UANG DAN INFLASI DI INDONESIA: ANALISIS JANGKA PANJANG Oleh: Aliasuddin Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ABSTACT Most of studies on long-run neutrality of money proved that money does not play a significant role in increase the output (income). A few of the studies do not support the long-run neutrality of money. According to these, this study tries to find out the role of money on inflation in Indonesia. The model of Fisher and Seater is used in this study. This study uses the monthly data of inflation and money supply in Indonesia over the period 1990.1 to 2001.12. The results of the study show that money supply has a significant effect on increase inflation in the long-run in Indonesia. The effects of money supply increase the inflation month to month, indicates that money push the inflation up continuously and increasingly. The effect of money supply becomes bigger and bigger until the end of the last month. The coefficients of M1 and M2 go to one in the long-run. According to the results, central bank should take into account the money supply in every monetary policy in order to avoid inflation in the long-run. Keywords: money, inflation, monetary policy.
PENDAHULUAN Tiga kebijakan pemerintah di bidang moneter yang dilakukan oleh bank sentral menggunakan jumlah uang beredar (JUB) sebagai variabel antara yang paling utama. Ketiga kebijakan tersebut adalah pengaturan cadangan wajib minimum bank-bank umum (cash ratio atau reserve requirement RR), jual-beli surat-surat berharga (open market operation OMO), dan pengaturan tingkat suku bunga (rediscount rate policy RRP). Ketiga variabel ini dikenal dengan istilah variabel kebijakan (policy variables). Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (output dan pendapatan), stabilitas harga (inflasi), dan perluasan kesempatan kerja. Ketiga variabel ini dikenal dengan nama variabel target. Bank sentral dapat menggunakan variabel kebijakan ini secara parsial atau simultan untuk mencapai target yang lebih optimal. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, bank sentral dapat menurunkan RR agar bank-bank umum mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menambah JUB melalui pemberian kredit kepada dunia usaha sehingga dunia usaha dapat meningkatkan kemampuan usahanya. Peningkatan ini akan menambah jumlah kesempatan kerja yang pada gilirannya mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat berarti peningkatan perekonomian. Namun, penurunan RR ini bisa berakibat pada peningkatan harga-harga karena peningkatan JUB diiringi oleh peningkatan permintaan, jika jumlah barang yang ada tidak seimbang dengan pertambahan JUB dan peningkatan permintaan tersebut. Jika terjadi peningkatan harga-harga umum maka akan terjadi inflasi. Begitu pula sebaliknya, peningkatan RR menyebabkan menurunnya kemampuan bank-bank umum untuk menciptakan kredit sehingga JUB
menurun dan harga-harga menuju posisi keseimbangan seperti sebelum terjadi kenaikan harga-harga. OMO dapat pula digunakan untuk mencapai target yang ditetapkan oleh pemerintah. Peningkatan penjualan surat-surat berharga kepada bank-bank umum yang dilakukan oleh bank sentral akan menarik dana yang tersedia di bank-bank umum. Karena dana masyarakat di bank-bank umum berkurang, maka bank-banak umum berusaha menarik dana lainnya dari masyarakat melalui peningkatan suku bunga. Akibatnya, JUB berkurang dan harga-harga menurun. Bila keadaan sebaliknya, pembelian surat-surat berharga dari bank-bank umum akan menambah JUB. Peningkatan JUB berakibat pada peningkatan daya beli masyarakat yang pada gilirannya mampu mendorong harga-harga pada tingkat harga yang lebih tinggi. Terakhir, piranti ketiga yang dapat digunakan oleh bank sentral adalah pengaturan tingkat suku bunga. Pada saat inflasi yang disebabkan oleh peningkatan JUB maka bank sentral dapat meningkatkan suku bunga. Peningkatan suku bunga akan menarik minat masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank-bank umum sehingga JUB mengalami penurunan. Penurunan JUB mengakibatkan penurunan harga-harga umum (inflasi). Sebaliknya, JUB dapat ditingkatkan melalui penurunan tingkat suku bunga. Penurunan suku bunga menyebabkan adanya penarikan simpanan masyarakat yang ada di bank-bank umum sehingga JUB meningkat dan harga-harga kembali pada posisi normal. Namun di Indonesia dewasa ini, kebijakan tersebut tidak dilakukan secara langsung oleh bank sentral karena bank sentral telah memberikan kebebasan kepada bank-bank umum untuk mengatur tingkat suku bunga sendiri sesuai dengan persaingan antar-bank. Kebijakan ini mulai berlaku sejak 1 Juni 1983 melalui
kebijakan deregulasi perbankan. Penentuan suku bunga tersebut harus dalam batasbatas yang masih dijamin oleh bank sentral bila bank tersebut ditutup atau dibekukan oleh pemerintah. Berdasarkan uraian ini diketahui ada satu variabel perantara yang berperan sangat penting dalam kebijakan moneter yaitu JUB. Pengaturan JUB sangat penting karena melalui JUB variabel target dapat dicapai atau gagal sama sekali. Kelompok Keynes meyakini bahwa uang sangat berperan dalam perekonomian sedangkan kaum klasik menyatakan sebaliknya, uang tidak berperan sama sekali dalam jangka panjang, justru uang adalah faktor penyebab terjadinya kenaikan harga-harga. Perbedaan pandangan antara kedua kelompok ini harus dijelaskan secara empiris untuk mengatahui secara pasti bagaimana fungsi uang ini terhadap variabel-variabel target ini. Kegagalan uang dalam meningkatkan output (pendapatan) telah banyak dibuktikan oleh penelitian empiris di banyak negara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lucas (1980), Mills (1982), Geweke (1982, 1986) menyatakan bahwa uang tidak berperan terhadap produksi. Friedman dan Schawartz (1982), Anderson dan Karnovsky (1972), Kormendi dan Meguire (1984) menyimpulkan hasil yang sama dengan penelitian terdahulu. Wallace (1999), Fisher dan Seater (1993) mendukung kesimpulan terdahulu. Hanya sedikit yang tidak mendukung netralitas uang terhadap output. Studi Leong dan McAleer (2000), misalnya, yang dilakukan di Australia memperoleh hasil yang bertolak belakang dengan penelitian terdahulu. Perbedaan hasil penelitian juga ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Olekanls (1996). Aliasuddin (2002) telah berusaha mengkaji seberapa besar pengaruh uang terhadap output (pendapatan) dalam jangka panjang di Indonesia. Hasil studinya
memperlihatkan bahwa uang tidak mempunyai peran terhadap output dalam jangka panjang di Indonesia. Uang hanya berperan dalam meningkatkan pendapatan pada jangka pendek saja dan pengaruhnya semakin mengecil dan tidak berpengaruh lagi setelah tahun ke-empat. Kajian tersebut dilakukan untuk periode dari tahun 1965 hingga 2000. Berdasarkan pada hasil ini ternyata bahwa sangat banyak kajian yang mendukung bahwa uang tidak berperan terhadap produksi dalam jangka panjang. Karena peningkatan JUB tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan (output), maka peningkatan JUB bisa berakibat pada peningkatan harga-harga umum (inflasi). Oleh karena itu, kajian tentang peranan uang terhadap inflasi sangat perlu mengingat JUB adalah variabel antara kebijakan yang utama. Ada kemungkinan peningkatan uang justru meningkatkan inflasi. Hal ini sangat beralasan karena Irving Fisher telah menyatakan bahwa JUB proporsional dengan harga. Peningkatan JUB sebesar 10 persen akan berakibat pada peningkatan harga sebesar 10 persen pula. Hubungan ini telah umum dikenal dan dinyatakan dalam persamaan berikut MV = PT (1) Persamaan (1) menyatakan bahwa nilai output yang dihasilkan sama dengan JUB dikali transaksi yang terjadi. Diasumsikan bahwa V konstan karena pola kebiasaan pembayaran relatif sama. Bila persamaan (1) dinyatakan dalam bentuk hubungan antara JUB dan harga, maka persamaan tersebut menjadi P = MV/T (2) Karena V diasumsikan tetap dan bila T juga diasumsikan tetap maka hubungan harga dan JUB adalah proporsional seperti yang dinyatakan oleh Irving Fisher.
Kenaikan JUB proporsional terhadap kenaikan harga (inflasi). Berdasarkan persamaan (2) jelas bahwa JUB bersifat inflasioner dan untuk itu perlu pembuktian terhadap pernyataan tersebut melalui penelitian empiris. Penelitian tentang peran uang terhadap inflasi relatif sedikit dibandingkan dengan peranan uang terhadap output. Kebanyakan studi memfokuskan pada pengaruh kebijakan moneter atau fiskal terhadap variabel-variabel sektor keuangan. Berdasarkan kondisi seperti ini maka tulisan ini bermaksud membahas peranan uang terhadap inflasi dalam jangka panjang di Indonesia. METODE PENELITIAN Model Fisher dan Seater (1993) telah banyak digunakan oleh peneliti-peneliti di banyak negara untuk menguji netralitas uang dalam jangka panjang, karena model ini sangat sesuai dan mudah untuk diestimasi dengan OLS. Oleh karena itu, penelitian ini juga menggunakan model yang dikemukan oleh Fisher dan Seater (1993). Kajian difokuskan pada M1 dan M2 dalam jangka panjang dan pengaruhnya terhadap inflasi. Data inflasi yang digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Misalkan m sebagai log JUB dan π sebagai inflasi, maka model kajian ini dapat dinayatakan sebagai: a(l) (m) m t = b(l) (π) π t + u t d(l) ( π) π t = c(l) ( m) m t + w t (3) dengan L sebagai operator lag, a(l), b(l), c(l) dan d(l) sebagai polinomial lag terdistribusi (distributed lag polynomial), dan (m) dan (π) adalah order integrasi JUB
dan inflasi. Vektor (u t dan w t ) diasumsikan terdistribusi secara identik dan bebas (iid) dengan rata-rata sama dengan nol dan kovarians. Jika suatu variabel stasioner sekitar trend deterministik, maka akan diperlakukan sebagai I(0). Untuk lag terdistribusi a(l) dan d(l), ditentukan pembatasannya sama dengan a 0 =d 0 =1, dan b 0 dan c 0 tidak dibatasi. Parameter-parameter bagian kedua persamaan (3) mengindikasikan nilai-nilai stasioner π selama periode penelitian yang dijelaskan oleh stasioneritas nilai-nilai m antar-waktu. Pendefinisian netralitas uang jangka panjang terhadap inflasi (NUJPTI) dapat dilakukan dengan menggunakan derivasi ( π) π t (LRD) terhadap perubahanperubahan pada (m) m t. Derivasi tersebut dapat dinyatakan sebagai: LRD, m k lim 0 ) ( ) t k / ut ( m mt k / ut di mana penyebut dari persamaan di atas diasumsikan tidak sama dengan nol. LRD π,m dapat didefinisikan sebagai efek permanen jangka panjang m terhadap π dibagi dengan efek permanen jangka panjang terhadap m itu sendiri. Nilai tertentu dari LRD π,m tergantung pada (m) dan (π). Jika (m) 1 dan (π) 1, maka terdapat perubahanperubahan permanen pada m t dan π t. Jika kedua variabel mempunyai integrasi yang sama, (m)=( π), maka LRD π,m dapat diperlakukan sebagai elastisitas jangka panjang π terhadap m dan dapat dievaluasi dengan menggunakan respon impuls seperti pada persamaan (3). Kasus khusus terjadi jika (m)=( π)=1, maka LRD y,m = c(1)/d(1). Uang bersifat netral terhadap inflasi dalam jangka panjang jika LRD y,m =, di mana =1 jika π merupakan variabel nominal dan =0 jika π merupakan variabel riil.
Jika variabel pengganggu (error terms) u t dan w t dalam model ARIMA tidak berkorelasi, atau jika uang eksogen, maka c(1)/d(1) adalah koefisien frekuensi-nol dalam regresi (π) π t terhadap (m) m t. Nilai c(1)/d(1) dapat diestimasi dengan menggunakan estimator Barlett dari koefisien regresi frekuensi-nol. Estimator tersebut diberikan oleh lim k k, di mana k adalah koefisien slope pada regresi berikut: k k ( ) ( m) t j k k mt j kt j0 j0 (4) Jika (m)=(π)=1, adalah kasus yang memungkinkan pengujian NUJPTI, maka persamaan (4) diestimasi dengan model: (π t π t-k-1 ) = k + k (m t m t-k-1 ) + kt (5) Estimasi terhadap persamaan (5) dilakukan dengan menggunakan data bulanan JUB (M1 dan M2) dan IHK digunakan sebagai variabel inflasi. Data tersebut dimulai dari bulan Januari 1990 hingga Desember 2001. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Data tersebut diubah ke dalam bentuk logaritma alamiah, karena datanya berbentuk nominal, maka pengujian netralitas dilakukan terhadap =1. Hasil Uji Unit Root HASIL PENELITIAN Pengujian pengaruh JUB terhadap inflasi dapat dilakukan jika persyaratan teoritis terhadap nonstasioneritas telah terpenuhi. Model yang digunakan mensyaratkan bahwa
variabel-variabel yang digunakan dalam model tersebut harus paling tidak terintegrasi dengan order satu dan semua variabel mempunyai integrasi yang sama. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka dilakukan uji unit root. Hasil uji data normal menunjukkan bahwa baik M1, M2 maupun IHK tidak stasioner. Oleh karena itu, dilakukan pendeferensian satu kali dan diperoleh hasil bahwa dengan menggunakan uji Phillips-Perron (PP) hasilnya cukup baik karena data sudah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Hasil uji ini disajikan di Tabel 1. Variabel M1 M2 IHK Tabel 1. Hasil Uji Unit Root Nilai Statistik Unit Root Tanpa Trend Dengan Trend -2,70* -4,24* -8,36* -4,27* -4,65* -8,32* * Nilai kritis untuk α = 5%, masing-masing sebesar -2,57 untuk tanpa trend dan -3,13 dengan trend. Tabel 1 memperlihatkan bahwa hasil uji masing-masing data yang telah dideferensiasikan satu kali signifikan baik dengan maupun tanpa trend karena nilai absolut statistik unit root lebih besar dari nilai kritisnya. Dengan demikian, persamaan (5) dapat digunakan untuk mengestimasi pengaruh JUB terhadap inflasi dalam jangka panjang di Indonesia. Hasil Estimasi Estimasi pengaruh JUB terhadap inflasi dilakukan dengan menggunakan persamaan (5). Estimasi dilakukan, pertama, antara inflasi dengan M1, kedua, inflasi dengan M2. Penentuan jumlah k dilakukan sesuai dengan persyaratan teoritis dari
model itu sendiri, yaitu sebanyak sepertiga dari jumlah sampel. Karena sampel ini dari Januari 1990 hingga Desember 2001, maka jumlah sampel sebanyak 144. Dengan demikian maka jumlah k dalam penelitian ini sebanyak 48. Hasil estimasi selengkapnya disajikan di Tabel 2. k 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Tabel 2. Hasil Estimasi Pengaruh JUB terhadap Inflasi Inflasi M1 P- β k Value 0,3957 0.000 0,4258 0.000 0,4390 0.000 0,4467 0.000 0,4518 0.000 0,4553 0.000 0,4580 0.000 0,4601 0.000 0,4618 0.000 0,4632 0.000 0,4644 0.000 0,4655 0.000 0,4664 0.000 0,4671 0.000 0,4678 0.000 0,4684 0.000 0,4690 0.000 0,4695 0.000 0,4700 0.000 0,4705 0.000 0,4710 0.000 0,4714 0.000 0,4718 0.000 0,4722 0.000 Inflasi M2 P- β k Value 0,2815 0.000 0,3281 0.000 0,3508 0.000 0,3646 0.000 0,3738 0.000 0,3804 0.000 0,3854 0.000 0,3893 0.000 0,3925 0.000 0,3952 0.000 0,3974 0.000 0,3993 0.000 0,4009 0.000 0,4023 0.000 0,4036 0.000 0,4047 0.000 0,4057 0.000 0,4067 0.000 0,4076 0.000 0,4084 0.000 0,4092 0.000 0,4099 0.000 0,4106 0.000 0,4113 0.000 k 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 Inflasi M1 P- β k Value 0,4726 0.000 0,4730 0.000 0,4733 0.000 0,4737 0.000 0,4740 0.000 0,4743 0.000 0,4746 0.000 0,4748 0.000 0,4751 0.000 0,4753 0.000 0,4755 0.000 0,4758 0.000 0,4760 0.000 0,4763 0.000 0,4766 0.000 0,4769 0.000 0,4772 0.000 0,4776 0.000 0,4781 0.000 0,4786 0.000 0,4792 0.000 0,4798 0.000 0,4797 0.000 0,4796 0.000 Inflasi M2 P- β k Value 0,4119 0.000 0,4154 0.000 0,4132 0.000 0,4138 0.000 0,4143 0.000 0,4149 0.000 0,4154 0.000 0,4159 0.000 0,4161 0.000 0,4165 0.000 0,4170 0.000 0,4174 0.000 0,4179 0.000 0,4183 0.000 0,4188 0.000 0,4192 0.000 0,4196 0.000 0,4201 0.000 0,4207 0.000 0,4213 0.000 0,4219 0.000 0,4226 0.000 0,4225 0.000 0,4225 0.000 Hasil estimasi memperlihatkan bahwa JUB sangat signifikan terhadap inflasi, baik M1 maupun M2. M1 mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap inflasi dibandingkan dengan M2. Pengaruh M1 terhadap inflasi mengalami peningkatan dari bulan pertama hingga bulan ke-48. Bila pada bulan pertama koefisien pengaruh M1 terhadap inflasi sebesar 0,3957 mengalami peningkatan secara terus menerus dan
mencapai 0,4796 pada bulan terakhir. Pengaruh M1 ini sangat signifikan karena P- value dari semua koefisien sama dengan nol, di mulai dari bulan pertama hingga bulan terakhir. Hasil ini memperlihatkan bahwa M1 sangat berpengaruh terhadap inflasi dalam jangka panjang di Indonesia. Sementara itu, M2 juga berpengaruh terhadap inflasi walaupun koefisien M2 ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan M1. Pengaruh M2 ini juga mengalami peningkatan secara terus menerus dari bulan pertama hingga bulan terakhir. Koefisien M2 ini mengalami percepatan peningkatan melebihi M1. Bila pada bulan pertama M2 mempunyai koefisien sebesar 0,2815 yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan koefisien M1, tetapi pada bula terakhir perbedaan koefisien antara M1 dan M2 tidak begitu besar. Hal ini memperlihatkan bahwa kemampuan M2 lebih besar sebagai faktor penyebab inflasi dibandingkan dengan M1. Ada hal relatif baik bahwa penyataan Fisher bahwa JUB proporsional dengan inflasi tidak terbukti karena koefisien M1 dan M2 inelastis, sedangkan Fisher menyatakan proporsional (unitary elastic). Walaupun demikian, ada kecenderungan JUB ini menuju ke koefisien sama dengan satu terutama dalam jangka panjang karena sifat koefisien M1 dan M2 divergen. Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Model pengaruh JUB terhadap inflasi dapat digunakan karena persyaratan dari model tersebut dipenuhi. Karena model tersebut dapat digunakan dalam estimasi dan
hasilnya juga signifkan baik secara teori maupun secara statistik maka model tersebut dapat digunakan sebagai alat estimasi dan hasilnya dapat diinterpratasikan dan disimpulkan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa JUB sangat berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia dalam jangka panjang. Pengaruh JUB tidak hanya berasal dari M1 tetapi juga M2. Pengaruh tersebut semakin lama semakin besar. Hal ini terlihat dari koefisien M1 dan M2 yang semakin besar pada akhir periode. Dengan demikian maka pengaturan JUB sangat signifikan terhadap inflasi. Peningkatan JUB diikuti secara langsung oleh inflasi, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Irving Fisher. Saran Karena uang sangat signifikan dalam meningkatkan inflasi maka bank sentral harus lebih berhati-hati dalam mengatur JUB karena kelebihan JUB berakibat pada peningkatan harga-harga sedangkan pendapatan tidak mengalami peningkatan. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral harus memperhitungkan pengaruh JUB ini terhadap inflasi karena kenaikan pendapatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga-harga menyebabkan pendapatan riil masyarakat mengalami penurunan yang signifikan. KEPUSTAKAAN Aliasuddin. 2002. Pengujian netralitas uang jangka panjang di Indonesia. Mon Mata. 45, 1-12. Anderson, L. and D. Karnovsky. 1972. The appropriate time frame for controlling monetary aggregates: The St. Louis evidence. In Federal Reserve Bank of Boston (ed.) Controlling Monetary Aggregate II: The implementation, Conference Series No. 9. Boston: Federal Reserve Bank of Boston.
Bank Indonesia. Beberapa penerbitan. Jakarta: BI. Statistik Ekonomi dan Keuanan Indonesia. Fisher, M.E. and J.J. Seater. 1993. Long-run neutrality and superneutrality in an ARIMA framework. American Economic Review, 83, 402-15. Friedman, M. and A.J. Schawartz. 1969. The definition of money: Theoretical and empirical problems. Journal of Money, Credit and Banking, 1(1), 1-14. 1982. Monetary Trends in the United State and the United Kingdom. Chicago: University of Chicago Press. Geweke, J. 1982. Measurement of linear dependence and feedback between multiple time series. Journal of the American Statistical Association, 77, 304-13. 1986. The implementation of money in the United States: An interpretation of the evidence. Econometrica, 54, 1-21. Kormedi, R.C. and P.G. Meguire. 1984. Cross-regime evidence of macroeconomic rationality. Journal of Political Economy, 92, 875-908. Leong, K. and M. McAleer. 2000. Testing long-run neutrality using intra-year data. Applied Economics, 32, 25-37. Lucas, R.E., Jr. 1980. Two illustration of the quantity theory of money. American Economic Review, 70, 1005-14. Mills, T.C. 1982. Signal extraction and two illustration of the quantity theory. American Economic Review, 72, 1162-8. Olekalns, N. 1996. Some further evidence on the long-run neutrality of money. Economics Letters, 50, 393-8. Phillips, P.C.B. and P. Perron. 1988. Testing for a unit root in time series regression. Biometrica, 75(2), 335-46. Wallace, F.H. 1999. Long-run neutrality of money in the Mexican economy. Applied Economics Letters, 6, 637-9.