkapi atau konsisten dengan target pengurangan emisi, konvensi dan kesepakatan internasional terkait 3. Memperbaiki tata kelola kehutanan 4. Menghormati dan memberdayakan pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal 5. Partisipasi para pemangku kepentingan secara penuh dan efektif dan mempertimbangkan keadilan gender 6. Memperkuat konservasi hutan alam, keanekaragaman hayati, jasa ekosistem 7. Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals) 8. Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi 9. Manfaat REDD dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan 10. Menjamin Informasi yang transparan, akuntabel dan terlembagakan PRISAI pada dasarnya merupakan alat esensial bagi pelaksanaan REDD+ agar tidak dijalankan dalam konteks seperti biasanya atau harus melampauibusiness as usual (BAU). Karena itu, sebagai bagian dari upaya perubahan yang lebih baik, isi PRISAI tidak stagnan, tapi terus berkembang. Sejauh dimaksudkan untuk mengembangkan perubahan positif pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam, penghargaan atas hak masyarakat dan perbaikan tata kelola, khususnya kehutanan, PRISAI akan selalu siap berubah. Meski demikian untuk menjamin kepastian dalam pelaksanaan aktivitas, siklus perubahan isi PRISAI akan ditentukan dalam kurun waktu tertentu oleh Komite Safeguards setelah mendapat masukan dari berbagai pihak.

Sebagaimana diutarakan dalam Strategi Nasional REDD+, kerangka pengaman atau safeguards bukan merupakan kebutuhan di tingkat internasional semata, tetapi pertama-tama merupakan kebutuhan yang mendesak pada tingkat nasional maupun sub-nasional. Meski demikian, PRISAI bukanlah satusatunya instrumen mitigasi resiko. Banyak perangkat safeguards lain maupun berbagai upaya di tingkat manajemen proyek dilakukan untuk mencegah kerugian sosial dan lingkungan akibat operasi proyek. Dalam hal ini, PRISAI diperlakukan sebagai kerangka pengaman minimum REDD+. Artinya, PRISAI masih perlu dilengkapi oleh safeguards lainnya. Di samping itu, sebagai instrumen minimum, kualitas safeguards REDD+ di Indonesia seharusnya tidak boleh lebih rendah dari PRISAI. PRISAI dibentuk dengan dua tujuan utama sebagai berikut: 1) Mencegah pelaksanaan REDD+ dari resiko-resiko sosial dan lingkungan yang bisa mencederai semangat REDD+ sebagai mekanisme yang potensial menyelamatkan lingkungan hidup dan manusia. Karena itu, PRISAI merupakan alat screening atau pemeriksaan terhadap usulan proyek maupun program REDD+ dan juga ukuran untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan suatu proyek maupun program. 2) Mendorong terwujudnya perubahan kebijakan sumber daya alam, terutama hutan dan lahan gambut yang merealisasikan prinsip dan cara kerja tata kelola yang baik, prinsip hak-hak b. Perbedaan antara Safeguards dan Standar Safeguards tidak sama dengan Standard. Jika standar dimaksudkan untuk membuat aturan dan ukuran yang sama pada setiap kegiatan, safeguards bekerja secara kontekstual. Jadi, dalam proses SESA, juga harus dibedakan antara penyusunan standar yang akan diberlakukan, dengan aturan safeguards yang akan diberlakukan dalam proyek REDD. Lebih jelasnya, perbedaan antara keduanya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: Standard Safeguards Menjawab persoalan yang majemuk dengan Menjawab persoalan yang majemuk secara beberapa ukuran yang pasti kontekstual Mempunyai standar umum Mempunyai prinsip umum Mempunyai indikator sebagai representasi ukuran tertentu Indikator dipakai untuk menjawab persoalan yang kompleks Standar dimulai dari penyusunan instrumen Safeguards harus dimulai dari assessment persoalan sosial-lingkungan Standar tidak mungkin meneruskan safeguards Safeguards bisa merupakan kelanjutan dari tertentu standar tertentu Standar dibangun dari premis persamaan Safeguards dibangun dari premis kemajemukan Standar cenderung kuantitatif Safeguards cenderung kualitatif Kepatuhan pada standar akan dinilai oleh asesor Pemenuhannya akan dinilai oleh pihak yang independen terkena dampak Standar bisa berlaku untuk program maupun proyek Safeguards berlaku secara kontekstual untuk proyek/aktivitas Ukuran dalam standar berkaitan dengan standarstandar Konteks dalam safeguards berkaitan dengan umum prinsip-prinsip umum

Proses SESA Saat Ini SESA harus dilaksanakan dalam proses perjanjian hibah FCPF. Sekarang ada 36 negara yang sudah menandatangani perjanjian FCPF, antara lain Costa Rica, Mexico, Indonesia, Nepal, Republik Kongo, Liberia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Thailand. Dalam Laporan Tahunan FCPF tahun 2012 disebutkan bahwa Costa Rica dan Meksiko memberikan pelajaran positif terhadap proses SESA. Menurut laporan tahunan FCPF 2012, ada pelajaran penting dari implementasi proses SESA yang diperoleh dari Costa Rica dan Mexico. Dalam tabel 8 dokumen tersebut dinyatakan bahwa hal krusial kesuksesan penerapan proses SESA adalah pada proses yang partisipatoris dan inklusif melibatkan semua stakeholder. Menemukenali masalah, resiko, serta kesempatan yang ada, harus melibatkan dialog antara NGO, CSO, Masyarakat adat, dan masyarakat lokal. Pelajaran dari Amerika latin ini kemudian diterapkan di Ghana dan Liberia. Kedua negara ini memperoleh bantuan teknis dari Bank Dunia untuk merencanakan dan mengimplementasikan prosesnya. Sebagai bagian dari proses perencanaan, semua pemangkukepentingan diidentifikasi dan dilibatkan, kewajiban institusional diidentifikasi dan dibagi secara jelas. Berikut kutipan dari dokumen tersebut: BOX 8: Pelajaran awal dari proses SESA di Costa Rica dan Mexico Proses SESA harus dipimpin oleh instansi pemerintah sendiri dengan bantuan dari para Mitra. Penyebaran informasi yang segera dan sistematis dengan cara yang sesuai dengan budaya adalah kunci keberhasilan. Identifikasi semua pemangku kepentingan kunci adalah suatu keharusan; Masyarakat adat dan komunitas lokal lainnya adalah pemangku kepentingan utama, tetapi sering tidak memiliki akses seragam terhadap informasi tentang REDD +. Keterlibatan dan dialog terus menerus dengan pemangku kepentingan utama adalah penting, termasuk dengan mereka yang menentang REDD+. Pertemuan awal dengan kelompok pemangku kepentingan utama terkait isu-isu penting sangat dianjurkan. Beradaptasi dengan situasi dinamis adalah penting karena pemangku kepentingan utama serta isu-isu yang diidentifikasi dapat berubah dari waktu ke waktu. Sementara di Indonesia proses SESA masih dalam tahap yang belum jelas. Pada saat yang sama, proses nasional justru telah lebih maju dari apa yang telah direncanakan dalam kerangka acuan SESA. Keterlibatan DKN dalam proses SESA pun belum secara utuh menerjemahkan partisipasi multi-pihak yang efektif sehingga dalam beberapa kesempatan justru mendapat protes keras dari konstituen DKN sendiri. 4 4 Lihat surat Pernyataan atas Forum Dewan Kehutanan Nasional untuk FCPF/FIP oleh empat belas organisasi masyarakat sipil untuk keselamatan hutan, 8 Desember 2011

Proses Nasional REDD+ dan Pembentukan PRISAI Safeguards dalam STRANAS Safeguards merupakan bagian integral dari STRANAS REDD+. Kehadirannya tak lepas dari intervensi berbagai pihak, terutama berbagai jaringan organisasi masyarakat sipil (OMS). Sejak draft pertama STRANAS disebarluaskan, jejaring masyarakat sipil mengangkat kembali persoalan-persoalan akut kehutanan Indonesia. Misalnya mendorong terakomodasinya prinsip-prinsip hak asasi manusia, penyelesaian konflik tenure dan penguatan hak masyarakat. 5 Masukan atas draft kedua makin mempertegas dan memperdalam masukan yang sudah disampaikan sebelumnya. Secara khusus untuk isu safeguards, masukan OMS terhadap draft kedua setidaknya mencakup dua hal: Mendukung indikator dan kriteria perlindungan suatu wilayah dengan konservasi tinggi dan memberi kerangka pengaman (safeguards) agar menghindari merosotnya mutu wilayah akibat alokasi peruntukan tertentu. Kriteria perlindungan dapat dilakukan dengan memfasilitasi model pengelolaan hutan masyarakat yang mendukung keberadaan konservasi bernilai tinggi, antara lain agroferstry; Membentuk peraturan yang mewajibkan institusi non-negara yang beroperasi di bidang sumber daya alam untuk membentuk maupun membarui Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengadopsi free and prior informed consent dan standar-standar Hak Asasi Manusia serta membuka ruang bagi keterlibatan pihak luar dalam menyusun perubahan tersebut, termasuk menyediakan mekanisme penerimaan dan penangangan komplain. 6 5 Surat tersebut dikirim pada tanggal 25 Oktober 2010 oleh Perkumpulan HuMa yang ditandatangani oleh delapan organisasi yakni HuMa, LBBT, CAPPA, KpSHK, DtE, BIC, AMAN, YMP 6 Masukan dari 15 Organisasi Masyarakat Sipil terhadap Draft 2 STRATEGI NASIONAL REDD+, Jakarta, 6 April 2011

Masukan-masukan ini pada akhirnya sebagian besar terakomodasi dalam STRANAS versi terakhir yang diserahkan ke Presiden. Dalam versi ini, kerangka pengaman sosial (social safeguards) disebutkansebagai instrumen yang bertujuan untuk memastikan landasan dan pemulihan hak-hak masyarakat dan proses tata kelola secara keseluruhan. 7 Di samping itu, STRANAS juga mencantumkanfree and prior informed consent(fpic) atau PADIATAPA sebagai prinsip yang mengawal proses REDD+ agar memastikan keadilan dan akuntabilitas dari pelaksanaan program/proyek/kegiatan REDD+ bagi masyarakat adat/lokal yang kehidupan dan hak-haknya akan terpengaruh. 8 STRANAS menyebut beberapa kriteria dan indikator yangsekurang-kurangnya perlu dimuat dalam pengembangan safeguards REDD+, yakni: (1) jenis jenis hak mendasar dari masyarakat untuk mendapatkan informasi yang mudah dipahami, berpartisipasi dan hak untuk mengajukan keberatan (sebagai bagian dari prinsip free and prior informed consent) atas keputusan publik yang berkaitan dengan proyek REDD+; (2) jaminan bahwa proyek atau program REDD+ melindungi dan mengakui hak masyarakat adat/lokal atas sumber daya alam yang tidak hanya berbasis pada bukti formal tetapi juga penguasaan dan klaim secara historis; (3) Indikator yang menjamin pengakuan terhadap hak hak dasar masyarakat adat dan lokal untuk menyatakan keputusannya atas sebuah kegiatan REDD+ di wilayah mereka; (4) Jenis jenis prinsip tata kelola pemerintahan dan tata administrasi yang baik (good governance), mencakup berbagai prinsip yang menjamin transparansi dan akuntabilitaspublik dari pelaksana pengelolaan kehutanan; (5) Indikator yang menjamin kesetaraan gender dan kaum rentan dalam berperan serta dalam pelaksanaan REDD+; (6) Indikator untuk memastikan bahwa sebelum kegiatan REDD+ dilaksanakan, terdapat suatu mekanisme penyelesaian konflik apabila terdapat konflik dan untuk mengatasi apabila terjadi konflik di masa yang akan datang; (7) Kriteria atas segala kemungkinan dampak maupun keuntungan yang akan ditimbulkan dari penerapan REDD+ termasuk jaminan atas penentuan pembagian manfaat yang akan timbul sebagai konsekuensi REDD+; (8) Kriteria jaminan yang memastikan REDD+ tidak bertentangan dengan upaya penyelamatan keanekaragaman hayati dan standar lingkungan hidup yang berkelanjutan; dan (9) Indikator yang menjamin adanya tindakan pemulihan bila terjadi pelanggaran atau pengabaian terhadap hak maupun standar lingkungan hidup yang berkelanjutan. PRISAI 9 Merujuk pada STRANAS, PRISAI kemudian dikembangkan dengan dilengkapi kriteria dan indikator.secara umum, PRISAI mencakup tiga hal. Pertama, performa atau capaian yang menjadi acuan dalam pelaksanaan aktivitas. Capaian ini kerap disebut sebagai capaian non-karbon karena sebagian besar aspek yang akan diatasi adalah isu-isu sosial.hal ini akan nampak dalam kriteria dan indikator PRISAI. Kedua, proses tinjauan terhadap pelaksanaan PRISAI serta mekanisme yang menjamin kualitas dan akuntabilitas seperti konsultasi dengan komunitas dan telaah dari panel maupun pemangku kepentingan serta mekanisme komplain dan penyelesaian konflik. Ketiga, safeguards bersentuhan dengan tindakan atau langkah-langkah ke dalam seperti pelatihan, pelaporan, dan insentif yang dilakukan untuk memastikan kepatuhan dan akuntabilitas secara institusional.bagian ini terdeskripsikan dalam tahapan pemeriksaan proposal dan dalam mekanisme pasca pelaksanaan safeguards, termasuk insentif. Saat ini terdapat 10 Prinsip PRISAI, 29 Kriteria dan 102 indikator. PRISAI membangun upaya untuk melakukan proses perubahan yang terus menerus di tingkat tapak. Karena itu, PRISAI membuka diri terhadap perubahan indikator-indikatornya sejauh diperlukan untuk membuat tujuan besar PRISAI tercapai. 7 Strategi Nasional REDD+, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, Juni 2012, hal. 33 8 Strategi Nasional REDD+, hal. 31 9 Lihat lampiran 3

Setidaknya terdapat empat tahapan utama dalam pelaksanaan PRISAI, yakni tahap identifikasi atau penyusunan konsep, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan pelaporan. Tahap paling awal adalah identifikasi masalah sebagai basis dalam penyusunan rancangan pelaksanaan PRISAI. Selanjutnya, dibuat rancangan atau konsep untuk mengatasi masalah tersebut. Desain itu dihubungkan dengan PRISAI. Pada tahap berikutnya, desain inilah yang senantiasa menjadi rujukan baik dalam pelaksaan, pemantauan dan evaluasi maupun pada Safeguards bisa merujuk pada laporan pelaksanaan PRISAI. Karena itu, tahapan PRISAI standar tertentu jika dalam selanjutnya merupakan pengembangan maupun penguatan atas identifikasi masalah ditemukan desain pelaksanaan PRISAI. Hal yang patut dicatat adalah PRISAI gap yang bisa diatasi oleh standar bisa menggunakan standar tertentu jika berdasarkan kebutuhan dimaksud. Misalnya, standar lapangan sebuah standar diperlukan atau harus ada untuk HAM dan tata kelola yang baik mencapai tujuan PRISAI. Uji Coba PRISAI Pada tahap selanjutnya, PRISAI harus memiliki panduan pelaksanaan. Agar panduan tersebut bisa menjawab persoalan lapangan yang kompleks, maka PRISAI diuji seccara empirik di berbagai kasus dengan melibatkan beberapa pihak dengan beragam karakter program/proyek maupun pendekatan. Saat ini terdapat empat mitra yang diajak untuk menguji PRISAI yakni WARSI yang mengembangkan program hutan desa di Jambi, CSF UNMUL yang bekerja sama dengan TNC untuk melihat kontekstualisasi PRISAI di program Karbon Hutan Berau Kalimantan Timur, WWF dari proyek Kutai Barat di Kalimantan Timur dan RMU/PUTER dari proyek restorasi ekosistem di Katingan dan Kota Waringin Timur. Mereka mewakili pelaksana dari komunitas, NGOs, swasta maupun kombinasi antara NGOs dan Pemerintah Daerah. Mereka juga mewakili karakteristik uji coba REDD+ berdasarkan tipologi kawasan hutan berdasarkan fungsi dan status. Berdasarkan fungsi, keempat pelaksana ini bekerja di kawasan hutan produksi, hutan lindung dan konservasi. Sementara berdasarkan status, mereka bekerja di kawasan hutan maupun Area Penggunaan Lain (APL) dengan menggunakan sejumlah basis kerangka legal, antara lain restorasi ekosistem, hutan kemasyarakatan, hutan desa maupun kerja kolaboratif. Pendekatan berbasis pengalaman lapangan ini diambil mengingat tingginya kompleksitas persoalan yang dihadapi safeguards dan sangat mustahil satu safeguards bisa digunakan serta merta di semua konteks. Harapannya, kekayaan pengalaman lapangan akan membuat Panduan Pelaksanaan PRISAI lebih mampu menjawab kebutuhan lapangan, dengan tidak mengkompromikan prinsip-prinsip dasarnya.

Hasil Diskusi Publik atas SESA Diskusi yang diselenggarakan Dewan Kehutanan Nasional tanggal 13-14 Desember 2012 10 menghasilkan beberapa masukan atas proses maupun substansi yang akan dikembangkan SESA, sebagai berikut: Untuk membangun proses yang baik dan benar, DKN harus mengutamakan kualitas dan tidak dikejar oleh waktu. Karena itu, SESA perlu didudukan dalam konteks nasional. Agenda kerja global yang terkait SESA harus disesuaikan dengan perkembangan di tingkat nasional. SESA ketinggalan cukup jauh dari proses nasional saat ini. Dari segi perencanaan program, SESA seharusnya hadir sebelum STRANAS terbentuk. Saat ini, STRANAS hampir tuntas dan hanya menunggu payung hukum dari Presiden. Sementara SESA belum menemukan wujud dan bentuk yang jelas. Karena itu, perlu dikonstruksikan ulang, dimana seharusnya SESA bisa berkontribusi saat ini agar tidak mengulang atau bahkan menafikan proses lain di tingkat nasional yang sudah berjalan cukup partisipatif. Beberapa usulan yang muncul antara lain: 1. SESA tetap mendalami kajian maupun analisa sosial-politik-ekonomi terkait REDD+ untuk menjadi bacaan bagi rencana implementasi REDD+ dan secara khusus pertimbangan-pertimbangan dini dalam penerapan PRISAI; 2. SESA harus berkontribusi untuk memperkuat PRISAI agar menjadi rujukan secara nasional. SESA harus mendalami lebih lanjut berbagai aspek sosial-lingkungan di tingkat tapak calon lokasi REDD+ melalui assessment masalah maupun peluang yang di kemudian hari dapat berkontribusi pada efektivitas pelaksanaan PRISAI. Assessment ini bisa juga dilakukan di wilayah-wilayah yang mempunyai karakteristik ekosistem yang berbeda dengan wilayah dimana PRISAI sedang melakukan uji coba saat ini. Pemetaan persoalan yang majemuk akan menjadi basis bagi penerapan PRISAI secara kontekstual. Perlu mendorong adanya safeguards nasional yang sifatnya mandatory untuk semua pelaksana REDD+. Dalam hal ini, proses SESA seharusnya mendorong agar PRISAI bisa ditempatkan sebagai safeguards yang mandatory. Dari segi proses, perlu dibangun kesepakatan atas proses agar SESA bisa secara tepat ditempatkan dalam proses pengembangan safeguards (PRISAI) maupun REDD+ saat ini. Hasil-hasil diskusi terlampir dalam kajian ini. 10 Diskusi ini mengundang berbagai pihak, antara lain masyarakat sipil, pemerintah, akademisi, pengusaha, namun tidak semua undangan hadir karena berbagai alasan.

Bagaimana SESA Seharusnya Berkaca pada proses nasional REDD+ secara khusus pembentukan PRISAI dan juga hasil diskusi publik tanggal 13-14 Desember 2012 maka beberapa hal yang harus dilakukan SESA ke dalam konteks proses nasional REDD+ adalah sebagai berikut: 1.1. SESA harus ditempatkan sebagai salah satu proses untuk menyiapkan instrumen yang nantinya digunakan PRISAI untuk melakukan assessment di tingkat tapak. Saat ini, PRISAI sedang mengembangkan lebih tajam kriteria dan indikator agar bisa aplikatif di lapangan. Namun pada saat yang sama, PRISAI juga membutuhkan berbagai instrumen lain untuk secara lebih dalam dan holistik menganalisa konteks sosial-lingkungan di lapangan. Pendalaman konteks akan membantu desain implementasi PRISAI lebih mampu menjangkau persoalan yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya. SESA seharusnya berkontribusi untuk memperkaya assessment seperti ini. 1.2. SESA harus memulai proses dari wilayah yang menjadi target lokasi proyek REDD+. Tujuannya adalah agarassessmentyang dilakukan lebih mendekati kompleksitas lapangan.hasil darilapangan akan memperkaya uji coba PRISAI yang nantinya bisa membantu desain pelaksanaan PRISAI 1.3. Proses FCPF dan SESA Bank Dunia terlambat. Padahal SESA seharusnya dibuat untuk membantu negara dalam menentukan prioritas-prioritas apa dalam penanganan deforestasi dan degradasi hutan, dan mekanisme pelibatan multi-pihak dalam pembentukan Strategi Nasional REDD+. Meski demikian, SESA masih bisa dilanjutkan untuk bisa mengejar sekaligus mengisi inisiatif yang sudah berjalan secara nasional. Dalam hal ini, SESA tidak boleh menegasikan dan membajak proses yang sudah berjalan. Tetapi membantu melakukan identifikasi atas kekurangan dari proses saat ini. SESA hanya dapat menjadi komplementer dari inisiatif nasional saat ini.

Lampiran 1: Presentasi dalam acara diskusi 13-14 Desember 2012 Lampiran 2: Notulensi Diskusi 14 Desember 2012 Draft